tentu dijadikan pilihan meskipun penerimaannya baik karena sifat destruktif tersebut tidak mendukung dari aspek keberlanjutan pengelolaan.
Bila penerimaan usaha perikanan dilihat dari musim ke musim, penerimaan pukat pantai dan payang termasuk kurang stabil, dimana pada musim paceklik
cenderung turun drastis. Kondisi tentu menjadi pertimbangan penting dalam menilai kelayakan usaha perikanan karena berkaitan dengan kestabilan usaha dan
kelangsungan pendapatan nelayan pelaku. Menurut Griffin dan Ronald 1991 pengaruh musim dan harga jual merupakan komponen eksternal yang sangat
berpengaruh dalam transaksi kegiatan perikanan karena berkaitan dengan jumlah hasil tangkapan ikan dan penerimaan nelayan. Dalam analisis kelayakan finansial,
hal ini mempengaruhi perimbangan biaya dengan penerimaan dari operasi penangkapan ikan yang selanjutnya mempengaruhi pencapaian standar kelayakan
usaha. Namun demikian, pengaruh tersebut belum tentu berdampak nyata bila
usaha perikanan pelagis kecil mempunyai keunggulan dari aspek lain, seperti hemat dalam operasional dan mempunyai produktifitas jumlah trip yang baik
pada musim banyak ikan. Menurut Hamdan et al 2006 optimalisasi produksi perikanan pada musim puncak dan musim sedang dapat menutupi kerugian usaha
perikanan di musim puncak. Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan operasional yang mendukung optimalisasi ini sehingga usaha perikanan yang
dilakukan nelayan dalam terus bertahan. Kebijakan operasional tersebut bisa dalam bentuk jaminan ketersediaan BBM pada musim puncak saat semua usaha
perikanan dioperasikan, bantuan pembiayaan bagi nelayan yang kesulitan biaya operasi untuk melaut, dan jaminan kestabilan harga.
Bila melihat hasil analisis kelayakan usaha perikanan pelagis kecil dari parameter Net Present Value NPV, jaring insang hanyut JIH, payang, pukat
cincin, dan pukat pantai termasuk layak dikembangkan. Menurut Hanley dan Spash 993 nilai NPV merupakan cerminan keuntungan bersih yang didapat
pelaku usaha pada kondisi terakhir saat keuntungan dihitung. Sedangkan kelima alat tangkap lainnya tidak layak dikembangkan setelah dinilai baik dari sisi
finansial maupun teknis. Menurut Putra 2000 menyatakan bahwa kesenjangan sosial dan ketimpangan pendapatan merupakan sumber konflik utama dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan dan hal ini bisa berlangsung dalam waktu yang lama.
Hasil analisis parameter lainnya menunjukkan bahwa keempat alat tangkap yaitu jaring insang hanyut JIH, payang, pukat cincin dan pukat pantai, sangat
berpotensial dikembangkan. Menurut Ruddle et al 1992 alternatif pengelolaan sumberdaya perikanan harus dilakukan secara tepat sehingga mendukung
pengembangan ekonomi masyarakat kawasan pesisir. Pengembangan ekonomi pesisir ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.
Hal ini karena sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di pesisir. Hasil analisis pada Bab 6 akan memberikan pertimbangan dari aspek
teknologi, dan keberlajutan dalam pemilihan usaha perikanan terutama untuk mendukung pemanfaatan hasil perikanan komoditas unggulan ikan pelagis kecil,
seperti ikan teri, layang, dan kembung Bab 3. Menurut Sheppard et al 1995 pemanfaatan komoditas perikanan potensial menggunakan usaha perikanan yang
layak dapat mendukung program konservasi sumberdaya ikan sekaligus memberikan kesejahteraan bagi nelayan pelakunya.
Bila melihat lebih jauh tentang analisis kelayakan yang dilakukan, pukat cincin, jaring insang hanyut, dan pukat pantai merupakan tiga usaha perikanan
pelagis kecil dengan tingkat kelayakan paling baik. Persyaratan NPV, IRR, ROI, dan BC ratio dapat diakomodir dengan baik oleh ketiga usaha perikanan ini.
Trammel net mempunyai nilai paling tinggi untuk ROI 44,81, tetapi pemenuhan parameter lainnya biasa-biasa saja. Menurut Pinkerton dan Evelyn 1989 usaha
perikanan dengan tingkat kelayakan yang tinggi dapat mendukung pengembangan ekonomi nelayan lokal secara mandiri. Secara jangka panjang akan memperkuat
basis ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Bila dukungan aspek teknologi dan keberlanjutan bagus, usaha perikanan pelagis kecil
dengan tingkat kelayakan finansial tinggi dapat langsung dipilih untuk mendukung pengembangan komoditas unggulan perikanan pelagis kecil.
Pukat cincin mempunyai nilai NPV sangat bagus, yaitu mencapai Rp 7.893.583.888. Nilai NPV atau keuntungan bersih berdasarkan nilai sekarang ini
dalam 8 tahun operasi disebabkan penerimaan yang tinggi dari operasi pukat cincin di perairan utara Acehyaitu mencapai Rp 3.812.344.00 per tahun,
sementara biaya operasional relatif standar Rp 820.875.000 per tahun. Penerimaan baik yang menyebabkan NPV tinggi ini lebih karena teknis operasi
yang handal pada kebanyakan pukat cincin di perairan utara Nanggroe Aceh Darussalam. Kekuatan mesin kapal pukat cincin di lokasi termasuk sangat tinggi
30-50 PK, sehingga dapat dengan cepat mengelilingi greombolan ikan sasaran. Purba 2009 menyatakan bahwa kekuatan mesin dapat mendukung usaha
perikanan untuk secara cepat mengjangkau area penangkapan dan mengelabui ikan sasaran.untuk meningkatkan keuntungan usaha perikanan yang dijalankannya
tanpa terlalu berpengaruh oleh musim dan kondisi cuaca. Liana et al 2001 pelibatan masyarakat community sangat dibutuhkan
untuk pengembangan kawasan pesisir yang baru, karena akan menentukan eksistensi pengelolaan kawasan tersebut. Wilayah utara Aceh dapat dikatakan
sebagai kawasan baru dan sedang dikembangkan karena setelah tsunami banyak anggota masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Usaha perikanan pelagis kecil
yang layak dan dapat memenuhi dengan baik semua parameter finansial yang diperyaratkan dapat mendukung hal ini secara maksimal. Dukungan semua pihak
sangat diharapkan untuk kelancarannya terutama untuk pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis kecil komoditas unggulan.
4.11. 4 Strategi Pengembangan Usaha Perikanan pelagis kecil
Strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecil dapat menjadi panduan bagi pemerintah daerah dan stakeholders terkait lainnya untuk mengelola
dan memanfaatkan potensi ikan pelagis kecil di perairan Utara Acehterutama dari jenis komoditas unggulan. Hasil kajian menyatakan bahwa stakeholders utama
yang terkait dengan pengembangan usaha perikanan pelagis kecil di Aceh dapat mencakup pemerintah, nelayan, pengusaha, dan ilmua. Terkait pemerintah dalam
hal ini PEMDA Aceh, dapat dipahami kepentingan dan keterkaitannya karena perannya stakeholders yang mengatur regulasi terkait pengelolaan sumberdaya di
daerah Aceh termasuk sumberdaya perikanan pelagis kecil. Semua kegiatan pengelolaan terutama yang bersifat komersialisasi sumberdaya alam memerlukan
pengaturan dan pengendalian oleh aparat daerah terkait. Menurut Kusumastanto 2003 di era otonomi, pemerintah daerah mempunyai peran yang kuat dalam
mengatur daerahnya. Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah bertujuan untuk mengatur kegiatan pengelolaan sumberdaya dan interaksi antar
anggota masyarakat, dan antara anggota masyarakat dengan sekitarnya. Kebijakan perikanan menjadi landasan untuk menjalankan usaha ekonomi
perikanan di daerah sehingga pemanfaatan potensi perikanan dapat memberi manfaat nyata bagi masyarakat dan daerah.
Nelayan merupakan pelaku kegiatan penangkapan ikan di laut, sedangkan pengusaha merupakan investor yang berperan dalam perkembangan ekonomi
nelayan. Nelayan dan pengusaha mempunyai kepentingan terkait kelancaran aktivitas usaha perikanan yang dilakukanyan sehingga menguntungkan dan
memerlukan jaminan terhadap usaha perikanan yang dilakukannya. Menurut Liana et al 2001 kekuatan masyarakat nelayan menjadi penentu utama kegiatan
perikanan dan ekonomi pesisir karena mereka yang sehari-hari melakukan secara langsung kegiatan perikanan. Sementara pengusaha dapat menopang pemodalan
usaha, membangun jaringan pemasaran hasil, dan perintis berbagai usaha pendukung yang menopang. Pengusaha juga menjadi penentu berkembangnya
kegiatan perikanan signifikan dengan dioperasikannya berbagai usaha jasa dan industri.
Ilmuwan merupakan pelaku kegiatan riset maupun pendidikan di bidang perikanan, sehingga dapat ditularkan kepada anggota masyarakat. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh ilmuan dapat menjadi pertimbangan penting dalam menentukan tindakan pengelolaan di perairan utara Aceh. Menurut Nontji 1997
aktivitas yang dilakukan ilmuanpakar baik melalui penelitian di lembaga riset maupun dalam interaksinya di lembaga pendidikan dapat menghasilkan inovasi-
inovasi yang nantinya bermanfaat bagi pengelolaan kegiatan perikanan termasuk untuk ikan pelagis kecil. Pertimbangan peran dan kepentingan keempat pihak
terkait tersebut sangat penting dalam merumuskan strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecil yang tepat.
Strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecil yang disusun juga perlu memperhatikan keterbatasan dan kriteria yang ada dalam pengelolaan
perikanan. Dalam pengembangan strategi tersebut, tuntutan keberlanjutan, aspek teknologi, potensi sumberdaya ikan, dan kondisi ekonomi nelayan dipilih menjadi
pembataskriteria pengelolaan. Hal ini karena beberapa studi sering mengangkat masalah tersebut sebagai fokus perhatian pengelolaan, dan kondisi yang sama juga
menjadi perhatian di perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam. Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh 2010b menyatakan bahwa kegiatan perikanan sangat
prospektif untuk lebih berkembang di Aceh, dan hal ini akan dapat dilakukan selama potensi SDI yang ada, aspek teknologi dan teknologi penangkapan,
kelayakan usaha perikanan terutama yang berskala kecil, upaya konservasi dan keberlanjutan pengelolaan tetap diperhatian dengan baik.
Menurut Nikijuluw 2002 pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan sesuatu yang kompleks yang menaruh harapan besar pada pemanfaatan potensi
perikanan sementara banyak keterbatasan dalam pengelolaan tersebut. Selama ini, pengelolaan tersebut lebih berorientasi pada pemanfaatan hasil tanpa terlalu peduli
terhadap keberlanjutan. Faktor pembatas dan peraturan yang ada sering diabaikan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi bagi pelaku perikanan dan oknum
aparat. Padahal teknologi yang diterapkan terkadang kurang handal, sementara potensi SDI bukan sesuatu yang abadi. Strategi pengembangan usaha perikanan
pelagis kecil yang dipilih menjadi strategi prioritas harus memperhatikan secara optimal keterbatasan yang ada dan meminimalisir dampak negatif dan tindakan
pengembangan yang dilakukan. Hasil analisis Gambar 20 menunjukkan bahwa opsi strategi pembinaan
sumberdaya manusia perikanan terpilih sebagai strategi prioritas RK=0,251 pada inconsistency terpercaya 0,04. Hal ini memberi indikasi bahwa strategi
pembinaan sumberdaya manusia perikanan lebih dapat mengakomodir kepentingan stakeholders terkait dan berbagai keterbatasankriteria pengelolaan
yang ada di lokasi. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan NAD 2010c setelah terjadinya tsunami banyak nelayan dan pelaku usaha perikanan lainnya yang
menjadi korban, dan yang berkecimpung sekarang banyak yang berasal bidang lain atau dari anak nelayan atau keluarga nelayan yang tidak ada di tempat
sehingga selamat pada saat tsunami. Pembinaan SDM yang merupakan strategi utama yang di lakukan dalam
Pengembangan Usaha Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Utara Aceh sangatlah perlu dilaksanakan mengingat nelayan setelah tsunami merupakan nelayan baru
yang belum memahami teknis penangkapan ikan laut. Dengan terciptanya sumberdaya nelayan yang berkualitas akan mampu merubah tradisi lama terutama
dalah hal perolehan modal usaha tidak tergantung kepada pedagang yang membuat nelayan tidak mampu memasarkan hasil tangkapannya. Supaya
bermanfaat nyata, kegiatan pembinaan SDM ini dapat diikuti dengan tindakan perbaikan manajemen usaha perikanan strategi PM-USAHA. Ini penting supaya
usaha perikanan kapal dan alat tangkap bantuan pasca tsunami dapat dioptimalkan pengelolaannya dan nelayan asal profesi lain dapat langsung
mempraktekkan hasil pembinaan yang didapat. Secara umum, kalangan pengusaha, nelayan, dan kalangan ilmuan memberi respon positif terhadap hal ini,
karena pembinaan SDM ini dapat secara langsung meningkatkan produktivitas usaha perikanan yang dilakukan pengusaha dan nelayan di lokasi, dan ilmuan
dapat mentransfer ilmu yang dimilikinya. Kusumastanto 2003 peran pengusaha dan nelayan lokal sangat penting untuk mendukung kemajuan perikanan di era
otonomi saat ini, dimana keberhasilan perikanan di daerah sangat tergantung dari peran stakeholders perikanan terutama yang berkaitan langsung dengan kegiatan
produksi perikanan. Hasil analisis Gambar 22 memperlihatkan pentingnya respon positif
kalangan pengusaha untuk strategi pembinaan sumberdaya manusia perikanan BINA-SDM dibandingkan strategi lainnya untuk pengembangan usaha
perikanan pelagis kecil di perairan utara Aceh. Pengusaha memandang bahwa pembinaan sumberdaya manusia perikanan merupakan pekerjaan pertama yang
harus dituntaskan. Hal ini penting untuk meningkatkan kembali produksi perikanan yang cenderung menurun setelah terjadi tsunami pada tahun 2004.
Menurut Purba 2010 produksi perikanan yang tinggi dan stabil merupakan kunci utama telah berkembangnya kegiatan ekonomi perikanan di suatu lokasi, dan bila
hal ini dapat dipertahankan dapat menarik minat investor dan lembaga keuangan untuk bermitra dalam pengelolaan usaha perikanan yang ada.
Hal yang sama juga terjadi pada kalangan ilmuanpakar, dimana juga menekan pentingnya sumberdaya manusia tersebut. Ilmuanpakar ini juga punya
respon positif terhadap perbaikan manajemen usaha perikanan PM-USAHA, di mana mereka dapat membina nelayan sekaligus langsung membantu pengelolaan