Kebijakan Pendidikan pada Tingakat Sekolah

birokrasi pemerintah yang memang diberi kewenangan untuk melaksanakan tugas –tugas kepublikan” 132 Proses pemberdayaan daerah adalah sebuah upaya pembelajaran bagi birokrasi untuk menemukan orientasi dan fungsi baru bagi dirinya maupun bagi masyarakat, perubahan pada karakter birokrasi dan sifatnya yang berorientasi dilayani menjadi melayani dalam bahasa yang lebih lazim secara perlahan-lahan masti ditanamkan paradigma publik service.

D. Kebijakan Pendidikan pada Tingakat Sekolah

Tuntutan reformasi yang menghendaki kebebasan daerah untuk mengelola potensi daerahnya termasuk dalam bidang pendidikan, adanya ketidak puasan pengelola pendidikan atas keterbatasan wewenang yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri, mereka umumnya merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan pada konteks pendidikan yang ditetapkan pemerintah, akibatnya peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas birokrasi yang menumpulkan kreatifitas berinovasi, sekolah selama ini hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pendidikan, para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasionalkan sekolahnya secara mandiri. Robert Bisaillion memaparkan sekolah sering tampak berdiri diam di tempat sedangkan seluruh dunia bergerak, negara tampaknya tidak lagi lebih lama terus mengarahkan pendidikan, sekolah penguasa lokal menginginkan suara yang lebih besar agar dapat menikmati tindakan penentuan nasib yang lebih besar, 133 hal ini menjadi tuntutan di tiap lembaga pendidikan yang mempunyai keinginan untuk segera meningkatkan mutu pendidikan secara cepat karena pada kenyataannya penyelengaraan pendidikan di 132 Wahidin Halim, 1001 Wajah Kota Tangerang, Jakarta, Melibas, 2004, h. 39-41. 133 Robert Bisaillon, Sekolah Dipersimpangan Jalan, Pendidikan Untuk Abad 21, Pokok Persoalan dan Harapan Paris, Unesco publising 1996.h.354. sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat 134 , sekolah hanya menerima apa adanya, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah, melalui selang birokrasi dengan begitu banyak kebocoran yang mengakibatkan dana menyusut saat di tingkat operasional. Dalam kurikulum 2004 muatan lokal dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk desentralisasi pendidikan, daerah diberi kewenangan menentuksn sendiri kurikulum sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. 135 Dengan peraturan daerah, sekolah mengembangkan dan menafsirkan aturan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tersebut. Depdiknas terdorong untuk melakukan reorientasi management sekolah dan managemant pendidikan berbasis pusat menjadi Managemen Berbasis SekolahMBS School Based Management dalam undang-undang Sisdiknas pasal 51 ayat 1 yang berbunyi,” Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip 134 Dominasi pemerintah pusat yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama telah menjadikan pemerintah pusat sebagai supra struktur yang mengatur dan menetapkan segalanya, sebagian besar sumber daya pemerintahan dan pembangunan terkonsentrasi di pusat dan di kelola serta di kontrol oleh pemerintah pusat M.Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta, Rajagrafindo Persada, h.202 135 Muatan lokal bukan suatu mata pelajaran, tetapi lebih merupakan kajian, artinya setelah sekolah berkonsultasi dengan instansi induknya, sekolah dapat mengisi muatan lokal dengan beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, sekolah yang mempunyai kemampuan mandiri dapat menyusun silabus yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya setelah mendapat persetujuan dari Dinas pendidikan setempat propinsi,kabupaten, kota.Sam M.Chan, Analisis Swot, Kebijakan pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta, Raja Grafindo Persadah.159 Management Berbasis Sekolah ”. 136 E. Mulyasa berpendapat ,” MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. ” 137 Senada dengan E.Mulyasa, Husaini Usman memaparkan ,”MBS merupakan pendekatan berbasis sekolah yang melibatkan semua warga sekolah agar kreatifitas tidak terpasung ” 138 . Pendapat Hamzah B. Uno. ” Managemen Berbasis Sekolah MBS adalah pergeseran paradigama dalam pengeloaan pendidikan, sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola. ” 139 Bedjo Sujanto mengatakan ,” MBS diartikan sebagai model managemen sekolah yang memberikan otonomi pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah. ” 140 Sedangkan menurut Rohiyat ,” MBS sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi kewenangan dan tanggung jawab yang 136 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Bab XIV Tentang Pengelolaan Pendidikan, Pasal 51 Ayat 1, Sisdiknas Jakarta, Fokusindo Mandiri, 2012 cet ke 2, h. 29. 137 Selanjutnya E. Mulyasa memaparkan kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan seperti kebijaksananaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua dan guru kemudian. MBS bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal, dan MBS efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah.E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi Bandung, Rosda Karya, hal.25. 138 Husaini Usman, Management, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara 2006, h.497. 139 Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam misi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN 999 “ mewujudkan sistim dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia ,kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat disiplin, bertanggung jawab, terampil serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, Probleme, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 2008, h. 84. 140 Bedjo Sujanto, Managemen Pendidikan berbasis sekolah, Model Pengelolaan Sekolah Di Era Otonomi Daerah, Jakarta, Sagung Seto, 2007, h. 30. lebih besar kepada sekolah, memberikan keluwesan pada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah. ” 141 Paradigma MBS beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningakatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Visi dari otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan bermuara pada upaya pemberdayaan terhadap masyarakat setempat, dilihat dari visi tersebut maka otonomi daerah diartikan kewenangan dan pemberdayaan, otonomi daerah di bidang pendidikan berusaha memberikan kembali pendidikan kepada masyarakat pemilik daerah. Pendapat Mukheri Mukhtar,” Management berbasis sekolah merupakan konsep baru dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia yang merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. ” 142 Menurut Muhaimin dkk, ”Otonomi penyelenggaraan pendidikan tersebut pada gilirannya berimplikasi kepada perubahan sisitem management pendidikan dari pola sentralisasi ke desentralisasi. ” 143 Selanjutnya tutur Muhaimin dkk, ” 141 MBS memberikan otonomi yang lebih besar pada sekolah, sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya sehingga lebih madiri. Rohiyat, Managemen Sekolah, Teori Dasar dan Praktik , Bandung, Aditama,2010, h. 47 142 Lebih lanjut Mukheri Mukhtar menyatakan bahwa pelaksanaan management berbasis sekolah mempunyai tujuan dalam pelaksanaan kegiatannyayang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, Pertama, meningkatkan efisiensi melalui keleluasaan mengelola sumberdaya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi, kedua peningkatan mutu dapat dilakukan melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, dan ketiga adalah pemerataan pendidikan yang diperoleh melalui partisipasi masyarakat dan pemerintah diharapkan berkonsentrasi pada kelompok yang kurang amapu dalam masyarakat. Mukheri Mukhtar, Pengawasan PendidikanJakarta, BPJM Press Universitas Negeri Jakarta, 2013h.16 143 Bersamaan dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan tersebut maka management yang dikembangkan lebih mengarah pada management berbasis sekolahmadrasah shool based management yakni model management yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah atau madrasah dan Diantara otonomi yang lebih besar diberikan kepada sekolah madrasah adalah menyangkut pengembangan kurikulum, yang kemudian disebut dengan KTSP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pengembangan KTSP bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolahmadrasah melalui pemberian kewenangan, keluwesan dan sumber daya untuk merancang kurikulumnya sendiri dengan mengacu pada rambu-rambu yang telah ditetapkan ” 144 . Setiap daerah mempunyai kebutuhan dan permasalahan yang berbeda dengan dearah lainnya,ada kota metropolitan seperti DKI Jakarta, ada kota industri seperti Tangerang dan Bekasi, ada daerah pesisir seperti Indramayu, Pelabuhan Ratu, ada daerah pegunungan, seperti Garut Jawa Barat atau daerah Batu Malang Jawa Timur, ada daerah wisata seperti Bali dan Nusa Tenggara Barat dan ada juga daerah terpencil yang kurikulumnya tidak mungkin di samakan dengan kurikulum DKI Jakarta. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, “kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam satuan wilayah atau daerah dan pengembangannya berdasarkan karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah. ” 145 mendorong pengambilan keputusan parsitipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolahmadrasah guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan, orang tua peserta didik, dan masyarakat atau stakeholder untuk meningkatkan mutu sekolahmadrasah.Muhaimin dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP Pada Sekolah Madrasah, Jakarta, Rajagrafindo 2008, h.1 144 Dengan kemandirian tersebut madrasahsekolah sebagai satuan pendidikan mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya, sehingga ia dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk mengembangkan dan mengimplementasikan KTSP, sekolahmadrasah juga lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sejalan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Muhaimin dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP Pada Sekolah Madrasah, Jakarta, Rajagrafindo 2008h.1 145 Bentuk kurikulum seperti ini mempunyai beberapa kelebihan disamping juga kekurangan, kelebihan-kelebihannya diantaranya, kurikulum Sejak diberlakukannya kurikulum 1994, dengan berlandaskan SK mendikbud nomor : 060U1993, yang menandaskan bahwa pelaksanaan kegiatan pendidikan didasarkan atas keadaan, kebutuhan, lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan 146 , menurut Sam M. Chan ,” Kurikulum yang sekarang sedang dilaksanakan dengan memiliki daya antisipatif terhadap perubahan zaman masa kini akan tertantang kembali pada beberapa waktu mendatang dengan cepat. ” 147 sesuai dengan tingkat dan kemampuan masyarakat setempat, kurikulum sesuai dengan tingkat kemampuan sekolah, baik kemampuan profesional, finansial amaupun managerial disusun oleh guru-guru sendiri dengan demikian sangat memudahkan dalam pelaksanaannya, kelemahannya adalah tidak ada keseragaman, untuk situasi yang membutuhkan keseragaman, tidak adanya standar penilaian yang sama, adanya kesulitan jika ada siswa yang pindah sekolah. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya,2010, h.210 146 Realitas di lapangan menunjukan bahwa implementasinya beragam ; di DKI Jakarta dengan didasarkan SK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Nomor 247tahun 1994 tentang Pedoman Pengembangan Muatan Lokal dalam kurikulum SD, ditetapkan bahwa muatan lokal di DKI berorientasi pada kebersihan, kesehatan, keindahan, ketertiban, keamanan,dan keakraban. Sekolah- sekolah di Jawa Barat mengisi muatan lokal tersebut dengan dua belas mata pelajaran yang beragam, antara lain Bahasa Inggris, bahasa sunda, bela diri, seni tari, ketrampilan keramik, karawitan, tata busana, dan elektronik, semua pelajaran itu disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan tiap-tiap sekolah termasuk buku-buku pendukung dan tenaga pengajar. Muatan lokal sekolah- sekolah di Propinsi Sulawesi Tenggara meliputi sepuluh mata pelajaran diantaranya adalah bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, pertanian,perkebunan,peternakan, perikanan dan permainan. Di Sumatera barat, hanya lima muatan lokal, yaitu budaya alam Minangkabau, keterampilan tradisional, baca tulis Al- Qur’an, bahasa Arab, melayu dan keterampilan permainan Sam M.Chan, Analisis Swot, Kebijakan pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, h.203. 147 Konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi pun akan terlepas dari tantangan dunia seperti: Nilai-nilai lokal yang luhur akan terhanyut terbawa arus peradaban global jika anak-anak bangsa tidak lagi memilki kepedulian terhadap nilai-nilai bangsa sendiri akibat tidak dilestarikan melalui pendidikan di sekolah Sam M.Chan, Analisis Swot, Kebijakan pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, h.205. 51

BAB III PERDA PENDIDIKAN DAN PERDA PENDUKUNG