KESIMPULAN bali mrap bahasa indonesia updated

82 Program Kajian Cepat RINGKASAN Survei keragaman spesies dan status komunitas karang dilakukan pada bulan November 2008 di Nusa Penida dan pada bulan April hingga Mei 2011 di pulau Bali. Kawasan ini berlokasi di kepulauan Sunda Kecil di tepi selatan Segitiga Karang Coral Triangle yang dikenal sebagai laut tropis yang kaya akan keragaman hayati. Survei ini dirancang untuk mengkaji keragaman hayati dan kondisi ekologi laut serta mengidentiikasi lokasi dengan prioritas konservasi guna menunjang fungsi kawasan perlindungan laut. Survei diselenggarakan atas kerjasama antara Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI dengan Conservation International Indonesia. Terdapat total 85 stasiun perairan dalam maupun dangkal di 48 situs pengamatan masing-masing dengan lokasi GPS yang telah disurvei dalam MRAP Nusa Penida maupun MRAP Bali. Komunitas terumbu karang dikaji dalam berbagai tingkat paparan gelombang, arus dan suhu laut yang mencakup seluruh tipe habitat: perairan dingin pada pantai berbatu, perairan dingin dengan permukaan terumbu karang yang luas, perairan hangat dengan permukaan terumbu karang yang sempit hingga luas, serta komunitas karang yang tumbuh pada perairan yang didominasi substrat lunak. Survei dilakukan di daerah dengan variasi parameter kunci yang khas dan konsisten bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang yang meliputi: aliran arus mulai dari sekitar 1 knot sampai 4 knot, suhu mulai dari 23 o –30 o C, Namun di beberapa tempat ada pula hingga 16 o C dan energi gelombang mulai dari 1 m sampai 5 m, yang terkait dengan paparan Arlindo Arus Lintas Indonesia di Selat Lombok, upwelling lokal serta arus laut dari Samudera Hindia. Kelimpahan spesies dan spesies yang belum dideskripsikan: Terdapat 406 spesies karang yang diidentiikasi sebagai penyusun terumbu karang hermatypic di Bali. Ini belum termasuk 13 spesies lainnya yang belum dikonirmasi dan memerlukan kajian taksonomi lebih lanjut. Setidaknya terdapat satu spesies yang dikategorikan sebagai spesies baru yakni Euphyllia spec. nov. Terdapat pula spesies Isopora sp. yang secara morfologi memiliki perbedaan signiikan dengan spesies yang telah dideskripsikan sebelumnya. Selain itu, ada pula beberapa spesies yang umumnya memiliki daerah sebaran luas, secara konsisten dijumpai di perairan Bali dengan morpho-type lokal, sehingga kemungkinan terdapat lebih dari 420 hermatypic Scleractinia di Bali. Masing-masing situs titik pengamatan di Bali memiliki keragaman karang rata-rata 112 spesies st.dev ± 42 spesies. Situs dengan keragaman yang paling rendah adalah 2 spesies di Puri Jati Situs B22, lokasi berlumpur dan tidak berterumbu karang. Sedang yang tertinggi adalah 181 spesies di Jemeluk, Amed B16. Lokasi lainnya yang memiliki jumlah spesies yang cukup tinggi adalah Menjangan-utara 168 spesies, Situs B26 dan Penuktukan 164 spesies, Situs B21. Hasil pengamatan ini mirip dengan kondisi karang yang dijumpai di Taman Nasional Bunaken dan Wakatobi berturut-turut 392 dan 396 spesies, serta lebih tinggi dari Komodo dan Kepulauan Banda 342 dan 301 spesies. Akan tetapi kelimpahan ini lebih rendah dari Derawan, Raja Ampat, Teluk Cenderwasih, Fak-FakKaimana dan Halmahera seluruhnya sekitar 450 spesies atau lebih. Struktur Komunitas: Pada tingkat situs, ada 5 tipe utama komunitas karang yang diidentiikasi. Tipe komunitas ini terkait dengan tingkat paparan gelombang, arus – upwelling, tipe substrat dan lokasi geograi. Kelima komunitas ini kemudian dibagi dalam 10 kelompok karang utama. Masing-masing dari kelima komunitas ini dicirikan dengan atribut spesies dan bentik yang berbeda. Bab 5 Keragaman Spesies dan Prioritas Konservasi Terumbu Karang di Propinsi Bali, Indonesia Emre Turak dan Lyndon DeVantier 83 Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011 Tutupan karang: Tutupan karang batu karang keras hidup rata-rata adalah 28. Sedangkan tutupan karang mati umumnya rendah yakni rata-rata 4. Sehingga, rasio tutupan karang keras yang hidup : mati sangat positif yakni 7 : 1 yang menunjukkan sistem terumbu karang dalam kondisi tutupan karang yang sedang sampai bagus. Kawasan dengan tutupan karang lunak yang tinggi terdapat pada dasar laut dengan puing karang yang terbentuk karena kegiatan penangkapan ikan yang merusak, pemangsaan karang dan pembuangan pecahan karang yang terlokalisir selama pembangunan budi daya rumput laut. Beberapa bukti baik yang baru maupun lama dampak kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak dan penyakit karang juga ditemukan. Penyakit karang biasanya terdapat pada spesies tabular Acropora. Beberapa kerusakan lokal akibat penyelaman untuk rekreasi pun terlihat. Suatu respon akibat tekanan yang kuat dalam bentuk pertumbuhan siano bakteri kemungkinan terkait dengan eutroikasi dan rembesan limbah dari pembangunan pariwisata pesisir. Kerusakan karang: Dengan berbagai ancaman yang telah disebutkan di atas, secara keseluruhan terumbu karang di Bali saat ini menunjukkan tingkat kerusakan yang relatif rendah. Baik dalam proporsi spesies yang mengalami kerusakan maupun rata-rata tingkat kerusakan yang dialami. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tegakan monospeciic yang besar dan tutupan karang yang cukup luas. Sisa kerusakan akibat berbagai gangguan di masa lalu pun cukup kecil. Misalnya pemutihan karang terkait dengan tingkat kematian yang dipicu oleh meningkat ataupun menurunnya suhu air laut, wabah pemangsaan terhadap karang, kegiatan penangkapan ikan yang merusak, penyakit atau berbagai dampak lainnya. Hal ini sejalan dengan tingginya rasio positif antara tutupan karang hidup : karang mati. Perbandingan antar wilayah: Komposisi terumbu karang Bali memiliki tipe yang mirip dengan kawasan yang lebih luas. Ini dicirikan dengan sebagian besar spesies yang tercatat di Bali juga dijumpai di lokasi lainnya di kawasan Segitiga karang Coral Triangle. Meskipun memiliki kesamaan yang cukup tinggi dalam hal komposisi spesies, namun terdapat beberapa perbedaan penting dalam struktur komunitas karang yang terlihat antara masing-masing wilayah. Seperti halnya dengan pulau Komodo dan Sunda Kecil, kondisi terumbu karang di Bali bergantung pada kondisi aliran arus dan upwelling air dingin. Hal ini berbeda dengan kawasan utara seperti misalnya Derawan, Sangihe-Talaud, Halmahera dan Bentang Laut Kepala Burung di Papua Barat yang memiliki kekayaan spesies maupun habitat yang tinggi. Berbagai prioritas konservasi: Penemuan spesies yang belum dideskripsi Euphyllia di pantai Timur Bali, dan keberadaan karang endemik lokal lainnya, khususnya Acropora suharsonoi, memberi kesan bahwa wilayah ini memiliki tingkat keunikan fauna, yang mungkin terkait dengan aliran arus yang melalui Selat Lombok. Dalam hal ini Arlindo yang kuat, dipercaya mampu membatasi ataupun mendorong penyebaran dan rekrutmen penambahan populasi di berbagai tempat. Rekrutmen lokal di sekitar Nusa Penida kemungkinan dibatasi oleh arus, yang membawa larva hanyut lebih jauh lagi. Penelitian mengenai genetik, reproduksi dan kolonisasi larva diperlukan untuk menguji hipotesis ini. Bila hal ini benar, maka jika sampai terjadi kerusakan Nusa Penida dan sekitarnya akan memerlukan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya dengan mengandalkan pengisian kembalipenambahan dari sumber dari luar. Komunitas karang di Nusa Penida berbeda dengan yang ada di pulau utama Bali. Ini terkait dengan perbedaan kondisi lingkungan serta kegiatan penduduk yang ada di dalamnya, sehingga memerlukan fokus pengelolaan yang terpisah. Terumbu karang dengan status konservasi lokal yang tinggi di sekitar Nusa Penida meliputi Crystal Bay, Toya Pakeh, Sekolah Dasar dan Nusa Lembongan Situs N3, N4, N7, N8, N14 dan N17. Sedangkan, terumbu karang dengan nilai konservasi tinggi di sekitar Bali terdapat di sepanjang pesisir Timur dan Utara, termasuk Jemeluk, Menjangan, Gili Tepekong, Penutukan, Bunutan, Gili Selang dan Gili Mimpang Situs B16, B26, B10, B14, B21, B15, B25, B8, B18 dan B7. Seluruh terumbu karang di atas berpotensi kuat untuk pengembangan KKP asalkan sumber daya logistiknya mencukupi dan disediakan dukungan jangka panjang. Khususnya, situs 26 di Menjangan sudah menjadi bagian dari kawasan lindung Taman Nasional Bali Barat. Terumbu karang di Jemeluk Amed dan di sekitar Gili Tepekong, Gili Selang dan Gili Mimpang juga memiliki nilai konservasi yang tinggi untuk beberapa kriteria yang berbeda. Kawasan Batu Tiga sangat berpotensi untuk pengembangan KKP, mengingat bahwa pulau-pulau di sana tidak berpenghuni dan terumbu karangnya kerap digunakan untuk rekreasi penyelaman SCUBA. Komunitas karang di pesisir Selatan pulau Bali tidak disurvei secara menyeluruh karena besarnya ombak lautan. Terumbu karang di pesisir Selatan Bali sangat berharga bagi kegiatan selancar air yang menarik sejumlah besar wisatawan untuk datang ke Bali setiap tahunnya. Perlu diperhatikan bahwa konservasinya di masa depan harus diprioritaskan untuk mempertahankan wisata jenis ini. Lebih jauh ke lepas pantai, beberapa kawasan tersebut juga merupakan koridor migrasi penting bagi beberapa spesies cetacean dan hewan lainnya. Adanya upwelling dingin maupun aliran arus yang kuat dan konsisten di beberapa kawasan misalnya, Nusa Penida, Bali Timur, dan di Komodo serta wilayah lainnya di Indonesia bisa menjadi satu hal yang sangat penting untuk menjaga terumbu karang dari meningkatnya suhu air laut terkait dengan perubahan iklim global. Pengembangan KKP di Bali sangat potensial untuk dikembangkan asalkan disertai dengan logistik yang cukup 84 Program Kajian Cepat maupun dukungan jangka panjang. Dampak dari buruknya pengaturan pengelolaan pengembangan pariwisata serta berbagai bentuk polusi juga merupakan beberapa hal yang mesti diperhatikan. Untuk keperluan pembentukan jejaring KKP ini dibuat beberapa rekomendasi berikut: 1. Mengingat banyaknya jenis aktivitas yang dilakukan di sekitar kawasan terumbu karang di Bali maka KKP dengan multifungsi merupakan pilihan yang paling tepat untuk dikembangkan di Bali dengan memuat zonasi kawasan pada berbagai tingkat perlindungan dan penggunaan. Namun demikian, model ini harus mencakup wilayah inti disamping kegiatan yang bersifats ekstraktif guna memastikan adanya konservasi pada habitat penting, tipe komunitas serta mendorong terjadinya pemulihan maupun peningkatan kualitas kawasan. 2. Sebisa mungkin, jejaring KKP harus mencakup kawasan representatif dan mencakup tipe komunitas karang utama Gambar 5.7. dan 5.12, serta terumbu karang dengan nilai konservasi tinggi keragaman, pengisian kembalipenambahan, kelangkaan, Tabel 5.10. 3. Sebisa mungkin jejaring tersebut juga mencakup terumbu karang yang bergantung pada upwelling air dingin danatau aliran arus yang kuat dan konsisten, sebagai pelindung terhadap potensi meningkatnya suhu air laut terkait dengan perubahan iklim global. 4. Ada banyak persaingan dalam penggunaan sumber daya pesisir dan laut di Bali yang akan menjadi tantangan untuk ditemukannya suatu keseimbangan dalam perlindungan dan penggunaan. Mengingat pentingnya kegiatan pariwisata berbasis laut berselancar, menyelam, berenang, maka harus ada fokus khusus untuk menjaga bentang terumbu karang yang sehat dan menarik untuk berbagai kegiatan tersebut. Karenanya, kegiatan harus difokuskan pada berbagai pilihan yang tidak merusak dan non-ekstraktif di zona inti. 5. Ketika suatu jejaring KKP ditetapkan, maka penegakan hukum akan menjadi sangat penting. 6. Pertimbangan untuk menggunakan sistem ‘User-Pays’ seperti misalnya di Taman Nasional Bunaken di mana pengunjung membayar sejumlah biaya untuk mengakses kawasan. Hal ini akan memberikan dana yang signiikan untuk pengelolaan KKP dan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dalam hal sampah dan kualitas air: 1. Ada banyak masalah terkait sampah dan berbagai bentuk polusi perairan di Bali. Sejumlah strategi dapat digunakandikembangkan untuk mengurangi jumlah maupun dampak sampah plastik dan polutan lainnya yakni: a mendorong penggunakan kemasan tradisional menggunakan daun sebanyak yang bisa dipraktekkan; b melanjutkan kampanye pendidikan melalui berbagai media massa dan sekolah; c mengadakan berbagai kegiatan secara sukarela maupun yang didanai untuk membersihkan sampah di pantai dan terumbu karang. 2. Memperbaiki aliran dan kualitas air sungai guna mengurangi perpindahan sampahpolutan ke terumbu karang dengan mengembalikan vegetasi tepi sungai; dan dengan kampanye pendidikan publik mengenai pembuangan limbah yang tepat.

5.1 PENDAHULUAN

Bali-Indonesia terletak di kawasan segitiga karang dunia he Coral Triangle yang berbatasan dengan perairan dalam di Selat Lombok. Bali merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas, yang dikenal sebagai Kepulauan Sunda Kecil membentang mulai dari Bali di sebelah barat hingga ke Timor di sebelah timur merupakan kesatuan wilayah Ekoregion Lesser Sunda Ecoregion = LSE Green dan Mous 2007. Wilayah ini terkenal akan keanekaragaman hayati laut yang sangat luar biasa Gambar 5.1.

5.1.1 Kondisi Lingkungan dan Oseanografi

Bali memiliki kondisi oseanograi, sejarah tektonik-eustatik dan pola-pola ekologi biologi jajaran Kepulauan Sunda Kecil. Bali juga merupakan batas Barat Laut menuju Samudera Hindia, yang utamanya dicirikan dengan beberapa itur klimatologi dan oseanograi. Berbeda dengan wilayah di sebelah barat yang terletak di Paparan Sunda, ataupun dengan wilayah yang lebih ke timur misalnya Papua di Paparan Sahul, Kepulauan Sunda Kecil beserta pulau-pulau di sebelah utaranya, memiliki perairan dalam yang berdekatan dengan pesisir pantainya. Pulau- pulau ini diperkirakan memainkan peranan penting sebagai perlindungan biologis selama fase glasiasi Pleistosen, dengan implikasi biogeograi yang signiikan Barber dkk. 2000: “…ada perbedaan genetik wilayah yang sangat kuat yang mencerminkan pemisahan cekungan samudera selama permukaan air laut rendah di kala Pleistosen, yang menunjukkan bahwa koneksi ekologi jarang melintasi jarak sampai 300–400 km dan bahwa sejarah biogeograi juga memengaruhi konektivitas kontemporer antara berbagai ekosistem terumbu karang.’ Kepulauan Sunda Kecil, termasuk Bali nampaknya merupakan zona peralihan penting, dengan unsur- unsur fauna yang berbeda, termasuk stomatopoda, ikan M. Erdmann, G. Allen kom. pri. karang endemik, serta kelompok karang dengan kepadatan karang yang relatif 85 Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011 Gambar 5.1. Segitiga Karang merah tua, mengikuti Veron dkk. 2009. Bali terletak di sudut Barat Daya. rendah di beberapa kawasan karena tingginya paparan gelombang dan arus. Bali terletak cukup dekat dengan garis khatulistiwa yang tidak terpengaruh langsung oleh badai tropis dan topan. Ada 2 musim munson setiap tahunnya yakni munson Tenggara didominasi cuaca yang kering dan panas serta muson Barat Laut yang membawa hujan pada bulan November sampai April. Bali berlokasi di wilayah yang dipengaruhi oleh Indian Ocean Dipole IOD. IOD menyebabkan terjadinya anomali upwelling, suhu permukaan laut yang rendah, dan ketinggian permukaan laut yang rendah di sepanjang Samudera Hindia bagian timur laut pada tahun 1997 Abram dkk. 2004, van Woesik 2004. “Seiring dengan upwelling di wilayah perairan, yang menyebabkan adanya mengayaan unsur hara dan berkembangnya itoplankton di lepas pantai Bali, juga terdapat bukti berkembangnya makro alga di terumbu karang Bali. … Kematian karang merupakan akibat tekanan isik langsung oleh makro alga ini. Acropora dan karang pocilloporidae sangat rentan. Spesies karang ini ada di mana-mana, yang juga merupakan karang yang paling peka di Samudera Hindia dan Pasiik, dan biasanya yang pertama kali merespon segala bentuk gangguan … anomali rendahnya permukaan air laut yang terkait dengan IOD diakibatkan oleh paparan udara langsung yang berkepanjangan, sehingga menyebabkan kematian karang yang cukup besar. … IOD yang terkait dengan upwelling, kebakaran hutan, dan menyebabkan kematian karang yang signiikan yang mungkin telah menjalar sampai sejauh 4000 km...” van Woesik 2004. “ Pengaruh pasti IOD di tahun 1997 ke arah timur masih belum diketahui, walaupun ada konsentrasi Kloroil A yang sangat tinggi di bulan September 1997 tapi tidak tampak meluas sampai ke arah timur keluar Bali. Percampuran samudera yang kuat biasanya mempengaruhi konsentrasi unsur hara maupun suhu permukaan laut. Produktivitas permukaan air laut, ditunjukkan oleh konsentrasi Kloroil A yang tersebar secara tidak merata baik secara spasial dan temporal ruang dan waktu. Perairan di sebelah selatan gugusan pulau utama memiliki konsentrasi yang lebih tinggi daripada yang di sebelah utara. Suhu permukaan air laut biasanya lebih dingin di sepanjang pesisir bagian selatan Samudera Hindia, terutama di kawasan bagian timur dan tengah misal Gambar 5.4., Mei 2004. Pesisir di bagian utara biasanya lebih hangat di luar kawasan upwelling yang sangat terlokalisasi. Pesisir yang menghadap ke selatan dan barat daya terpapar oleh gelombang laut dalam jangka panjang dari Samudera Hindia dengan ketinggian mencapai 5 m, yang dihasilkan dari badai tropis sedang yang umumnya berjarak ribuan kilometer dari Bali. Bali dan Lombok masing-masing memiliki gunung berapi dan sering mengalami gempa bumi yang terjadi secara periodik. Dengan demikian, potensi Tsunami pun dapat terjadi akibat adanya aktivitas tektonik ini. 86 Program Kajian Cepat Pesisir timur Bali berbatasan dengan Selat Lombok yang memiliki kedalaman lebih dari 1.000 m di beberapa tempat yang menjadi koridor utama Arlindo Indonesian hroughlow = ITF yang membawa air dari Samudera Pasiik melalui Indonesia menuju Samudera Hindia. Walaupun arah utama dari pergerakan ini dari utara ke selatan, namun ada juga pertukaran air yang terbatas dari arah sebaliknya. Arlindo membawa air laut yang hangat dengan salinitas rendah dari Samudera Pasiik Utara dan Tengah-Barat ke Samudera Hindia Timur Laut. “Sebanyak hampir 20 juta m 3 detik aliran air Godfrey 1996 … dari Samudera Pasiik ke Samudera Hindia melalui Kepulauan Indonesia. Air yang berasal dari Pasiik, terbawa dalam Arlindo masuk ke Laut Sulawesi, bergerak ke selatan dengan kecepatan hingga 1 mdetik Wyrtki 1961 melalui Selat Makassar. Menyebar ke selatan dan timur ke Laut Flores dan Laut Banda, akhirnya keluar di antara Kepulauan Sunda Kecil Gordon Fine 1996. Arus timur-barat yang membalik secara musiman dapat mencapai 75 cmdetik dari Laut Jawa dan Laut Flores Wyrtki 1961 kemudian bercampur dengan air permukaan.” Barber dkk. 2002. Upwelling lokal dihasilkan dari Arlindo menyebabkan perbedaan suhu air laut bisa mencapai 14 o C dalam beberapa km berkisar mulai 16 - 30 o C. Selain efek dari Arlindo, pola arus permukaan laut di sekitar Bali dan di pulau-pulau yang berdekatan dipengaruhi oleh pasang surut, angin dan tenaga gelombang musiman. Lamanya periode gelombang besar di Samudera Hindia berdampak pada garis pantai bagian selatan yang cenderung memperlihatkan faktor pembeda utama pada komposisi spesies dan struktur komunitas Hal ini tidak terlalu terlihat di bagian utara karena ombak makin mengecil pada saat bergerak ke utara di antara pulau-pulau.

5.1.2 Pola-pola biologis dan biogeografi serta keendemikan

Mungkin bersifat paradoks, karena kawasan utama Arlindo misal Selat Lombok dapat dianggap baik sebagai penyumbang ataupun pembatas persebaran spesies. Berbagai arus lokal dapat dibuktikan sama pentingnya dengan pengaruh Arlindo dalam menghubungkan dan mengisolasi populasi lokal. “[Meskipun] data oseanograi skala luas dapat memberikan perkiraan persebaran yang wajar …, data lain mungkin terlalu menyederhanakan keadaan arus yang membawa larva yang berasal dari lingkungan di sekitar pantai. Pusaran arus, yang merupakan zona di mana arus stagnan, dan arus lokal yang membalik dari arus di pantai dengan garis pantai yang panjang adalah hal yang umum di terumbu karang, seperti halnya arus musiman, pasang surut dan perubahan arus yang terjadi karena cuaca … Pola arus dalam skala menengah seperti ini dapat berpengaruh besar pada pergerakan dan tertahannya larva secara lokal… dan hal ini berpengaruh pada pembentukan unit-unit populasi dengan formasi dan struktur genetik yang berbeda” Barber dkk. 2002. Wilayah Kepulauan Sunda Kecil yang luas mendukung kehidupan lebih dari 500 spesies karang keras Scleractinia sebagai pembangun terumbu karang 523 spesies; Veron dkk. 2009. Sebelumnya, telah dilakukan pula pengkajian terhadap 12 stasiun taksonomi - berpusat di Bali dan pantai Utara Flores dilakukan oleh Charlie Veron, serta 104 stasiun survei ekologi - berpusat di Komodo, Lombok Barat dan Timor Barat – Roti, telah dikaji dilakukan Turak dan De Vantier. Masing-masing lokasi ini berbeda dengan yang lain, namun sejauh mana keunikannya selaku perwakilan dari kawasan yang lebih luas hingga saat ini masih belum dinilai. Kepulauan Sunda Kecil, memiliki beberapa perbedaan dalam hal komposisi spesies karang serta pola dalam struktur komunitas, terutama yang disebabkan oleh perbedaan oseanograi lokal – regional, khususnya upwelling dan gelombang laut. Faktor penting lainnya adalah kesesuaian antara habitat dan substrat. Garis pantai Bali dan pulau- pulau yang berdekatan terbentuk dari kapur, menunjukkan periode awal pertumbuhan dan deposisiendapan karang. Wilayah yang lebih luas ‘bentang pulau bagian selatan’ teridentiikasi sebagai kawasan endemik penting di dalam Segitiga Karang Erdmann dan Manning 1998, Wallace 1994, 1997, Allen 2007, Veron dkk. 2009. Wilayah ini menjadi rumah bagi spesies, yang berdasarkan data saat ini, diyakini merupakan endemik atau sub-endemik jarang terjadi di kawasan lain di dalam Segitiga Karang. Penemuan-penemuan yang terjadi di sekitar wilayah penelitian ini, tercantum di berikut beserta nama penulis dan tempat ditemukannya. Acroporidae • Acropora suharsonoi Wallace, 1994 Lombok • Acropora sukarnoi Wallace, 1997 Bali • Acropora parahemprichii Veron, 2002 Bali • Acropora minuta Veron, 2002 Bali • Acropora pectinatus Veron, 2002 Bali Poritidae • Alveopora minuta Veron, 2002 Bali Fungiidae • Halomitra meierae Veron, 2002 Bali Beberapa spesies ini misalnya Acropora pectinatus, Acropora sukarnoi, Alveopora minuta kemudian juga ditemukan di mana-mana. Namun demikian, kawasan Bali – Lombok hingga saat ini dianggap sebagai lokasi yang menarik karena keendemikan karangnya tersebut.

5.1.3 Sosio-ekonomi

Gaya hidup tradisional Bali sangat bergantung pada berbagai bentuk kegiatan pertanian subsisten yang dahulu berkembang pada lahan vulkanik yang subur dari gunung berapi aktif di Bali dan perikanan kehidupan pesisir laut yang kaya. Hal ini berubah dengan cepat pada awal 87 Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011 tahun 1970an, dengan kedatangan wisatawan internasional gelombang pertama; dan selama 40 tahun berikutnya. Semua kegiatan wisata termasuk selancar, pemandangan pantai, menyelam dan wisata budaya kemudian berkembang dan secara kolektif menyumbang sekitar 80 perkonomian di awal abad 21. Beberapa kutipan berikut ini disarikan dari dokumen latar belakang kegiatan Bali Marine RAP 2011 M. Erdmann, CI Indonesia Marine Program: “Kekayaan sumber daya kelautan Bali telah lama merupakan asset ekonomi penting bagi pulau Bali– baik sebagai sumber ketahanan pangan bagi masyarakat lokal yang mendapatkan sebagian kebutuhan protein hewaninya dari makanan laut maupun untuk wisata kelautan. Atraksi penyelaman dan snorkeling seperti di Nusa Penida, Candi Dasa, Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat, dan di bangkai kapal USS Liberty di Tulamben telah menarik wisatawan ke perairan Bali selama bertahun- tahun. Sementara itu, sektor wisata kelautan swasta telah meluaskan pilihan kegiatannya dengan menambahkan stasiun-stasiun seperti Puri Jati, Karang Anyar, dan Amed. Berbagai kegiatan perekonomian penting lainnya di zona pesisir pantai Bali mencakup budi daya rumput laut dan pengambilan ikan hias.”

5.1.4 Pembangunan

Sensus penduduk di Bali tahun 2010 mencatat penduduk di Bali mencapai 3.891.428 orang. Jumlah ini terus menunjukkan peningkatan dari 2.469.930 orang di tahun 1980, 2.777.811 orang di tahun 1990 dan 3.150.057 orang di tahun 2000 http:www.citypopulation. deIndonesia-MU.html. Peningkatan jumlah penduduk dan dukungan infrastruktur selama beberapa dekade terakhir telah menimbulkan biaya lingkungan yang signiikan: “Sayangnya, pembangunan yang cepat, besar dan tidak terkoordiasi di daerah aliran sungai dan pesisir Bali, disertai dengan rencana tata ruang kelautan yang kurang jelas telah menyebabkan kerusakan yang signiikan pada lingkungan laut di sekitar Bali. Kondisi ini juga diperparah oleh kegiatan penangkapan ikan berlebih dan penangkapan ikan yang merusak, sedimentasi dan eutroikasi dari pembangunan pesisir, pembuangan limbah dan sampah ke laut, dan pengerukanpembangunan saluran di wilayah terumbu karang. Pada titik ini, keberlanjutan berbagai kegiatan ekonomi penting dalam jangka panjang yang terletak di zona pesisir Bali kemudian jadi dipertanyakan.”

5.1.5 Perencanaan untuk keberlanjutan di masa depan

Mengingat semakin meningkatnya tingkat ancaman dan dampak terhadap sumber daya laut dan terestrial Bali, Pemerintah Daerah Bali kini tengah bekerja untuk membuat strategi pembangungan jangka panjang yang komprehensif. Strategi ini salah satunya dilakukan dengan memperbaiki rencana tata ruang kawasan laut dan terestrial Bali M. Erdmann, CI Indonesia Marine Program: “Salah satu bagian penting dari inisiatif ini, telah menjadi keputusan Pemerintah Daerah Bali, adalah merancang dan mengimplementasi jejaring Kawasan Konservasi Perairan yang komprehensif dan tepat di sekitar pulau dengan mengutamakan berbagai kegiatan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan termasuk pariwisata kelautan, budi daya perikanan skala kecil dan berkelanjutan.” Untuk memulai perencanaan jejaring KKP ini, … a lokakarya para pemangku kepentingan … telah diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Bali, Universitas Warmadewa, Universitas Udayana, USAID, Conservation International CI Indonesia dan beberapa LSM lokal yang berada dalam kerangka kerja “Kemitraan Laut Bali”. Lokakarya jejaring KKP Bali dihadiri oleh 70 peserta dari pemerintahan propinsi, pemerintahan kabupaten, universitas, LSM, sektor swasta, kelompok-kelompok masyarakat, forum desa adat dan kelompok-kelompok nelayan. Para peserta lokakarya telah mengidentiikasi 25 stasiun prioritas di sekitar Bali sebagai kandidat teratas untuk dimasukkan dalam jejaring KKP Bali Gambar 5.2. Daftar stasiun-stasiun ini mencakup kawasan lindung lokalnasional yang telah ada seperti Taman Nasional Bali Barat Pulau Menjangan, Nusa Penida, dan Tulamben, juga sejumlah stasiun tambahan yang saat ini tidak memiliki status perlindungan resmi.”

5.1.6 Dasar pemikiran dan penilaian tujuan

Setelah lokakarya 2010, CI diminta oleh Pemerintah Daerah Bali, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi, untuk memimpin sebuah tim yang terdiri dari para ahli lokal dan internasional dalam survei kandidat stasiun-stasiun KKP. Hasil survey ini kemudian akan digunakan untuk membuat suatu rekomendasi mengenai daerah prioritas dan langkah- langkah selanjutnya dalam merancang jejaring KKP. “Pada November 2008 telah dilakukan “Marine Rapid Assessment Program” di Nusa Penida yang memberikan informasi secara komprehensif mengenai keanekaragaman hayati, struktur komunitas, serta kondisi terumbu karang di Nusa Penida beserta ekosistem terkait lainnya yang ada di sekitar Bali. Berdasarkan informasi ini didapatkan beberapa rekomendasi mengenai cara terbaik dalam memprioritaskan 25 kandidat kawasan untuk dimasukkan dalam sebuah jejaring KKP yang terwakili secara ekologi. Informasi ini kemudian digunakan untuk membantu rencana pengembangan jejaring KKP sekaligus sosialisasi rencana ini kepada pemerintah dan pemangku