Agenda untuk mengkontekstualisasi keterwakilan dunia Muslim

107 karena mereka menghadapi permasalahan yang sama.” 159 Persepsi tentang payung peradaban tidak sesederhana karena G-20 semata- mata merangkul baik negara maju dan berkembang yang berasal dari peradaban yang berbeda. Dari sisi penduduk yang besar, Indoensia dikategorikan sebagai negara Muslim. Indonesia berupaya untuk membutkikan kesiapannya menerima, dan membangun sistem konvensional yang sekuler dengan berargumentasi bahwa hanya negara Muslim yang toleran dan akomodatiflah yang dapat melakukannya. Ini tentu saja peran simbolik. Terdapat banyak forum internasional di mana baik negara sekuler dan negara Muslim menjadi anggotanya. PBB, dalam hal ini, adalah organisasi universal yang tidak mempermasalahkan asal muasal peradaban negara-negara anggotanya.

e. Agenda untuk mengkontekstualisasi keterwakilan dunia Muslim

Penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat suatu relevansi antara G-20 dan dunia Muslim atau suatu urgensi bagi Indonesia untuk mewakili suara Islam dalam G-20. Persepsi diri atas peran sebagai jembatan peradaban hanyalah bersifat simbolik daripada praktikal. Ini adalah cara Indonesia untuk membangun citra positif di mata komunitas internasional dan untuk sekaligus menunjukkan suatu ’fashion’ dalam dunia global dalam konteks krisis: negara Muslim memiliki kemauan politik untuk bekerjasama dengan Barat. Dalam hal ini, OKI merupakan forum yang lebih tepat dimana Indonesia dapat mendorong negara-negara Muslim yang lain untuk mengartiklasikan suara Islam dalam dunia yang sekluer, sementara Indonesia dan negara- negara Muslim lain dapat mengembangkan suatu sistem ekonomi yang komplementer. Namun, sebuah rekomendasi dapat diajukan disini. Partisipasi Indonesia, Arab Saudi dan Turki dapat diapresiasi jika negara-negara ini dapat menjadi anggota aktif dan konstruktif dalam proses G-20 secara keseluruhan. Partisipasi Indonesia dapat diapresiasi lagi bila dapat membawa ide baru untuk memperkuat arsitektur finansial global. Sistem yang kovensional ini 159 Wawancara dengan perwakilan dari Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia pada tanggal 10 Juni 2010. 108 sedang direformasi karena rentan terhadap goncangan finansial dan tidak cukup tahan terhadap krisis. G-20 telah dibentuk untuk bersama-sama memperkuat sistem finansial dan perbankan yang telah diadopsi oleh negara-negara sekuler selama berpuluh- puluh tahun. Sistem konvensional saat ini telah berfungsi sesuai dengan prinsip pasar yang meminimalisir intervensi negara. Pemimpin-pemimpin G-20 mengakui bahwa sistem konvensional ini tidak dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang kuat. Krisis di Amerika Serikat dan kemudian Yunani menunjukan kerentantan sistem konvensional tersebut. Negara-negara Muslim yang menjadi anggota G-20 memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam penguatan sistem konvensional dan pada saat yang sama memiliki kesempatan untuk mengembangkan mekanisme komplementer seperti sistem keuangan dan perbankan Islamik. Terdapat perbedaan di antara dua sistem tersebut, meskipul keduanya memiliki kesamaan dalam prinsip-prinsip fundamental. 160 Kedua sistem tersebut mengadopsi manajemen resko yang akurat dan tata kelola korporasi yang kuat untuk menjamin keamanan sistem perbankan internasional. Dalam hal ini, lembaga stabilitas finansial Islamik dapat memberi kontribusi lebih lanjut dalam forumalsi infrastruktur pasar finansial yang kuat yang dapat menahan dampak krisis finansial. Karenanya, Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya dapat membuktikan kontribusi merka dalam mengamankan keuangan domestik. Jika berhasil, ini akan menjadi acuan awal bagi pengembangan inisiatif lebih lanjut dalam forum G-20. Kajian mendalam menyangkut sistem finansial Islam dan perbankan Syariah perlu dikaji feasibilitasnya untuk menjadi kompemen dari sistem yang konvensional. Anggota-anggota OKI harus pertama-tama membuktikan efektivitas sistem tersebut sebelum Indonesia dan negara-negara Muslim yang lain dapat membawa sistem tersebut dalam agenda G-20. Dengan inisiatif ini persepsi diri atas peran Indonesia sebagai pembangun jembatan peradaban tidak hanya memiliki makna simbolik tetapi lebih subtantif. 160 “The growing importance of Islamic finance in the global financial system”, pidato Malcolm D Knight, General Manager, Bank for International Settlement, yang disampaikan dalam the 2nd Islamic Financial Services Board Forum, Frankfurt, 6 Desember 2007, http:www.bis.orgspeechessp071210.htm. diakses tanggal 26 Juli 2010. 109 Telah ditegaskan di bagian pertama bahwa G-20 merupakan forum intergovernmental yang beranggotakan perwakilan-perwakilan pemerintah. Peran utama negara dalam forum ini memapankan struktur dominasi negara dalam pembentukan arsitektur finansial global. Struktur bentukan negara seperti ini tentu saja timpang karena mengabaikan masyarakat dan perannya dalam pembentukan arsitektur tersebut. Hakikat intergovernmental ini seolah membatasi peran LSM dalam forum G-20. Pengabaian peran LSM menjadikan Forum G-20 dan produk-produk yang dibuatnya sebagai lembaga kurang menyentuh pada apa yang sesungguhnya dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat akar rumput. G-20 sebagaimana telah dipaparkan di bagian pertama dalam laporan ini telah dikritik karena kegagalannya untuk mengatasi dampak sosial krisis finansial, karena lebih fokus pada penanganan krisis melalui kebijakan stimulus. Di sisi inilah, LSM seharusnya bisa mengisi gap yang ditinggalkan atau diabaikan oleh lembaga- lembaga intergovernmental. Namun argumentasi pro bagi partisipasi LSM tidak serta merta tanpa memunculkan persoalan. LSM yang ada telah terfragmentasi pada ego sektoral masing-masing aktivisnya. Sulit menemukan suatu perwakilan LSM yang benar-benar memiliki legitimasi yang cukup untuk memberi kontribusi yang dapat mewakili masyarakat yang menjadi korban dari krisis finansial. Bab ini akan mendeskripsikan peran potensial LSM dari sudut konseptual, pandangan sejarah dan perkembangannya. Bagaimana lembaga-lembaga masyarakat sipil LSM, media massa, dan akademisi kemudian dapat memainkan perannya sebagai pilar ketiga dalam G-20. V. PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM G-20 110

a. Peran potensial LSM dalam perspektif konseptual