c. teater, mencakup antara lain: pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;
d. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu,
bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan
e. upacara adat.
2. Urgensi Perlindungan Pengetahuan Tradisional
Agus Sardjono mengemukakan tiga alasan dasar mengapa pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya perlu dilindungi, pertama,
adanya potensi keuntungan ekonomis yang dihasilkan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional. Kedua, keadilan dalam sistem
perdagangan dunia, dan ketiga, perlunya perlindungan hak masyarakat lokal.
71
a. Potensi Ekonomi Berbagai sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional terkait,
sampai saat ini oleh pihak dalam negeri belum begitu mendapat tempat untuk dieksplorasi secara ekonomi, padahal banyak dari
kekayaan hayati Indonesia yang telah digunakan bahkan dipatenkan oleh negara lain. Di Amerika, dari 45 jenis obat penting
berasal dari tumbuh-tumbuhan, dan 14 jenis diantaranya berasal dari Indonesia. Sementara di Jepang juga banyak paten atas obat-
obatan yang bahannya bersumber dari biodeversity dan pengetahuan tradisional Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa
71
Agus Sardjono, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Alumni, Bandung. Hlm: 2-11.
selama ini Indonesia sebagai pemilik kekayaan hayati dan pengetahuan tradisional, belum bisa menikmati potensi ekonomi
dari kekayaan yang dimilikinya. b. Keadilan Sistem Perdagangan Dunia
Sistem HKI dalam TRIPs Agreement yang diterapkan di Indonesia di bawah World Trade Organisation WTO tidak bisa dipungkiri
adalah hasil tekanan dunia yang diwakili oleh negara-negara adikuasa. Namun di sisi lain, negera-negara adikuasa tersebut tidak
mau memperhatikan kepentingan perlindungan kekayaan intelektual masyarakat lokal dalam bentuk pengetahuan tradisional.
Ketidakadilan ini misalnya dalam penerapan prinsip non- diskriminiasi dalam Uruguay Round yang terkait dengan place of
invention atau field of technology. Misal, bila ada penemu berkebangsaan Amerika yang meminta perlindungan paten di
Indonesia atau di negara mana pun atas invensi yang dihasilkan dari riset yang mengambil bahan dasar pengetahuan tradisional
masyarakat Indonesia, maka Ditjen HKI tidak boleh menolak permintaan tersebut. Demikian pula halnya, apabila ada anggota
masyarakat Indonesia yang ingin memperoleh perlindungan atas pengetahuan tradisional mereka, mereka harus memanfaatkan
rezim paten. Hal ini jelas tidak seimbang dan jauh dari keadilan bagi masyarakat lokal yang tidak mengenal dan asing dari rezim
paten.
c. Perlindungan Hak Masyarakat Lokal Pemerintah dinilai perlu memberikan proteksi atau perlindungan
atas hak masyarakat berkenaan dengan pengetahuan tradisional mereka, karena masyarakat sendiri tidak sepenuhnya menyadari
bahwa pengetahuan tradisional maupun ekspresi budaya mereka memiliki potensi ekonomi dan rentan untuk dicuri atau
disalahgunakan oleh pihak lain. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat yang menganggap bahwa pengetahuan tradisional
tersebut adalah milik bersama. Melimpahkan pengetahuan tersebut kepada orang lain dianggap merupakan suatu kebajikan yang akan
mendapat balasan di hari kemudian. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka perlindungan terhadap
pengetahuan tradisional maupun ekspresi budaya yang ada dalam masyarakat menjadi sangat penting. Endang Purwaningsih
menegaskan bahwa traditional knowledge harus dilindungi secara difensif, yakni untuk menjamin supaya pihak lain tidak dapat
memperoleh HKI atas traditional knowledge tersebut dan perlindungan positif melalui sarana hukum, utamanya hukum intelektual dan hukum
kontrak.
72
72
Endang Purwaningsih, 2005, Perkembangan Hukum Ilntellectual Property Rights, Ghalia Indonesia, Bogor. Hlm: 246.
3. Hak Cipta Atas Pengetahuan Tradisional