25
pelayaran saja, artinya adalah setiap orang berhak untuk melayari laut bebas dari gangguan perompak bajak laut. Namun pada akhirnya
asas res communis omnium ini juga digunakan sebagai dasar dari kebebasan menangkap ikan freedom of fishing.
Di sisi lain, muncul doktrin lainnya yang disebut dengan res nullius. Menurut konsepsi res nullius, laut bisa dimiliki apabila yang
berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya.
24
Paham ini didasarkan atas konsepsi okupasi occupation yang berlaku dalam hukum perdata Romawi. Kemudian, keadaan berlanjut
dengan runtuhnya penguasaan Imperium Romawi atas Lautan Tengah. Berakhirnya kejayaan bangsa Romawi tersebut selanjutnya diikuti
dengan lahirnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara baru di sekitar Lautan Tengah. Kejaayaan bangsa Romawi memang telah berakhir,
namun tidak pula halnya dengan konsep atau doktrin mengenai wilayah laut yang berlaku pada zaman Romawi tersebut. Kerajaan-
kerajaan dan negara-negara yang muncul setelah runtuhnya imperium Romawi tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi dalam hal
kepemilikan wilayah lautan.
3. Setelah Zaman Romawi
Peninggalan imperium Romawi yaitu berupa asas atau doktrin- doktrin mengenai laut mengakibatkan meluasnya perkembangan teori
hukum laut internasional. Hal ini diawali dengan munculnya tuntutan
24
Dikdik Mohammad Sodik, Op. Cit., Hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
26
sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam
25
, diantaranya dengan alasan untuk
26
: 1 kepentingan karantina untuk perlindungan kesehatan dari wabah penyakit yang mengancam pada
masa itu; 2 kepentingan bea cukai pencegahan penyelundupan; 3 pertahanan dan netralitas.
Banyaknya klaim atau tuntutan negara seperti yang telah Penulis sebutkan di atas menimbulkan suatu keadaan dimana laut tidak lagi
merupakan suatu daerah milik bersama.
27
Pada tahap ini, sudah ada segelintir kerajaan yang mulai menyadari adanya kedaulatan yang
khusus di wilayah laut. Wilayah laut tidak lagi dipandang sebagai res communis omnium. Hal ini diikuti dengan klaim dari sebagian
negara-negara di Eropa Tengah yang menyatakan bahwa wilayah laut yang berbatasan dengan pantainya merupakan haknya.
Pada zaman setelah runtuhnya imperium Romawi yang juga disebut sebagai zaman abad pertengahan ini kemudian dilanjutkan
dengan kemunculan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Romawi terkait dengan permasalahan klaim negara-negara
terhadap wilayah laut. Klaim tersebut antara lain: “Venesia” yang menuntut sebagian Laut Adriatik dan tuntutan tersebut diakui oleh
25
Dikdik Mohammad Sodik, Op. Cit., Hlm. 4.
26
Ibid, sebagaimana termuat dalam Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, 1986, Hlm. 3.
27
karyatulisilmiah.comsejarah-lahirnya-hukum-laut-internasional, diakses pada tanggal 13 Maret 2016 Pukul 10:48 WIB.
Universitas Sumatera Utara
27
Paus Alexander III pada tahun 1977, “Genoa” yang menuntut wilayah Laut Liguria dan sekitarnya, serta “Fisa” yang menuntut dan
melaksanakan kekuasaannya atas Laut Tyrrhenia.
28
Pada saat sebagaimana diuraikan di atas, muncul dua ahli hukum Romawi, yaitu Bartolus dan Baldus, yang mengemukakan konsepsi
mengenai pembagian maupun penguasaan wilayah laut yang dapat Penulis uraikan sebagai berikut:
a. Pendapat Bartolus, yang membagi wilayah laut menjadi 2 dua
macam, yaitu
29
: 1
Laut yang berada di bawah kekuasaan dan kedaulatan negara pantai, dan;
2 Laut yang berada di luar yang disebut dengan laut bebas
artinya laut itu bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun.
b. Pendapat Baldus, yang membagi konsepsi penguasaan laut yang
terbagi atas
30
: 1
Pemilikan atas laut; 2
Pemakaian atas laut; dan 3
Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan tindakan- tindakan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.
28
Rosmi Hasibuan, dalam artikel Hak Lintas Damai “Right of Innocent Passage” Dalam Pengaturan Hukum Laut Internasional, 2002, USU Digital Library, Hlm. 2.
29
Bandingkan dengan artikel “Perkembangan Hukum Laut Internasional”, diunduh dari www.academia.edu7379620Perkembangan_Hukum_Laut_Internasional pukul 20.10 WIB, Hlm.
2.
30
Bandingkan denganIbid.
Universitas Sumatera Utara
28
Menurut Penulis adalah suatu kondisi yang juga tidak dapat diabaikan dalam hal perkembangan hukum laut internasional pada
zaman pertengahan yaitu pengakuan Paus Alexander VI pada tahun 1943, dimana dalam pengakuan tersebut Paus Alexander VI membagi
samudera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan batasnya garis meridian 100 leagues kira-kira sepanjang 400 mil laut
31
, sehingga wilayah tersebut terbagi dalam 2 dua bagian dengan rincian sebagai
berikut : 1
Di sebelah barat garis meridian garis bujur, yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Meksiko, dan Samudera Pasifik
adalah milik Spanyol, dan; 2
Di sebelah timur garis meridian, yang mencakup Samudera Atlantik sebelah selatan Maroko dan Samudera Hindia, adalah
milik Portugal. Tujuan dari adanya pembagian ini adalah untuk mendamaikan
kedua negara setelah peristiwa jatuhnya Kota Konstantinopel ke tangan Turki.
Pembagian samudera ini dikukuhkan dalam Perjanjian Tordesilas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494.
Sementara itu, klaim-klaim negara lain terhadap wilayah laut juga mulai bermunculan. Negara Denmark mengklaim Laut Baltik,
Norwegia dan Islandia yang mengklaim Laut Utara, serta Inggris yang
31
Bandingkan dengan Dikdik Mohammad Sodik, Op. Cit., Hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
29
mengklaim laut sekitar kepulauannya sebagai wilayah negaranya mare anglicanum. Tindakan negara-negara tersebut menjadi
tantangan bagi bangsa Belanda. Dalam hal pelayaran, bangsa Belanda yang pada saat itu telah menerobos masuk ke Samudera Hindia dalam
rangka usaha perdagangan dengan Indonesia, dan memperjuangkan asas kebebasan berlayar freedom of navigation, sehingga hal ini
sangat bertentangan dengan klaim yang diajukan Portugal yang cenderung menganut doktrin mare clausum.
Selain itu dalam hal perikanan, Belanda menentang tuntutan Inggris atas konsep mare anglicanum, mengingat bahwa Belanda telah
menangkap ikan di wilayah perairan tersebut dan telah terikat dengan berbagai perjanjian selama berabad-abad lamanya. Seorang ahli
hukum yang juga dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional berkebangsaan Belanda, Grotius, memperjuangkan asas kebebasan
berlayar tersebut dengan doktrinnya yaitu laut terbuka mare liberium. Asas mare liberium ini telah Penulis uraikan dalam bab
sebelumnya. Asas mare liberium yang diperkenalkan oleh Hugo de Groot atau
Grotius, telah menimbulkan reaksi dari seorang penulis Inggris yang bermana John Selden. Kebalikan dari doktrin Grotius yang
memandang bahwa tidak ada yang dapat menguasai wilayah laut, Selden berpendapat bahwa wilayah laut tertentu dapat dimiliki oleh
Universitas Sumatera Utara
30
negara pantai. Doktrin Selden ini dikenal dengan laut tertutup mare clausum.
Bahwa perbedaan kedua doktrin yang Penulis uraaikan di atas terlihat jelas adanya pertentangan tidak dapat dihindari saat itu.
Namun, pertentangan antar doktrin ini akhirnya tidak berlangsung lama ketika seorang sarjana Belanda yang bekerja di Dinas
Diplomatik Denmark yang bernama Pontanus mengeluarkan Teori Kompromi. Teori ini menggabungkan doktrin mare liberium dan
mare clausum, dengan membagi wilayah laut dalam 2 dua bagian, yakni: 1 laut atau perairan yang berdekatan dengan pantai adjacent
sea suatu negara menjadi wilayah yang berada di bawah kedaulatan negara tersebut, dan; 2 Selebihnya adalah laut bebas. Dengan adanya
rumusan ini maka hilanglah polemik yang terjadi diantara pendukung kedua pandangan yang bertentangan mengenai wilayah laut seperti
yang dikemukakan sebelumnya. Pada kesempatan ini juga Pontanus melalui teorinya juga akhirnya memberikan perkembangan baru bagi
hukum laut internasional, yaitu munculnya konsepsi mengenai laut teritorial.
4. Zaman Modern