29
terpisah secara geografis, tetapi merupakan bagian yang terkait secara spiritual. Artinya dalam bidang sosial dan kehidupan, pemerintah Belanda menghendaki agar
para pelajar Islam dari kalangan bumiputera senafas dan seirama dengan kebudayaan Belanda, dengan jalan yang ditempuh melalui pemanfaatan adat dan
asosiasi pendidikan. Dibalik kebijakan pemerintahan Belanda yang menerapkan pendidikan
sekuler di bawah bendera politik etis, ternyata mempunyai misi kristenisasi, usaha tersebut dengan cara memperkenalkan sistem pendidikan modern a la Barat kepada
masyarakat Hindia tertentu dilakukan oleh misi-misi Kristen. Sekolah dijadikan sebagai sarana untuk menyebarluaskan injil dan menarik pengikut Kristen baru
dengan menjanjikan keuntungan-keuntungan bagi pengikut barunya itu. Seperti yang diungkapkan oleh Gavin W. Jones, “menjadi Kristen, juga berarti terbaratkan,
dan pendidikan merupakan bagian integral dari westernisasi” Latif, 2005: 87-88. Kondisi semacam itu mematahkan kebijakan politik netral agama yang dicetuskan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Masyarakat pribumi sendiri yang dari kalangan bangsawan muslim,
pedagang muslim, dan keluarga yang masih kuat dan taat agamanya, lebih memilih untuk mempertahankan tradisi dan keyakinannya dengan cara mengirimkan anak-
anaknya untuk belajar di sekolah-sekolah Islam tradisional seperti pesantren, surau, meunasah, dayah, atau ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah.
Setelah Belanda, kini giliran Jepang yang mengambil alih komando penjajahan di bumi Indonesia. Dimulai pada saat penyerahan kedaulatan dari
Gubernur Jenderal Garda Van Starkenborgh Stachhouwern kepada Jenderal
30
Imamura pada 8 Maret 1942. Berkhirnya penjajahan Belanda disambut dengan antusiasme masyarakat bumiputera. Tetapi apakah dengan kehadiran Jepang di
Indonesia berarti segala permasalahan yang telah diwariskan hilang, tentu tidak demikian. Malah selama penjajahan baru yang dilakukan jepang pada kurun waktu
1942-1945 membawa cerita baru, kisah-kisah baru dalam halaman-halaman selanjutnya, terutama bagi kalangan Islam.
Jepang yang pada awalnya mendapatkan simpati besar dari masyarakat yang ketika itu mendeklarasikan diri dengan semboyan 3 A yaitu Nippon Cahaya Asia,
Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Pelindung Asia, lambat laun dalam perjalanannya berubah menjadi antipati. Hal itu karena kebijakan yang dilakukan
Jepang terlalu keras dan fundamental bagi keberlangsungan keyakinan masyarakat Indonesia.
Terdapat tiga langkah dan kebijakan yang dibuat Jepang yang membuat rakyat menarik simpatinya. Pertama, segera setelah berkuasa, Jepang memasukan
kehendak untuk mengubah corak kebudayaan rakyat Indonesia. Semua sekolah harus bercorak Jepang dan yang tidak mematuhi akan dilarang kegiatannya. Kedua,
Jepang melaksanakan kerja paksa romusha dan menjerat kaum perempuan Indonesia menjadi budak sex jugun ianfu bagi tentara Jepang. Ketiga, Jepang
mewajibkan kepada setiap rakyat Indonesia untuk melakukan sekere yakni menyembah Tenno Heika Kaisar Jepang setiap pagi dengan cara menghadap ke
arah negeri Jepang Hanan, 2006: 51-52. Kebijakan Jepang tersebut mengundang reaksi besar dari kalangan umat
Islam, terutama kebijakan menyembah Kaisar Jepang yang menurut ajaran Islam
31
adalah perbuatan musyrik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu penyembahan selain-Nya, dan hal itu merupakan dosa besar yang tidak dapat diampuni. Ternyata
Jepang melakukan gaya yang hampir sama dengan Belanda dan juga mendapatkan protes serta perlawanan yang sama dari rakyat Indonesia.
B. Proses Kelahiran dan Perkembangan Pelajar Islam Indonesia PII
Yoesdi Ghozali yang saat itu berstatus sebagai pelajar di STI Yogyakarta berkeinginan membuat sebuah wadah kepelajaran yang menampung seluruh
kalangan. Ketika itu memang pelajar mempunyai wadah organisasi bernama Ikatan Pelajar Indonesia IPI pada tanggal 27 September 1945, akan tetapi keberadaannya
tidak mewakili kalangan “Islam” karena IPI berhaluan “umum” dan terindikasi didominasi aktivis sayap kiri Latif, 2005: 429.
Hasrat yang kuat untuk mendirikan wadah gerakan pelajar tersebut dimulai ketika Yoesdi Ghozali beritikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta tanggal 25
Februari 1947. Saat itu terlintas dalam pikirannya sebuah gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap
lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 11 Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam
pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi
pelajar Islam Darban, 1976: 22. Pada tanggal 30 Maret-
1April 1947 di gedung Mu’allimin Yogyakarta dilaksanakan Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia GPII. Dalam kesempatan
32
itu Yoesdi kembali menyuarakan gagasannya tersebut. Pada saat pembahasan kepelajaran, Yoesdi dipersilahkan untuk mempresentasikan gagasannya untuk
membentuk wadah bagi pelajar Islam yang ketika itu dipimpin oleh Anton Timur Djaelani sebagai Pimpinan Pusat GPII Bagian Kepelajaran Darban, 1976: 22.
Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung
dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi
khusus pelajar Islam di daerah masing-masing. Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah
pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri yang mewakili Bagian
Pelajar GPII. Sementara itu Ibrahim Zarkasji dan Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta PPIS. Dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah
PERKISEM Surakarta diwakili oleh Multazam dan Shawabi serta Dida Gursida dan Supomo NA yang mewakili Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia PPII
Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan
berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia PII tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947. Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei
diperingati sebagai Hari Bangkit PII HARBA PII. Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi,
sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.
33
Kata “siswa” tidak digunakan dalam penamaan organisasi PII karena berasal dari bahasa sansakerta. Selain itu, sudah ada kata siswa yang digunakan dalam
istilah “mahasiswa”. Jaelani, 2011: 21. Sementara itu, kata “mahasiswa” secara prinsip mempunyai makna yang sama yaitu pelajar. antara “mahasiswa” dan
“pelajar” dalam bahasa Inggris memiliki terjemahan yang sama yakni “student”, sehingga secara implisit, PII menamakan semuanya sebagai pelajar. Tetapi, PII
lebih diorientasikan sebagai organisasi untuk kelompok SD, SMP, dan SMA Hannan, 2006: 58.
Kelahiran PII yang eksis mewarnai kehidupan pelajar di sekolah-sekolah sempat mendapat kecurigaan di berbagai kalangan, yang mana PII dituduh
memecah belah persatuan pelajar umum. Untuk menepis dugaan tersebut, pada tanggal 9 Juni 1947 disepakai “Perjanjian Malioboro” dengan Ikatan Pelajar
Indonesia IPI. Dalam perjanjian Malioboro itu, IPI berjanji akan menjelaskan bestaanrecht
hak hidup organisasi Pelajar Islam Indonesia, kepada daerah-daerah dan cabang-cabangnya, jika diperlukan akan membantu berdirinya PII ditempat-
tempat yang belum ada organisasi tersebut Djaelani, 2000: 14. Dengan demikian, perjanjian itu meneguhkan keberadaan PII sebagai
organisasi pelajar Islam dan disambut baik keberadaannya dan diberikan haknya untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Posisi PII sendiri mendapatkan tempat di
hati masyarakat, terutama di madrasah-madrasah dan pesantren, sementara keberadaan IPI sendiri sulit diterima karena tidak mempunyai dasar agama Islam.
Pada 20-25 Desember 1949 PII menyelenggarakan kongres pendahuluan di Yogyakarta, poin yang dibicarakan ketika itu adalah persiapan Konferensi Besar III
34
di Bandung pada 1950 dan upaya konsolidasi PII dan melebarkan sayap gerakan dakwahnya. Hasil keputusan dari pertemuan itu adalah bahwa hanya ada satu
organisasi pelajar, yaitu Pelajar Islam Indonesia PII Setelah dilaksanakannya Kongres Pendahuluan PII di Yogyakarta, pada
tahun yang sama dilaksanakan Kongres Muslimin Indonesia KMI, yang mana dalam kegiatan itu PII sebagai salah satu panitia. Kegiatan KMI dihadiri oleh para
ulama Indonesia yang memiliki basis massa pesantren sangat besar. Seperti K.H. Ali Maksum, K.H. Imam Zarkasyi, utusan ulama dari Aceh Teuku Daud Beureuh,
dan lain-lain. Peluang itu tidak disia-siakan oleh PII untuk berdialog dan membicarakan strategi pelebaran dakwah PII di seluruh tanah air.
Salah satu hasil keputusan dalam Kongres Muslimin Indonesia KMI adalah bahwa satu-
satunya Organisasi Pelajar Islam adalah “Pelajar Islam Indonesia PII”, ketika itu PII mendapatkan momentumnya, terlebih pada saat
Konferensi besar III di Bandung tanggal 27-31 Maret 1950 merupakan tonggak sejarah bagi PII. Tiga organisasi lokal, yaitu Pelajar Islam Indonesia Jakarta Raya,
PERPINDO di Aceh, dan Pelajar Islam Makasar melebur dalam tubuh PII. Dengan demikian, PII pada saat itu merupakan organisasi pelajar terbesar di Indonesia
dengan memiliki beberapa cabang di hampir seluruh Indonesia Djaelani, 2000: 22.
PII Jakarta secara wilayah administratif terbentang dari Tangerang sampai Subang. Wilayah binaan PII selain Provinsi DKI Jakarta sendiri, juga mengambil
wilayah eks Karesidenan Purwakarta di Jawa Barat, juga mengambil sebagian wilayah Provinsi Banten. Dengan luasnya garapan binaan PII Jakarta, kultur dan