Tradisi Martahi Karejo Masyarakat Angkola: Kajian Semiotik

(1)

TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN SEMIOTIK

TESIS

Oleh

ILHAM SAHDI LUBIS 127009014

F A K U L T A S I L M U B U D A Y A

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang digunakan pada acara martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini mengungkapkan tiga permasalahan yang dianalisis secara ilmiah, pertama, realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola, kedua pengkodean makna dalam teks makkobar, dan ketiga makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola, pengodean makna ke dalam teks makkobar, dan menjelaskan makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini menggunakan teori semiotik sosial dengan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa teks hobar dalam bentuk transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari sumber informan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola meliputi subjek, predikator, dan keterangan yang terdapat pada teks makkobar. Pengkodean makna dalam teks makkobar meliputi konteks situasi yang terdapat dalam teks makkobar

yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola terdapat pada nilai-nilai kearifan lokal yang terkadung dalam teks makkobar yaitu nilai kearifan gotong-royong, nilai kearifan dalam bermusyawarah, nilai kearifan kehormatan, dan nilai kearifan kekerabatan.


(3)

ORAL TRADITION MARTAHI KAREJO OF ANGKOLA SOCIETY: SEMIOTIC SOCIAL STUDY

ABSTRACT

This research focuses the oral tradition used to show martahi karejo of Angkola society. This study discussed three problems analyzed, first, the realization of interpersonal meaning in Angkola language, second encoding the meaning in text makkobar, and the third to contained meaning in the traditions of the martahi karejo of Angkola society. The purpose of this study is to described how interpersonal meaning is realized in Angkola language, encoding meaning in makkobar text, and explained the meaning contained in the traditions of the martahi karejo of Angkola society. This study used a social semiotic theory with qualitative descriptive approach. The data in this research is transcripts text makkobar from a data source of video recordings and interview data from informant. The findings in this research indicated that the realization of interpersonal meaning in Angkola language that are subjects, predikators, and the adjuncts which contained in the makkobar text. Makkobar text encoding the meaning in the context of the situation included the makkobar text contained of field of discourse, tenor of discourse, and mode of discourse. Meaning contained in oral traditions martahi karejo of Angkola society contained in the values of local wisdom within the makkobar text that are moral values of mutual assistance, the value of wisdom in deliberation, moral values of honor, and the moral values of kinship.

Keywords: martahi karejo, semiotics social, the realization of interpersonal, values


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas Rahmat dan Hidayah-Nya tesis ini dapat diselesaikan penulis. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada program Magister Linguistik Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini membahas tentang: Tradisi Martahi Karejo pada masyarakat angkola: Kajian semotik, penelitian ini dikaji menggunakan teori semiotik sosial sebagai pisau bedah karena dengan teori ini bisa dilihat konteks sosial yang ada di dalamnya serta melihat nilai-nilai kearifan lokal.

Tesis ini tidak akan pernah terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan moral dan spritual dari beberapa pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, selaku Direktur Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara dan Ibu Dr. Nurlela M.Hum., selaku Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., selaku Pembimnbing I dan Bapak Dr. Muhammad Takari, M.Hum, selaku Pembimbing II yang telah memberikan pengetahuan, waktu, bimbingan, bantuan, motivasi, dan semangat selama penulisan dan penyelesaian tesis sehingga memperlancar selesainya tesis ini.

6. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D., Prof. Hamzon Situmorang, MS, Ph.D, dan Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M ling selaku penguji tesis ini


(5)

yang telah banyak memberikan dukungan, saran dan ide yang sangat luar biasa hingga terwujudnya penulisan tesis ini dan dapat terselesaikan dengan baik.

7. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara tanpa kecuali sebagai motor penggerak dunia pendidikan yang berdasarkan pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, baik dalam memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan maupun yang berkaitan dengan linguistik, dan tidak lupa juga kepada seluruh staf pegawai Program Studi Magister Linguistik maupun karyawan perpustakaan Universitas Sumatera Utara yang telah mengabdikan diri dengan tulus dalam pelayanan administrasi kepada penulis hingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

8. Seluruh teman seangkatan S2 Linguistik Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang saling menyemangati untuk menyelesaikan tesis ini.

9. Seluruh keluarga, ayah dan ibu tercinta, saudara kandung penulis, Fauzan Indra M Lubis, Rika Ervina M Lubis, Wildan Iskandar Lubis, dan Nasrul Hamidi Lubis, yang telah mendukung secara moril dan materil, serta memberikan kasih sayang untuk terus bersemangat dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Allah SWT meridhoi.

Medan, Agustus 2014 Penulis


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : ILHAM SAHDI LUBIS

Tempat/Tanggal lahir : Padangsidimpuan 14 Nopember 1988

NIM : 127009014

Jenis Kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Golongan Darah : B

Alamat : Jalan Karsa no 10, Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan Barat Kota Medan

Pekerjaan : Dosen STKIP Tapanuli Selatan

E-mail

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri 7 padangsidimpuan (2001) 2. SMP Negeri 1 Padangsidimpuan (2004) 3. SMA Negeri 4 Padangsidimpuan (2007) 4. S1 Universitas Muslim Nusantara (2011)


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Batasan masalah ... 7

1.3 Rumusan Masalah ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 8

1.4.2 Manfaat praktis ... 8

1.6 Klasifikasi Istilah ... 8

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA TEORI ... 11

2.1 Konsep Tradisi Martahi Karejo ... 11

2.2 Semiotik ... 15

2.3 Bahasa Sebagai Semiotik Sosial ... 17

2.3.1 Konteks Situasi ... 19

2.3.2 Metafungsi Bahasa ... 22

2.3.3 Fungsi Interpersonal ... 24

2.4 Hubungan Bahasa dengan Semiotik ... 25

2.5 Tradisi Lisan ... 29

2.6 Kearifan Lokal ... 31

2.7 Penelitian Terdahulu yang relavan ... 33

2.8 Kerangka Teori ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Metode Pendekatan Penelitian Kualitatif ... 38

3.2 lokasi dan waktu penelitian... 40

3.3 Sumber Data dan Data Penelitian ... 42

3.3.1 Sumber Data ... 42

3.3.2 Data Penelitian ... 43


(8)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1 Realisasi Makna Interpersonal ... 48

4.2 Makna Pengodean ke dalam Teks Makkobar ... 72

4.2.1 Konteks Situasi Martahi Karejo MA ... 72

4.2.1.1 Medan Wacana ... 73

4.2.1.2 Pelibat Wacana ... 74

4.2.1.3 Sarana Wacana ... 74

4.2.2 Konteks Situasi Martahi Karejo Teks Hobar ... 76

4.3 Makna Martahi Karejo ... 92

4.3.1 Makna Perangkat Adat Martahi ... 92

4.3.2 Kearifan Lokal Martahi karejo ... 96

4.3.2.1 Nilai Kearifan Gotong Royong ... 97

4.3.2.2 Nilai Kearifan Musyawarah ... 98

4.3.2.3 Nilai Kearifan Kehormatan ... 101

4.3.2.4 Nilai Kearifan Kekerabatan ... 103

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 104

5.1 Simpulan ... 104

5.2 Saran ... 107


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambar bagan Hubungan antara Tanda Bahasa,

Petanda, dan Penanda ... 27

Gambar 2.2 Skema tradisi martahi karejo dalam semiotik social ... 37

Gambar 3.1 Peta Kota Padangsidimpuan ... 41


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Protoaksi dalam Bahasa diadaptasi dari Eggins 2004:146 ... 25 Tabel 5.1 Konteks situasi dari acara adat martahi karejo


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 BIODATA INFORMAN ... 1

Lampiran 2 DATA TEKS ... 2

Lampiran 3 ANLISIS DATA ... 12


(12)

TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang digunakan pada acara martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini mengungkapkan tiga permasalahan yang dianalisis secara ilmiah, pertama, realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola, kedua pengkodean makna dalam teks makkobar, dan ketiga makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola, pengodean makna ke dalam teks makkobar, dan menjelaskan makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini menggunakan teori semiotik sosial dengan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa teks hobar dalam bentuk transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari sumber informan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola meliputi subjek, predikator, dan keterangan yang terdapat pada teks makkobar. Pengkodean makna dalam teks makkobar meliputi konteks situasi yang terdapat dalam teks makkobar

yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola terdapat pada nilai-nilai kearifan lokal yang terkadung dalam teks makkobar yaitu nilai kearifan gotong-royong, nilai kearifan dalam bermusyawarah, nilai kearifan kehormatan, dan nilai kearifan kekerabatan.


(13)

ORAL TRADITION MARTAHI KAREJO OF ANGKOLA SOCIETY: SEMIOTIC SOCIAL STUDY

ABSTRACT

This research focuses the oral tradition used to show martahi karejo of Angkola society. This study discussed three problems analyzed, first, the realization of interpersonal meaning in Angkola language, second encoding the meaning in text makkobar, and the third to contained meaning in the traditions of the martahi karejo of Angkola society. The purpose of this study is to described how interpersonal meaning is realized in Angkola language, encoding meaning in makkobar text, and explained the meaning contained in the traditions of the martahi karejo of Angkola society. This study used a social semiotic theory with qualitative descriptive approach. The data in this research is transcripts text makkobar from a data source of video recordings and interview data from informant. The findings in this research indicated that the realization of interpersonal meaning in Angkola language that are subjects, predikators, and the adjuncts which contained in the makkobar text. Makkobar text encoding the meaning in the context of the situation included the makkobar text contained of field of discourse, tenor of discourse, and mode of discourse. Meaning contained in oral traditions martahi karejo of Angkola society contained in the values of local wisdom within the makkobar text that are moral values of mutual assistance, the value of wisdom in deliberation, moral values of honor, and the moral values of kinship.

Keywords: martahi karejo, semiotics social, the realization of interpersonal, values


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Masyarakat Angkola sampai saat ini masih menjalankan upacara adat untuk berbagai keperluan. Upacara adat adalah suatu hal yang penting bagi masyarakat Angkola. Pada masyarakat Angkola sering terdengar ungkapan-ungkapan yang mengatakan adat adalah adik dari ibadah ”Anggi ni ibadat do adat” agar dilaksanakan ibadah dan adatnya “aso dilaksanaon ima ibadat dohot adatna”, dimana kedua ungkapan tersebut merupakan gambaran kedekatan adat dengan sebagian besar masyarakat Angkola.

Adat istiadat adalah bagian dari kebudayaan yang ada dalam suatu negeri yang mengikuti pasang naik dan pasang surut situasi masyarakat. Menurut Linton dalam (Soekanto, 2006: 22) adat istiadat masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, dimana mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa adat merupakan kebiasaan dari satu masyarakat dalam mengatur dan memberi buah pikirannya untuk menghasilkan karya dan dijadikan sebagai sarana pendukung pada masyarakat itu sendiri.

Siregar (2012:4) mengatakan acara adat istiadat dalam etnis Angkola terdiri atas duka cita “siluluton” dan suka cita “siriaon”. Upacara perkawinan adalah horja (pesta) adat suka cita. Prosesi upacara perkawinan Angkola dimulai dari musyawarah adat makkobar/makkatai, yakni berbicara dalam tutur sapa yang


(15)

sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam dalian na tolu,

harajaon, dan hatobangon. Begitu juga halnya dalam adat martahi yang dilaksanakan dalam masyarakat Angkola, unsur-unsur tersebut juga ikut melaksanakan dan memberikan hobar dalam adat martahi.

Martahi dalam adat Angkola terdiri dari beberapa jenis yaitu tahi ungut-ungut, tahi sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi godang Haruaya mardomu bulung (maralok-alok) dan martahi karejo.Tahi ungut-ungut, tahi sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi godang Haruaya mardomu bulung (maralok-alok)

merupakan bentuk martahi yang diadakan di horja haroan boru (pengantin laki-laki), sedangkan martahi karejo adalah bentuk martahi yang dilaksanakan di

horja pabuat boru (pengantin perempuan) (Siregar ,1977:4). Martahi karejo

adalah musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat (Nasution,2012:1).

Penelitian ini membahas tentang Martahi karejo yaitu berupa musyawarah yang diadakan di lingkungan masyarakat Angkola. Dalam musyawarah ini dihadiri koum sisolkot (kerabat dekat), hatobangon (yang dituakan), harajaron

(raja) dan orang kaya (juru bicara). Musyawarah ini bertujuan untuk menyerahkan pelaksanaan kerja pesta kepada anak boru, ina-ina (ibu-ibu), ama-ama (bapak-bapak)dan naposo nauli bulung (muda-mudi)(Siregar,1977:4).

Nasution (2012:1) menyatakan dalam Martahi Sahuta itulah suhut

menjelaskan bahwa ia bermaksud melaksanakan horja godang (pesta besar) dan mengharapkan bantuan dari semua pihak agar horja dapat kiranya berlangsug dengan baik. Dalam mufakat inilah terperinci siapa yang ikut rombongan


(16)

mangalap boru, siapa yang menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap urusan konsumsi, kesenian, undangan, dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja.

Saat ini banyak anggota masyarakat Angkola sangat jarang mengetahui apa makna dari martahi karejo terutama untuk remaja, sebagian masyarakat hanya ikut melaksanakan tanpa mengetahui apa makna yang terkadung di dalamnya, begitu juga dengan perangkat adat yang digunakan dalam melaksanakan upacara adat tersebut. Masyarakat Angkola yang menjalankan adat hanya ingin mengetahui hasil dari musyawarah tersebut tanpa mengetahui apa makna dan nilai yang ada dalam tradisi martahi. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi martahi ini semakin lama akan semakin dilupakan.

Martahi karejo merupakan salah satu tradisi lisan dalam masyarakat Angkola yang digunakan pada upacara perkawinan. Menurut Roger Tol dan Prudentia dalam Hoed (2008:184) tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.

Tradisi lisan menghubungkan generasi masalalu, sekarang, dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran, perkataan dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu. Tradisi lisan yang terdapat dalam lingkungan masyarakat Angkola mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), karena sebagai alat yang penting dalam menyampaikan sistem nilai, pengetahuan tradisional (lokal knowlodge), hukum, pengobatan, sistem kepercayaan, dan agamaDjuweng dalam Amri (2011).


(17)

Kearifan lokal tidak terlepas dari adat istiadat serta kebudayaan yang terbentuk dari hasil kesepakatan masyarakat yang dimulai dari kebiasaan yang diproduksi secara sadar maupun tanpa sadar dari kehidupan keseharian, hasil dari kesepakatan menjalankan kearifan lokal melahirkan produk aturan dan peraturan adat istiadat dan hukum adat, yang terakumulasi pada tatanan adat. Kearifan lokal yang terbentuk memiliki keragaman tersendiri yang faktor utamanya terletak pada kultur bahasa, suku sebagai identitas yang membedakan setiap komunitas adat.

Menurut Sibarani (2012:112) kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan pada nilai budaya, maka dapat juga di definisi dengan cara lain yakni kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Pemahaman kearifan lokal yang terkait dengan kebudayaan memiliki arti penting untuk menjaga keberlanjutan sebuah kebudayaan dalam masyarakat, sekaligus menjaga kelestariannya. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa seiring berkembangnya zaman modernisasi yang sering disebut sebagai era globalisasi. Pada kenyataannya, globalisasi itu dapat menggeser nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang disebabkan oleh nilai budaya asing yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, begitu juga dalam masyarakat Angkola.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal itu, sebagai sebuah konsepsi eksplisit dan implisit yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau


(18)

masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat sangat mempengaruhi kebudayaan kinerja dalam sebuah lingkungan masyarakat, karena mengandung nilai gotong-royong yang saling membantu antara kerabat dekat maupun lingkungan sekitar. Kearifan lokal juga mempunyai sebuah pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan dalam melaksanakan suatu kebudayaan.

Kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Angkola sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya karena adanya kearifan lokal tersebut sudah menjadi suatu tradisi. Kearifan lokal yang ada dalam tradisi tersebut yakni, seperti gotong royong yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Angkola terutama pada adat martahi karejo.

Sistem gotong-royong dalam masyarakat ini sangat bermanfaat bagi yang melaksanakan adat tradisi martahi karena keluarga yang akan melaksanakan adat tersebut akan menyerahkan sebuah pekerjaan kepada kerabat dekat dan masyarakat yang ada di lingkungan sekitar. Dari sistem gotong-royong ini akan bisa mempermudah untuk melaksanakan tradisi martahi karejo. Selain sistem gotong royong, masyarakat yang melaksakan tradisi martahi ini juga harus disiplin dalam melakukan apa yang telah diamanatkan kepada mereka, dalam hal ini juga sangat menjunjung kerja keras agar pekerjaan yang telah dititipkan kepada masyarakat benar-benar terlaksanakan.

Pada penelitian ini akan menggunakan kajian teori semiotik sosial yang dikembangkan oleh Halliday (1978) karena tepat untuk mengkaji makna yang terkandung pada hobar dan makna semiotik simbol-simbol adat pada martahi


(19)

karejo, serta menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan martahi

tersebut.

Menurut Halliday (1978:108) bahasa merupakan semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur-unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial adalah merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotik. Konsep umum yang terpenting dalam teori semiotik sosial bahasa menurut Halliday (1978:108) adalah teks, situasi, register, kode, sistem linguistik (meliputi sistem semantik), dan struktur sosial.

Selanjutnya semiotik sosial menurut Halliday (dalam Sinar,2003:21) adalah sistem makna dan simbol yang direalisasikan melalui sistem linguistik, dalam halini sistem linguistik terwujud dengan penggunaan bahasa pada upacara adat berbentuk tradisi lisan. Dengan menggunakan teori semiotik sosial, peneliti mencoba untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat baik dari segi media yang digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks tradisi lisan Martahi Karejo pada upacara perkawinan masyarakat Angkola.

Dari paparan yang telah disebutkan diatas bahwa pelaksanaan tradisi lisan pada upacara adat martahi karejo di Angkola dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Oleh karena itu, peneliti menganggap perlu untuk memaknai tradisi lisan yang terdapat dalam martahi karejo dengan menggunakan kajian semiotik


(20)

sosial sebagai pisau bedah dan makna semiotik pada perangkat adat serta melihat nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya.

1.2 Batasan Masalah

Penelitian ini berfokus pada kajian semiotik sosial untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat pada teks hobar baik dari segi media yang digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks tradisi lisan Martahi Karejo pada upacara perkawinan masyarakat Angkola yang direalisasikan terhadap makna interpersonal.

1.3 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola?

2. Bagaimanakah makna konteks situasi dikodekan ke dalam teks hobar? 3. Apakah makna semiotik yang terkandung dalam tradisi martahi karejo

masyarakat Angkola?

1.4 Tujuan Peneltian

Berkaitan dengan masalah tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan bagaimana makna interpersonal direalisasikan dalam

bahasa Angkola.

2. Mendeskripsikan makna konteks situasi yang dikodekan dalam teks


(21)

3. Menjelaskan makna semiotik yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola.

1.5 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian dapat memberikan manfaat yang positif secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini memberikan manfaat terhadap perkembangan kajian ilmu linguistik dan semiotik. Secara praktis, penelitian memberikan manfaat kepada berbagai kalangan yaitu pembaca, dan para peneliti mengenai kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Angkola.

1.5.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini membantu kita untuk lebih memahami tentang kebudayaan Angkola dan juga dapat menjadi masukan bagi perkembangan ilmu linguistik khususnya kajian tradisi lisan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu kita untuk lebih memahami makna-makna perlengkapan adat yang dipakai dalam adat Martahi dalam masyarakat Angkola dan menjadi bahan pertimbangan serta referensi bagi penelitian selanjutnya.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini memberikan pengetahuan umum kepada kita tentang kebudayaan masyarakat Angkola, khususnya tentang martahi karejo. Selanjutnya, penelitian ini menjadi informasi kepada masyarakat bahwa daerah Angkola memiliki kebudayaan khususnya martahi karejo.

1.6Klarifikasi Istilah

Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk memperjelas dan memudahkan para pembaca dalam memahami maksud istilah


(22)

tersebut. Berikut ini beberapa istilah beserta penjelasan yang digunakan dalam pembahasan penelitian ini:

(1) Anak boru, adalah kelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil istri dari kelompok suhut. (Nasution, 2012:15)

(2) Dalihan Na Tolu sebagai lembaga masyarkat adat mandailing yang terdiri dari suhut, serta kahangginya, mora dan anakboru, merupakan lembaga yang di dalam melaksanakan tugasnya saling menghargai, saling menghormati, saling menerima dan saling memberi. (Nasution, 2012:24).

(3) Harajaon adalah raja setempat di suatu kampung.

(4) Hatobangon adalah para tetua yang ada di suatu kampong yang mewakili beberapa marga.

(5) Hobar adalah berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam dalian na tolu. Mini Kamus Bahasa

Batak Angkola-Mandailing

(6) Hombar suhut adalah kahanggi (keluarga semarga dengan suhut)

(Nasution, 2012:14)

(7) Kahanggi, yaitu golongan yang merupakan teman semarga atau teman serumpun menurut golongan marga. (Nasution, 2012:8)

(8) Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012:112).


(23)

(9) Martahi karejo adalah musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat (Nasution, 2012:1).

(10) Mora, yaitu pihak keluarga yang memberi boru (perempuan). (Nasution, 2012:9)

(11) Orang kaya adalah moderator atau juru bicara dalam acara adat.

(12) Raja Panusunan Bulung adalah orang yang menjadi pemimpin, serta yang berkuasa menurut adat di suatu kampung. (Siregar, 1996:2)

(13) Semiotik atau Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan produksi makna (Saragih, 2011:12).

(14) Semiotika sosial adalah bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial Halliday (1978).

(15) Suhut, adalah orang yang mengadakan pesta atau hajatan. (Nasution, 2012:14).

(16) Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni (Pudentia, 2008:184).


(24)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA TEORI 2.1 Konsep tradisi martahi karejo

Pada bab ini dideskripsikan hasil penelitian tentang martahi pada upacara adat masyarakat Angkola dan menjelaskan bentuk-bentuk martahi yang dilaksanakan sebelum acara pernikahan. Serta menjelaskan hubungan konteks budaya dan konteks situasi pada acara martahi karejo.

Beberapa proses upacara martahi karejo pada masyarakat Angkola yakni (1) tahi ungut-ungut atau tahi ulu ni tot, (2) tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat, (3) tahi sabagas atau tahi dalihan na tolu, (4) tahi sahuta pasahat karejo, (5) tahi godang dan (6) tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung.

2.1.1 Jenis-jenis Martahi

1. Tahi ungut-ungut atau tahi ulu ni tot

Tahi ini disebut sebagai martahi ungut-ungut, pada tahap ini biasanya terjadi musyawarah antara suami istri yang dilakukan di dapur pada saat istri sedang memasak dan suami sedang minum kopi duduk disebelahnya, kemudian istrinya menceritakan tentang anak perempuan mereka. Tahi ini dilaksanakan antara suami dan istri di dalam rumah, mereka ingin menyampaikan kepada

kahanggi dan anakboru bahwasanya anak perempuan mereka telah dilamar, oleh karena itu suami istri tersebut ingin meminta pendapat kepada kahanggi dan


(25)

2. Tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat

Pada tahap berikutnya Tahi dilakukan di sebuah gubuk pada waktu menjelang siang hari yang di hadiri oleh orangtua, kahanggi, dan anakboru untuk menceritakan bahwasanya anak mereka ingin menikah. Orangtua si anak menceritakan bahwa anaknya ingin menikah dan meminta pendapat kepada

kahanggi, anakboru dan kerabat yang lain apakah mereka kenal dengan calon menantu tersebut, dan kesimpulannya adalah anakboru pergi untuk menyelidiki keluarga calon menantu, melihat bagaimana keadaan rumah, keadaan saudara dan kaum kerabatnya dan disini juga anakboru disuruh untuk bertanya kepada keluarga calon menantu tersebut. Dalam hal ini anakboru akan menyampaikan bahwa kedua anak ini sudah menjalin hubungan yang baik dan memiliki niat yang baik untuk menikah. Disini anakboru akan menceritakan keadaan keluarga mereka agar calon mertua atau pihak laki-laki ini mengetahuinya juga. Setelah anakboru mendapat kesimpulan dari pihak keluarga tersebut maka anakboru ini pulang dan menyampaikan kepada keluarganya bahwasanya pihak dari keluarga laki-laki telah menerimanya.

3. Tahi sabagas atau tahi dalihan natolu

Tahi ini dilaksanakan oleh mora, kahanggi, dan anakboru dari pihak perempuan, tahi ini dilaksanakan dirumah anak dari perempuan bahwasanya ingin menceritakan kepada mora, kahanggi dan anakboru bahwa telah diselidiki keadaan keluarga dari pihak laki-laki. Orangtua ini akan meminta pendapat kepada moranya bagaimana selanjutnya dari keinginan dari anak tersebut, disamping itu orangtua perempuan ini akan menceritakan keadaan keluarganya


(26)

bahwa pada saat itu keadaan keluarga masih belum cukup untuk membiayai pesta anak tersebut, kemudian dari salah satu pihak antara mora, kahanggi dan

anakboru akan menawarkan apa yang bisa dia kasih untuk acara tersebut misalnya seperti kambing atau kerbau. Dalam hal ini semua anggota keluarga akan bermusyawarah untuk menngadakan suatu adat yaitu marpege-pege yaitu musyawarah anatara keluarga dan tetangga yang diadakan pada malam hari untuk membantu keluarga yang ingin mengadakan pesta, disini akan dikumpul biaya dari keluarga, kaum kerabat dan tetangga yang ada di kampung tersebut.

4. Tahi sahuta pasahat karejo

Tahi ini dihadiri oleh hatobangan dan harajaon, dan dalihan natolu, di dalam tahi ini disediakanlah sirih untuk dipersembahkan kepada harajaon agar bisa terlaksanakan tahi ini, dan pada tahi sahuta pasahat karejo ini disediakan makanan karena kaum kerabat akan berkumpul drumah pihak yang ingin melaksanakan pesta ini. Dalam hal ini makanan yang disediakan oleh keluarga tersbut adalah pulut dan inti, dan tahi ini dilaksanakan sehabis sholat isya, disini bertanyalah anakboru kepada orang kaya bagaimana pelaksanaan acara yang akan diadakan dilaksanakan nanti, dan harajaon pun akan menjawab setelah kita selesai makan pulut dan inti baru kita bicarakan nanti, setelah selesai makan maka anakboru akan bertanya lagi bagaimana untuk kelanjutannya. Maka raja akan menjawab karena kita ingin martahi ini disini maka dalam hal ini harus sidorkon terlebih dahulu sirih untuk melaksanakan tahi tersebut. Salah satu pihak keluarga akan mengambil perangkat adat ini yang di dalamnya termasuk sirih dan menyodorkannya kepada harajaon dan mora dan kemudian akan disodorkan juga


(27)

kepada semua yang hadir dirumah itu. Kemudian suhut atau keluarga yang ingin mengadakan pesta ini akan menyampaikan keluh kesahnya kepada harajaon dan suhut ini akan menyampaikan akan melaksanakan pesta. Dalam hal inilah musyawarah untuk menitipkan pekerjaan kepada para keluarga, dan tetangga yang ada dikampung itu.

5. Tahi godang

Dalam hal ini hadirlah koum sisolkot, hatobangan,harajaon, orang kaya luat dan raja panusunan bulung, dalam tahi ini juga dilaksanakan dengan menggunakan burangir atau sirih dan dalam tahi ini disediakan makanan untuk memotong kambing karena akan melaksanakan tahi godang. Setujulah semuanya agar dilaksanakan pesta ini termasuk harajaon dan kaum kerabat kemudian akan menentukan waktu dan siapa saja yang akan di undang yang dikatakan oleh raja panusunan bulung, kemudian raja panusunan bulung akan menyampaikan bahwa alat untuk mengundang ini adalah haronduk panyurduan dibalut dengan abit godang, disini akan disuruh muda-mudi membawa burangir panyurduon atau yang disebut juga dengan burangir pudun-pudun untuk menjemput raja-raja agar datang melaksanakan kerja yang sudah di musyawarahkan.

6. Tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung

Setelah selesai dilaksanakan kerja tersebut datanglah semua para raja ke pesta ini, dalam hal ini semua sudah dipersiapkan yakni sudah menaikkan

gondang, disini hanya melaksanakan pesta di kedatangan raja-raja, tahi ini disebut

tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung karena di tahi ini semua raja-raja hadir dari semua kampung.


(28)

2.2 Semiotik

Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia ( Hoed,2008:3). Secara singkat semiotik dapat dikatakan sebagai ilmu tentang tanda. Dalam kajian sastra semiotik diartikan sebagai model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun. Sastra sebagai alat komunikasi tentu mempunyai ciri tersendiri sebagai tanda yang dapat mengkomunikasikan makna di dalamnya. Komunikasi dan ekspresi dalam sastra merupakan unsur yang tidak mungkin dihilangkan. Tindak komunikasi dalam sastra dilambangkan dengan tanda bahasa.

Semiotik menurut De Saussure berbeda denganPeirce, De Saussure bertolak dari linguistik. De Saussure menyebut istilah ini dengan semiologi. Persoalan utama dalam semiotik bagi De Saussure adalah masalah bahasa. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Pengkajian terhadap bahasa akan membantu seseorang untuk memahami struktur semua tanda.

Menurut De Saussure (1859), semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang petanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan nilai-nilai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Ferdinand de Saussure menekankan keistimewaan tanda bahasa, hubungan antara penanda dan petanda adalah bukanlah kesamaan, melainkan kesepadanan. Dengan demikian penanda dan petanda bukanlah urutan sekuensial, melainkan korelasi yang mempersatukan


(29)

keduanya. Bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang memiliki dua unsur yang tak terpisahkan, yakni penanda dan petanda (sigfinier dan signified) yang hubungannya bersifat arbitrer.

Menurut De Saussure, seperti dikutip Pradopo (2005:54), tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada system, artinya sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Semiotik menurutPeirce berasal dari logika. Ia mengemukakan dengan bertolak dari filsafat dan memandang semiotik sama dengan logika sebagai ilmu atau telaah tentang cara-cara bernalar. Pendekatan semiotika Pierce yang menekankan pada jenis-jenis tanda utama yaitu ikon, indeks, simbol dapat diterapkan pula untuk mengamati gejala-gejala yang nampak dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tanda-tanda yang dipalsukan. Pierce membagi ke dalam tiga jenis, yakni, ikon, indeks, dan symbol, Ikon merupakan tanda yang menyatakan bahwa hubungan antara penanda dan petanda adalah hubungan

persama-an/kedekatan. Indeks hubungan berupa kedekatan eksistensi, simbol merupakan

hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi.


(30)

Menurut Halliday (1978:108) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa tersebut meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada diluar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk juga merupakan semiotik.

Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotik sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1978). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.

Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial. Dalam proses sosial itu, menurut Halliday, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis tempat realitas itu dikodekan. Selanjutnya, Halliday (1978:1) merumuskan bahwa language is a shared meaning potential, at once both a part of experience


(31)

and an intersubjective interpretation of experience . Dalam komunikasi, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu, masing-masing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian, makna akan selalu bersifat ganda.

Bahasa sebagai semiotik sosial memiliki ciri khusus yang berbeda dengan semiotik umum. Bahasa terbentuk di dalam masyarakat sebagai hasil interaksi manusia dengan alam semesta. Dengan situasi dan kondisi ini, bahasa tidak langsung berhubungan dengan alam. Dengan kata lain, tidak ada hubungan langsung antara aspek bahasa, seperti kosakata, teks, atau tata bahasa bahasa manusia dengan alam semesta (Saragih, 2012: 35).

Formulasi bahasa sebagai semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam terminologis semiotis sebagai sebuah sistem informasi . Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana , yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana. Konteks tuturan itu sebuah konstruk semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang memungkinkan partisipan memprediksikan fitur-fitur register yang berlaku untuk memahami orang lain. Melalui tindakan pemaknaan (act of meaning) sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan yang dibagi. Kajian bahasa sebagai semiotik sosial dalam pandangan Halliday ( 1978:108-113) mencakup sub-subkajian: (1) teks, (2) trilogi konteks situasi (medan wacana,


(32)

pelibat wacana, dan modus wacana), (3) register, (4) kode, (5) sistem lingual, yang mencakup komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual, serta (6) struktur sosial.

Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1992:13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa,apa saja yang dikatakan atau ditulis, dalam konteks yang operasional (operational context) yang dibedakan dari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan , dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata.

2.3.1 Konteks Situasi

Konteks situasi adalah lingkungan sosial di mana wacana itu berada. Konteks situasi merupakan kerangka sosial yang digunakan untuk membuat dan memahami wacana dengan tepat, dalam pengertian sesuai dengan konteksnya (Eggins, 1994:45-50). Sebagai kerangka untuk membuat wacana, konteks situasi itu merupakan faktor eksternal yang secara tidak langsung terlibat dalam isi wacana itu sendiri. Dengan kata lain, konteks situasi juga menjadi bagian dari isi wacana tersebut meskipun tidak dapat dilihat secara konkret.

Sementara Sinar (2010:24) mengatakan dalam kontek situasi terdapat tiga variable sebagai penentu faktor siatuasi yakni; 1) Medan, 2) sarana dan 3) pelibat.

Medan yakni membicarakan kegiatan berinteraksi yang mempunyai dua dimensi yakni apa yang dibicarakan dan untuk apa dibicarakan, pelibat merujuk kepada


(33)

siapa yang dibicarakan atau siapa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, dan

sarana adalah bagaimana pembicaraan itu dilakukan.

Realisasi keterlibatan konteks situasi dalam wacana adalah dalam bentuk pemunculan pola-pola realisasi di tingkat bahasa. Situasi merupakan lingkungan tempat teks. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Sesuatu pemerian yang lengkap perlu diberikan pemerian tentang latar belakang budayanya secara keseluruhan, bukan hanya hal yang sedang terjadi, tetapi juga sejarah budaya secara keseluruhan yang ada di belakang para pemeran dan kegiatan yang terjadi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budayanya. Konteks budaya menentukan apa yang dapat dimaknai melalui (i) wujud ‘siapa penutur itu’, (ii) tindakan ‘apa yang penutur lakukan’, dan (iii) ucapan ‘apa yang penutur ucapkan’. Dalam pandangan Halliday (1978:110) konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan wacana, (ii) pelibat wacana, dan (iii) sarana atau modus wacana.

Medan wacana (field of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan- satuan bahasa itu muncul. Dalam menganalisis medan wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap; ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh “proses”, “partisipan”, dan “keadaan”. Field, bidang, atau isi, apa yang dibicarakan direpresentasikan pada makna pengalaman


(34)

yang direalisasikan dalam klausa yang terdiri dari tiga unsur berupa; proses, partisipan, dan sirkumstan.

Halliday (1985: 12) menyatakan bahwa pelibat merupakan peran struktur yang berkaitan dengan siapa yang berperan, hubungan peran apa yang berlaku di antara partisipan yang secara sosial penting dalam hal ini mereka terlibat di dalamnya. Pelibat wacana (tenor of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat wacana ada tiga hal yang perlu diungkap; peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial. Peran status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen. Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak. Pelibat (tenor) atau siapa, yang direpresentasikan pada makna antarpersona yang menunjukkan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial, dengan kata lain makna antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasi dalam makna pengalaman. Makna antarpersona mempresentasikan modalitas (modality) yang bersama dengan aksi direalisasikan dalam modus (Modus). Dan ‘cara’ (mode), bagaimana pembicaraan itu dilakukan kemudian direpresentasikan dalam makna tekstual yang berupa tema (theme) dan rema (rheme).


(35)

Menurut Martin (1992:508) sarana berkaitan dengan peran bahasa dalam memerankan dan merealisasikan kegiatan sosial. Dalam register, sarana merupakan proyeksi makna tekstual dan oleh karenanya direalisasikan terutama sekali melalui metafungsi tekstual dalam bahasa. Sarana atau modus wacana (mode of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untuk menganalisis modus paling tidak ada lima hal yang diungkap; peran bahasa, tipe interaksi, medium, saluran dan modus retoris. Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas; bisa saja bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku: monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan: lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada “perasaan” teks secara keseluruhan: persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.

2.3.2 Metafungsi Bahasa

Makna metafungsional adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual


(36)

mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks. Dalam setiap interaksi menurut Halliday dan Martin (1992:30) bahwa antara pemakai bahasa, penutur menggunakan bahasa untuk memapar, mempertukarkan dan merangkai atau mengorganisasikan pengalaman. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia menurut Eggins (1994:3) sekaligus disebut berfungsi tiga dalam komunikasi yaitu memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman yang secara teknis masing-masing disebut ideasional, antarpersona, dan tekstual.

Dengan ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia, bahasa sekaligus disebut berfungsi tiga dalam komunikasi yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual (Halliday, 1994: xiii, Eggins, 1994:3 dalam Saragih, 2006: 3-4). Di samping itu bahasa dilengkapi dengan tiga konteks yaitu konteks situasi, konteks budaya (genre), dan ideologi (Martin, 1992: 494). Fungsi ideasional (ideational function) berkaitan dengan pengalaman.Fungsi ideasional terdiri dari fungsi eksperensial (experential function) dan fungsi logis (logical function). Fungsi eksperensial menggambarkan pengalaman sedangkan fungsi logis menghubungkan pengalaman.

Fungsi interpersonal atau antar persona merupakan fungsi bahasa yang merepresentasikan interaksi antarpelibat. Fungsi tekstual merupakan fungsi bahasa sebagai pembentuk pesan yang menghubungkan fungsi ideasional dan fungsi antarpersona menjadi suatu teks. Fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual disebut juga makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual (Sinar, 2003:20). Hal ini dikatakan demikian karena fungsi


(37)

merujuk kepada makna, karena setiap kata yang berfungsi memiliki makna. Demikian sebaliknya, setiap kata yang bermakna memiliki fungsi.

2.3.3 Fungsi Interpersonal

Fungsi interpersonal merupakan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, fungsi interpersonal merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman (experential meaning). Fungsi interpersonal membentuk hubungan sosial, termasuk penafsiran probabilitas oleh penutur serta relevansi pesan. Fungsi interpersonal ini merepresentasikan potensi makna penutur sebagai pelibat dalam proses interaksi atau sebagai pembicara dan pendengar atau antara penulis dengan pembaca. Pada tingkat interpretasi gramatika fungsi klausa diinterpretasikan bahwa klausa dibentuk dari interaksi dalam suatu kejadian yang melibatkan penutur atau penulis dan pendengar atau pembaca.

Halliday (1985: 68-69) mengilustrasikan ketika dua orang menggunakan bahasa untuk berinteraksi, satu hal yang mereka perbuat adalah melakukan suatu hubungan antara mereka. Dalam hal ini, penutur bahasa atau fungsi wicara menciptakan dua tipe peran atau fungsi wicara yang sangat fundamental atau fungsi memberi atau meminta.

Bahasa sebagai fungsi interpersonal memiliki empat aksi yang disebut sebagai protoaksi karena merupakan aksi awal yang selanjutnya dapat diturunkanaksi lain. Keempat aksi tersebut adalah aksi pernyataan, pertanyaan,


(38)

tersebut menjadi sumber dari semua aksi yang dilakukan pemakai bahasa. Istilah protoaksi tersebut mengacu kepada dan setara dengan konsep speech function

(Halliday, 1994) dan tindak ujar (speech act) yang biasa digunakan dalam tatabahasa formal. Protoaksi dalam bahasa dapat terlihat dalam tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1: Protoaksi dalam Bahasa diadaptasi dari Eggins 2004:146

Peran Komoditas

Informasi Barang dan Jasa

Memberi Pernyataan Tawaran

Meminta Pertanyaan Perintah

Halliday (1994) menunjukkan bahwa setiap kali kita menggunakan bahasa untuk berinteraksi, salah satu hal yang kita lakukan adalah membangun interaksi antara pemakai bahasa, dimana antara pemakai bahasa sekarang dan pemakai bahasa selanjutnya yang mungkin akan berbicara berikutnya. Untuk membangun interaksi ini para pemakai bahasa secara bergantian berbicara. Secara bergiliran para pemakai bahasa mengambil peran yang berbeda.

2.4 Hubungan Semiotik Dengan Bahasa

Bahasa adalah sistem tanda, karena bahasa adalah sistem tanda, maka ilmu bahasa (linguistik), dapat digolongkan sebagai cabang dari semeologi atau semiotika. Pada waktu kita berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis sebenarnya kita sedang memanfaatkan tanda-tanda bahasa itu untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kita kepada orang lain atau berusaha menafsirkan tanda-tanda bahasa yang disampaikan oleh orang lain. Efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengorganisasikan dan memahami tanda-tanda bahasa.


(39)

Tanda bahasa adalah untaian bunyi bahasa yang mewakili objek tertentu. Objek yang diwakili oleh tanda bahasa itu dapat berupa benda, kegiatan, sifat, atau konsep. Tanda bahasa itu dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat, bahkan teks. Dalam bahasa tulis, tanda bahasa yang berupa bunyi bahasa itu dilambangkan dengan grafem atau huruf, serta tanda baca.

Menurut Saussure (1959), tanda itu mencakup dua unsur, yaitu penanda yang menandai (signified) dan petanda yang ditandai (signifier). Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa petanda itu berupa untaian bunyi bahasa, misalnya kata, frasa, klausa, dan kalimat dan sesuatu yang diacu itu merupakan petanda. Dalam hal ini, petanda itu dapat dianggap sebagai makna dari suatu tanda. Contoh, jika ada tanda, misalnya pensil, untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan penanda dan benda yang berupa ‘alat tulis yang lazim digunakan untuk menulis di papan tulis’ yang terbuat dari kayu dan arang merupakan petanda. Petanda itu sekaligus merupakan makna dari tanda itu. Jadi, pensil bermakna ‘alat tulis yang lazim digunakan untuk menulis di kertas yang dibuat dari kayu dan arang’. Sesuatu yang ditandai diistilahkan dengan petanda. Sebaliknya, sesuatu yang menandai diistilahkan dengan penanda. Penanda itu berupa bunyi bahasa sedangkan petanda berupa benda, kegiatan, atau keaadaan. Konsep tanda bahasa Saussure itu dapat dilihat pada bagan di bawah ini.


(40)

Gagasan (thought or reference)

Simbol (symbol) acuan (refered)

Gambar 2.1 bagan Hubungan antara Tanda Bahasa, Petanda, dan Penanda Menurut Konsep Ogden dan Richad

Penanda itu dapat berupa bunyi bahasa yang berupa kata, frasa, kata, kalimat, atau teks. Petanda adalah sesuatu yang diacu oleh suatu penanda yang berupa leksem, kata, frasa, kalimat, atau teks. Dengan kata lain, petanda atau acuan merupakan makna dari tanda bahasa. Jadi tanda bahasa selalu berwujud bentuk tanda dan maknanya. Saussure melihat tanda hanya dari dua sisi, yaitu sisi penanda (bunyi bahasa) dan sisi petanda (sesuatu yang ditandainya).

Menurut Ogden dan Richad (1923), tanda bahasa itu terdiri atas tiga unsur, yaitu simbol (symbol), gagasan (thought or reference), dan acuan

(referent). Simbol mewakili gagasan, dan gagasan mengacu ke suatu acuan (objek tertentu). Contoh, jika ada leksem pensil, untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan simbol, ‘alat tulis yang lazim untuk menulis di kertas yang terbuat dari kayu dan arang’ merupakan gagasan, dan wujud objek yang sebenarnya adalah acuan. Menurut Ogden dan Richard, gagasan itulah yang merupakan makna dari tanda bahasa. Hubungan antara tanda dengan acuan bersifat arbitrer atau mana


(41)

suka. Hubungan antara tanda bahasa dengan objek yang ditandai ada yang bersifat sistematis (ikonis) dan ada yang bersifat arbitrer. Leksem-leksem yang berupa anomatope menunjukkan ada hubungan yang sistematis anatara tanda bahasa dengan objek yang ditandainya. Leksem-leksem yang tidak berupa anomatope menunjukkan tidak adanya hubungan yang sistematis antara tanda dengan objek yang ditandainya.

Menurut Pierce, berdasarkan hubungan antara tanda dan objek yang ditandainya, tanda dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Indeks adalah tanda bahasa yang menunjukkan hubungan kemiripan antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, foto dan leksem anomatope merupakan tanda yang tergolong ikon. Indeks adalah tanda yang menunjukkan ada hubungan kausalitas antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, asap, mendung, arah anak panah merupakan tanda yang tergolong indeks. Simbol adalah tanda yang antara tanda dan objek yang tidak ada hubungan apa-apa. Tanda itu dibuat semata-mata karena konvensi kelompok orang pemakai tanda itu. Leksem atau kata-kata, atau lambang-lambang tertentu (lambang negara, lambang organisasi) tergolong simbol. Sebagian tanda bahasa tergolong ikon dan sebagian tanda bahasa yang lain tergolong simbol. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol.

Ada tiga unsur yang menghadirkan makna tanda bahasa, (1) komponen makna intern tanda bahasa itu sendiri, (2) proses gramatikal pada tanda bahasa, (2) konteks tuturan dari suatu tanda bahasa. Makna yang terbentuk dari unsur komponen makna tanda bahasa itu sendiri (otonom) digolongkan sebagai makna


(42)

leksikal. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa mengalami proses grmatikal disebut makna gramatikal. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa (tuturan) dihubungkan dengan konteks situasi tuturnya digolongkan sebagai makna pragmatis. Makna leksikal dan makna gramatikal merupakan kajian semantik sedangkan makna pragmatis merupakan kajian pragmatik.

Dalam hal ini teori yang dipakai untuk menganlisis data yang ditemukan yakni teori Saussure yaitu penanda yang menandai (signified) dan petanda yang ditandai (signifier.

2.5 Tradisi Lisan

Tradisi lisan merupakan sebagai sesuatu yang disampaikan dalam masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya. Menurut Hoed (2008:184), tradisi lisan adalah sebagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Lebih lanjut, Hoed menyatakan bahwa tradisi lisan mencakup hal-hal seperti yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (2008:2), bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal, sistem nilai, pegetahuan tradisional, sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi dan berbagai hal seni.

Tradisi lisan berbeda dengan kebudayaan lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari ciri-ciri tradisi lisan. Ciri-ciri yang dimaksudkan adalah (1) penyebaran dan pewarisannya biasa dilakukan dengan lisan, (2) bersifat tradisional, yaitu berbentuk relatif dan standar, (3) bersifat anonim, (4)


(43)

mempunyai varian atau versi yang berbeda, (5) mempunyai pola bentuk, (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu, (7) menjadi milik bersama suatu kolektif, dan (8) bersifat polos dan lugu sehingga sering terasa kasar dan terlalu sopan Danandjaya, (1984:5).

Tradisi lisan ini pada umumnya berkembang pesat di dalam masyarakat yang belum atau sedikit mengenal tulisan, dan belum tentu juga di pedesaan. Masyarakat perkotaan yang pada umumnya mengenal tulisan juga mengenal tradisi lisan namun peranan tradisi lisan ini dalam komunitas kota pada umumnya relatif kecil dan kurang signifikan.

Menurut Sibarani (2012:43-46) ada beberapa ciri tradisi lisan, (1) merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan, sebagai lisan, dan bukan lisan, (2) memliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya, (3) dapat diamati dan ditonton, (4) bersifat tradisional, (5) diwariskan secara turun temurun, (6) proses penyampaian “dari mulut ke mulut”, (7) mengandung nilai-nilai dan norma-norma, (8) memiliki versi-versi, (9) milik besama komunitas tertentu, dan (10) berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya. Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan yang penyebarannya melalui mulut ke telinga yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal).

Masyarakat Angkola juga mempunyai sebuah tradisi dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam acara perkawinan.Adat perkawinan tidak terlepas


(44)

dari tradisi lisan yang di dalamnya ada sebuah tradisi seperti martahi karejo. Martahi karejo merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat Angkola yang hampir hilang akibat era globalisasi yang lebih mengutamakan manfaat praktis. Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu kebudayaan yang harus dilestarikan karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya serta menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan.

2.6 Kearifan Lokal

Pengertian dari kearifan lokal bila dilihat dari kamus Inggris-Indonesia, John M. Echols dan Hassan Syadily terdiri dari 2 kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengertian kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal dapat dipahami sebagai suatu kebijaksanaan atau nilai-nilai yang terkandung dalam budaya masyarakat berupa sebuah tradisi. dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama. Menurut Keraf (2002), kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.


(45)

Menurut Sibarani, (2012:13), kearifan lokal itu merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, prilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif.

Sibarani,(2012:114) mengatakan, di dalam kearifan lokal tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berprilaku, dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tata sosial. Pada dasarnya, ada 5 (lima) dimensi kultural tentang kearifan lokal yaitu, (1) pengetahuan lokal, (2) budaya lokal, (3) keterampilan lokal, (4) sumber daya lokal, dan (5) proses sosial lokal.

Kearifan lokal apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah, kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya tersebut menurut Sibarani (2012: 133) adalah (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong-royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, (17) rasa syukur. Semua kearifan lokal tersebut dapat diklsifikasikan pada 2 (dua) jenis kearifan lokal inti (core local wisdoms), yaitu kearifan lokal untuk (1) kemakmuran atau kesejahteraan dan (2) kedamaian atau kebaikan.


(46)

2.7 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian sebelumnya tentang Analisis Semiotika, adalah pada upacara Perkawinan “Ngerje” Kajian Estetika Tradisional Suku Gayo Di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah (Rida Safuan Selian 2007). Upacara adat ini mengkaji makna simbolik dan estetika yang terdapat pada upacara perkawinan

ngerje masyarakat Gayo.Upacara perkawinan ngerje masyarakat Gayo ini merupakan salah satu upacara yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian yang ada dalam kehidupan masyarakat Gayo. Upacara perkawinan ini untuk mengetahui faktor estetika dan ekstra estetis melalui simbol-simbol yang digunakan dalam upacara perkawinan dan melihat proses sosialisasi nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.

Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas juga masih relevan, seputar analisis semiotika, dan mengkaji makna simbolik dan estetika yang terdapat pada upacara perkawinan, hanya saja pada penelitian di atas terjadi pada upacara perkawinan ngerje masyarakat Gayo, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo pada masyarakat Angkola.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2008) tentang Analisis Semiotika dalam upacara ritual jamuan laut Di Jaring Halus mengenai fenomena social berkaitan dengan makna upacara jamuan laut dan unsur-unsur yang terdapat dalam ritual. Upacara jamuan laut ini mempunyai tahap tahap pada ritualnya dan memiliki perangkat adat yang dilaksanakan dalam ritual jamuan laut tersebut. Perangkat adat tersebut dianalisis dan dimaknai secara semiotik.


(47)

Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, seputar analisis semiotika dalam upacara ritual jamuan laut Di Jaring Halus mengenai fenomena sosial berkaitan dengan makna upacara jamuan laut dan unsur-unsur yang terdapat dalam ritual, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo masyarakat Angkola.

Penelitian Analisis Semiotik lainnya adalah Tradisi Bermantra Pagar Diri Di desa Ujung gading Julu Kabupaten padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara oleh Yunita (2011), memaknai mantra pagar diri memiliki fungsi, bentuk dan nilai budaya tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun untuk maksud dan tujuan tertentu. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya sampai sekarang dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Kajian semiotik perlengkapan yang digunakan dalam ritual pagar diri yang menggali nilai kearifan lokal dalam mantra kehidupan sosial masyarakat yang diatur oleh nilai-nilai budaya yang bersumber pada adat dan tradisi yang berlaku pada masyarakat tersebut. Keterikatan warga masyarakat terhadap adat istiadat tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, seputar analisis semiotika dalam kearifan lokal dalam mantra kehidupan sosial masyarakat yang diatur oleh nilai-nilai budaya yang bersumber pada adat dan tradisi yang berlaku pada masyarakat di desa Ujung gading Julu Kabupaten padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo masyarakat Angkola.


(48)

Penelitian Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga dengan Pendekatan Semiotik Sosial oleh Harbi (2013) mendeskripsikan makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga dan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga.

Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, seputar analisis semiotika mendeskripsikan makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan

baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga dan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo masyarakat Angkola dan merealisasikannya ke dalam makna interpersonal.

Dari keseluruhan sudut data hasil pada penelitian terdahulu umumnya membahas tentang upacara adat di Nusantara yang mempunyai makna-makna dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam upacara adat dan perangkat adat yang masih dipakai dalam upacara perkawinan. Hal tersebut memberikan kontribusi yang relevan dengan penelitian ini yaitu, upacara adat martahi karejo

dalam masyarakat Angkola. Penelitian-penelitian di atas memberikan kontribusi dari beberapa hal yaitu pada teori yang digunakan yaitu makna-makna semiotik yang terkandung pada teks lisan, dan bagaimana teks tersebut disampaikan berdasarkan konteks sosial yang meliputi konteks situasi dan konteks budaya.


(49)

Pada penelitian di atas, data penelitian yang digunakan yakni sama-sama memanfaatkan sumber data lisan. Selanjutnya pada tataran metode penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif dan metode tradisi lisan. Metode kualitatif digunakan sebagai metode penelitian untuk memperoleh pemahaman tentang tradisi lisan upacara adat martahi karejo dalam masyarakat Angkola.

2.8 Kerangka Teori

Dibawah ini dapat dilihat gambar struktur bahasa sebagai semiotik sosial yang digunakan dalam menganalisis bahasa sebagai semiotik sosial yang disesuaikan dengan kerangka berpikir peneliti dalam meneliti bahasa sebagai semiotik sosial.


(50)

Gambar 2.2 Skema tradisi martahi karejo dalam semiotik sosial

Kearifan Lokal Konteks Situasi

Medan Pelibat Sarana Makna Interpersonal Konteks Bahasa

Subjek/Predikator/ Keterangan

Analisis makna Tradisi martahi karejo


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan metode ilmiah yang mencakup setiap teknik, metode dan strategi riset yang digunakan para ilmuwan untuk mencari dan sampai kepada atau menemukan kebenaran ilmiah, sejumlah hal itu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik. Pengertian empirik disini menunjukkan pada adanya data, baik kuantitatif maupun kualitatif, data keras ataupun data lunak (Salim dan Syahrum,2007:23).

Pada penelitiancv ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh pengertian dan pemahaman umum tentang kehidupan sosial budaya mayarakat Angkola mengenai tradisi lisan

martahi karejo. Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2009:3) menegaskan, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang yang terlibat dalam penggunaan bahasa dan dalam peristilahannya.

Hajar (1996:33) mengemukakan, pendekatan kualitatif dilakukan dengan mengamati fenomena disekitarnya dan analisis menggunakan logika alamiah. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang didasarkan kepada kontekstualisme memerlukan data kualitatif, dimana semua kejadian tidak dapat dihubungkan dengan konteks semata-mata dengan menghitung sesuatu. Penerapan merupakan


(52)

inti kontekstualisme kebenaran teori dalam pandangan ini, diukur dengan penentuan seberapa jauh interpretasi intuitif bermanfaat menjelaskan kenyataan.

Karakteristik penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (1982:27-30) adalah (1) natural setting (latar belakang) sebagai sumber data langsung, (2) penelitian sebagai instrumen, (3) bersifat deskriptif, (4) lebih mengutamakan proses daripada hasil, dan (5) analisis data secara induktif.

Pada penelitian dengan metode kualitatif, pendekatan yang sering digunakan adalah dengan pendekatan deskriptitf untuk menghasilkan serta menggambarkan data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa, seperti yang telah dijelaskan oleh Bogdan dan Taylor (1975:4), definisi metode kualitatif yaitu : “qualitative methodologies refer to research procedures which produce descriptive data: peoples own written or spoken words and observable behavior”. Pendapat ini menegaskan bahwa metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif tentang orang melalui tulisan atau kata-kata yang diucapkan dan perilaku yang dapat diamati (Salim dan Syahrum,2007:45-46).

Menurut Djajasudarma (2006:11), metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa. Metode deskriptif mampu memberikan penjelasan secara sistematis, aktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti dan pada akhirnya menghasilkan gambaran data yang ilmiah.


(53)

Dengan demikian dalam metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, peneliti mampu memberi gambaran yang jelas tentang tradisi lisan

martahi karejo pada upacara adat masyarakat Angkola. Metode ini pada akhirnya akan menggambarkan dengan jelas tentang objek yang diteliti secara alamiah dan menjelaskan realita yang sebenarnya serta makna yang terkandung didalam tradisi lisan martahi karejo tersebut.

3.2 Lokasi dan waktu Penelitian

Mahsun (2011:72) menjelaskan penelitian yang dilakukan harus mencakup bahan atau materi penelitian, alat, jalan penelitian, variable dan data yang hendak disediakan dan analisis data. Bahan atau materi penelitian dapat berupa uraian tentang populasi dan sampel penelitian, serta informan, sampel penelitian dapat berupa lokasi atau daerah pemakaian bahasa tertentu. Menentukan lokasi merupakan salah satu tahapan penting dalam penelitian dan biasanya melibatkan para tokoh adat dan pamong karena banyak menyita waktu. Berdasarkan uraian tersebut, maka lokasi penelitian ini telah ditentukan di Kota Padangsidimpuan.

Pemerintah Kota Padangsidimpuan pada saat ini dibagi menjadi 6 (enam) wilayah kecamatan masing-masing: 1) Kecamatan Padangsidimpuan Utara; 2) Kecamatan Padangsidimpuan Selatan; 3) Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara; 4) Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua; 5) Kecamatan Padangsidimpaun Hutaimbaru; 6) Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu. Peneliti mengambil daerah ini sebagai lokasi penelitian dikarenakan masyarakatnya masih sangat kental dalam melaksanakan martahi karejo pada upacara perkawinan.


(54)

Beberapa daerah kecamatan yang telah disebutkan di atas memiliki masyarakat yang masih tetap menggunakan bahasa Angkola, kesenian Angkola, makanan Angkola, dan adat perkawinan Angkola yang khas dalam kehidupan bermasyarakat. Di bawah ini peta Kota Padangsidimpuan yang menjadi daerah penelitian.

Gambar 3.1 Peta Kota Padangsidimpuan

Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2014 sampai dengan Mei 2014. Pada waktu penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data dan sumber data yang diperlukan dengan menghadiri upacara adat perkawinan masyarakat yang masih melakukan tradisi martahi karejo dan mengumpulkan tokoh-tokoh adat serta perangkat adat yang dianggap penting pada penelitian ini.


(55)

3.3 Sumber Data dan Data Penelitian 3.3.1 Sumber Data

Sumber data yang dipakai pada penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder, data primer yaitu data utama sedangkan data sekunder disebut dengan data kedua. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung ketika upacara adat martahi karejo dilakukan. Data primer juga diperoleh dari beberapa sumber informan kunci yaitu pelaku adat dan raja-raja yang memahami adat istiadat tersebut. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh John dan Lyn Lofland dalam Moleong (2009: 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data yang digunakan dalam penelitian kualitatif terdapat enam jenis meliputi; dokumen, rekaman, arsip, wawancara, observasi langsung, observasi pemeran dan perangkat fisik.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks hobar dalam bentuk transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari sumber informan. Moleong (2009:132) menjelaskan, informan penelitian adalah sumber informasi utama yaitu orang yang benar-benar tahu atau pelaku yang terlibat langsung dengan permasalahan penelitian. Dalam hal ini besaran informan tidak menentukan, tetapi yang penting adalah kedalaman informasi yang diperoleh oleh peneliti. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian.


(56)

Pada penelitian ini Bapak St. Tinggi Barani yang lahir di Kota Padangsidimpuan pada tanggal 15 agustus 1932 dan merupakan pensiunan PNS serta sebagai seorang peneliti kebudayaan di Tapanuli Selatan sampai saat sekarang ini, dipercaya dan dipilih menjadi sumber informan kunci pada penelitian ini, dengan melihat dan mempertimbangkan latar belakang beliau yang memang sangat mengetahui secara mendalam tentang segala kebudayaan serta tradisi adat istiadat masyarakat Angkola khususnya yang tinggal di daerah Tapanuli Selatan.

3.3.2. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks hobar dalam bentuk transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari sumber informan. Moleong (2009:132) menjelaskan, informan penelitian adalah sumber informasi utama yaitu orang yang benar-benar tahu atau pelaku yang terlibat langsung dengan permasalahan penelitian. Dalam hal ini besaran informan tidak menentukan, tetapi yang penting adalah kedalaman informasi yang diperoleh oleh peneliti. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif peneliti sekaligus berperan sebagai instrumen penelitian. Berlangsungnya proses pengumpulan data, peneliti benar-benar diharapkan mampu berinteraksi langsung dengan objek (masyarakat) yang dijadikan sasaran penelitian. Dengan arti kata, peneliti menggunakan pendekatan


(57)

alamiah dan peka terhadap gejala-gejala yang dilihat, dirasakan serta dipikirkan (Salim dan Syahrum, 2007:113).

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi instrumen dari berbagai sumber data yang akan menjadi bahasan dalam penelitian ini. Data adalah sesuatu yang diperoleh melalui suatu metode pengumpulan data yang diolah dan dianalisis dengan suatu metode tertentu yang selanjutnya akan menghasilkan sesuatu yang dapat menggambarkan atau mengidentifikasi sesuatu (Haris, 2010:116).

Dalam metode penelitian kualitatif, data dikumpulkan dengan beberapa teknik data sebagai berikut:

1. Observasi atau pengamatan

Pada penelitian ini, peneliti akan langsung melakukan observasi pada saat berlangsungnya tradisi martahi karejo pada upacara perkawinan adat masyarakat Angkola. Peneliti tidak langsung terlibat dalam tradisi martahi karejo tersebut, karena peneliti hanya melakukan pengamatan langsung dengan melihat, mendengar, memperhatikan, serta menyimak segala sesuatu yang berkaitan dengan sunber data serta data yang akan dikumpulkan untuk keperluan penelitian. Dari hasil observasi akan dilakukan pencatatan secara sistematis tenatang subjek yang diteliti.

Seperti telah dijelaskan oleh Williams yang diterjemahkan oleh, Bogdan dan Biklen (1982) disimpulkan bahwa salah satu observasi berperan serta yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah peran serta pasif. Adapun observasi peran serta pasif yaitu peneliti hadir dalam suatu situasi, tetapi tiedak


(58)

berperan serta dengan orang-orang dalam. Peranan peran serta hanya menyaksikan berbagai peristiwa atau melakukan tindakan secara pasif. Observasi data atau informasi yang diperlukan melalui pengamatan langsung pada tempat penelitian baik secara terbuka maupun terselubung. Di samping itu juga menurut Bogdan dan Taylor (1985:134) dari pengamatan dibuat catatan lapangan yang harus disusun setelah observasi maupun mengadakan hubungan dengan subjek yang diteliti (Salim dan Syahrum, 2007:118-119).

2. Wawancara

Selain menggunakan teknik observasi berperan serta dalam penelitian kualitatif, teknik wawancara dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Wawancara merupakan sebuah percakapan anatar dua orang atau lebih di mana pertanyaan diajukan oleh seseorang yang berperan sebagai pewawancara (Salim dan Syahrum, 2007:120). Moleong (2009:186) menegaskan wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan pewawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan oleh peneliti dengan cara bertanya langsung kepada informan kunci dalam hal ini adalah tokoh adat dan sekaligus melakukan pencatatan data mengenai tradisi martahi karejo pada upacara adat perkawinan masyarakat Angkola.

3. Dokumentasi

Dalam pengumpulan data penelitian ini, peneliti menggunakan kamera untuk memotret dan handicamp untuk merekam semua proses berlangsungnya


(59)

tradisi martahi karejo pada upacara adat perkawinan masyarakat Angkola. Hasil pemotretan ataupun rekaman tersebut kemudian akan disimpan dalam bentuk dokumentasi, kemudian hasil rekaman akan ditranskip untuk mendapatkan data teks yang dianalisis untuk kepentingan penelitian ini. Bungin (2011:124), mengatakan metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis.

4. Kepustakaan

Dalam mendukung data penelitian, bahan bacaan dan informasi dari buku, majalah, koran, karya ilmiah, internet, dokumentasi, dan album. Semua data ini membantu dan melengkapi data primer yang diperoleh dari hasil rekaman video dan wawancara. Kepustakaan ini dilakukan untuk mendukung penelaahan dari sejumlah buku yang ada kaitannya dengan penelitian adat martahi karejo pada upacara perkawinan masyarakat Angkola.

3.5 Teknik Analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu mengumpulkan data informasi secara fakta yang diperoleh melalui hasil wawancara selanjutnya mengklasifikasi data yang penting dan penyusunan dilakukan secara sistematis. Menurut Miles dan Huberman (1992:429) mengemukakan analisis data merupakan proses penyusunan atau pengolahan data agar dapat ditafsirkan lebih lanjut. Data yang baru di dapat terdiri dari catatan lapangan yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan studi dokumen harus dianalisis terlebih dahulu agar dapat diketahui maknanya dengan


(60)

cara menyusun data, menghubungkan data, penyajian data dan menarik kesimpulan.

Untuk menganalisis data di mulai dengan reduksi data yang didapat dan mengklasifikasikan data yang telah dikumpulkan. Data yang dikumpulkan tersebut di dapat dengan cara wawancara dan observasi. Peneliti juga mentranskrip data martahi karejo yang telah terkumpul lalu menterjemahkan teks ke dalam bahasa Indonesia. Setelah data diterjemahkan lalu dimaknai sesuai dengan teori yang digunakan dan kemudia melihat kearifan lokal yang ada di dalam tradisi martahi karejo pada masyarakat Angkola.


(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Realisasi Makna Interpersonal Tradisi Martahi Karejo Dalam Masyarakat Angkola

Bagian ini membahas tentang realisasi makna interpersonal yang terdapat pada teks hobar tradisi martahi karejo pada masyarakat Angkola yang meliputi Subjek yakni pelaku, Predikator yakni apa yang disampaikan dan Keterangan yakni bagaimana sesuatu disampaikan dan untuk apa sesuatu disampaikan.

Berdasarkan kerangka teori yang sudah disampaikan sebelumnya, langkah selanjutnya menentukan makna konteks sosial dari masing-masing situasi dan budaya martahi karejo pada masyarakat Angkola. Dari bentuk bahasa yang digunakan dalam tradisi martahi karejo, genre martahi karejo mengandung pidato, dan pribahasa. Pemaknaan dilakukan terhadap masing-masing, pidato dan pribahasa. Setiap pemaknaan mengandung nilai budaya bahasa Angkola yang penuh tanda-tanda semiotik. Pada bagian ini dijelaskan dengan rinci makna teks yang terdapat pada martahi karejo pada adat masyarakat Angkola.

Langkah selanjutnya menentukan makna teks Hobar dan makna konteks sosial dari masing-masing situasi dan budaya Martahi Karejo pada upacara pernikahan adat masyarakat Angkola. Bentuk teks bahasa dalam tradisi Martahi Karejo, meliputi berpidato, dan berperibahasa. Pemaknaan teks dilakukan terhadap masing-masing baris teks pidato dan peribahasa yang diujarkan mengandung nilai budaya masyarakat Angkola dan makna semiotiknya.


(1)

080

BSu

Atur ma

orang kaya botima

Predikator

Subjek

RESIDU

MODA

BSa

Aturlah

orang kaya

Predikator

Subjek

RESIDU

MODA

Teks 5: Hata ni Pasahat Burangir Taon-Taon.

081

BSu

Antong

songoni

mada

hamu

payahan ni

sigodang ni

roha

suada ambat

bingkolangna

madung

satumtum

satahi

inanta

amanta

maraud koum

sisolkot

Adjung Adjung Predikator Subjek Predikator Komplemen Adjung Adjung

RESIDU MODA RESIDU

BSa

Jadi

seperti

itulah

kalianlah

tempat

harapan

hati

jika tidak

ada

halangan

telah seiya

sekata inanta

amanta

bersama

kaum kerabat

Adjung Adjung Predikator Subjek Subjek Predikator Komplemen


(2)

082

BSu

Baen

madung

hamu

madung

dipatobang

adat

Predikator Subjek Predikator Adjung

RESIDU MODA RESIDU

BSa

Dikarenakan

kalianlah

yang

dituakan

dalam adat

Predikator Subjek Predikator Adjung

RESIDU MODA RESIDU

097

BSu

Nangkan baenon do tu hamu sigodang ni roha na

di pasahat nisi matobang

hatobangon dohot harajaon

ima diari sinayan onpe dison disurduhon ma burangir taon-taon

Predikator Adjung Adjung Subjek Finit Komplemen Adjung Predikator Komplemen

RESIDU MODA RESIDU

anso taon tondi badan munu tu ari natupa na

tumbuk nangkan surduon muse do hamu burangir sampe-sampe na pasampeon ni sigodang roha botima

Adjung Adjung Adjung Komplemen RESIDU

BSa

Yang akan diberikanlah kepada kalian harapan hati

yang dititipkan oleh simatobang,

yang dituakan dan harajaon itulah

di hari minggu,

disinilah telah disodork an

burangir taon-taon

Predikator Adjung Predikator Adjung Predikator Adjung Adjung Predikat or

Komplemen


(3)

sampe harapan hati

Adjung Komplemen Predikator Adjung Predikator RESIDU

Keterangan:

Bsu : Bahasa Sumber

Bsa : Bahasa Sasaran


(4)

Lampiran 4 DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Hobar dari Hatobangon


(5)

Gambar 3. Hobar dari Naposo Nauli Bulung


(6)

Gambar 5. Interview narasumber pertama