Eksistensi Batik Indonesia EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN KARYA CIPTA MOTIF BATIK KEBUMEN SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL TRADISIONAL - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

c. Eksistensi Batik Indonesia

Keberadaan atau eksistensi batik di Indonesia dapat ditelusuri dalam sejarah perkembangannya. Batik memiliki keterkaitan erat dengan hak cipta perlambang status keraton di Jawa. Pada awal mula kemunculannya, batik sebenarnya berasal dari masyarakat biasa. Baru kemudian pihak Kraton merasa tertarik, dan kemudian pada tahun 1769 Susuhunan Surakarta Hadiningrat mengeluarkan pranata keputusan formal, bahwa motifcorak batik “jilamprang” dilarang dipakai oleh siapa pun kecuali Susuhunan sendiri dan putra putrinya. Kemudian pada tahun 1785, Susuhunan mencanangkan pola parang rusak bagi keperluan pribadinya. Dan pada tahun 1792 dan 1798, Susuhaunan melalui Pengageng pejabat keraton mengeluarkan batasan-batasan atas pola-pola yang dipakai untuk keperluan tertentu di lingkungan keraton, seperti corak sawat lar, parang rusak, sumengkirang dan udan liris. Sejalan dengan pranata tersebut, maka beberapa pengrajin batik seperti keluarga Wicitran, mulai masuk Istana dan dianugerahi gelar bangsawan. 26 Batik rakyat yang masuk ke Istana kemudian menemukan pola- pola khusus yang diperuntukkan keluarga Istana. Pola-pola batik tersebutlah yang kemudian dikenal dengan batik klasik. Namun keberadaan batik istana tersebut sekaligus memberikan eksistensi 26 Sudarmono dalam Dharsono Sony Kartika, 2007, Budaya Nusantara Kajian Konsep Mandala dan Konsep TrilokaBuana terhadap Pohon Hayat pada Batik Klasik, Rekayasa Sains, Bandung. Hlm: 8 batik rakyat. Setidaknya pada tahun 1930 telah ada 236 pengusaha batik pribumi, 88 Arab, 60 Cina dan 3 Eropa. 27 Lambat laun, batik digemari oleh masyarakat pada umumnya, sehingga tidak lagi eksklusif milik Istana. Namu pandangan masyarakat bahwa Keraton tetap menjadi pusat kebudayaan sangat melekat. Bahkan raja masih dianggap sebagai sumber kekuatan yang memberikan motivasi kultural. Dinamika perkembangan batik mengalihkan perhatian konsumen batik. Masyarakat secara umum beralih ke tekstil kain motif batik, sedang kaum borjuis Indonesia bertahan memakai kain batik alus untuk keperluan acara resmi maupun pesta-pesta. Dinamika tersebut membawa batik batik canting ke singgahsana eksklusif. Batik tulis yang berkembang sekarang justru mempunyai posisi yang jelas dalam eksistensinya. 28 Kerangka pikir tersebut memberikan pemakanaan terhadap batik klasik sebagai simbol ekspresi kebuyaan Jawa, merupakan daya tahan kebudayaan dalam bentuk pelestarian dan pengembangan, sesuai dengan kebutuhan manusia dan masyarakatnya, sumber daya lingkungan dan pranata-pranata sosial yang ada pada masyarakat Jawa. 29 27 Berdasarkan laporan P. De. Kat Angelino, dalam Kercher yang dikutip kembali oleh Dharsono, Ibid. Hlm: 9 28 Prisma, 5 Mei 1987: 56-57, dalam Dharsono, Ibid. Hlm: 10 29 Dharsono Sony Kartika, 2007, Budaya Nusantara Kajian Konsep Mandala dan Konsep TrilokaBuana terhadap Pohon Hayat pada Batik Klasik, Rekayasa Sains, Bandung. Hlm: 11

d. Perlindungan Hukun HKI