104
prinsip-prinsip Shariah. Dinyatakan juga bahwa Bank berfungsi untuk:
“menyiapkan partisipasi ekuitas dan pinjaman grant bagi proyek-proyek dan perusahaan yang produktif. Ini juga memberikan bantuan finansial kepada
negara-negara  anggota  dalam  bentuk-bentuk  lainnya  bagi  pembangunan ekonomi dan social dan untuk memperkuat perdagaganan di antara negara-
negara anggota.”
156
d. Relevansi  peran  Indonesia  sebagai  representasi  negara- negara Muslim dalam G-20
Sebagaimana telah didiskusikan dalam Bab 1 dan 2, pemimpin-pemimpin Indonesia  melihat  G-20  bukan  saja  sekedar  rumah  ekonomi  tetapi  juga
rumah peradaban. Indonesia mempersepsikan dirinya sebagai jembatan dari peradaban yang berbeda-beda. Namun demikian terdapat pernyataan seberap
relevan  sebetulnya  persepsi  tersebut  menggambarkan  realitas  proses  G-20. Tidak  ada  keraguan  bahwa  G-20  adalah  suatu  bentuk  kerjasama  ekonomi.
Pemimpin-pemimpin G-20 secara berulang-ulang mendeklarasikan posisi ini. Sejak  dibentuk  tahun  1999,  G-20  telah  memfokuskan  dirinya  pada  agenda
ekonomi dan membuat komitmen-komitmen ekonomi. Sejak KTT Pittsburgh pemimpin-pemimpin G-20 mulai untuk membicarakan isu-isu relevan yang
lain, tetapi menekankan juga bahwa isu-isu tersebut penting untuk mendorong pertumbuhan yang kuatm bekelanjutan dan seimbang.
Dalam proses deliberasi, tidak ada pemisahan antara Barat dan peradaban lain.  Diskusi  dalma  G-20  tidak  membicarakan  ideologi  khusus  atau  agama
tertentu,  tetapi  isu-isu  umum  yang  menjadi  kepentingan  komunitas internasional apakah mereka sekuler atau religius. Apa yang nyata dari dua
KTT  pertama  adalah  perbedaan  mencolok  di  antara  negara  maju  tentang pendekatan  yang  tepat  untuk  menangani  dampak  krisis  finansial  dalam
perekonomian  nasional  mereka:  apakah  akan  memakai  regulasi  dalam pasar  finansial  atau  memperkenalkan  stimulus  fiskal  untuk  menghidupkan
perekonomian nasional mereka. Dalam KTT Seoul, perbedaan yang mencolok
156 http:www.oic-oci.orgpage_detail.asp?p_id=65idb, diakses pada 29 Juli 2010.
105 antara negara-negara maju yang dipimpin Amerika Serikat dan negara-negara
emerging economy, khususnya China terkait dengan nilai tukar mata uang dan stabilisasi moneter. Sekalipun muncul perdebatan besar, pemimpin-pemimpin
membuat komitmen dan setuju bahwa setiap anggota G-20 dapat mengadopsi cara-cara yang cocok untuk memenuhi komitmen mereka.
Tidak  ada  bukti  yang  menunjukkan  bahwa  pembelahan  terjadi  antara peradaban-peradaban  yang  berbeda:  Barat  versus  Konfusianisme  ataupun
Barat  versus  Islam.  Negara-negara  Islam  tidak  berupaya  keras  untuk mempromosikan  sistem  finansial  Islam  sebagai  komplemen  sistem
konvensional  yang  ada  meskipun  mereka  telah  mengembangkan  sistem finansial khusus dalam kerangka Organisasi Konferensi Islam. Tidak ada juga
diskusi  yang  menunjukkan  kepedulian  OKI  pada  upaya  oleh  negara-negara sekuler untuk memaksakan sistem finansial konvensional dan bahwa sistem
konvensional  tidak  dipengaruhi  oleh  sistem  perbankan  Islam  yang  telah diadopsi negara-negara Muslim.
Seperti  telah  dikemukakan  sebelumnya,  pemimpin-pemimpin  OKI  telah membentuk  suatu  mekanisme  untuk  menangani  isu-isu  ekonomi  dalam
orngaisasi  yang  disebut  Komite  bagi  kerjasama  ekonomi  dan  komersial COMCEC.  Mekanisme  ini,  mirip  dengan  G-20  beroperasi  pada  tingkat
pemimpin.  Kerjasama  ini  dibangun  pada  tahun  1981  jauh  sebelum  G-20 memulai KTT mereka.
Mengenai  G-20  dan  kaitannya  dengan  citra  Islam,  tidak  terdapat  suatu hubungan  yang  signifikan  di  antara  keduanya.  Dalam  perkembangannya,
mungkin saja G-20 dapat membahas terorisme, tetapi isu ini lebih menyangkut isu keamanan dan stabilitas ekonomi daripada isu Muslim, di mana stabilitas
ekonomi  diperlukan  oleh  seluruh  masyarakat  internasional,  bukan  hanya negara-negara  Muslim.  Apabila  terorisme  berhasil  diberantas  dan  stabilitas
ekonomi maupun keamanan tercipta, maka dengan sendirinya citra negatif terhadap Islam akan berubah menjadi positif.
Argumentasi  ini  pun  didukung  oleh  responden  dari  berbagai  kalangan, bahkan tidak ada responden yang menjawab bahwa terdapat suatu relevansi
untuk  Indonesia  menrepresentasikan  aspirasi  negara-negara  Muslim.  Salah satu responden penelitian berargumen bahwa:
”Indonesia  adalah  negara  dengan  mayoritas  Muslim  terbesar  dalam G-20, namun isu mewakili negara-negara Muslim tidaklah mendesak. Ini
106
tidaklah mendesak untuk mewakili agama tertentu. Terorisme sebagai contoh dapat didiskusikan dalam G-20, terutama karena efeknya pada
aspek  ekonomi  dank  arena  ini  akan  membawa  pengaruh  global  pada kerjasama internasional.”
157
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Ketua Sherpa G-20 Indonesia, Mahendra  Siregar.  Dia  menyatakan  bahwa  G-20  tidak  memiliki  hubungan
dengan ideologi tertentu. ”Dalam  arti  global,  saya  tidak  melihat  ada  perbedaan  antara  negara
Muslim  dengan  non-Muslim.  Sebagai  contoh,  mengenai  pencapaian MDGs pada tahun 2015 yang kelihatannya akan berat memenuhi target
tempo hari. Saya rasa, Muslim atau tidaknya suatu negara tidak akan mempengaruhi tantangan yang dihadapi negara tersebut. Persoalannya
tidak ada yang terkait ideologi.”
158
Pertanyaan  yang  perlu  dijawab  adalah  bagaimana  memuat  peran  yang dipersepsikan penting oleh Indonesia menjadi relevan dengan negara-negara
Muslim  lain  di  dalam  G-20?  Seorang  perwakilan  asing  dari  negara  yang merupakan  negara  dimana  Islam  menjadi  agama  mayoritas  menjawab  hal
senada:
”Kita  harus  ingat  bahwa  G-20  bukan  hanya  soal  perwakilan.  Ini  adalah tentang  siapa  negara-negara  yang  berpengaruh  dalam  bidang  ekonomi,
atau  di  dalam  parameter  ekonomi.  Sehingga  ini  bukan  sebuah  kelompok yang dapat mewakili bidang ataupun sebuah wilayah. Setiap negara hanya
bisa mewakili dirinya sendiri. Indonesia menjadi bagian dari G-20 karena kapasistasnya sebagai suatu emerging economy. Sehingga tidak ada yang
mewakili  negara  lain    karena  forum  ini  murni  tentang  ekonomi,  bukan agama  atau  ideologi.  Ya,  sebagian  besar  negara-negara  Asia  dan  Afrika
adalah  negara-negara  berkembang  menghadapi  isu  dan  tantangan  yang mirip, seperti kemiskinan, pendidikan dan perumahan. Hanya pada poin
ini  Indonesia  dapat  berbicara  mengatas  namakan  negara-negara  Muslim
157 Wawancara dengan peneliti tanggal 19 Mei 2011. 158 Wawancara dengan Ketua Sherpa G-20 Indonesia pada tanggal 2 Juni 2010.
107 karena mereka menghadapi permasalahan yang sama.”
159
Persepsi tentang payung peradaban tidak sesederhana karena G-20 semata- mata merangkul baik negara maju dan berkembang yang berasal dari peradaban
yang berbeda. Dari sisi penduduk yang besar, Indoensia dikategorikan sebagai negara  Muslim.  Indonesia  berupaya  untuk  membutkikan  kesiapannya
menerima,  dan  membangun  sistem  konvensional  yang  sekuler  dengan berargumentasi bahwa hanya negara Muslim yang toleran dan akomodatiflah
yang  dapat  melakukannya.  Ini  tentu  saja  peran  simbolik.  Terdapat  banyak forum internasional di mana baik negara sekuler dan negara Muslim menjadi
anggotanya.  PBB,  dalam  hal  ini,  adalah  organisasi  universal  yang  tidak mempermasalahkan asal muasal peradaban negara-negara anggotanya.
e. Agenda untuk mengkontekstualisasi keterwakilan dunia Muslim