Effektivitas versus Legitimasi Kritik terhadap G-20 sebagai forum utama kerjasama ekonomi

25 keberlanjutan fiskal yang sangat tergantung pada kondisi-kondisi nasional.” 30 G-20 telah memberikan perhatian terhadap jurang perbedaan tingkat kemajuan negara-negara berkembang dan maju, serta pengurangan kemiskinan. Di era krisis, isu ini menjadi sangat sensitif terutama karena terhadap kesan umum bahwa jurang tersebut menjadi semakin lebar karena adanya krisis finansial di negara-negara maju. Dalam KTT di Toronto, pemimpin-pemimpin G-20 bersepakat untuk membentuk suatu kelompok kerja pembangunan dengan mandat untuk mengelaborasi agenda pembangunan dan rencana kerja yang kongkrit, yang selaras dengan fokus G-20 untuk mempromosikan pertumbuhan dan ketahanan ekonomi. KTT Seoul menindaklanjuti agenda pembangunan dengan mengidentifikasi masalah-masalah utama yang menghambat pembangunan di negara-negara berkembang dan menetapkan agenda untuk mengatasi masalah-masalah tesebut.

f. Kritik terhadap G-20 sebagai forum utama kerjasama ekonomi

Di samping pencapaian yang telah dibuat oleh G-20, G-20 tetap menuai kritik yang muncul dari negara-negara non anggota G-20 dan LSM. Sebagian tetap menekankan pentingnya ‘partisipasi yang luas’ dari seluruh negara untuk membangun global economic governance. Kritik juga muncul terkait dengan pemilihan negara-negara yang disebut mewakili negara-negara berkembang, terutama kemampuan negara-negara tersebut untuk terlibat dalam pembentukan arsitektur finansial global dan global governance. Di samping itu, kritik juga ditujukan pada fokus G-20 yang lebih mengedepankan pendekatan-pendekatan ekonomik rasional dan kurang memberikan penekanan pada penanganan dampak sosial dari krisis finansial. Kritik yang lebih keras melihat G-20 sebagai kepanjangan dan instrumen dari G-7 yang sejak lebih dari tiga dekade telah mendominasi tata ekonomi global.

1. Effektivitas versus Legitimasi

Proponen G-20 yang mengedepankan pentingnya efektivitas G-20 untuk mencapai hasil maksimal dari kerjasama eksklusif internasional mendapatkan 30 Ibid. 26 tantangan dari pengkritik yang tetap melihat pentingnya legitimasi melalui partisipasi yang luas dari bangsa-bangsa di dunia untuk membangun tata kelola ekonomi global. Siapa yang mengambil keputusan tentang tata pengaturan global merupakan isu yang harus diakomodasi untuk membuat keputusan- keputusan tersebut legitimate. Berbagai analisa memang menyebut bahwa ekonomi dunia telah menunjukkan pemulihan kembali; pemulihan yang relatif cepat ini dapat dilihat sebagai kontribusi G-20 untuk mengkoordinasikan kebijakan yang efektif bagi penanganan krisis dan juga menyediakan dana yang lebih besar dalam lembaga-lembaga keuangan internasional. Namun beberapa responden penelitian ini melihat bahwa efektivitas G-20 masih bisa dipertanyakan dalam hal mempromosikan pertumbuhan yang seimbang dan dalam hal reformasi lembaga keuangan internasional Bretton Woods. KTT Seoul menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin G-20 dapat mendiskusikan tentang sistem nilai tukar mata uang di antara anggota-anggotanya. Nilai tukar dipahami sebagai isu besar karena pemimpin-pemimpin G-20 berbeda dalam hal bagaimana mereka dapat mempertahankan sistem nilai tukar nasional mereka. Tidak adanya rejim moneter internasional menjadi masalah besar yang mempengaruhi stabilitas ekonomi global dan dapat menyebabkan krisis yang lain di masa yang akan datang. 31 Kemauan penuh negara-negara besar untuk merealisasikan komitmen bagi kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang untuk program pembangunan juga masih dipertanyakan. Seorang responden menyatakan: “Benar bahwa pemimpin-pemimpin G-20 telah membuat komitmen-komitmen dalam forum tersebut. Tetapi begitu KTT berakhir, dan pemimpin kembali ke negara masing-masing, pemimpin-pemimpin akan mengedepankan kepentingan nasional mereka dan menjalankan bisnis sebagaimana biasanya.” 32 KTT Seoul telah menindaklanjuti komitmen-komitmen tersebut, namun tindakan- tindakan yang nyata tentu saja harus segera dibuktikan oleh para pemimpin G-20. 31 Seperti didiskusikan secara intensif dalam Focus Group Discussion dan Lokakarya tentang G-20 dan Agenda Pembangunan, 4 Nopember 2010. 32 Wawancara dengan penasihat senior lembaga finansial internasional di Jakarta tanggal 12 Agustus 2010. 27 2. Lebih fokus kepada penyelesaian krisis finansial, kurang perhatian untuk menyelesaikan dampak sosial di negara-negara miskin Sebagaimana telah disinggung di bagian terdahulu, proponen G-20 mengadopsi keyakinan akan adanya efek rembesan trickle down effect dari instrumen ekonomik rasional, makro ekonomik, kebijakan fiskal dan moneter, untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan regulasi dan reformasi lembaga keuangan. Pemulihan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak serta merta membuka peluang kerja yang berkualitas bagi mereka yang terkena dampak langsung dari krisis finansial global. Instrumen-instrumen ekonomik tersebut juga tidak memperbaiki kemampuan masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan basis mereka dan mendapatkan akses yang cukup bagi pendidikan, kesehatan dan makanan. Namun demikian, fakta bahwa pemulihan ekonomi tidak serta merta menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi mereka yang kehilangan pekerjaan karena dampak krisis finansial. Instrumen-instrumen ekonomik tidak secara otomatis memulihkan kemampuan penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan mendapatkan akses pada pelayanan pendidikan dan kesehatan. Tidak ada reformasi struktural yang mencukupi untuk mengatasi krisis pangan, khususnya di daerah-daerah pedesaan. 33 Negara-negara miskin menghadapi masalah ganda; di satu sisi dana pembangunannya mengecil, di sisi lain terdapat kebutuhan bagi dana yang lebih besar untuk mengatasi pengangguran dan penanganan dampak- dampak sosial krisis seperti kekurangan gizi bagi penduduk miskin. Sekalipun pertumbuhan ekonomi telah menunjukkan pemulihan, negara-negara miskin masih berada pada situasi yang sangat rentan. G-20 dilihat sebagai suatu pertunjukan fashion oleh negara-negara maju untuk memperlihatkan dominasi mereka dalam perekonomian dunia, daripada secara serious untuk menangani isu-isu pembangunan utama yang menghambat negara-negara miskin. 34 Negara-negara miskin tidak dapat 33 Henry Thomas Simarmata, Senior Advisor, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice IHCS. A note to the event of Focus Group Discussion and Workshop, “G-20 dan Agenda Pembangunan: Formulasi Rekomendasi bagi KTT G-20 di Seoul, Korea. Friedrich Ebert Stiftung FES Indonesia dan Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan, 4 Nopember 2010. 34 Seperti didiskusikan dalam lokakarya G-20 dan Agenda Pembangunan tanggal 4 Nopember 2011. 28 mengandalkan pada komitmen-komitmen G-20, tetapi harus mencari cara lain untuk membangun kekuatan nasional untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Aktivis-aktivis LSM mengkritik KTT Seoul atas kegagalannya untuk menunjukan komitmen serius dalam menangani isu-isu non finansial termasuk pengentasan kemiskinan dan untuk membantu anak-anak dan pekerja-pekerja yang miskin. Meskipun KTT Toronto telah mengadopsi komitmen terhadap pengentasan kemiskinan termasuk memperkenalkan kebijakn pajak transaksi finansial yang inovatif. 35 Pajak transaksi finansial telah diakui sebagai cara yang mungkin untuk “membantu menjamin pendanaan yang dibutuhkan bagi pengurangan kemiskinan dan pencapaian Millenium Development Goals dan membantu negara-negara dengan pendapatan rendah dalam mengatasi dampak perubahan iklim pada saat di mana defisit fiskal mereka mulai mengancam aliran bantuan.” 36 IMF telah menunjukan feasibilitas teknis mekanismenya dan komite ekspert telah menulis laporan menyangkut feasibilitasnya pada tahun 2009.

3. G-20 sebagai “pedang” negara-negara G-7 dan WTO