29 menjadikan forum G-20 untuk mendapat dukungan bagi inisiatif mereka
untuk mencapai tujuan tersebut. Ini misalnya terlihat nyata terkait dengan buntunya perundingan putaran DOHA WTO. Pemimpin-pemimpin G-7
mengajak anggota G-20 lain untuk menyusun komitmen bersama menggolkan kepentingannya. Ini dapat dengan mudah dilihat pada komunike-komunike
pemimpin G-20 yang mengulang-ulang keinginan mereka bagi kesuksesan putaran DOHA.
38
Pandangan ini misalnya dieskpresikan oleh salah satu responden dari LSM nasional:
“…, ini sebetulnya G-20 ini seperti pedangnya WTO. Jadi semua kebijakan WTO yang tidak disepakati secara multilateral, itu kemudian dibicarakan
lagi di G-20 dan diditeilkan dan menjadi otoritatif untuk dilaksanakan oleh anggota G-20. Kalau anggota-anggota G-20 melaksanakan itu,
negara-negara lain yang GDP nya rendah itu mau buat apa. Mereka tidak bisa melakukan hubungan dagang dengan negara-negara anggota G-20,
kalau mereka tidak punya undang-undang yang menerapkan apa yang ada di dalam substansi kesepakatan WTO. Ya itu G-20 itu sebetulnya
hanya salah satu ini aja, bukan hanya perpanjangan tangan, itu ini kok palu untuk menjalankan kebijakan. Jadi kalau perhatikan misalnya
kesepakatan-kesepakatan WTO yang sampai sekarang tidak disepakati secara multilateral oleh anggota-anggotanya, itu di G-20 sudah ada itu,
pelan-pelan....”
39
4. G-20 sebagai organisasi tandingan kerjasama multilateral yang legitimate
Kritik terkait juga diarahkan pada peran G-20 sebagai tandingan dari organisasi-organisasi yang sudah ada dan memiliki legitimasi kuat. Dengan
mendeklarasikan diri sebagai ‘forum utama kerjasama ekonomi’, seolah G-20 menempatkan diri sebagai forum utama di atas forum-forum intergovernmental
lain yang saat ini sudah ada.
Melalui suratnya yang ditujukan pada Perserikatan Bangsa Bangsa, pemerintah Singapura mengingatkan posisi G-20 sebagai komplemen
38 Perhatikan deklarasi-deklarasi KTT Washington, London, Pittsburgh dan Toronto. 39 Wawancara dengan perwakilan forum LSM Indonesia tanggal 27 Mei 2010.
30
dari organisasi global seperti PBB dan karenanya G-20 harus menegaskan pengakuannya terhadap PBB:
40
“PBB adalah satu-satunya badan global dengan partisipasi universal dan legitimasi kuat. Proses G-20 seharusnya mengakui dan merefleksikan
realitas ini.Proses G-20 dan tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya seharusnya melengkapi dan memperkuat PBB.”
Aktivis LSM di Indonesia juga mengekspresikan kritik yang sama: “…, posisi LSM sebetulnya secara global itu menolak kehadiran G-20, karena
dia menjadi lembaga tandingan terhadap lembaga-lembaga yang selama ini diakui sebagai legitimate untuk membuat keputusan yang mengikat secara
internasional, yaitu PBB. Dan dengan kehadirannya G-20, yang menguasai lebih dari 34 GDP dunia itu, membuat PBB tidak signifikan sebagai
pengaruh dibandingkan dengan G-20. Karena itu kita harus menolak kehadiran G-20, apalagi G-20 hanya mengutamakan ekonomi, selain itu
tidak ada.”
41
Perluasan isu-isu dalam proses G-20 telah memunculkan kepedulian menyangkut legitimasi G-20. Banyak organisasi multilateral telah menangani
agenda yang serius bahkan sebelum G-20 dibentuk pada tahun 1999. Kritik menunjukkan bhwa G-20 tampaknya akan mengambil alih hampir semua
isu-isu global dan berjanji untuk menanganinya dengan lebih efektif daripada organisasi multilateral lainnya. Kritik juga menyebut G-20 menyepelekan
peran anggota dalam organisasi yang telah berumur panjang seperti IMF dan Bank Dunia. Bagaimana 19 negara dapat memutuskan reformasi IMF dan
Bank Dunia dengan mengabaikan peran determinan dari ratusan anggota yang lain dari lembaga finansial tersebut?
40 Lihat Surat tertanggal 11 March 2010 dari Perwakilan Tetap Singapura untuk PBB ditujukan pada Sekjen PBB, dalam Sixty-Fourth session, agenda item 51 b,
Macroeconomic policy questions: international Financial system and development. 41 Wawancara dengan perwakilan forum LSM Indonesia tanggal 27 Mei 2010.
31
5. Retorika reformasi IMF dan Bank Dunia