b. Pengendalian Hama dan Penyakit
Menurut Pahan 2008, pengendalian hama dan penyakit tanaman pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengendalikan suatu kehidupan. Upaya
mendeteksi hama dan penyakit pada waktu yang lebih dini mutlak harus dilaksanakan. Selain akan memudahkan tindakan pencegahan dan pengendalian,
keuntungan deteksi dini juga bertujuan agar tidak terjadi ledakan serangan yang tak terkendali atau terduga.
Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit diantaranya kumbang tanduk, ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, Adoretus, dan Apogonia,
serta babi hutan. Penyakit utama kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit, penyakit antraknosa dan bercak daun. Konsep yang
digunakan dalam pengendalian hama, penyakit, dan gulma di perkebunan kelapa sawit adalah Pengendalian Hama Terpadu PHT Integrated Pest Management
IPM PPKS, 2006.
Berbagai cara yang dilakukan dalam PHT diantaranya adalah: 1.
Hama ulat Tasea asigna, Stora nitens, dan Darnarima sp. dikendalikan dengan menyemprotkan Dipterex atau Bayrusil.
2. Hama kumbang Apogania sp. dan Oryctes rhinoceros dikendalikan
dengan menyemprotkan larutan Azodrin yang bersifat sistemik. 3.
Hama tikus dikendalikan dengan racun Tomorin, Warfarin, atau Racumin. Penyakit pada tanaman kelapa sawit hingga saat ini, belum ditemukan cara
pemberantasan yang efektif, sehingga hanya dapat dilakukan pembatasan penyebaran penyakit. Caranya, menebang tanaman kelapa sawit yang terserang
penyakit ini, pangkal batang dan sisa-sisa akar dibakar di tempat tersebut Sastrosayono, 2003.
c. Pemupukan
Kemampuan lahan dalam penyediaan unsur hara secara terus-menerus bagi pertumbuan dan perkembangan tanaman kelapa sawit yang berumur panjang
sangatlah terbatas. Keterbatasan daya dukung lahan dalam penyediaan hara ini harus diimbangi dengan penambahan unsur hara melalui pemupukan. Manfaat
pemupukan memberikan kontribusi yang sangat luas dalam meningkatkan produksi dan kualitas produk yang dihasilkan.
Salah satu efek pemupukan yang sangat bermanfaat adalah meningkatnya kesuburan tanah yang menyebabkan tingkat produksi tanaman menjadi relatif
stabil serta meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan penyakit dan pengaruh iklim yang kurang menguntungkan. Pupuk yang umum digunakan
dalam perkebunan kelapa sawit adalah pupuk anorganik buatan dan pupuk organik.
Pemupukan kelapa sawit dilakukan pada 3 tahap perkembangan tanaman, yaitu pada tahap pembibitan dan TBM yang mengacu pada dosis baku, tahap TM
yang ditentukan berdasarkan perhitungan faktor-faktor dasar, serta konsep neraca hara nutrient balance.
Tabel 1. Jenis dan Spesifikasi Pupuk Tunggal yang Direkomendasikan oleh PPKS
Hara Pupuk Spesifikasi
N
Urea Za
46 N 21 N, 23 S
K MOP KCL
K
2
O : 60
Mg
Kieserit MgO : 26, S :21
MgO : min 18 CaO : min 30
Al
2
O
3
+ Fe
2
O
3
: maks 3 SiO
2
: maks 5 Kadar air
:
maks 5 Ni : maks 5 ppm
Kehalusan lolos saringan 100 mesh Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1997
2.1.5 Pemanenan pada Kelapa Sawit
Kelapa sawit dapat mulai dipanen pada umur 30 bulan. Dalam keadaan normal, 90-100 dari seluruh pokok sudah matang panen. Tandan yang cukup
besar dan siap untuk diolah adalah yang padat isinya dan beratnya sekitar 3 kg. Kriteria panen yang digunakan yaitu dua brondolan artinya sudah ada 2 buah
lepas dari tandannya atau jatuh kepiringan pohon. Untuk tandan yang beratnya lebih dari 10 kg, dipakai 1 brondolan yang jatuh ketanah. Kapasitas pemanenan
tergantung pada produksiha yang dikaitkan dengan umur tanaman, topografi areal, kerapatan pohon dan intensif.
2.1.6 Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis pada Perkebunan
Kelapa Sawit
Menurut Lillesand dan Kiefer 1990 penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Sedangkan, Sistem Informasi
Geografis SIG merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, transformasi, dan penampilan
data digital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu. Produk teknologi penginderaan jauh adalah berupa citra satelit dengan
resolusi spasial yang tinggi, memberikan visual permukaan bumi sangat detail. Citra satelit merupakan suatu gambaran permukaan bumi yang direkam oleh
sensor kamera pada satelit pengideraan jauh yang mengorbit bumi, dalam bentuk image gambar secara digital.
Teknologi SIG dan RS telah dimanfaatkan oleh para ahli untuk studi kelapa sawit Morrow, 1995 dalam Sitoms, 2004. Kelapa sawit dalam
pertumbuhannya akan mengalami perubahan fisik sehingga dapat dipantau dengan data inderaja, yaitu dengan mengamati pengaruh umur tanaman terhadap
reflektansi band spektral maupun indeks spektral yang dapat diturunkan dari data Landsat-TM.
Umur tanaman kelapa sawit dapat diteliti dengan menggunakan penginderaan jauh karena tanaman kelapa sawit memiliki pola penanaman yang
teratur, yaitu pengelompokan penanaman dalam setiap blok secara teratur berdasarkan tahun tanam yang sama Sitoms, 2004.
Selain itu, Lukman dan Poeloengan 1996 dalam Laju dan Chen 2011 sukses memanfaatkan citra satelit Landsat TM Tematic Mapper dan SPOT
Satellite Pour Observation de la Terre untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah
tumbuh kelapa sawit dan memetakan perbedaan usianya pada masa awal pertumbuhan.
Haryani et al 2005 menggunakan data penginderaan jauh
Landsat 7 ETM Tahun 2005 dan SIG
untuk kajian potensi dan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Dari hasil penelitian yang
dilakukan
berdasarkan hasil analisis Sistem Informasi Geografi SIG dengan input kesesuaian lahan, kerapatan vegetasi, dan penggunaan lahan diperoleh arahan
pengembangan tanaman komoditas kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hilir.
Dalam penelitiannya Sinaga 2011, merancang SIG untuk areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara yang disajikan dalam bentuk
tulisan, tabel, dan peta. Tulisan disini berupa informasi umum mengenai penjelasan Provinsi Sumatera Utara dan informasi tentang kelapa sawit sehingga
bermanfaat dan memberikan kemudahan bagi pihak manajemen perkebunan dalam mendapatkan informasi dan mempercepat pengambilan keputusan. Tabel
menyajikan data luas lahan dan produksi perkebunan pada tahun 2009 dan 2010, sedangkan peta memberikan gambaran mengenai letak lokasi perkebunan tiap
kabupaten. Secara nasional Kementrian Pertanian sudah melakukan pemetaan kelapa
sawit dengan menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 dengan pemetaan di seluruh wilayah Indonesia. Selain untuk pemetaan kelapa sawit, Kementrian Pertanian
bekerja sama dengan Sucofindo, P4W, dan LPPM IPB juga melakukan pemetaan untuk komoditas tanaman perkebunan lain selain kelapa sawit yaitu karet dan
kakao dan industrinya di seluruh Indonesia Barus et al, 2011.
Penggunaan Citra ALOS AVNIR-2 dalam pemetaan kelapa sawit karena citra ALOS AVNIR-2 memiliki biaya yang lebih murah dalam operasional,
ataupun dapat digunakan untuk tujuan analisis lain khususnya jika digabungkan dengan data lain baik yang ada dalam sistem data base maupun setelah dilakukan
penggabungan dengan data lain dari sumber berbeda. Secara lebih lengkap Satelit ALOS AVNIR-2 dibahas dalam sub bab selanjutnya.
2.2. Satelit ALOS AVNIR-2
Satelit ALOS Advanced Land Observing Satellite merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS milik Jepang Gambar 1. JAXA di
Tanagashima Space Center Jepang yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari
2006 dengan menggunakan roket H-IIA. Satelit ini merupakan satelit penginderaan jauh inderaja terbesar yang dibangun oleh Jepang untuk
pengamatan daratan. Satelit ini memiliki periode kunjungan ulang revisiting period
46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua
hari. ALOS dapat digunakan untuk kartografi, observasi regional, pemantauan bencana dan peninjauan sumberdaya.
Gambar 1. Satelit ALOS JAXA EORC,1997
Satelit ALOS mempunyai 5 misi utama, yaitu: 1.
Untuk memberikan kontribusi terhadap aplikasi kartografi. 2.
Untuk memberikan kontribusi terhadap pengamatan regional. 3.
Untuk memberikan kontribusi terhadap pemantauan bencana alam.
4. Untuk memberikan kontribusi terhadap penelitian sumberdaya alam.
5. Untuk meningkatkan teknologi pengamatan daratan pengembangan
teknologi.
Tabel 2. Spesifikasi ALOS No
Tipe Karakteristik
1 Bobot
4 ton 2
Jangka Waktu 3-5 Tahun
3 Ketinggian Orbit
691, 65 Km di khatulistiwa 4
Periode Orbital 98,7 menit
5 6
7 8
Tipe Orbit Inklinasi
Siklus kunjungan ulang Power
Sun-synchronous Subrecurrent 98,16 deg
46 hari Approx
. 7 kW pada akhir operasional
Sumber : http:www.eorc.jaxa.jpALOS
diakses 14 Agustus 2011
Untuk pencapaian misi, satelit ALOS dilengkapi dengan tiga buah sensor penginderaan jauh dengan kemampuan pandangan sisi side looking. Tiga buah
sensor tersebut terdiri dari dua buah sensor optik yaitu sensor PRISM Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping
dan sensor AVNIR-2 Advanced Visible and Near Infared Radiometer Type-2, sebuah
sensor gelombang mikro atau radar yaitu PALSAR Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar
untuk pengamatan lahan sepanjang siang sampai malam diseluruh kondisi cuaca. Satelit ALOS ditunjukkan pada Gambar 3 untuk
pemanfaatan data sepenuhnya yang diperoleh dari sensor, ALOS dirancang dengan dua teknologi maju yaitu pertama adalah kecepatan tinggi dan kapasitas
data yang besar dalam menangani teknologi dan kedua adalah presisi posisi pesawat ruang angkasa dan kemampuan penentuan ketinggian.
2.2.1 Sensor ALOS AVNIR-2
Advanced Visible and Near Infared Radiometer Type-2
Tujuan utama dari satelit ALOS AVNIR-2 adalah untuk pemetaan penutup lahan, pemantauan bencana alam dan untuk pemantauan lingkungan regional.
Sensor ALOS AVNIR-2 adalah suatu pencitraan multispektral dengan 4 kanal spektral pada daerah tampak dan inframerah dekat untuk pengamatan daratan dan
zona garis pantai. Lebar liputan satuan citra sebesar 70 km dengan resolusi spasial 10 meter. Dengan kemampuan side looking dari sensor, dan kemampuan sensor
untuk melakukan pandangan menyilang jejak satelit cross track +- 44°, pengamatan daerah-daerah bencana dalam waktu pengulangan 2 hari dapat
dilakukan, dan lebar liputan dapat mencapai 1500 Km. Dengan karakteristik teknis ALOS AVNIR-2, maka tujuan utama
dari AVNIR-2 untuk pemetaan penutup lahan dan pemantauan bencana alam akan dapat dicapai. Citra hasil pengamatan AVNIR-2 akan efektif digunakan untuk
menghasilkan peta-peta penutup lahan dan peta klasifikasi tata guna lahan untuk pemantauan lingkungan regional.
Gambar 2. Sensor ALOS AVNIR-2 JAXA EORC-1997
Gambar 3. Prinsip Geometri ALOS AVNIR-2 JAXA EORC-1997
Karakteristik umum sensor ALOS AVNIR-2 disajikan pada Tabel 2, namun demikian sensor ALOS AVNIR-2 tidak dapat mengamati daerah-daerah di
luar 88, 4° Lintang Utara dan 88, 5° Lintang Selatan.
Tabel 3. Karakteristik ALOS AVNIR-2 Tipe
Spesifikasi Jumlah Band
Panjang Gelombang
Resolusi Spasial Lebar PetakSwath Width
Jumlah Detektor Pointing Angle
Bit Length 4
Band 1 : 0,42-0,50 mikrometer Band 2 : 0,52-0,60 mikrometer
Band 3 : 0,61-0,69 mikrometer Band 4 : 0,76-0,89 mikrometer
10 m at Nadir 70 km at Nadir
7000Band -44 +44
8 bit Sumber : http:www.eorc.jaxa.jpALOS diakses 14 Agustus 2011
2.3 Karakteristik Lahan
Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan
performance yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan land
characteristics . Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara
langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan.
Karakteristik lahan land characteristics mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarnya seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah,
air tersedia, dan sebagainya. Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat
berpengaruh terhadap tersedianya air, mudah tidak tanahnya diolah, kepekaan erosi, dan lain-lain. Bila karakteristik lahan digunakan secara langsung dalam
evaluasi lahan, maka kesulitan dapat timbul karena adanya interaksi dari beberapa karakteristik lahan Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007.
2.4 PT. Perkebunan Nusantara VIII