Kearifan Lokal Pada Tradisi Martahi Karejo

yang dipakai adalah abit godang karena permintaan atau permohonan dari yang melaksanakan horja godang atau suhutlebih besar dan lebih banyak dan abit ini juga menunjukkan marsabe-sabe untuk manortor. Sedangkan untuk hadangan juga diganti dengan talam karena permintaan dari suhut bukan sedikit yang ingin dilaksanakan dan dipatuhi sesuai dengan pengertian abit godang tersebut Gambar 5.1 Perangkat adat martahi karejo

4.3.2 Kearifan Lokal Pada Tradisi Martahi Karejo

Dalam bab ini peneliti dideskripsikan mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada upacara adat martahi karejo masyarakat Angkola. Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Keraf 2002 menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam Universitas Sumatera Utara komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib. Kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal

4.3.2.1 Nilai Kearifan Bergotong-Royong

Salah satu peninggalan dari orang tua dulu bagi masyarakat Angkola adalah gotong-royong. Dalam setiap pekerjaan untuk kepentingan bersama selalu dikerjakan bergotong-royong. Misalnya musyawarah untuk membangun Musollah dan Mesjid, membuat jalan setapak, membersihkan jalan dan parit, membangun rumah tangga termasuk gotong-royong martahi pada upacara pesta pernikahan masyarakat Angkola. Dalam proses martahi karejo pada upacara adat masyarakat Angkola tidak mungkin mampu dikerjakan sendiri oleh keluarga yang ingin melaksanakan Universitas Sumatera Utara hajatan. Semua keluarga dekat dan tetangga mempunyai kebersamaan untuk membantu hajatan tersebut, dalam hal ini yang ikut membantu baik muda maupun tua. Menantu lelaki, menantu perempuan bahkan pejabat pemerintahpun mempunyai kedudukan tertentu dalam suku, maka tidak segan-segan turun tangan dalam membantu pesta pernikahan itu. Begitu juga dalam pendanaan, masyarakat juga ikut dalam membantu memberikan bantuan untuk meringankan beban kepada pihak yang menyelenggarakan pesta pernikahan. Ketika musyawarah seluruh keluarga dan orang yang mempunyai ikatan dan suku dan keluarga diawal sudah membantu berdasarkan kemampuannya masing-masing. Dalam hajatan tersebut, nampak sekali nilai gotong-royongnya, ibu-ibu sudah bergabung menyiapkan bumbu- bumbu masakannya, generasi muda memasak nasi, mengangkat piring dan mencucinya, memasang hiasan. Membantu keluarga yang sedang melaksanakan hajatan merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Angkola dan yang ikut membantu secara gotong-royong begitu banyak, begitu juga tamu yang hadir. Semakin tinggi status sosial masyarakatnya semakin tinggi pula partisipasi masyarakat membantunya baik bantuan tenaga maupun materinya.

4.3.2.2 Nilai Kearifan Musyawarah

Dibawah ini dijelaskan teks yang menunjukkan nilai kearifan lokal yang berhububungan dengan komitmen musyawarah yakni: Teks 2: Hata pangalusi ni Harajaon Bahasa Indonesia: Permisi sepuluh di siding yang mulia ini, hormat kepada anak raja dan juga anak yang mora. adalah benar tadi siang datang undangan kalian Universitas Sumatera Utara kepada kami, itulah kalian suhut sihabolonan, agar berkumpul di rumah yang mulia ini yaitu pada malam ini. Setelah kami sampai disini kalian hidangkan sipulut dengan intinya seperti yang ingin menyatukan hati kami. Setelah selesai menikmati hidangan segeranya anakboru kalian yaitu goruk-goruk hapinis berdiri menawarkan sirih sambil meletakkan napuran di depan anak raja dan anak yang mora. menyampaikan keluh kesah dan mengatakan bahwa anak gadis ingin menikah. Kami dari harajaon ikut serta melaksanakan. Tapi satu permintaan yaitu horas nian tondi madingin sayur matua bulung, semufakat dalam musyawarah seiya sekata., karena seperti peribahasa: Tali diluruskan Untuk pengikat andilo Jika kita seiya sekata Itulah yang membawa kekuatan Dikarenakan masih disini orang kaya begitu juga raja panusunan bulung, dan merekalah yang pandai menerima keluh kepada merekalah kita serahkan. Bahasa Mandailing: Santabi sampulu di sidang na mulia on, hormat tu anak ni raja songoni dohot anak ni na mora. Tutu nangkin di arian I, ro ontang munu tu hami, ima hamu suhut si habolonan, anggiat anso marlagut di bagas na mulia on. Ima pado ari borngin on. Dung tolap hami tu son jana di patating munu do sipulut mardongan inti songon dalan na palagut roha nami. baen madung salose na markopi sagiro do anak boru munu ima goruk-goruk ni hapinis jonjong manyurduon burangir dalan patipal na puran di jolo ni anak raja dohot anak ni na mora. Mangandungkon holos dohot lidung na mandokkon boru na giot langka matobang. Hami sian harajaon laing na dohot ma pasaut patulusna. Sada doma pangidoan sai horas nian tondi madingin sayur matua bulung, satumtum satahi hita dohot saoloan, harana laing songon ni umpama do da: Tali di patali tali Baen ihat ni andilo Anggo sa tumtum sa tahi Ido maroban gogo Onpe dison dope orang kaya songoni dohot raja panusunan bulung. Baen ibana do na malo sumambut lidung tu ibana doma ta soraho, botima. Universitas Sumatera Utara Dari teks diatas dapat kita lihat kembali makna martahi karejo yang sebenarnya yaitu musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat, dimana masyarakat setempat yang dianggap sebagai pemuka-pemuka adat yang sering disebut masyarakat angkola sebagi harajaon atau hatobangon dan semua keluarga dari pihak yang ingin melakukan suatu hajatan dikumpulkan dalam suatu waktu yang bersamaan hanya untuk menjelaskan maksud dan tujuan untuk melakukan hajatan, serta untuk memusyawarahkan segala permasalahan yang dianggap penting dalam pelaksanaan hajatan tersebut. Pada akhirnya musyawarah ini nanti akan menghasilkan suatu kesepakatan tentang bagaimana hajatan ini akan dilaksanakan. Dapat kita simpulkan bahwa masyarakat Angkola mempunyai salah satu sifat yakni selalu musyawarahkan segala hal yang sudah menjadi tradisi untuk memperoleh kesepakatan serta keputusan bersama dalam melaksanakan suatu hajatan khususnya yang berhubungan dengan tradisi dan masyarakat Angkola adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai musyawarah baik itu dalam pelaksanaan tradisi ataupun dalam kehidupan sehari-hari, karena sifat musyawarah ini telah dibentuk sejak dahulu dalam lingkungan masyarakat Angkola.

4.3.2.3 Nilai Kearifan Kehormatan

Adapun nilai kehormatan adat masyarakat Angkola terletak pada keseimbangan aspek spritual dan material yang ada pada diri seseorang. Kekayaan harta dan kedudukan ataupun jabatan yang ada pada seseorang tidak ada artinya Universitas Sumatera Utara bila tidak didukung oleh keutamaan spritualnya. Orang yang mempunyai banyak harta serta memiliki jabatan dan posisi tinggi diiringi dengan sifat suka menolong atau memajukan sesama, mempunyai anak keturunan serta diiringi dengan jiwa keagamaan maka dia dipandang terhormat. Teks yang menunjukkan nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan kehormatan yakni: Teks 1 : Hata ni Suhut Bahasa Indonesia: Permisi sepuluh, sepuluh kali permisi. Di langit yang ku junjung, di tanah yang ku pijak. Terlebih dahulu saya minta maaf mana tau ada yang kurang lebih. Menghadap tua sahala anak raja-raja dan mora-mora. Khususnya raja Panusunan Bulung. Disinilah kami sodorkan sirih kami: Sirih yang bagian belakangnya merah Bagian depannya putih Jalan menyampaikan pesan Menyampaikan yang telah dapat Inilah sirih yang kembang Dua serangkap Agar kembang musyawarah Seiya sekata Jalan keluh kesah terhadap anak raja-raja dan anak mora-mora di persidangan yang mulia ini. Itulah jalan permintaan yang menyampaikan harapan karena langkah langkah anak gadis yang ingin bertemu dengan anak namborunya. Bahasa Mandailing: Santabi sampulu, sampulu noli marsantabi. Di langit nah u jujung, di tano hu jojahi. Parjolo au marsantabi, ompot adong na hurang lobi. Taradop tua sahala ni anak ni raja-raja dohot anak ni na mora-mora. Sumurung lobi di Raja Panusunan Bulung, haruaya parsilaungan, banjir par onding- ondingan, na malo sumambut lidung, patama na di angan-angan. Universitas Sumatera Utara Dison sumurdu burangir nami, ima: Burangir si rara huduk Sibontar adop-adop Dalan margalas bisuk Paboahon na dung dapot Ima burangir na hombang Dua sarangkap Anso hombang tahi Mardomu pokat Pangitean ni andung dohot lidung taradop anak raja-raja dohot anak na mora-mora di parsidangan na mulia on. Ia anggo dalan ni sinta-sinta na palalu si godang di roha ima salaho di langka-langka ni boru si nuan tunas na giot manopotkon anak namburana. Dari teks di atas dapat dilihat bahwa Masyarakat Angkola adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi sebuah nilai kehormatan. Tidak semua orang mendapat tempat spesial sebagai seseorang yang harus dihormati, oleh karena itu hanya orang – orang terpilihlah yang ditentukan secara adat yang akan mendapat tempat kehormatan tersebut dan masyarakat angkola sering menyebutnya dengan hatobangon dan harajaon, begitu juga nilai kehormatan yang terdapat dalam Dalihan natolu, dimana seseorang yang disebut anakboru harus selalu hormat kepada seseorang yang disebut mora karena di dalam adat masyarakat angkola kedudukan mora lenih tinggi dari kedudukan anakboru. Suatu kehormatan yang diberikan ini tidak hanya ditunjukkan dari sebuah penghargaan berupa benda, tetapi dalam bersikap serta bertutur katapun semua ada aturannya. Dalam berkomunikasi misalnya pada acara adat martahi karejo, semua perkataan yang akan disampaikan harus diawali dengan kata-kata meminta maaf terlebih dahulu kepada hatobangon maupun harajaon, serta selalu menggunakan kata- kata yang dirangkai sedemikian indah menjadi suatu pantun Universitas Sumatera Utara yang akan mewakili maksud serta tujuan yang akan disampaikan, hal ini dilakukan agar seseorang yang dihormati ini merasa tersanjung serta tidak merasa tersinggung apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan dalam penyampaian maksud dan tujuan yang ingin disampaikan nantinya. Sehingga terlihat jelas bahwa dalam bertindak serta bertutur katapun masyarakat angkola sangat berhati-hati terutama pada orang-orang tertentu khususnya yang dianggap sebagai pemuka-pemuka adat, dan pada akhirnya hal inilah yang akan menjadikan masyarakat angkola sebagai masyarakat yang sopan dan santun dalam bertindak maupun berkata-kata baik dalam pelaksanaan tradisi maupun dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan masyarakat angkola ataupun lingkungan masyarakat lainnya.

4.3.2.4 Nilai Kearifan Kekerabatan

Nilai kekerabatan atau keakraban merupakan nilai kearifan lokal yang sangat penting dalam suatu tradisi. Hal ini terlihat pada upacara adat martahi karejo, di mana suatu keluarga yang ingin melaksanakan suatu hajatan, meminta bantuan kepada para ketua adat untuk membantu meringankan pekerjaan mereka dalam melaksanakan hajatan agar para ketua adat tersebut kiranya dapat mengabarkan kepada para warga sekampung bahwasanya akan dilaksanakan suatu hajatan. Hunbungan kekerabatan dalam hal ini terlihat pada tutur sapa yang baik karena pertautan darah ataupun pertalian pernikahan. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dari data berupa teks hobar dalam dua teks yaitu teks dalam bahasa mandailing dan teks dalam bahasa Indonesia pada acara tradisi martahi karejo diperoleh beberapa kesimpulan berikut: Pertama, ada enam proses upacara martahi karejo pada masyarakat Angkola yakni 1 tahi ungut-ungut atau tahi ulu ni tot, 2 tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat, 3 tahi sabagas atau tahi dalihan na tolu,4tahi sahuta pasahat karejo, 5 tahi godang dan 6 tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung. Kedua, pada dasarnya masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi adat pada setiap kali ingin melaksanakan hajatan atau acara adat, di mana apabila ada salah satu dari warga yang ingin melaksanakan horja atau pesta dalam hal ini adalah Suhut, maka seluruh anggota keluarga akan bermusyawarah kepada para pataya-pataya adat atau ketua adat untuk menyampaikan keinginan atau keluhan untuk meminta bantuan kepada ketua adat tersebut agar kiranya disampaikan kepada para warga sekampung. Dalam hal ini, martahi karejo merupakan acara adat yang dilakukan sebelum prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Angkola yang dimulai dari musyawarah seperti yang sudah dianalisis di atas yakni berbicara dalam bertutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalamdalian na tolu yaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Setiap anggota berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun atau peribahasa secara 104 Universitas Sumatera Utara