KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Peran Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam pemberdayaan politik pelajar (studi kasus pengurus wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta periode 1998 – 2010)

28 kekhawatiran orang Belanda terhadap Islam itu berhasil diatasi. Dia melakukan pemetaan terhadap Islam sekaligus mengkritik asumsi-asumsi orang Belanda terhadap Islam. Snouck kemudian memberikan penjelasan bahwa Islam di kepulauan Hindia memiliki watak damai, walaupun dia juga menyadari adanya bahaya yang cukup potensial dari sekelompok kecil kalangan ulama fanatik yang terpengaruh oleh gagasan Pan-Islamisme Latif, 2005: 82. Dengan kecerdasannya, Snouck mengajukan rekomendasi-rekomendasi kebijakan terhadap Islam dalam suatu kerangka kerja yang disebut “splitsingstheorie” yang membagi Islam menjadi dua bagian, pertama, yaitu Islam yang bersifat keagamaan, dan yang kedua, Islam yang bersifat politik. Snouck memandang Islam yang bersifat keagamaan tidak berbahaya dan pemerintah Belanda harus menghormatinya, tetapi untuk bagian Islam yang bersifat politik harus disikapi secara tegas dan dihadapi dengan kekuatan sejak awal-awal kemunculannya Latif, 2005: 82. Menurut H. Aqib Suminto dalam Hannan 2006:49, Pemerintah Belanda pada waktu itu memberikan tiga jenis kebijakan terhadap Islam. Pertama, kebijakan netral agama. Dari kebijakan ini pada awalnya Pemerintah Belanda mempromosikan organisasi pendidikan berskala luas diatas landasan nilai-nilai universal dan bersifat netral secara keagamaan. Akan tetapi dalam perjalanannya kebijakan tersebut lebih mendorong para pelajar Islam dari kalangan bumiputera untuk menjauhkan dirinya dari ajaran Islam. Kedua, politik asosiasi kebudayaan. Dalam kebijakan ini ada sebuah dorongan kuat dari Pemerintah belanda untuk menciptakan “sebuah negara Belanda raya”, yang terdiri dari dua wilayah yang 29 terpisah secara geografis, tetapi merupakan bagian yang terkait secara spiritual. Artinya dalam bidang sosial dan kehidupan, pemerintah Belanda menghendaki agar para pelajar Islam dari kalangan bumiputera senafas dan seirama dengan kebudayaan Belanda, dengan jalan yang ditempuh melalui pemanfaatan adat dan asosiasi pendidikan. Dibalik kebijakan pemerintahan Belanda yang menerapkan pendidikan sekuler di bawah bendera politik etis, ternyata mempunyai misi kristenisasi, usaha tersebut dengan cara memperkenalkan sistem pendidikan modern a la Barat kepada masyarakat Hindia tertentu dilakukan oleh misi-misi Kristen. Sekolah dijadikan sebagai sarana untuk menyebarluaskan injil dan menarik pengikut Kristen baru dengan menjanjikan keuntungan-keuntungan bagi pengikut barunya itu. Seperti yang diungkapkan oleh Gavin W. Jones, “menjadi Kristen, juga berarti terbaratkan, dan pendidikan merupakan bagian integral dari westernisasi” Latif, 2005: 87-88. Kondisi semacam itu mematahkan kebijakan politik netral agama yang dicetuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Masyarakat pribumi sendiri yang dari kalangan bangsawan muslim, pedagang muslim, dan keluarga yang masih kuat dan taat agamanya, lebih memilih untuk mempertahankan tradisi dan keyakinannya dengan cara mengirimkan anak- anaknya untuk belajar di sekolah-sekolah Islam tradisional seperti pesantren, surau, meunasah, dayah, atau ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah. Setelah Belanda, kini giliran Jepang yang mengambil alih komando penjajahan di bumi Indonesia. Dimulai pada saat penyerahan kedaulatan dari Gubernur Jenderal Garda Van Starkenborgh Stachhouwern kepada Jenderal