d. Prinsip-prinsip pembelajaran
Prinsip pembelajaran merupakan suatu guideline pedoman di mana proses belajar akan berjalan lebih efektif. Semakin banyak prinsip ini
direfleksikan dalam pelatihan, semakin efektif pelatihan tersebut. Prinsip-prinsip ini mengandung unsur partisipasi, pengulangan,
relevansi, pengalihan transfer dan umpan balik.
C. Efektivitas Pelatihan
Efektivitas pelatihan terdiri dari dua kata, yakni efektivitas dan pelatihan. Pengertian efektivitas seperti yang telah penulis paparkan di atas adalah tolok
ukur tercapainya tujuan atau sasaran dari suatu kegiatan atau program dengan melihat ketepatan penggunaan input unsur-unsur yang digunakan dalam suatu
kegiatan atau program serta tercapainya tujuan dan sasaran dari sebuah kegiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan pelatihan adalah suatu proses pendidikan yang
sistematis untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta dengan dibantu oleh instruktur pelatih dalam waktu yang relatif singkat sesuai dengan
kebutuhan serta tujuan yang ingin dicapai sebuah organisasi. Jadi, yang dimaksud dengan efektivitas pelatihan adalah tolok ukur
tercapainya tujuan atau sasaran program pelatihan dengan melihat ketepatan penggunaan input unsur-unsur pelatihan serta tercapainya tujuan dan sasaran
pelatihan.
D. Konsep Kesejahteraan Mustahik
1. Pengertian Kesejahteraan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “sejahtera” berarti aman, sentosa dan makmur, selamat terlepas dari segala macam gangguan.
17
Kesejahteraan dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kebutuhan hidup
yang layak. Yang dimaksud dengan tingkat hidup yang layak di sini adalah tingkat hidup minimmal bagi seseorang yakni dapat memenuhi makan dan
minum yang layak untuk diri dan keluarganya. Sedangkan menurut Undang-undang Kesejahteraan Sosial No. 6
tahun 1974, kesejahteraan sosial merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa
keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban
manusia sesuai dengan Pancasila.
18
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai kesejahteraan, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan adalah suatu
kehidupan dan penghidupan yang bersifat material maupun spiritual lahir maupun batin yang memungkinkan setiap masyarakat untuk mengadakan
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002, cet. Ke-3, h. 1011.
18
Kusmana editor, Bunga Rampai Islam Kesejahteraan Sosial, Jakarta : IAIN Indonesian Social Equity Project, 2006, h. 184.
usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial, yang sebaik- baiknya bagi diri, keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
2. Pengertian Mustahik
Pada ayat 60 surat At-Taubah, dijelaskan siapa sajakah yang berhak menerima zakat yang disebut dengan mustahik 8 asnaf, yaitu :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS. At-Taubah : 60
Ayat yang membatasi sasaran zakat ini menjadi delapan golongan, ternyata membedakan antara empat sasaran yang pertama dengan empat
sasaran yang terakhir. Al-Qur’an menggambarkan berhaknya empat golongan pertama
terhadap sedekah dengan li yang makna asalnya untuk menunjukkan pemilikan, sedang terhadap golongan terakhir, Al-Qur’an menggambarkan
dengan menggunakan huruf fi, yang makna asalnya menunjukkan zharaftempat.
19
Kesimpulannya, bagi empat sasaran yang pertama, zakat diserahkan kepada mereka sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai kehendak
mereka karena zakat tersebut memang diperuntukkan dan sudah menjadi hak milik mereka, sedangkan bagi empat sasaran terakhir, zakat tidak
diserahkan untuk menjadi milik mereka, akan tetapi diserahkan karena ada sesuatu kebutuhan atau keadaan yang menyebabkan mereka berhak
menerima zakat. Berikut ini merupakan penjelasan dari kedelapan golongan asnaf
yang berhak menerima zakat mustahik :
a. Orang Fakir al-Fuqara’ dan Orang Miskin al-Masakin
Berdasarkan pandangan para imam mazhab, K.H. Ali Yafie menjelaskan bahwa orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta
benda atau tidak memiliki penghasilan tetap atau memiliki penghasilan, tetapi penghasilannya hanya mencukupi kurang dari seperdua dari
kebutuhan pokoknya. Sementara itu menurutnya, orang miskin adalah orang yang memiliki harta atau memiliki pekerjaan atau memiliki
keduanya, tetapi harta atau hasil dari pekerjaannya itu hanya mencukupi seperdua atau lebih dari kebutuhan pokoknya.
20
Konteks sekarang ini konsep kebutuhan pokok seperti itu, jelas perlu penyesuaian. Bukan saja jumlahnya tapi tidak kalah penting adalah
19
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antarnusa, 1996, cet. Ke-4, h. 583.
20
Kusmana ed, Bunga Rampai Islam, h. 136.
mutunya, sehingga kebutuhan pokok dimana manusia bisa hidup secara wajar, itu meliputi:
1 Pangan dengan kandungan kalori dan protein yang memungkinkan pertumbuhan fisik secara wajar.
2 Sandang yang dapat menutupi aurat dan melindungi gangguan cuaca.
3 Papan yang dapat memenuhi kebutuhan berlindung dan membina kehidupan keluarga secara layak.
4 Kesehatan yang dapat memungkinkan kesembuhan dari penyakit yang diderita.
5 Pendidikan yang
memungkinkan pihak
bersangkutan mengembangkan tiga potensi dasarnya selaku manusia: kognitif,
afektif dan psikomotorik. Dengan demikian dalam konteks kehidupan sosial kita sekarang,
pentasarufan dana zakat untuk sektor fakir miskin ini bisa mencakup : 1 Pembangunan sarana dan prasarana pertanian sebagai tumpuan
kesejahteraan ekonomi rakyat, dalam pengertian yang luas. 2 Pembangunan sektor industri yang secara langsung berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. 3 Penyelenggaraan sentra-sentra pendidikan keterampilan dan
kejuruan untuk mengatasi pengangguran. 4 Pembangunan pemukiman rakyat tuna wisma atau gelandangan.
5 Jaminan hidup untuk orang-orang invalid, jompo, yatim piatu, dan orang-orang yang tidak punya pekerjaan.
6 Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dasar sampai tinggi untuk setiap warga atau rakyat yang memerlukan.
7 Pengadaan sarana dan prasarana kesehatan bagi setiap warga atau rakyat yang membutuhkan.
8 Pengadaan sarana dan prasarana lain yang erat hubungannya dengan usaha mensejahterakan rakyat lapisan bawah.
21
b. Penguruspanitia zakat Al-‘Amil
Allah menyediakan upah bagi mereka amil dari harta zakat sebagai imbalan dan tidak diambil dari selain harta zakat. Bagian yang
diberikan kepada para panitia atau amil zakat, dikategorikan sebagai upah atas kerja yang dilakukannya. Meskipun dia orang kaya, panitia
atau amil zakat tetap diberi bagian zakat. Dia tidak boleh mendapatkannya, jika hal itu dikategorikan sebagai zakat atau sadaqah.
22
Pada zaman sekarang ini panitia atau amil zakat tidak hanya berbentuk perseorangan tetapi berbentuk badan atau lembaga amil zakat.
Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang
ditetapkan dalam syariat Islam. Oleh karena itu panitia atau amil yang
21
Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan Risalah Zakat Pajak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, cet. Ke-1, h. 149-150.
22
Wahbah al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Ke-7, h. 283.
bekerja di lembaga amil zakat harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain :
1 Muslim, karena zakat itu urusan kaum Muslimin, maka Islam menjadi syarat bagi segala urusan mereka.
2 Mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya. 3 Jujur, karena ia diamanati harta kaum Muslimin.
4 Memahami hukum-hukum zakat, sebab bila ia tidak mengetahui hukum tak mungkin mampu melaksanakan pekerjaannya dan akan
lebih banyak berbuat kesalahan. 5 Mampu untuk melaksanakan tugas dan sanggup memikul tugas itu,
karena kejujuran saja belum mencukupi bila tidak disertai kekuatan dan kemampuan untuk bekerja.
23
c. Mu’allaf Yang Perlu Ditundukkan Hatinya Mu’allaf Qulubuhum
Dalam pengertian ini, sasaran zakat untuk mu’allaf pada konteks kemasyarakatan sekarang ini adalah untuk :
1 Usaha penyadaran kembali dalam ungkapan yang kini berlaku : pemasyarakatan orang-orang yang terperosok ke dalam tindakan
asusila dan atau kejahatan, kriminal. 2 Biaya rehabilitasi mental atas orang-oranganak-anak yang
diakibatkan oleh penyalahgunaan narkotika dan sejenisnya. 3 Pengembangan masyarakat atau suku-suku terasing.
4 Usaha-usaha rehabilitasi kemanusiaan lainnya.
24
23
Qardhawi, Hukum Zakat, h. 551-552.
d. Budak Fir-Riqab
Riqab artinya adalah orang dengan status budak. Para budak yang dimaksud di sini ialah para budak Muslim yang telah membuat perjanjian
dengan tuannya mukatab, bahwa bila ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka bebaslah ia. Kemudian Allah
menetapkan bagian zakat untuk mereka agar mereka dapat membebaskan dirinya dan memenuhi segala apa yang ditentukan kepada mereka.
25
Dalam konteks individual, dana zakat tersebut bisa ditasarufkan untuk, misalnya :
1 Mengentaskan buruh-buruh rendahan dan buruh-buruh kasar dari belenggu majikan yang menjeratnya.
2 Mengusahakan pembebasan
orang-orang tertentu
yang dihukumdipenjara hanya karena menggunakan hak asasinya untuk
berpendapat atau memilih. Sementara dalam bentuknya yang struktural, zakat riqab ini dapat
berarti zakat untuk proses penyadaran dan pembebasan masyarakat tertindas berkaitan dengan hak-hak dasarnya sebagai manusia baik dalam
dimensi individual maupun sosialnya.
26
24
Mas’udi, Agama Keadilan, h. 155.
25
Qardhawi, Hukum Zakat, h. 587.
26
Mas’udi, Agama Keadilan, h. 156.
e. Orang berhutang Al-Gharimun
Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, bahwa orang yang memiliki hutang terbagi kepada dua golongan, masing-masing
mempunyai hukumnya sendiri. 1 Golongan Pertama, adalah orang yang memiliki hutang untuk
kemaslahatan dirinya sendiri dan dia adalah seseorang yang dianggap fakir. Orang yang berhutang karena kemaslahatan dirinya
harus diberi bagian zakat sesuai kebutuhannya, yakni kebutuhan untuk melunasi hutangnya. Apabila ia diberi bagian zakat, tetapi
tidak dibayarkan pada hutangnya, maka ia wajib mengembalikan bagian zakat tersebut, karena yang menjadi keperluan adalah
tanggungjawabnya untuk melunasi hutang.
27
2 Golongan Kedua, adalah orang yang berhutang untuk kemaslahatan masyarakat. Golongan ini lebih utama untuk diberi zakat, karena
mereka berhutang untuk kemaslahatan masyarakat. Berbeda dengan golongan pertama yang diberi bagian zakat dengan tujuan
untuk melunasi hutangnya, golongan ini berhak diberi zakat walaupun keadaannya kaya.
28
f. Orang yang Berjuang di Jalan Allah Fi-Sabilillah
Kini keadaan sudah berubah lebih kompleks dan mendefinisikan sabilillah dalam makna “pasukan perang melawan orang kafir”
sebenarnya definisi dalam sisi yang negatif. Dalam konteks perzakatan,
27
Qardhawi, Hukum Zakat, h. 599.
28
Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, h. 286-287.
menegakkan ‘jalan Allah’ adalah konteks kehidupan manusia dalam dimensi sosialnya. Rinciannya dapat bermacam-macam, tapi pangkalnya
adalah “kemaslahatan kesejahteraan dan keadilan hidup bersama”. Dana zakat untuk “sabilillah” pentasarufannya adalah untuk
kebutuhan-kebutuhan seperti beberapa contoh di bawah ini : 1 Memelihara akidah Islam dari kekufuran.
2 Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan dakwah dan menolong para da’i yang menyeru pada ajaran Islam yang benar.
3 Meningkatkan kualitas SDM dalam rangka menunaikan tugas sosialnya untuk ta’mirul ardl membangun peradaban di muka
bumi seperti program-program pengembangan filsafat, ilmu dan teknologi.
4 Menegakkan keadilan hukum judikatif bagi warga negara. 5 Membangun dan memelihara sarana dan prasarana umum yang
menyangkut hajat hidup orang banyak.
29
g. Orang yang sedang dalam perjalanan Ibnu Sabil
Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya Hukum Zakat, Ibnu Sabil adalah orang yang melakukan perjalanan demi kemaslahatan umum,
yang manfaatnya kembali pada agama Islam atau masyarakat Islam.
30
Lahir dari konteks sosial tertentu, pengertian di atas menunjuk pada makna yang lebih sempit dari yang sebenarnya. Kini, ketika keadaan
29
Mas’udi, Agama Keadilan, h. 157-161.
30
Qardhawi, Hukum Zakat, h. 654-655.
masyarakat sudah menjadi semakin kompleks, kebutuhan untuk meninjau kembali pada pengertian awal menjadi sangat perlu.
Maka dalam konteks pentasafuran dana zakat untuk ibnu sabil dapat dialokasikan kepada :
1 Pengungsi baik karena alasan politik, maupun karena alasan lingkunganbencana alam.
2 Musafir demi kemaslahatan, seperti mahasiswa, ahli ilmu yang pandai, yang membutuhkan studi untuk memperdalam ilmu yang
bermanfaat, yang hasilnya nanti akan kembali kepada kebaikan agama dan umat.
3 Tunawisma, dalam hal ini adalah pengemis dan anak jalanan. Apabila mereka diberi bagian zakat adalah karena sifat ibnu
sabilnya agar mengeluarkan ketergantungan mereka pada jalanan misalnya diberikan rumah yang layak dan yang kedua adalah sifat
fakirnya agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dan penghidupan yang layak.
31
Jadi yang dimaksud dengan kesejahteraan mustahik adalah suatu kehidupan dan penghidupan yang bersifat material maupun spiritual lahir maupun batin
yang memungkinkan setiap mustahik untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial, yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga dan
masyarakat di sekitarnya.
31
Ibid., h. 660-663.
E. Kerangka Berpikir
Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran untuk membayar zakat. Zakat
sangat berpotensi untuk mengentaskan kemiskinan jika dana zakat yang terkumpul didayagunakan secara produktif oleh pemerintah maupun lembaga amil
zakat yang ada. Selama ini pendayagunaan zakat masih bersifat konsumtif, namun lembaga
amil zakat yang ada saat ini lebih menekankan kepada pendayagunaan zakat secara
produktif. Mereka
berlomba-lomba untuk
membuat program
pemberdayaan untuk mustahik agar tercapai kesejahteraan mustahik yang seutuhnya dan terwujud transformasi mustahik menjadi muzakki.
Salah satu program pemberdayaan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kegiatan pelatihan kepada para mustahik dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimilikinya. Untuk mengetahui keefektivan dari sebuah pelatihan, dapat diukur dengan melihat
ketepatan penggunaan input unsur-unsur pelatihan serta pencapaian tujuan dan sasaran dari pelatihan itu sendiri. Dengan pelatihan tersebut, mustahik diharapkan
mampu mandiri dan menciptakan penghasilan untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih layak dan sejahtera.
Alur kerangka berpikir di atas, dapat digambarkan secara praktis mengenai pengaruh efektivitas pelatihan program Cake House Senyum Mandiri Rumah
Zakat terhadap peningkatan kesejahteraan mustahik pada gambar 2.1 berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Pengaruh Efektivitas Pelatihan Program
Cake House Senyum Mandiri Rumah Zakat Terhadap Peningkatan
Kesejahteraan Mustahik
F. Hipotesis Penelitian