Kondisi Lingkungan dan Oseanografi

87 Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011 tahun 1970an, dengan kedatangan wisatawan internasional gelombang pertama; dan selama 40 tahun berikutnya. Semua kegiatan wisata termasuk selancar, pemandangan pantai, menyelam dan wisata budaya kemudian berkembang dan secara kolektif menyumbang sekitar 80 perkonomian di awal abad 21. Beberapa kutipan berikut ini disarikan dari dokumen latar belakang kegiatan Bali Marine RAP 2011 M. Erdmann, CI Indonesia Marine Program: “Kekayaan sumber daya kelautan Bali telah lama merupakan asset ekonomi penting bagi pulau Bali– baik sebagai sumber ketahanan pangan bagi masyarakat lokal yang mendapatkan sebagian kebutuhan protein hewaninya dari makanan laut maupun untuk wisata kelautan. Atraksi penyelaman dan snorkeling seperti di Nusa Penida, Candi Dasa, Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat, dan di bangkai kapal USS Liberty di Tulamben telah menarik wisatawan ke perairan Bali selama bertahun- tahun. Sementara itu, sektor wisata kelautan swasta telah meluaskan pilihan kegiatannya dengan menambahkan stasiun-stasiun seperti Puri Jati, Karang Anyar, dan Amed. Berbagai kegiatan perekonomian penting lainnya di zona pesisir pantai Bali mencakup budi daya rumput laut dan pengambilan ikan hias.”

5.1.4 Pembangunan

Sensus penduduk di Bali tahun 2010 mencatat penduduk di Bali mencapai 3.891.428 orang. Jumlah ini terus menunjukkan peningkatan dari 2.469.930 orang di tahun 1980, 2.777.811 orang di tahun 1990 dan 3.150.057 orang di tahun 2000 http:www.citypopulation. deIndonesia-MU.html. Peningkatan jumlah penduduk dan dukungan infrastruktur selama beberapa dekade terakhir telah menimbulkan biaya lingkungan yang signiikan: “Sayangnya, pembangunan yang cepat, besar dan tidak terkoordiasi di daerah aliran sungai dan pesisir Bali, disertai dengan rencana tata ruang kelautan yang kurang jelas telah menyebabkan kerusakan yang signiikan pada lingkungan laut di sekitar Bali. Kondisi ini juga diperparah oleh kegiatan penangkapan ikan berlebih dan penangkapan ikan yang merusak, sedimentasi dan eutroikasi dari pembangunan pesisir, pembuangan limbah dan sampah ke laut, dan pengerukanpembangunan saluran di wilayah terumbu karang. Pada titik ini, keberlanjutan berbagai kegiatan ekonomi penting dalam jangka panjang yang terletak di zona pesisir Bali kemudian jadi dipertanyakan.”

5.1.5 Perencanaan untuk keberlanjutan di masa depan

Mengingat semakin meningkatnya tingkat ancaman dan dampak terhadap sumber daya laut dan terestrial Bali, Pemerintah Daerah Bali kini tengah bekerja untuk membuat strategi pembangungan jangka panjang yang komprehensif. Strategi ini salah satunya dilakukan dengan memperbaiki rencana tata ruang kawasan laut dan terestrial Bali M. Erdmann, CI Indonesia Marine Program: “Salah satu bagian penting dari inisiatif ini, telah menjadi keputusan Pemerintah Daerah Bali, adalah merancang dan mengimplementasi jejaring Kawasan Konservasi Perairan yang komprehensif dan tepat di sekitar pulau dengan mengutamakan berbagai kegiatan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan termasuk pariwisata kelautan, budi daya perikanan skala kecil dan berkelanjutan.” Untuk memulai perencanaan jejaring KKP ini, … a lokakarya para pemangku kepentingan … telah diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Bali, Universitas Warmadewa, Universitas Udayana, USAID, Conservation International CI Indonesia dan beberapa LSM lokal yang berada dalam kerangka kerja “Kemitraan Laut Bali”. Lokakarya jejaring KKP Bali dihadiri oleh 70 peserta dari pemerintahan propinsi, pemerintahan kabupaten, universitas, LSM, sektor swasta, kelompok-kelompok masyarakat, forum desa adat dan kelompok-kelompok nelayan. Para peserta lokakarya telah mengidentiikasi 25 stasiun prioritas di sekitar Bali sebagai kandidat teratas untuk dimasukkan dalam jejaring KKP Bali Gambar 5.2. Daftar stasiun-stasiun ini mencakup kawasan lindung lokalnasional yang telah ada seperti Taman Nasional Bali Barat Pulau Menjangan, Nusa Penida, dan Tulamben, juga sejumlah stasiun tambahan yang saat ini tidak memiliki status perlindungan resmi.”

5.1.6 Dasar pemikiran dan penilaian tujuan

Setelah lokakarya 2010, CI diminta oleh Pemerintah Daerah Bali, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi, untuk memimpin sebuah tim yang terdiri dari para ahli lokal dan internasional dalam survei kandidat stasiun-stasiun KKP. Hasil survey ini kemudian akan digunakan untuk membuat suatu rekomendasi mengenai daerah prioritas dan langkah- langkah selanjutnya dalam merancang jejaring KKP. “Pada November 2008 telah dilakukan “Marine Rapid Assessment Program” di Nusa Penida yang memberikan informasi secara komprehensif mengenai keanekaragaman hayati, struktur komunitas, serta kondisi terumbu karang di Nusa Penida beserta ekosistem terkait lainnya yang ada di sekitar Bali. Berdasarkan informasi ini didapatkan beberapa rekomendasi mengenai cara terbaik dalam memprioritaskan 25 kandidat kawasan untuk dimasukkan dalam sebuah jejaring KKP yang terwakili secara ekologi. Informasi ini kemudian digunakan untuk membantu rencana pengembangan jejaring KKP sekaligus sosialisasi rencana ini kepada pemerintah dan pemangku 88 Program Kajian Cepat kepentingan masyarakat lokal dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat umum.” M. Erdmann, CI Indonesia Marine Program 2011. “ Kajian yang dilakukan selama bulan April-Mei 2011, memiliki tiga tujuan utama yakni: • Menilai status terkini mengenai tingkat keragaman, kondisi terumbu karang dan status konservasi kelentingan karang keras di 25 lokasi potensial KKP yang telah diidentiikasi pada lokakarya Jejaring KKP Bali Juni 2010. • Kompilasi data tata ruang terinci mengenai itur biologis yang harus dipertimbangkan dalam menyelesaikan rancangan jejaring KKP Bali. Ini tidak hanya termasuk analisis dari setiap perbedaan dalam struktur komunitas terumbu karang dari ke 25 stasiun prioritas, tetapi secara khusus juga mengidentiikasi kawasan yang sangat penting untuk konservasi karena adanya kumpulan karang batu yang langka atau endemik, komunitas terumbu karang yang sering terpapar upwelling air dingin yang mungkin tahan terhadap perubahan iklim global, atau itur biologis yang lain luar biasa. • Dengan memperhitungkan hal tersebut di atas, diharapkan mampu memberikan rekomendasi konkrit kepada Pemerintah Daerah Bali mengenai langkah- langkah yang harus diambil untuk menyelesaikan rancangan Jejaring KKP Bali. Untuk mencapai hal tersebut di atas, maka penelitian ini dirancang untuk menginventarisasikan spesies karang, struktur komunitas dan status ekologi karang pembangun terumbu karang di Bali. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan survei sebelumnya yang dilakukan di wilayah Segitiga Karang, terutama dengan pulau-pulau yang berdekatan Nusa Penida, Derawan Berau, Kalimantan Timur, TNC REA 2004, wilayah Sangihe-Talaud Sulawesi Utara, TNC REA 2001, Taman Nasional Bunaken Sulawesi Utara, IOI 2003, Raja Ampat CI Marine RAP 2001dan TNC REA 2002, Teluk Cendrawasih CI Marine RAP 2006, garis pantai FakFak Kaimana CI Marine RAP 2006. Hasinya adalah untuk menilai secara kuantitatif kesamaan ekologi dan taksonomi kumpulan karang di sepanjang wilayah Segitiga Karang.

5.2 Metode

Rapid Ecological Assessment REA ini dilakukan dengan penyelaman SCUBA di 31 daerah karang di sekitar Bali pada bulan April-Mei 2011. Pengamatan ini juga sekaligus melengkapi 17 lokasi lainnya yang telah disurvei di Nusa Penida pada tahun 2008. Masing-masing lokasi dicatat posisinya dengan menggunakan GPS Gambar 5.3, Lampiran I. Pada situs pengamatan umumnya dijumpai Gambar 5.2. Kandidat stasiun-stasiun prioritas dan nonprioritas yang diidentifikasi selama lokakarya KKP Bali, Juni 2010. 89 Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011 stasiun-stasiun terumbu karang dalam dan dangkal masing- masing ditetapkan sebagai stasiun .1 dan .2 yang disurvei bersamaan. Jumlah total stasiun yang mewakili terumbu karang dalam kedalaman 10m dan dangkal, terumbu karang rata dan berpuncak crest and lat kedalaman 10m adalah 85 stasiun. Sesuai dengan panduan penyelaman yang aman, stasiun perairan yang dalam mencapai 30-40 meter disurvei terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan secara bertahap ke perairan yang lebih dangkal. Pada laporan ini, istilah ‘situs’ mengacu pada hasil gabungan dari dua stasiun kedalaman, kecuali bila ditentukan dengan penanda kedalaman tertentu masing-masing stasiun .1 dan .2. Metode ini serupa dengan yang dilakukan di sekitar 35 wilayah lain di Indonesia dan Indo Pasiik. Sehingga, dengan demikian dapat dilakukan perbandingan secara terinci mengenai keragaman spesies, komposisi dan struktur komunitas, serta keterwakilan dan sifat saling melengkapi komunitas karang yang ada di kawasan yang berbeda. Metode di lapangan dan analisis dijelaskan secara rinci di tempat lain misalnya pada DeVantier dkk. 1998. Pada setiap stasiun, luasan total kawasan yang disurvei melalui penyelaman mencakup sekitar 1 hektar. Secara ‘semi-kuantitatif ’, metode ini terbukti lebih unggul dari metode kuantitatif yang lebih tradisional transek, petak. Dalam penilaian keaneka-ragaman hayati metode ini memungkinkan pencarian aktif untuk catatan spesies baru di setiap stasiun, daripada hanya terbatas pada area petak yang telah ditentukan atau pada garis transek. Sebagai contoh, dengan metode ini biasanya menghasilkan catatan spesies karang dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan metode transek garis yang dilakukan bersamaan di stasiun yang sama DeVantier dkk. 2004. Ada dua tipe informasi yang dicatat pada lembar data selama penyelaman di masing-masing stasiun yakni: 1. Inventarisasi spesies, genus dan famili dari taksa-taksa bentik yang menetap atau sesil sesile; dan 2. Kajian persentase tutupan substrat berdasarkan kelompok bentik utama dan status berbagai parameter lingkungan sesuai dengan Done 1982, Sheppard dan Sheppard 1991.

5.2.1 Inventarisasi taksonomi

Inventarisasi taksa-taksa bentik sesil secara terinci dikumpulkan di setiap penyelaman. Taksa diidentiikasi in situ berdasarkan tingkatan berikut: • Karang batu karang keras – spesies apapun yang termasuk dalam kategori sesuai dengan: Veron dan Pichon 1976, 1980, 1982, Veron, Pichon dan Wijsman- Best 1977, Veron dan Wallace 1984, Veron 1986, 1993, 1995, 2000, Best dkk. 1989, Hoeksema 1989, Wallace dan Wolstenholme 1998, Wallace 1999, Veron dan Staford-Smith 2002, Turak dan DeVantier 2011, ataupun berdasarkan genus dan bentuk pertumbuhan misal, Porites sp. dengan bentuk pertumbuhan yang sangat besar. • Karang lunak, zoanthidae, corallimorpharia, anemon dan beberapa genus makro-alga, famili atau kelompok taksonomi yang lebih luas lagi Allen dan Steen 1995, Colin dan Arneson 1995, Gosliner dkk. 1996, Fabricius dan Alderslade 2000; • Makro-bentos sesil lainnya, seperti spons, ascidian dan kebanyakan spesies alga – biasanya ilum dengan bentuk pertumbuhan Allen dan Steen 1995, Colin dan Arneson 1995, Gosliner dkk. 1996. Pada setiap akhir survei, inventarisasi tersebut diulas dimana masing-masing taksa dikelompokkan berdasarkan kelimpahan relatif taksa tersebut dalam suatu komunitas Tabel 5.1.. Pemberian peringkat berdasarkan urutan ini serupa dengan analisis vegetasi Barkman dkk. 1964, van der Maarel 1979, Jongman dkk. 1997. Untuk setiap taksa karang yang didapat, dibuat perkiraan visual kasat mata mengenai jumlah karang yang rusak daerah permukaan yang mati di setiap koloni pada setiap stasiun, dengan nilai kenaikan 0-1 di mana 0 = tidak ada kerusakan dan 1 = semua koloni mati. Proporsi perkiraan koloni masing-masing taksa pada setiap tiga kelas ukuran juga dibuat perkiraannya. Ukuran kelas tersebut adalah diameter 1 - 10 cm, diameter 11 - 50 cm dan diameter 50 cm Tabel 5.1.. Kepastian taksonomi: Meskipun ada kemajuan terbaru dalam identiikasi lapangan dan menstabilkan taksonomi karang Hoeksema 1989, Veron 1986, Wallace 1999, Veron 2000, Veron dan Staford-Smith 2002, namun masih tetap ada ketidakpastian taksonomi substansial dan ketidaksepakatan di antara para ahli Fukami dkk. 2008. Hal ini terutama terjadi pada famili Acroporidae dan Fungiidae, di mana setiap tenaga ahli yang berbeda memberikan klasiikasi taksonomi dan catatan kronologi nama ilmiah yang berbeda untuk berbagai spesies karang Hoeksema 1989, Sheppard dan Sheppard 1991, Wallace 1999, Veron 2000. Karena itu analisisnya bergantung Tabel 5. 1. Kategori kelimpahan relatif, kerusakan dan ukuran diameter maksimum setiap taksa bentik dalam inventarisasi biologi. Peringkat Kelimpahan Relatif Kerusakan Ukuran Distribusi Frekuensi Tidak ada 0 - 1 dengan nilai 0,1 untuk setiap kenaikan maupun penurunan Masing-masing proporsi karang dikategorikan dalam 3 ukuran: 1-10 cm 11-50 cm 50 cm 1 Jarang 2 Tidak umum 3 Umum 4 Berlimpah 5 Dominan