Pelajar Islam Indonesia di era Orde Baru

46 0156V1978 pada tanggal 19 April 1978 yang menyatakan bahwa aktivitas dan ekspresi politik mahasiswa di dalam kampus adalah tidak sah serta hanya mengijinkan adanya diskusi akademik tentang subjek politik Suharsih dan Ign Mahendra K, 2007: 86-87. Kebijakan tersebut beriringan dengan adanya upaya pembungkaman daya kritis pelajar secara sistematis melalui TAP MPR Nomor IVMPR1978 tentang Strategi Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda. Sebuah kebijakan yang menegaskan bahwa satu-satunya organisasi yang sah dan diakusi di sekolah hanyalah OSIS Organisasi Siswa Intra Sekolah. Keputusan tersebut kemudian diteruskan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0323U1978 tentang Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda Dwiwibawa dan Theo Riyanto, 2008: 25. Selain PII, di Indonesia juga terdapat beberapa organisasi pelajar yang mendapatkan langsung kebijakan ini, seperti Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama IPNU dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah IPM. Sebelum adanya OSIS dan kebijakan yang melarang organisasi ekstra sekolah, para pelajar bebas memilih dan mengikuti berbagai organisasi yang ada pada saat itu. Semenjak dibentuk OSIS, keberadaan organisasi ekstra sekolah seperti PII, IPM, IPNU, IPPNU tergusur dari pergaulan pelajar di sekolah. Politik kebijakan tersebut berefek pada penyempitan ruang gerak pelajar untuk bebas berserikat, pemosisian pelajar menjadi objek kebijakan, bukan subyek dan lemahnya daya tawar antara pelajar dengan aparatus pendidikan di sekolah. 47 Selain depolitisasi terhadap mahasiswa dan pelajar, pemerintah Orde Baru juga menerapkan kebijakan pelarangan organisasi massa yang berasaskan Islam melalui instrumen UU No. 81985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada BAB II pasal 1 berbunyi bahwa “Organisasi kemasyarakatan berazaskan Pancasila sebagai satu-satunya az as” Karim, 1997: 127. PII termasuk diantara organisasi pelajar yang menolak tegas diberlakukannya asas tunggal karena secara konsisten terhadap asas Islam sebagai dasar organisasi. Sikap PII yang keras itu mengundang kecaman dari pemerintah, tetapi PII dengan konsisten teguh dengan pendiriannya. Sikap PII tersebut berdasarkan pada keputusan Muktamar PII pada tahun 1986 di Jakarta yang memutuskan, bahwa PII menerima Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah negara Indonesia, sebagai konsensus nasional dan landasan bersama untuk negara yang mengikat segenap aliran dan golongan, akan tetapi PII menolak menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai dalam aktifitasnya, karena menurut PII Islam sudah cukup sebagai sumber nilai setiap gerakannya Tausikal dalam Thamrin, 1998: 52. Akibat sikap PII yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, Menteri Dalam Negeri RI yang saat itu dijabat oleh Soepadjo Rustam atas nama pemerintah mengeluarkan SK No. 120 tahun 1987 tentang Organisasi Kemasyarakatan Pelajar Islam Indonesia tertanggal 10 Desember 1987, yang menyatakan PII tidak diakui keberadaannya karena tidak memenuhi persyaratan undang-undang dan semua kegiatan yang mengatasnamakan Pelajar Islam Indonesia PII dinyatakan dilarang Tempo, 1988: 34. 48 Situasi politik yang menerpa gerakan pelajar pada era Orde Baru tersebut mengakibatkan kekosongan gerakan di kalangan pelajar. Pada saat itu berbagai organisasi pelajar dilarang keberadaannya di sekolah-sekolah. Kekosongan gerakan pelajar di sekolah akibat kebijakan rezim otoriter tersebut secara langsung mematikan aktifitas politik pelajar, selanjutnya pelajar dipaksa untuk kembali ke sekolah dan ikut dalam permainan sistem penguasa. Pelajar dilarang melakukan kritik terhadap berbagai situasi sosial, sementara organisasi yang menaungi para pelajar tersebut dibubarkan. Situasi politik yang menerpa PII pada era Orde Baru tersebut memaksa PII bergerak di bawah tanah karena keberadaannya dilarang untuk melaksanakan aktifitas pemberdayaan di sekolah-sekolah. Akibat pelarangan itu, berdampak pula pada gerakan PII di Jakarta. Saat itu terjadi penurunan aktifitas yang berdampak pada merosotnya kuantitas basis PII dan kualitas struktur di setiap daerah. Respon atas pembubaran PII yang secara signifikan berpengaruh pada kaderisasi dan eksistensi organisasi agar tetap eksis, ketika itu PW PII Jakarta mencari format baru gerakannya. Analisa itu disesuaikan dengan melihat PP No. 18 tahun 1986 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Perhimpunan yang bersifat kekerabatan yang mempunyai kegiatan, tujuan yang bersifat sementara, serta keanggotaan yang bersifat longgar misalnya arisan tidak termasuk pengertian organisasi kemasyarakatan”. Oleh karena itu, dengan inisiatif pengurus, PII di Jakarta kala itu berubah namanya menjadi Forum Pembinaan Pribadi Muslim FPPM. sesuai dengan keterangan dari Rahmad Banu Widodo, 20 Mei 2013. 49 Walaupun organisasi PII dinyatakan dilarang keberadaannya oleh pemerintah, tetapi saat itu tidak menghilangkan aktivitas pemberdayaan di kalangan pelajar. Forum-forum musyawarah dan pergantian kepengurusan tetap berjalan, sementara pada aspek pemberdayaan yang dilakukan hanya terfokus pada kajian-kajian internal dan kegiatan training, sementara merepon isu-isu eksterbak relatif tidak dilakukan. 50

BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN

A. Pandangan PW PII Jakarta Terhadap Peran Politik Pelajar

Pandangan negatif terkait peran politik pelajar merupakan hasil konstruksi sosial dari kebijakan politik orde baru yang melarang pelajar aktif pada wilayah politik dalam upaya mengkritisi kebijakan pemerintah. Pelajar diposisikan sebagai anak kecil yang tugasnya belajar dan hanya berkutat pada wilayah akademis, sementara politik diasumsikan sebagai konsumsi orang dewasa. Lemahnya perhatian pemerintah pada wilayah kebijakan makro terhadap pelajar berdampak secara nyata menyurutkan perhatian pelajar terhadap politik yang menjadi bagian dari peran dan fungsinya dalam masyarakat. Padahal dalam realitas sejarah menunjukan bahwa gerakan pelajar mempunyai kontribusi yang besar dalam pembangunan bangsa, terutama dalam kiprah dan perjuangannya yang mewarnai dinamika sosial politik di Indonesia. Pandangan PII terhadap peran politik pelajar tersirat dari kata “pelajar” di awal nama organisasinya. Hal tersebut menjadi ciri dan karakteristik gerakannya sebagai organisasi yang fokus terhadap permasalahan pelajar. Oleh karena itu PII mempunyai penafsiran tersendiri dalam mendefinisikan pelajar yang dirangkum dalam sebuah sebuah komitmen kepelajaran, yakni: 1. Pelajar sebagai sebuah entitas sosial Pelajar merupakan representasi dari lapisan sosial yang berjumlah massa sangat besar, oleh karena itu keberadaannya harus menjadi realitas 51 yang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan sosial public policy making . Selain itu, pelajar merupakan representasi dari generasi pemimpin masa depan, dengan demikian posisi pelajar dalam sebuah negara menjadi komponen terpenting di dalamnya. Pelajar sebagai bagian dari entitas sosial, memiliki konsep yang tidak saja bermakna secara sosial, tetapi juga politis. Dari sisi sosial, pelajar merunjuk kepada sebuah entitas yang eksistensinya terkait dengan proses belajar dan masuk dalam daur dunia pendidikan. Secara politis keberadaannya mewakili komunitas terdidik dan relatif berperadaban sehingga peranannya dalam proses perubahan sosial menjadi sebuah keniscayaan. 2. Pelajar sebagai subjek pendidikan, kebudayaan, dan subjek transformasi pendidikan dan kebudayaan Posisi pelajar sebagai komunitas terdidik selayaknya diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasinya dalam merumuskan sebuah kebijakan. Pada wilayah pendidikan misalnya, pelajar harus diposisikan sebagai subjek dari pendidikan itu sendiri, hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan mengenai pendidikan pelajar turut dilibatkan sehingga dapat menjadi daya tawar antara pelajar dengan aparatus di sekolahnya mau pun pemerintah. Sementara itu, dengan menempatkan pelajar sebagai subjek dari kebudayaan, akan menumbuhkan kesadaran kritis critical consciousness pada diri pelajar terhadap kooptasi budaya massa mass culture PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2006: 143. 52 Dengan menempatkan pelajar sebagai subjek pendidikan dan kebudayaan, pelajar akan mampu menjadi subjek perubahan yang memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap tugas dan fungsinya sebagai pelajar serta partisipasinya dalam melakukan kritik sosial atas kondisi yang tidak sesuai dengan apa yang diyakininya. Apabila melihat realitas yang terjadi di masyarakat, pelajar selalu menjadi sorotan dan perbincangan, hal itu karena potret buram yang sempat direkam berbagai tayangan media dari jejak langkah pelajar dan perilaku-perilaku negatifnya. Melihat kenyataan tersebut mengundang keprihatinan dari masyarakat, termasuk PII yang memang fokus melakukan pembinaan pelajar. Dalam hal ini, Ahmad Basori, Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2006-2008 menjelaskan: Ada semacam ketidakberdayaan dari kalangan pelajar sendiri dalam merespon berbagai situasi politik yang sedang berkembang, terutama yang berkaitan dengan dunia pelajar. Hal itu karena ada sebagian diantara pelajar yang masih terjebak pada pergaulan bebas, narkoba, dan tawuran. Padahal, pelajar merupakan agen perubahan sosial yang mempunyai basis massa potensial memiliki daya tawar yang tinggi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebut memberikan sebuah keniscayaan mengenai posisi strategis pelajar dalam sebuah negara Wawancara dengan Ahmad Basori pada 19 April 2013. PII yang mempunyai komitmen kepelajaran memandang perlu adanya penanaman nilai-nilai kepemimpinan kepada pelajar, selain untuk memberikan pemahaman mengenai hak dan kewajibannya, juga ikut berperan serta dalam memainkan peran politiknya di masyarakat. Menurut Shood Solehuddin, Komandan Brigade PII Jakarta: Peran politik pelajar terlukis dari doktrin tentang nilai-nilai kepemimpinan yang selalu ditanamkan kepada para kadernya di setiap momen pengkaderan. Doktrin tersebut adalah “pelajar hari ini pemimpin hari esok”, dan hal itu diyakini 53 menjadi ruh penggerak bagi seluruh kader PII untuk berperan serta dalam memainkan peranan penting dalam kebijakan-kebijakan politik di negera ini Wawancara dengan Shod Solehuddin pada 13 Januari 2013. Sementara itu, menurut Syahnan Tanjung: Di setiap pengkaderan PII selalu mengajarkan kepada pelajar untuk respon terhadap fenomena sosial yang dihadapinya, kemudian mampu memecahkan sendiri persoalan-persoalan tersebut. Dengan demikian mereka akan mampu menghadapi berbaga persoalan pribadinya dan tergerak hatinya untuk berbuat dalam masyarakat Wawancara informal dengan Syahnan Tanjung pada 10 April 2013. Pemahaman politik bagi pelajar sangat penting karena posisi pelajar sebagai bagian dari warga negara mempunyai hak yang sama dan dilindungi UU dalam menyatakan pendapat, selain itu sebagai tanggung jawab moral pelajar terhadap bangsanya. Oleh karena itu, PII diharapkan mengambil peran dalam memberikan pemahaman dan meningkatkan kesadaran politik pelajar agar pelajar mampu menjalankan peranannya di berbagai situasi sosial politik yang ada di masyarakat, terlebih pada era Reformasi yang menuntut lebih partisipasi warga negara dalam pemerintahan. Shood menjelaskan: Dalam masalah politik bagi pelajar, PII hanya bergerak pada wilayah pembangunan kesadaran kepada pelajar dalam memperjuangkan hak-hak politiknya, selain itu juga sebagai tanggung jawab moral seorang pelajar terhadap negaranya. Hal itu sebagai modal besar ideologi yang dimiliki oleh PII dalam bertindak dan menarik keterlibatan pelajar dalam merespon situasi politik Wawancara dengan Shod Solehuddin pada 13 Januari 2013. Pandangan politik dalam dunia pelajar tidak bergerak pada wilayah kekuasaan politik praktis, yakni orientasi pada jabatan di tingkatan kekuasaan formal DPR RI, Bupati, Gubernur dan lain-lain, tetapi bisa juga dalam bentuk sikap moral dan kepedulian pelajar terhadap permasalahan bangsa, seperti yang telah diungkapkan