BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia pada umumnya memiliki impian dan harapan. Impian dan harapan ini dapat terwujud di suatu masa yang tidak dapat diketahui kapan masa itu akan
datang. Oleh karenanya masa depan merupakan sesuatu yang selalu menjadi penantian setiap orang. Tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang akan terjadi
pada masa depannya. Hasil yang didapat di masa depan tergantung dari proses yang dilakukannya pada saat ini. Proses tersebut dapat berupa perencanaan, usaha dan
keyakinan dari manusia itu sendiri khususnya pada remaja. Masa remaja merupakan salah satu masa yang cukup penting dan menentukan
dari perjalanan hidup seseorang. Banyak orang yang mengatakan, bahwa remaja itu merupakan masa dimana seorang anak manusia sedang mengalami suatu transisi
besar dalam rentang hidupnya. Transisi itu merupakan perubahan dari masa kanak- kanak menuju masa dewasa yang akan mempengaruhinya kelak terhadap
perkembangan psikis dan interaksi sosialnya. Pada masa remaja mereka menghadapi revolusi fisiologis di dalam diri dan
harus menghadapi tugas-tugas perkembangan dalam menghadapi masa dewasa. Mereka seringkali diperlakukan tidak konsisten. Peran sebagai orang dewasa
kadangkala dibebankan kepada mereka, tetapi mereka masih dilindungi seperti anak kecil. Oleh karena itu mereka mengalami kekacauan peran dan identitas diri. Seperti
halnya yang diungkapkan oleh Erikson, bahwa remaja berada pada tahap perkembangan psikososial antara perolehan identitas versus kekacauauan peran
dalam Calvin S. Hall Lindzey, 1978. Pendapat yang serupa diungkapkan oleh Monks 2002, bahwa posisi remaja
berada diantara anak dan orang dewasa. Remaja dapat dikatakan masih anak-anak, tetapi disisi lain ia bertingkah seperti orang dewasa. Salah satu contohnya adalah
perilaku berpacaran, dimana seorang remaja memposisikan diri mereka sebagai pendamping dari pasangannya yang memberikan perhatian khusus dan terkadang
melayani kebutuhan pasangannya seperti layaknya orang dewasa yang sudah menikah. Namun disisi lain remaja belum sepenuhnya mampu untuk menguasai
fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Oleh karena itu, mereka masih harus belajar banyak untuk menyelesaikan masa perkembangannya dan menemukan tempatnya
dalam masyarakat. Jiwa remaja pada dasarnya merupakan jiwa peralihan yang serba tanggung
mereka berada pada tahap psikososial antara moralitas seorang anak-anak dengan kesadaran sebagai orang dewasa. Dalam masa peralihan ini, segala sesuatu yang
diinternalisasikan oleh keluarga sebagai lingkungan awal akan diuji oleh remaja selama berlangsungnya masa remaja tersebut. Hasil pengujian pengetahuan maupun
nilai yang diperoleh dari keluarga tersebut, akan menentukan sikap dan keputusan- keputusan yang mereka buat pada masa dewasa. Proses penentuan dan pengambilan
keputusan sebagai awal perjalananan masa depan sebelum masa dewasa terjadi pada masa remaja ini. Itulah sebabnya masa remaja sangat penting untuk dicermati.
Dengan adanya kekacauan peran dan identitas diri pada remaja, maka Erikson 1968 menekankan bahwa tugas pokok seorang remaja adalah pembentukan identitas
diri yang mantap. Pembentukan identitas ini melibatkan integrasi total dari ambisi- ambisi dan aspirasi serta kualitas-kualitas diri yang mereka peroleh sebelumnya. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kualitas hidup remaja, masa depan kemudian mulai masuk dalam perencanaan hidupnya. Mereka sudah mulai mampu membuat
perencanaan-perencanaan bagi masa depannya, untuk mewujudkan impian-impian ideal mereka.
Salah satu dari sekian banyak perencanaan yang akan dibuat remaja dalam menyongsong masa depan mereka adalah perencanaan mengenai karier dan pekerjaan
yang akan mereka tekuni nantinya. Seperti yang diungkapkan oleh Hurlock 1999, bahwa remaja mulai memikirkan masa depan mereka secara bersungguh-sungguh.
Walaupun keputusan yang mereka buat saat ini tidak langsung menentukan jenis pekerjaan yang akan mereka jalani.
Havighurst dalam Kimmel, 1995 mengungkapkan bahwa salah satu dari
tugas perkembangan remaja adalah memilih dan mempersiapkan karir ekonomi.
Namun banyak dari remaja yang tidak mempedulikan hal tersebut, dan justru menghabiskan waktunya untuk kesenangan belaka.
Menurut Sadarjoen 2008, banyak remaja yang menjalani hari-hari dengan santai, tidak terarah, mengikuti alur seperti halnya air mengalir tanpa arah jelas.
Sosok remaja tersebut terkesan bagaikan perahu limbung tanpa arah, yang akhirnya menjadikan kesenangan sebagai pengarah utama dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Akibat pengaruh dari kesenangan tersebut, remaja cenderung malas belajar, malas membaca, bahkan malas berpikir, bersikap tidak serius dalam membahas
masalah dan cenderung lari dari masalah. Selain itu, Hayadin 2005 dalam bukunya Peta Masa Depanku menjelaskan
bahwa banyak hal tengah mengancam masa depan generasi muda bangsa Indonesia. Dan hal tersebut merupakan ancaman terhadap kemajuan dan survivalitas bangsa dan
negara. Ancaman tersebut diantaranya adalah pengangguran terbuka, pengangguran terpelajar, drop-out pelajar putus sekolah, penyalahgunaan obat terlarang dan
narkotika, penyimpangan sosial seperti budaya kekerasan, dan lainnya. Ancaman yang paling utama dalam hal ini adalah pengangguran. Berdasarkan
data statistik BPS tahun 2002 jumlah pengangguran terbuka open unemployment di Indonesia sebanyak 9.132.104 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 41,2
3.763.971 jiwa adalah tamatan SMA , Diploma, Akademi dan Universitas atau “pengangguran terpelajar”. Diantara jumlah pengangguran terbuka tersebut,
2.651.809 jiwa tergolong hopeless of job merasa tidak yakin mendapatkan pekerjaan, 436.164 diantaranya adalah tamatan SMA, Diploma, Akademi dan
Universitas Hayadin, 2005. Data faktual di atas menggambarkan tingginya tingkat pengangguran di
Indonesia yang diantaranya berasal dari kaum terpelajar. Oleh karena itu, untuk menanggulangi masalah tersebut perlu adanya perencanaan dan orientasi masa depan
yang jelas dalam hal pekerjaan dan karir khususnya bagi remaja. Karena pada dasarnya manusia bisa meramalkan masa depannya kelak dari apa yang dilakukannya
saat ini. Setiap individu termasuk remaja, untuk masa depannya tentu menginginkan
tingkat kehidupan yang lebih baik dari yang dijalani saat ini. Mereka memiliki keinginan ataupun gambaran ideal akan suatu kehidupan dimasa yang akan datang.
Terkadang apa yang mereka inginkan itu dapat tercapai, terkadang tidak. Dalam membuat perencanaan bagi kehidupannya kelak, remaja harus mengetahui apa yang
sebenarnya menjadi keinginan atau harapannya. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, masa remaja merupakan masa
mempersiapkan diri memasuki dunia kerja. Proses mempersiapkan diri memasuki dunia kerja bukanlah suatu hal yang terjadi dengan sendirinya. Selain dituntut untuk
berprestasi, ternyata banyak faktor yang turut mempengaruhi kejelasan orientasi masa depan remaja khususnya dalam bidang pekerjaan dan karier.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hendriati Agustriani, dkk. 2001 tentang model pembinaan remaja dalam rangka mempersiapkan diri memasuki dunia
kerja, disebutkan bahwa dalam penelitian tersebut dihasilkan 7 dimensi orientasi masa depan remaja bidang pekerjaan dan karier, yaitu : evaluasi diri, pencarian
informasi, perencanaan, kondisi emosi, kondisi keluarga, optimisme pesimisme serta kejelasan ketidakjelasan pekerjaan dan karier di masa yang akan datang.
Kondisi keluarga merupakan salah satu dari 7 dimensi orientasi masa depan remaja bidang pekerjaan dan karier . Keluarga merupakan sarana sosialisasi yang
utama. Walaupun keluarga merupakan organisasi terkecil dari masyarakat, tetapi di dalam keluarga ditanamkan nilai-nilai moral dan agama yang menjadi landasan utama
terbentuknya sikap dan kepribadian remaja. Keluarga adalah tempat dimana melimpahnya kasih sayang dan perhatian. Sikap dan kepribadian remaja sangat
dipengaruhi sikap dan kepribadian dari orang tua. Keinginan dan harapan remaja untuk masa depannya pasti berbeda satu sama
lain. Hal ini tergantung dari sejauhmana remaja itu melakukan interaksi dengan lingkungannya. Yang dimaksud dengan lingkungan di sini tidak hanya berupa
lingkungan fisik, tetapi lebih kepada lingkungan sosial atau disebut pula iklim sosial. Dengan semakin seringnya remaja melakukan interaksi dengan lingkungan
sekitarnya, atau dengan kata lain orang-orang disekitarnya, maka akan banyak input atau informasi-informasi yang diserap oleh remaja dan nantinya informasi tersebut
menjadi sebuah pengetahuan yang dalam hal ini dapat digunakan untuk merencanakan masa depan yang baik bagi remaja.
Apabila lingkungan disekitar remaja harmonis dan kondusif, maka remaja akan lebih mudah dalam menyerap informasi-informasi yang nantinya memudahkan
remaja untuk merencanakan masa depannya. Sebaliknya apabila lingkungan sekitar remaja tidak harmonis dan tidak kondusif, maka remaja akan kesulitan untuk
menyerap informasi-informasi dari lingkungan sekitarnya, sehingga menyebabkan remaja kesulitan untuk merencanakan masa depannya atau bahkan menjadi tidak
memiliki orientasi masa depan.
Bagi seorang individu termasuk remaja, lingkungan yang paling utama adalah keluarga. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, dimana antara
anggotanya terdapat interaksi yang mendalam. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif dan awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang
anak mengenal lingkungan yang lebih luas, terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, sebelum mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari
masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya Sarwono,
1991. Hal-hal yang terkait dalam lingkungan keluarga ini tidak semata-mata pola
asuh yang diberlakukan oleh orang tua. Tetapi lebih dari itu, bagaimana interaksi antar anggota keluarga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam keluarga dan
sebagainya. Semua ini mencerminkan bagaimana iklim dalam keluarga tersebut. Menurut James Jones dalam Kozlowski Doherty, 1989, iklim sosial adalah
deskripsi yang didasarkan pada persepsi atas karakteristik, peristiwa dan proses dalam organisasi. Dalam hal ini untuk pengertian iklim keluarga, organisasi dalam definisi
tadi adalah keluarga. Banyak orang tua yang menjadi acuh dan kurang mempedulikan
perkembangan anaknya ketika sudah memasuki usia remaja. Mereka menganggap sudah cukup dengan memasukkan anak mereka ke sekolah formal. Padahal
pendidikan di sekolah hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan pendidikan yang seharusnya didapat oleh remaja, dan tetap saja sarana pendidikan yang utama adalah
keluarga Sadarjoen, 2005. Selain itu, banyak juga orang tua yang menganggap anak usia remaja sudah dewasa sehingga dianggap mampu untuk mengurus diri sendiri
serta mengambil keputusan untuk dirinya sendiri tanpa adanya bimbingan dan arahan dari orang tua. Sehingga tidak terjadinya interaksi yang baik antara remaja dengan
orang tua mereka. Selain hubungan antara remaja dengan orang tuanya, kondisi lain yang
menyebabkan iklim dalam sebuah keluarga menjadi tidak kondusif adalah adanya persaingan antara saudara kandung sibling rivalry, antara remaja dengan adik atau
kakaknya. Hal ini menyebabkan hubungan keduanya menjadi tidak harmonis dan tidak terjadinya interaksi yang baik antara keduanya. Dan masih banyak lagi faktor-
faktor yang menyebabkan tidak kondusifnya iklim dalam suatu keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap keluarga pasti pernah mengalami
konflik, namun pada kondisi keluarga yang demikian, konflik akan dengan mudah dapat terselesaikan tanpa membuat ketidaknyamanan di dalam keluarga. Kondisi
keluarga tersebut mengindikasikan adanya iklim yang kondusif di dalam sebuah keluarga.
Dengan demikian, mampukah sebuah keluarga menghasilkan interaksi yang baik dan kodusif supaya menghasilkan iklim yang baik bagi perkembangan pola pikir
anggotanya yang dalam hal ini adalah remaja mengenai orientasi masa depannya dalam bidang pekerjaan dan karier.
Iklim dalam keluarga memiliki peran yang cukup penting dalam menunjang orientasi masa depan anggotanya. Hal ini diperjelas dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nurmi 1987, dalam McCabe Barnett, 2000, bahwa iklim dalam keluarga merupakan salah satu faktor dan prediktor yang penting dalam orientasi masa depan
pada anak. Penelitian Trommsdorf 1983, dalam Desmita, 2005 telah menunjukkan
betapa dukungan dan interaksi sosial yang terbina di dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat penting bagi pembentukan orientasi masa depan
remaja, terutama dalam menumbuhkan sikap optimis dalam memandang masa depannya. Remaja yang mendapat kasih sayang dan dukungan dari orang tuanya,
akan mengembangkan rasa percaya dan sikap positif terhadap masa depan, percaya akan keberhasilan yang akan dicapainya, serta lebih termotivasi untuk mencapai
tujuan yang telah dirumuskan di masa depan Desmita, 2005. Maka dari itu, seorang anak khususnya remaja akan memiliki orientasi masa
depan yang positif apabila didukung oleh iklim sosial keluarga yang kondusif, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan
diatas, maka penulis merasa perlu adanya penelitian mengenai hal tersebut agar nantinya hasil dari penelitian tersebut dapat menjadi acuan bagi semua orang
khususnya orang tua dalam mendampingi remaja dalam menjalani tugas-tugas perkembangannya. Maka dari itu, untuk merealisasikan hal tersebut peneliti
melakukan penelitian dengan judul pengaruh iklim sosial keluarga terhadap orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan dan karir pada remaja.
1.2. Identifikasi Masalah