Peran Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam pemberdayaan politik pelajar (studi kasus pengurus wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta periode 1998 – 2010)

(1)

PERAN PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK PELAJAR

(Studi Kasus Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta Periode 1998 – 2010)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: CECEP SOPANDI NIM : 10703220 1 741

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2013


(2)

(3)

(4)

(5)

i ABSTRAK

Realitas sejarah menunjukkan bahwa gerakan pelajar memiliki peran yang cukup signifikan dalam dinamika sosial politik di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan kiprah dan perjuangannya yang secara aktif terlibat dalam berbagai situasi politik, baik pada pra-kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru, era Reformasi dan pasca Reformasi dewasa ini. Atas peran dan kontribusinya tersebut, pelajar mendapatkan posisi yang cukup terhormat di masyarakat sebagai generasi penerus estapeta kepemimpinan bangsa.

Peran serta pelajar dalam arena politik nasional sempat mengalami pasang surut sesuai dengan situasi politik yang terjadi pada zamannya. Perubahan politik yang melanda negeri turut merubah pula gerakan pelajar, terutama dalam masa peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru. Situasi politik yang tidak mendukung akibat dominasi kebijakan Orde Baru tersebut perlahan melemahkan gerakan pelajar dalam pentas politik nasional. Sementara itu, kebijakan pemerintah pada era Reformasi yang sejatinya menjadi babak baru dalam budaya politik di Indonesia belum mampu mendorong peran pelajar untuk ikut kembali berpartisipasi dalam arena politik. Maka dari itu peran organisasi pelajar dipercaya mempunyai peranan dalam menumbuhkan kesadaran politik pelajar, salah satunya dengan melakukan pemberdayaan politik kepada pelajar.

Dalam penelitian ini, penulis menganalisa mengenai Peran Pelajar Islam Indonesia (PII) yang ada di Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar pada kurun waktu 1998-2010. Motode yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, di mana penulis melakukan observasi, wawancara dan studi dokumentasi terhadap Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta.

Dari hasil data penelitian yang diperoleh dapat diketahui, PW PII Jakarta menilai bahwa peran politik pelajar sangat penting, hal itu karena posisi pelajar selain memiliki makna secara sosial dan juga politis. Dari sisi sosial, pelajar merunjuk kepada sebuah entitas yang eksistensinya terkait dengan proses belajar dan masuk dalam daur dunia pendidikan. Sementara secara politis keberadaan pelajar mewakili komunitas terdidik dan relatif berperadaban sehingga peranannya dalam proses perubahan sosial menjadi sebuah keniscayaan. Pandangan PW PII Jakarta terhadap peran politik pelajar tidak berada pada wilayah politik praktis, yakni orientasi pada jabatan di tingkatan kekuasaan formal (DPR RI, Bupati, Gubernur dan lain-lain), tetapi dalam bentuk high politic yaitu sikap moral dan kepedulian pelajar terhadap permasalahan bangsa serta ikut berperan aktif sebagai tanggung jawab sosial pelajar dalam masyarakat.

Dalam melaksanakan pemberdayaan politik terhadap pelajar, PW PII Jakarta menggunakan tiga aras strategi pemberdayaan, yaitu mikro, mezo dan makro. Pada wilayah mikro dilaksanakan Hari Komunikasi (Harkom) dan posko pengaduan pelajar sebagai media bimbingan dan konseling kepada individu pelajar dalam permasalahan sosial politik yang di hadapinya. Pada wilayah mezo dilaksanakan kaderisasi kepemimpinan dalam bentuk Leadership Basic Training (LBT), pendidikan politik pelajar, seminar dan diskusi pelajar. Sementara itu, pada wilayah makro dengan melaksanakan aksi sosial dan kampanye pelajar dalam menjaring aspirasi pelajar serta ruang aktualisasi pelajar dalam menyuarakan sikap politiknya.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang tercurah pada setiap manusia. Tuhan sang pemilik hati dan pemelihara cinta sejati tanpa rasa benci. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, para sahabatnya serta para pengikutnya yang komitmen dan patuh pada ajarannya.

Akhirnya, setelah berjuang dengan sekuat tenaga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, walau pun dalam prosesnya penuh dengan suka dan duka. Skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Dr. Zulkifly, MA selaku Ketua Jurusan Program Studi Sosilogi dan Ibu Iim

Halimatussa’diyah, MA selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Sosiologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktunya, tenaganya, perhatiannya, serta saran-saran dan kritik yang diberikan kepada penulis selama menyusun skripsi ini.

5. Seluruh dosesn dan staf pengajar pada program studi Sosiologi atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan pengalaman yang mendorong penulis


(7)

iii

selama menempuh studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Jajang yang membantu penulis dalam segala hal yang berhubungan dengan administrasi. 6. Keluarga tercinta, yang penulis anggap sebagai sumber motivasi dan harapan. Untuk

Ayahanda M. Amin (alm), seorang guru pencerah kehidupan dalam keluarga, walaupun beliau sudah menghadap Tuhan sejak penulis masih kecil, tetapi penulis yakin di surga sana beliau selalu mendo’akan yang terbaik bagi semua anaknya. Ibunda Rohmanah (alm), sosok wanita yang luar biasa, kuat dan tangguh dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Meskipun berjuang seorang diri, tetapi beliau mampu menjadikan anak-anaknya menjadi sarjana. Sedih, karena impian terbesar beliau dapat melihat penulis memakai toga, tapi beliau terlebih dahulu dipanggil sang penguasa sebelum melihat anaknya memakai toga. Perhatian dan pendidikan moralnya selalu akan diingat sebagai motivasi dan prinsip dalam kehidupan. Semoga Allah SWT memberikan jalan yang indah untuk mereka berdua serta mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah SWT, Amin.

7. Teman-teman Pengurus Besar PII yang sudah menyediakan fasilitas perpustakaan dan kemudahan bagi penulis dalam mencari data yang diperlukan penulis. Untuk Kang Randi, Kang Helmi, Ka Eka Setiawati, Kang Ii, Kang Fadlan yang jauh-jauh dari Bandung bawa buku referensi dan literatur tentang PII. Untuk semua teman-teman yang terhimpun dalam keluarga besar PII yang tidak bisa disebutkans satu persatu.

8. Teman-teman Pengurus Wilayah PII Jakarta yang telah memberikan fasilitas perpustakaan dan kemudahan dalam mencari data yang diperlukan penulis. Untuk Doni yang sudah bersedia bongkar gudang asrama untuk mencari data penelitian,


(8)

iv

Yazid yang selalu respon setiap penulis meminta bantuan dan wawancara, Rifqi yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk wawancara.

9. Segenap keluarga besar PII Jakarta, terima kasih atas kerjasamanya selama proses berlangsungnya penelitian ini. Terutama kepada Bapak Ali Said, Bapak M.Nasir, Bapak Nuril Anwar, Bapak Rahmat Banu Widodo, Bapak Shood Solehuddin, Bapak Basori, Bapak Syahnan Tanjung, Bapak Nasrullah dan Bapak Ahmad Fadhil. Dengan waktu dan aktivitas yang sangat padat tetapi mau bersedia dan menyempatkan diri untuk diwawancarai.

10. Teman-teman KASOGI (Kajian Sosiologi) tempat penulis berdiskusi dan menggali gagasan besar dari para tokoh sosoiologi. Kepada bung Maman, Kang Nana, Haikal, Yusuf, Wira, Egits, Ogi, Abdi dan lain-lain. Teruskan perjuangan dalam menyebarkan budaya intelektualisme di kampus hijau ini.

11. Teman-teman HMI Cabang Ciputat terutama Komisariat HMI FISIP, tempat penulis mendalami pemikiran-pemikiran yang segar. Kepada bung Ali Wafa, Ikhsan, Adis, Ilham, Irdi, Yeni, Anis, Kholil, Defi, Isma, Eroh. Pengalaman berorganisasi bersama kalian di HMI memberikan warna segar bagi kehidupan.

12. Teman-teman satu kelas yang hari ini masih berjuang menempuh proses skripsi. Kepada Eky semangat terus dan kurang-kurangilah, Feri Bastian yang mengaku fanatik Persib, Jakfar anak Madura yang baru muncul lagi dalam peredaran kampus,

Sulaeman “Tole” sang pendekar Madura, Abee senior tertua di kelas, Erte Sibli pejabat ketua kelas seumur hidup, Matin tokoh intelektual di kelas, Muftie sang pengusaha muda dan tidak lupa kepada M.Satria Anugerah Wijaya, S.Sos yang punya semangat luar biasa dalam mencapai cita-citanya. Terima kasih atas persahabatannya selama ini, sukses untuk kalian dan tetaplah jaga silaturahmi.


(9)

v

13. Spesial untuk seorang gadis tercinta yang saat ini mungkin sedang tersenyum bahagia melihat tulisan ini. Gadis itu bernama Rahmawati. Dialah yang selama ini selalu menemani hari-hari penulis suka maupun duka dan tak pernah lelah memotivasi selama proses penulisan skripsi ini ketika penulis kehilangan percaya diri. Dia juga yang harus ikhlas merelakan laptponya dipinjam dengan jangka waktu yang tidak pasti. Semoga Tuhan sang pemilik cinta dan pemelihara hati memberikan izin untuk mewujudkan mimpi-mimpi besar kita. Amin.

14. Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua Pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis menyadari tidak ada sesuatu yang sempurna, begitu pula dengan skripsi

ini, karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat diperlukan untuk perbaikan di masa mendatang.

Jakarta, 17 Mei 2013

Cecep Sopandi


(10)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 11

E. Kerangka Teoritis ... 14

F. Metodologi Penelitian ... 22

1. Waktu dan Tempat ... 23

2. Teknik dan Pengumpulan Data ... 23

3. Analisis Data ... 24

G. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) A. Konteks Sosiologis Kelahiran Pelajar Islam Indonesia (PII) ... 26

B. Proses Kelahiran dan Perkembangan Pelajar Islam Indonesia (PII) .. 31

C. Tujuan dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII) ... 35

D. Kiprah Pelajar Islam Indonesia (PII) Dalam Pemberdayaan Politik Pelajar ... 37

1. Pelajar Islam Indonesia (PII) di era Orde Lama ... 37


(11)

vii BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN

A. Pandangan PW PII Jakarta Terhadap Peran Politik Pelajar ... 50

B. Strategi dan Kegiatan PW PII Jakarta dalam Pemberdayaan Politik Pelajar ... 56

1. Aras Mikro ... 59

2. Aras Mezo ... 63

3. Aras Makro ... 69

C. Respon Pelajar Terhadap Pemberdayaan Politik PW PII Jakarta ... 78

D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan Politik Pelajar ... 82

1. Faktor Pendukung ... 82

2. Faktor Penghambat ... 84

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 87

B. Rekomendasi ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 95 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini membahas tentang peran Pelajar Islam Indonesia (PII) yang ada di Jakarta dalam melakukan aktifitas pemberdayaan politik kepada pelajar. Alasan utama penulis mengangkat judul ini berangkat dari realitas sejarah yang menunjukan bahwa pelajar mempunyai peran yang strategis dalam proses pembentukan pergerakan nasional yang secara langsung atau tidak langsung telah memberikan kontribusi bagi kelompok sosial pelajar di Indonesia.

Kehadiran pelajar sendiri tidak bisa dipisahkan oleh realitas politik yang dihadapinya, karena posisi pelajar masih sangat rentan menjadi korban dari proses sosial politik dan intervensi budaya yang menyelimuti kesehariannya. Sementara itu, peran organisasi yang mempunyai basis massa pelajar menjadi sangat penting dalam melakukan pemberdayaan politik kepada pelajar untuk menumbuhkan kepekaan sosial dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya, serta menumbuhkan daya kritis pelajar dalam merespon isu-isu politik yang berkaitan dengan hak-hak dasarnya sebagai warga negara dan bentuk tanggung jawab sosial pelajar terhadap bangsanya.

Pelajar yang masuk dalam kategori remaja merupakan masa mencari identifikasi diri atau jati diri. Mereka memasuki masa peralihan; suatu masa perubahan yang sangat pesat, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang menakutkan, masa tidak realistik, dan masa ambang dewasa (Sabri, 2007: 25). Pada situasi seperti itu


(13)

2

remaja cenderung labil dan belum mampu menyesuaikan diri secara sempurna terhadap lingkungannya.

Di sisi lain, ego eksistensi diri pelajar direfleksikan melalui aktivitas berkelompok, seperti: geng, klub hobi, atau komunitas tongkrongan sehingga tercipta semacam ikatan solidaritas antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelompoknya. Pada kondisi ini, pelajar sangat rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif. Kepatuhan akan norma kelompok sangat kuat dan seringkali mendobrak tatanan sistem nilai yang terbangun baik di masyarakat.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan ruang terbuka bagi berbagai kebudayaan belum secara kritis dihadapi pelajar. Bahkan cenderung semakin terbius oleh arus modernisasi yang dijadikan pilihan dan gaya hidup pelajar. Hal itu pada akhirnya menjungkirbalikkan pemahaman tanpa kritik kesadaran terhadap realitas yang terjadi. Perubahan yang kian hari terus bergerak tanpa mengindahkan elemen apa yang ada didalamnya semakin mendobrak apapun yang menghalanginya. Hal tersebut pada akirnya menciptakan mental pelajar lemah dan mudah menjadi korban kebijakan politik, objek politik, sasaran budaya konsumerisme, hedonisme dan permisif dalam pergaulan.

Berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08 persen atau sekitar 1.318 siswa dari total 1.647.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa diantaranya meninggal dunia (ANTARA, Senin 30 November 2009). Perilaku aksi tawuran antar pelajar itu merupakan ekspresi nyata dari sikap intolerasi akibat kurangnya kepedulian sosial pelajar.


(14)

3

Aksi kekerasan pelajar tersebut secara politis mungkin berkelindan dengan ketidakadilan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Menurut Septi Gumiandari, sistem pendidikan dan kebijakan pemerintah yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral, yang kemudian bergesekan dengan kultur sosial masyarakat yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu (Jurnal Islam Indonesia: Volume 01, Nomor 01, Tahun 2009/1431).

Kebijakan Ujian Nasional (UN) yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran di setiap daerah, dengan tujuan dapat dipetakan tingkat kemampuan sekolah sehingga dapat menentukan skala prioritas penanganan proses pendidikan. Tetapi banyak yang menilai UN melanggar hak-hak pelajar karena menjadi satu-satunya standar kelulusan. Selain itu, penyeragaman standar nilai secara nasional menimbulkan dampak sosial yang negatif dalam pelaksanaannya.

Menurut Utomo Dananjaya: pelaksanaan UN selama ini telah mengancam dan menekan peserta didik kita sehingga dikategorikan melanggar HAM. Jadi memang harus dihentikan. Kasus gugatan penghentian UN telah diajukan pada 2006 oleh tim advokasi korban ujian nasional (Tekun). Pada 21 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakpus mengabulkan gugatan tersebut dan langsung diajukan banding oleh pihak tergugat. Namun Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan nomor 377/PDT/2007/PT.DKI kembali menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Perlawanan pemerintah kembali kandas setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan pemerintah dengan putusan MA No 2596 K/Pdt/2008 pada 14 September 2009 (thecrowdvoice.com http://www.thecrowdvoice.com/post/un-harus-dihentikan-karena-langgar-ham-2885226.html).

Fenomena yang tidak menarik adalah maraknya perilaku aksi bunuh diri akibat ketidakberdayaan dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Kisah sedih yang sangat dramatis itu sempat menyentil hati nurani bagi setiap orang yang mengetahui dan


(15)

4

membacanya. Seperti yang dirilis oleh harianjoglosemar.com pada sabtu 1 Mei 2010, mengisahkan berbagai peristiwa sedih yang dilakukan oleh pelajar. Salah satu korbannya adalah Wahyu Ningsih. Ia adalah siswi SMKN 1 Muara Jambi. Di sekolah, Ningsih dikenal sebagai siswi berprestasi, tetapi karena dilema UN ia nekat mengakhiri hidupnya pada Senin 26 April 2010 dengan meminum cairan pestisida, alasannya karena ia tidak lulus UN (Harian Joglo Semar, 2010 www.harianjoglosemar.com).

Tindakan bunuh diri yang dilakukan Ningsih di Jambi merupakan salah satu dari puluhan serangkaian kasus lainnya yang dialami oleh pelajar di Indonesia. Fenomena tersebut merupakan bukti adanya ketidakberdayaan yang dialami oleh pelajar sehingga mereka kehilangan orientasi dan visi yang pada akhirnya mengambil jalan pintas, yaitu mengambil tindakan bunuh diri.

Dalam kondisi seperti itu, pelajar seolah dihadapkan oleh kondisi yang serba sulit. Satu sisi mereka tidak bersepakat dengan aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, di sisi lain posisi mereka sebagai pelajar kurang mendapatkan perhatian dan cenderung dipandang sebelah mata, bahkan pemerintah seolah memandang pelajar tidak ada. Akibatnya para pelajar mengalami kehilangan jati dirinya, disorientasi dan frustasi karena kurang adanya ruang kebebasan untuk sekedar mencurahkan segala permasalahannya.

Bagaimanapun pelajar merupakan bagian dari lapisan generasi muda yang tidak terpisahkan dari realitas sosial politik bangsa ini. Mereka dikenal sebagai tulang punggung masyarakat yang diberikan tugas untuk turut serta mengemban arah perbaikan masa depan bangsa ini. Oleh karena itu peranan pelajar sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat. Peranan pelajar tersebut tidaklah dibatasi pada kewajiban


(16)

5

akademis dalam lingkungan sekolah saja, melainkan juga pada berbagai fungsi lain di masyarakat. Pelajar dituntut untuk secara kritis mampu terlibat lebih aktif dalam upaya pembangunan nasional, melalui proses belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan yang diiringi pula dengan kerja nyata di lingkungannya. Pengabdian pelajar di bidang pembangunan masyarakat ini dapat dimulai sejak dini melalui berbagai pelatihan dan aksi sosial dalam bentuk aplikasi karya dan bakti nyata dalam masyarakat.

Peranan pelajar diharapkan mengisi ruang kosong dalam masyarakat, yakni berperan secara alamiah dalam kepeloporan dan kepemimpinan dengan menggerakan potensi dan sumber dayanya pada masyarakat. Kepeloporan dan kepemimpinan itu tidak hanya dimaknai dalam keterlibatan pelajar dalam lingkaran kekuasaan politik, akan tetapi sejatinya kepemimpinan menghasilkan jiwa kepeloporan dalam melakukan perubahan masyarakat menuju yang lebih baik meski tidak berada dalam kekuasaan yang strategis, sehingga kepeloporan itu dapat mengilhami masyarakat untuk termotivasi menjalani hidup dengan baik.

Sebagai upaya untuk menarik peran serta dan partisipasi politik pelajar, diperlukan sarana dan fasilitas dan ruang belajar dalam menunjang keberlangsungan situasi demokrasi yang baik, tujuannya adalah mempersiapakan generasi bangsa dalam berprilaku dan bertindak demokratis melalui aktifitas menanamkan pada generasi muda pengetahuan, kesadaran, dan nilai-nilai demokrasi (Winarno, 2006: 82-83).

Dalam bidang pendidikan sebenarnya pemerintah sudah menerapkan prinsip-prinsip demokratis yang mengapresiasi peran serta pelajar dalam proses pendidikan. Sebagaimana tercantum dalam pasal (3) Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), menegaskan bahwa pendidikan nasional


(17)

6

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mencetak generasi bangsa yang mempunyai tanggung jawab moral dan komitmen tinggi bagi tercapainya cita-cita bangsa yang berkeadilan, demokratis dan sejahtera. Hal tersebut menuntuk berbagai institusi pendidikan seperti sekolah untuk mengambil peranan penting dalam menciptakan kultur yang demokratis sehingga potensi pelajar dapat berkembang.

Agar pelajar memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial politik, tentu saja diperlukan pemberdayaan terhadap pelajar. Dengan adanya pemberdayaan pelajar diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada mereka, sehingga menumbuhkan peran aktif pelajar dalam setiap permasalahan yang memungkinkan hak-hak dasarnya terganggu akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Peranan organisasi pelajar sebagai sebuah kekuatan dari kaum pelajar sendiri sangat potensial dalam melakukan gerakan sosial, di antaranya melalui pemberdayaan. Analisa ini sejalan dengan pendapat Paul (1987), ia berpendapat bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitable sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan” (Sedarmayanti, 2000: 78).


(18)

7

Pemberdayaan juga dinilai sebagai sebuah sarana untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia dengan menempatkan manusia sebagai aktor dari pembangunan (people centered), dengan cara meningkatkan kemampuan sumber daya masyarakat, mengembangkan dan mendinamiskan potensinya, atau dengan kata lain, memberdayakannya (Kartasasmita, 1996: 141).

Tujuan dari pemberdayaan politik pelajar di orientasikan pada pemahaman dan kesadaran politik pelajar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, sehingga pelajar diharapkan ikut serta secara aktif dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan. Hal itu sangat berkaitan dengan sejauhmana pelajar terlibat dalam masalah-masalah politik dan mampu memaknai dirinya sendiri dan juga memaknai realitas sosial yang menyertainya (Rush dan Althoff, 2005: 122).

Kompleksitas permasalahan yang telah diuraikan di atas, memberikan peluang bagi organisasi atau lembaga sosial lainnya dalam membantu meningkatkan pemberdayaan politik bagi pelajar. Organisasi dengan berbagai fasilitas yang dimiliki mempunyai potensi untuk memberikan pemberdayaan melalui ragam kegiatan dan dinamika di dalamnya. Mengingat permasalahan yang cukup kompleks, terlebih dampak dari arus globalisasi dan perubahan lingkungan yang cukup besar menjadikan tantangan tersendiri bagi organisasi untuk lebih menjalankan peranannya (Lina dan Lena, 2007: 124).

Pelajar Islam Indonesia (kemudian disebut PII) merupakan organisasi pelajar tertua di Indonesia yang masih aktif diharapkan mampu berkontribusi dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pelajar mengenai politik yang menjadi basis anggotanya. Pelajar sebagaimana yang sudah dijelaskan, merupakan


(19)

8

bagian dari warga negara yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan sering dihadapkan oleh masalah-masalah politik.

Fokus penelitian ini ditujukan pada wilayah PII Jakarta Raya, alasannya karena penulis melihat posisi Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia dan pusat kegiatan PII dalam melancarkan aksinya dan sekaligus menjadi barometer pergerakan PII secara nasional. Penulis mengambil periode 1998 – 2010 karena pada waktu itu selain terjadi peristiwa Reformasi, juga era kebangkitan kembali PII setelah lama tenggelam dari tidur panjangnya akibat tekanan politik Orde Baru.

Di Indonesia juga terdapat beberapa organisasi pelajar, di antaranya: Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang dibawah naungan Muhammadiah, dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di bawah sayap Nahdlatul Ulama (NU). Dari beberapa organisasi pelajar tersebut, PII memiliki kelebihan tersendiri. Selain sebagai organisasi pelajar tertua di Indonesia yang hari ini masih eksis sebagai wadah pemberdayaan pelajar, PII juga merupakan organisasi independen yang menegaskan gerakannnya untuk tidak memiliki underbow mana pun, atau tidak memposisikan dirinya berada dalam naungan organisasi apapun sehingga PII dapat secara bebas melakukan aktifitasnya dan mencurahkan gagasannya untuk membangun serta mengembangkan organisasi.

Dengan melihat uraian diatas penulis mengambil judul penelitian : Peran Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam Pemberdayaan Politik Pelajar (Studi Kasus PW PII Jakarta periode 1998-2010).


(20)

9 B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan masalah dalam penelitian dan penulisan skripsi ini adalah : a. Bagaimana pandangan PW PII Jakarta terhadap peran politik pelajar ?

b. Apa strategi dan kegiatan yang dilakukan PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar ?

c. Bagaimana respon pelajar terhadap pemberdayaan politik PW PII Jakarta d. Apa faktor pendukung dan penghambat PW PII Jakarta dalam pemberdayaan

politik pelajar ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab serta mengungkapkan hal-hal pokok yang terdapat dalam perumusan masalah. Dalam pembahasan bagaimana pandangan PW PII Jakarta terhadap peran politik pelajar di Jakarta diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai cara pandang PII terhadap peran politik pelajar.

Selain itu, mengenai strategi dan kegiatan yang dilakukan PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar akan memberikan gambaran mengenai langkah-langkah dan strategi yang menjadi serangkaian proses dalam kegiatan pemberdayaan politik pelajar

Sementara mengenai respon pelajar terhadap pemberdayaan politik PW PII Jakarta akan memberikan gambaran mengenai dampak atau hasil yang dirasakan langsung oleh pelajar sebagai objek dari pemberdayaan. Hal ini


(21)

10

kemudian akan menjadi analisa sejauh mana keberhasilan PW PII Jakarta dalam pelaksanaan pemberdayaan politik pelajar.

Adapun faktor pendukung dan penghambat PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar akan memberikan gambaran dan analisa mengenai hal-hal yang secara signifikan memberikan dampak terhadap kesuksesan dalam merealisasikan berbagai kegiatan yang dilakukan, serta analisa mengenai hal-hal yang mampu menghambat realisasi kegiatannya. 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan tambahan literatur mengenai kajian sosiologi politik dan sejarah tentang gerakan pelajar, selain itu menjadi tambahan pengetahuan mengenai pemberdayaan politik pelajar yang dilakukan oleh organisasi pelajar. Secara akademis juga dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan referensi ilmu pengetahuan tentang konsep pemberdayaan dan strategi implementasinya bagi organisasi pelajar lainnya.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini bisa menjadi masukan dan pertimbangan yang berguna bagi organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam menjalankan sebuah program dan menyusun konsep serta strategi dalam melakukan pemberdayaan politik terhadap pelajar dimasa yang akan datang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memotivasi organisasi


(22)

11

lainnya agar terinspirasi untuk melakukan peningkatan dalam hal pemberdayaan politik pelajar terhadap objek garapannya.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pengamatan penulis tentang kepustakaan yang berkaitan dengan yang akan dikaji, studi mengenai organisasi PII masih menggunakan perspektif historis-politis secara nasional pada era Orde Lama dan Orde Baru. Sementara sepengetahuan penulis kajian lokal mengenai Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta belum ada, tetapi penulis mendapatkan beberapa buku dan tesis yang menjelaskan tentang Pelajar Islam Indonesia yang bagi penulis membantu dalam proses penelitian ini.:

Pertama, penelitian berupa tesis yang kemudian dijadikan buku berjudul Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-Bayang Negara; Studi Kasus Pelajar Islam Indonesia tahun 1980-1997, yang ditulis oleh Djayadi Hanan di Universitas Gajah Mada Tahun 1999. Berdasarkan penelitiannya Djayadi Hanan menekankan kerincian narasi yang bersifat kronologis dalam kasus Asas Tunggal, bagaimana peran pelajar Islam Indonesia dalam merespon konstelasi politik era Orde Baru pada kurun waktu 1980-an dan 1990-an. Pemerintah menetapkan UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang memaksa seluruh organisasi mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal. Kondisi tersebut mengakibatkan PII berada pada tekanan rezim Orde Baru karena pada tahun 1985 PII menolak dengan keras pemberlakuan asas tunggal tersebut dengan alasan ideologis. Dampak dari penolakan tersebut, status keorganiasian PII tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Akan tetapi, fenomena yang terjadi ketika pada


(23)

12

tahun 1995 secara resmi PII mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri dengan alasan pragmatis.

Kedua, penelitian yang berjudul Student and Politics; the Response of the Pelajar Islam Indonesia (PII) to Politics in Indonesia. Tesis yang ditulis oleh Muhammad Wildan di Leiden University Tahun 1999. Dalam penelitian ini, Wildan membuat studi perbandingan dengan analisa gerakan sosial mengenai kekuatan politik di masyarakat yang direpresentasikan antara PII dengan organisasi-organisasi Islam lain dalam merespon asas tunggal. Diantara organisasi-organisasi Islam itu adalah NU, Muhammadiyah, Persis, dan HMI. Hasil penelitian ini menunjukan sikap PII yang secara konsisten mempertahankan idealismenya untuk menolak Pancasila sebagai asas dari organisasinya, dibandingkan dengan organisasi Islam lainnya yang berikap akomodatif. Sikap PII itu berdasarkan pada sistem kaderisasinya dalam berbagai training yang mengajarkan bahwa kekuasaan hanya berada di tangan Allah SWT.

Ketiga, buku yang berjudul Gerakan Pemuda Berjuang KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang ditulis oleh Drs. Erwin M. Hasan, M. Psc. Dalam buku ini menceritakan secara kronologis tentang kontribusi gerakan pelajar yang berjuang dalam sebuah wadah Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada kurun waktu 1965 sampai dengan 1967. Pada saat itu KAPPI yang mayoritas anggotanya adalah aktifis PII ikut terlibat dalam berbagai aksi maupun gerakan fisik melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) terutama cengkraman dan ancaman kudeta dalam G-30-S PKI. Bahkan dalam buku ini menceritakan bahwa KAPPI sebagai gerakan pelajar ikut terlibat dalam perubahan kehidupan bangsa dan negara dan menghantarkan lahirnya Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.


(24)

13

Keempat, buku yang bejudul Tafsir Asasi PII ; Darma Bakti Pelajar Islam Indonesia yang ditulis oleh H. Anton Timur Djaelani dan disahkan oleh Kongres PII ke-5 di Kediri yang berlangsung pada tanggal 22-26 Februari 19ke-56. Dalam buku ini menceritakan gerak sejarah PII dari masa ke masa dan upaya yang ditempuh dalam melaksanakan cita-citanya. Buku ini juga menjadi inspirasi dan rujukan bagi aktivis PII dalam melihat peran dan kedudukan PII sebagai organisasi pendidikan dan dakwah serta posisi stretgis PII dalam dinamika sosial politik yang menyertainya.

Secara umum ke empat litarur diatas masih menekankan terhadap aspek historis-politis sebagai bentuk relasi PII dengan Orde Lama dan Orde Baru. Djayadi Hanan lebih fokus menceritakan situasi politik yang dialami oleh PII pada saat mengalami fase radikalisme ideologis karena terpaan politik Orde Baru, terutama ketika diberlakukannya asas tunggal. Muhammad Wildan fokus studinya mengenai perbandingan sikap PII dengan organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam merespon asas tunggal Pancasila. Erwin M. Hasan fokus pada kontribusi gerakan pelajar dalam wadah Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada saat tragedi G-30-S PKI. Sementara itu, Anton Timur Djaelani menceritakan tentang gerak sejarah PII dari masa ke masa dan upaya yang ditempuh dalam melaksanakan cita-cita perjuangannya.

Melihat kepustakaan yang telah disebutkan diatas, fokus studi mengenai pemberdayaan politik di wilayah PII Jakarta menerut peneliti belum ada. Dengan demikian, penulis berkeinginan membaca PII dari perspektif yang lain sebagai sebuah sumbangan literatur mengenai gerakan pelajar islam yang secara spesifik masih belum banyak yang membahas.


(25)

14 E. Kerangka Teoritis

1. Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan dalam bahasa Inggris disebut ”empowerment”. Kata ”power” dalam empowerment disebut "daya" sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Kata ”daya” merupakan kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. (Kartasasmita, 1996 http://www.ginandjar.com/public/12PowerdanEmpowerment.pdf).

Sementara itu kata “empower” menurut Webster dalam Oxford English Dictionary mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority, dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai member kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain. Dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk member kemampuan atau keberdayaan (Sedarmayanti, 2000: 79).

Menurut Edy Suharto, pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan, yang mana memiliki fokus atas kegiatan dalam memperkuat kekuasaan atau keberdayaan yang ada dalam diri seseorang. Pemberdayaan juga merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang dihadapinya (Suharto, 2005: 59-60).

A.M.W Pranaka dan Vidhyadika Moelyarto menempatkan konsep pemberdayaan sebagai bagian dari ”upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia dalam kerangka proses


(26)

15

aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab (Bachtiar dalam Nuril, 2008: 28). Dengan kata lain posisi pemberdayaan sebagai upaya menciptakan suasana memanusiakan manusia yang adil dan beradab sehingga masyarakat memiliki harkat dan martabat yang mengangkat eksistensi dirinya dalam kehidupan organisasi dan masyarakat.

Selanjutnya, pemberdayaan menurut Ginanjar Kartasasmita adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1996: h.144). Pemberdayaan juga diartikan pemberdayaan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial dan hak-haknya, lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri dan kemampuan dalam berpartisipasi.

Dalam hal pemberdayaan politik, Paul menjelaskan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitable sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan” (Sedarmayanti, 2000: 78).

Jadi pemberdayaan dalam pembahasan ini adalah proses memberikan kekuasaan dan kemampuan kepada pelajar dalam serangkaian berbagai kegiatan dan pelatihan, dengan tujuan dan diorientasikan pada pemahaman dan kesadaran politik pelajar akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara.


(27)

16 2. Pelaksanaan Pemberdayaan

Pemberdayaan dalam prosesnya mengandung dua kecenderungan, yaitu : pertama, proses yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan individu menjadi lebih berdaya. Dalam proses ini lebih produktif dan menundung kemandirian individu dalam organisasi. Kedua. Proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog atau musyarawah (Pranaka, 1966: 56).

Hal yang paling terpenting dalam upaya pemberdayaan pelajar adalah dengan membangun kesadaran terhadap realitas sosial, sehingga tumbuh kemampuan atau daya, agar memastikan pelajar tersebut berdaya. Dalam mendukung kesadaran itu perlu adanya ruang aktualisasi yang menciptakan suasana kondusif dalam organisasi yang memungkinkan kesadaran pelajar itu terbangun.

Selanjutnya, dengan memperkokoh kesadaran pelajar tersebut dengan berbagai simulasi dan aktifitas yang nyata dan memfasilitasinya berupa ruang untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dan aspirasinya. Dengan demikian, pelajar tidak hanya mengetahui dan memahami permasalahan, tetapi ikut terlibat secara aktif didalamnya.

3. Strategi Pemberdayaan

Dalam melaksanakan pemberdayaan diperlukan langkah-langkah atau strategi pemberdayaan untuk memudahkan agar dalam pelaksanaannya lebih tepat sasaran. Strategi pemberdayaan berupaya untuk mendorong adanya perubahan sosial yang memungkinkan masyarakat bisa berdaya baik secara sosial ekonomi, budaya, politik,


(28)

17

maupun bidang kehidupan lainnya sehingga pemberdayaan dapat memacu pembangunan di Indonesia (Sumodiningrat, 1998: 153).

Edy Suharto menerangkan setidaknya strategi pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting), yaitu Mikro, Mezo, dan Makro :

1). Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada Tugas (Task Centered Approach).

2). Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok Klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Penddikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

3). Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada system lingkungan yang lebih luas. Perumasan kebijakan, perencanaan social, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi system Besar memandang klien sebagai orangan yang memiliki kompetensi untuk


(29)

18

memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak (Suharto, 2005: 66).

4. Pengertian Politik

Secara etimologis, politik berasal dari kata polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan (Kamarulzaman, 2005: 556).

Pemikiran politik banyak terinspirasi oleh filsuf Yunani kuno, yakni Aristoteles yang memaknai politik sebagai inti dari kehidupan sosial. Menurutnya, politik merupakai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi (Budiarjo, 2008: 14).

Pembahasan mengenai politik sangat luas dan tidak terbatas pada satu pemaknaan saja. Disana banyak sekali ragam pemikiran dan pengertian yang diungkapkan oleh para ahli yang mendefinisikan pengertian politik dengan perspektif yang beragam. Diantaranya :

1). Miriam Budiarjo mendefinisikan politik secara umum adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan yang harmonis.


(30)

19

2). Deliar Nur menyebutkan, ilmu politik memusatkan pada perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.

3). W.A Robson, menjelaskan ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, ... yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup, dan hasil-hasil (Budiarjo, 2008: 15-20).

Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan politik dalam suatu negara berkaitan dengan kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan distribusi atau alokasi (allocation or distribution) (Budiarjo, 2008: 14). Namun demikian, politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara saja. Dalam beberapa hal, politik juga menyentuh pada wilayah aspek kehidupan sosial dalam kehidupan masyarakat.

5. Peran Politik Pelajar di Indonesia

Pelajar dari sisi usia termasuk kategori remaja berkisar antara umur 15,0 atau 16,0 sampai 21,0 tahun, atau berlangsung saat individu matang secara seksual sampai mencapai usia matang secara hukum (Sabri, 2007: 25). Pelajar sebagai generasi muda Indonesia mempunyai jumlah yang signifikan untuk berperan dalam berbagai aktifitas politik di negeri ini. Tetapi realitas politik yang melanda negeri ini belum mampu memberikan contoh yang baik bagi masyarakat sehingga proses perjalanan demokrasi tidak mendapatkan apresiasi dari pelajar, bahkan mereka cenderung bersifat apolitik dan tidak peduli dengan permasalahan politik.


(31)

20

Politik yang menjadi pandangan umum masyarakat mungkin hanya berkutat pada wilayah kekuasaan, partai politik dan perebutan jabatan di berbagai tingkatan lembaga pemerintahan. Apalagi fenomena politik yang tersaji dari berbagai tayangan media massa tentang perilaku negatif para politisi semakin menegaskan buruknya citra politik di mata pelajar, sehingga sangat wajar apabila mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab sebagai wujud protes atau perlawanan terhadap fenomena politik yang sedang terjadi.

Pemahaman mengenai politik menjadi sangat penting untuk menjelaskan bahwa pembahasan tentang politik itu sangat luas dan mencakup ruang lingkup kehidupan sosial. Mengerti politik bukan berarti pelajar diarahkan pada keikutsertaannya dalam politik praktis, seperti partai politik atau lembaga politik lainnya, tetapi dengan meningkatkan partisipasi pelajar dalam berbagai permasalahan sosial, baik dalam bentuk forum-forum diskusi maupun aksi demonstrasi (Rush dan Althoff, 2005: 126).

Dengan memiliki pemahaman politik, diharapkan akan menumbuhkan sikap kepekaan sosial dalam menghadapi berbagai macam permasalahan yang ada di sekitarnya dan memunculkan kepedulian sosial dalam merespon isu-isu sosial politik yang berkembang sebagai bentuk tanggung jawab sosial pelajar dan fungsi sosialnya di masyarakat.

Dalam usia yang masih relatif muda, pelajar mempunyai sejarah yang gemilang dalam berbagai kiprah dan perjuangannya dalam berbagai dinamika sosial di Indonesia. Peran politik pelajar pada era pra-kemerdekaan lebih memiliki


(32)

21

orientasi dalam menyatukan identitas nasional sebagai anti-tesa atas kolonialisme penjajahan yang menguasai sendi-sendi kehidupan.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, para pelajar yang bergabung dalam berbagai wadah pergerakan pelajar terlibat dalam perhelatan politik nasional dan ikut andil secara aktif dalam membangun pondasi politik dan persatuan bangsa dan berjuang bersama rakyat dalam melawan hegemoni kolonialisme penjajahan pada waktu itu yang menguasi berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia.

Pada tahun 1908 lahir gerakan Boedi Oetomo dari lapisan generasi Soetomo yang memiliki momentumnya bagi lahirnya gerakan pemuda-pelajar nasional dan sebagai perintis pergerakan pelajar (Erwin, 2002: 9). Selanjutnya, Jong Islamieten Bond (JIB) didirikan pada tahun 1925 di Jakarta. Kelahiran JIB sebagai ungkapan kekecewaan terhadap Jong Java, dan merefleksikan persaingan dalam ruang publik dan marginalnya pelajar Islam (Latif, 2005: 306).

Proyek historis JIB diorientasikan untuk “mengislamkan kaum terpelajar” yang berpendidikan Barat agar lebih dekat dengan umat Islam. Walaupun JIB merupakan representasi dari kalangan pelajar Islam, tetapi tetap mempunyai komitmen terhadap solidaritas nasional dan tidak mengurangi keterikatan dengan tujuan pembentukan sebuah blok (historis) nasional (Latif, 2005: 308).

Pada tahun 1926, JIB mendirikan organisasi kepanduan yang bernama National Indonesische Padvinderij (Gerakan Pandu Nasional Indonesia), yang merupakan organisasi pertama pada waktu itu yang menggunakan kata-kata “nasional Indonesia”. JIB juga turut serta dalam keterlibatannya yang aktif dalam kongres pemuda ke dua pada bulan Oktober 1928 (Latif, 2005: 308). Secara umum,


(33)

22

para anggota JIB merupakan para pelajar atau mantan pelajar dari sekolah menengah dan lulusan dari sekolah dasar bisa bergabung dalam organisasi ini, terutama pada tahun 1930-an di antara anggota organisasi JIB terdapat mahasiswa (Latif, 2005: 308).

Pada tahun 1934 didirikan Studenten Islam Studiesclub (SIS) di Jakarta, SIS adalah kelanjutan dari proyek gerakan JIB yang fokus terhadap perhimpunan pelajar di perguruan tinggi, SIS didirikan dengan sebuah kegelisahan para pendirinya akan kurangnya pemahaman tentang pengetahuan Islam diantara pelajar, sehingga orientasi gerakannya adalah dengan mengislamkan kaum terpelajar (Latif, 2005: 312). Kehadiran kedua gerakan pelajar tersebut mewarnai perkembangan gerakan-gerakan intelektual Muslim sepanjang abad ke-20 dan menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan pelajar selanjutnya.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prodedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss, 2003: 4). Penelitian seperti ini bertumpu pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dasar dan bersifat deskriptif (Moloeng, 2000: 7).

Adapun data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara berstruktur


(34)

23

yang dilakukan terhadap PW PII Jakarta periode 1998 - 2010. Sedangkan data sekunder didapat dari buku-buku, internet, jurnal dan karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.

1. Waktu dan Tempat

Observasi atau penelitian skripsi ini dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan di sekretariat PW PII Jakarta yang beralamat di Jl. Menteng Raya No.58 Jakarta Pusat.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara. Dalam wawancara ini penulis melakukan wawancara kepada 12 orang yang memiliki keterkaitan dalam penelitian ini. Dari 12 orang itu sebanyak 7 orang dilakukan wawancara tatap muka dan 5 orang wawancara melalui telephone dan blackberry massanger (BBM).

Wawancara dengan tatap muka diantaranya, 1. Ali Said (Ketua Umum PW PII Jakarta periode 1998-2000), 2. Rahmat Banu Widodo (Ketua Bidang PPO PW PII Jakarta periode 1998-200), 3. Shood Solehuddin (Komandan Brigade PW PII Jakarta periode 1999-2000), 4. M. Natsir (Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Jakarta periode 2000-2002), 5. Nuril Anwar (Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2002-2004), 6. Ahmad Basori (Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2006-2008), 7. Ahmad Fadhil (Ketua Bidang Eksternal PW PII Jakarta periode 2008-2010).

Sementara itu wawancara melalui telephone dan blackberry massanger (BBM) diantaranya, 1. Yazid Qulbuddin (pelajar SMK 69 Persis Jakarta Barat), 2. M.Rifqi Syahrizal (pelajar MAN Karawang), 3. Eka Setiawati


(35)

24

(pelajar SMAN 1 Cikampek), 4. Nasrullah (Ketua Umum PW PII Jakarta priode 2004-2006), 5. Syahnan Tanjung (Ketua Bidang Kaderisasi PW PII Jakarta periode 2004-2006). Wawancara informal dilakukan karena faktor ketersediaan waktu yang minim, kesibukan dan jarak yang menyulitkan untuk wawancara tatap muka.

b. Studi Dokumentasi. Penulis melakukan studi dokumentasi yakni mengobservasi dokumen-dokumen yang memiliki keterkaitan dengan sumber data penelitian skripsi ini diantaranya buku, modul, laporan pertanggungjawaban, foto-foto kegiatan, dan sebagainya.

3. Analisis Data

Setelah data dan informasi yang dibutuhkan cukup, kemudian data yang diperoleh tersebut ditelaah dan diolah dengan mereduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data yang didapat kemudian dipilah-pilah dan dikelompokan kedalam pola-pola, kategori-kategori atau tema-tema tertentu. Sajian data dan informasi penelitian diwujudkan dalam bentuk narasi-narasi deskriptif. Setelah analisa selesai kemudian ditarik kesimpulan (Moloeng, 2000: 24).


(36)

25 G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri atas : Pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, kajian teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)

Terdiri atas : Konteks Sosiologis kelahiran Pelajar Islam Indonesia (PII), proses berdiri dan perkembangan Pelajar Islam Indonesia (PII), Tujuan dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII), kiprah dan perjuangan Pelajar Islam Indonesia (PII).

BAB III TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Terdiri atas : Pandangan PW PII Jakarta terhadap peran politik pelajar, strategi dan kegiatan pemberdayaan politik pelajar, respon pelajar terhadap pemberdayaan politik PW PII Jakarta, serta faktor pendukung dan penghambatan yang dihadapi PW PII Jakarta dalam pemberdayaan politik pelajar.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Secara khusus berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi terhadap pokok-pokok permasalahan.


(37)

26 BAB II

GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)

A. Konteks Sosiologis kelahiran Pelajar Islam Indonesia (PII)

Faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda dan Jepang. Pada saat itu pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian, yaitu pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi “akhirat” sementara sekolah umum berorientasi “dunia”. Akibatnya para pelajar juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan.

Akibat dualisme pendidikan tersebut, santri dari kalangan pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kebijakan kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan "Pelajar Kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional, mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri “teklekan".

Menurut Anton Timur Djaelani (2000): Terpisahnya pelajar-pelajar madrasah atau pesantren dengan pelajar-pelajar sekolah umum itu adalah warisan zaman penjajahan. Lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran rakyat Islam berupa madrasah dan pesantren itu terpaksa mengisolir atau mengasingkan diri supaya mampu bertahan dalam menghadapi desakan pengaruh Barat (terutama Belanda) yang menganut paham serba benda (materialisme). Paham Barat yang demikian pada itulah yang menghilangkan segala cita susila (h.11).


(38)

27

Pada saat partai Kristen meraih kekuasaan pada Pemilu Belanda tahun 1901. Ratu Welhelmina dalam pesan tahunannya mengenai “utang budi” dan tanggung jawab etis negeri Belanda kepada rakyat Hindia yang disampaikan dihadapan Dewan Parlemen di tahun yang sama. Orientasi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda kepada Hindia kemudian dikenal sebagai “politik etis” yang kemudian digerakan oleh Van Deventer (Latif, 2005: 81).

Semangat yang dibangun dalam kebijakan politik etis ini adalah bentuk tanggung jawab moral kolonial Belanda terhadap negeri jajahan Hindia, salah satunya dalam bentuk pendidikan. Tujuannya besarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan kaum pribumi dan memimpikan lahirnya kembali Hindia melalui perbaikan pendidikan yang terinspirasi oleh Barat (Latif, 2005: 82).

Dalam era politik etis ini membawa dampak yang cukup signifikan terhadap Islam. Dalam pandangan Belanda, Islam merupakan sebuah kekuatan yang dapat mengancam berbagai bentuk kebijakan penjajahan yang ada di Indonesia. Ajaran Islam memberikan pandangan dalam kehidupan sosial melalui doktrin keagamaannya melalui Amar ma’ruf dan nahiy munkar yang memiliki dimensi revolusioner (Hannan, 2006: 48-49). Ajaran tersebut menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk selalu berbuat kebaikan dan memerangi segala bentuk kejahatan. Dengan ajaran itu, umat Islam yang disatukan oleh satu ikatan ketauhidan menyadari bahwa haikatnya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda merupakan sebuah bentuk kejahatan.

Belanda merasa khawatir atas kekuatan dan ajaran Islam yang revolusioner itu. Tetapi berkat seorang ahli arab dan Islam, Christian Snouck Hurgronje, semua


(39)

28

kekhawatiran orang Belanda terhadap Islam itu berhasil diatasi. Dia melakukan pemetaan terhadap Islam sekaligus mengkritik asumsi-asumsi orang Belanda terhadap Islam. Snouck kemudian memberikan penjelasan bahwa Islam di kepulauan Hindia memiliki watak damai, walaupun dia juga menyadari adanya bahaya yang cukup potensial dari sekelompok kecil kalangan ulama fanatik yang terpengaruh oleh gagasan Pan-Islamisme (Latif, 2005: 82).

Dengan kecerdasannya, Snouck mengajukan rekomendasi-rekomendasi kebijakan terhadap Islam dalam suatu kerangka kerja yang disebut

“splitsingstheorie” yang membagi Islam menjadi dua bagian, pertama, yaitu Islam

yang bersifat keagamaan, dan yang kedua, Islam yang bersifat politik. Snouck memandang Islam yang bersifat keagamaan tidak berbahaya dan pemerintah Belanda harus menghormatinya, tetapi untuk bagian Islam yang bersifat politik harus disikapi secara tegas dan dihadapi dengan kekuatan sejak awal-awal kemunculannya (Latif, 2005: 82).

Menurut H. Aqib Suminto dalam Hannan (2006:49), Pemerintah Belanda pada waktu itu memberikan tiga jenis kebijakan terhadap Islam. Pertama, kebijakan netral agama. Dari kebijakan ini pada awalnya Pemerintah Belanda mempromosikan organisasi pendidikan berskala luas diatas landasan nilai-nilai universal dan bersifat netral secara keagamaan. Akan tetapi dalam perjalanannya kebijakan tersebut lebih mendorong para pelajar Islam dari kalangan bumiputera untuk menjauhkan dirinya dari ajaran Islam. Kedua, politik asosiasi kebudayaan. Dalam kebijakan ini ada sebuah dorongan kuat dari Pemerintah belanda untuk menciptakan “sebuah negara Belanda raya”, yang terdiri dari dua wilayah yang


(40)

29

terpisah secara geografis, tetapi merupakan bagian yang terkait secara spiritual. Artinya dalam bidang sosial dan kehidupan, pemerintah Belanda menghendaki agar para pelajar Islam dari kalangan bumiputera senafas dan seirama dengan kebudayaan Belanda, dengan jalan yang ditempuh melalui pemanfaatan adat dan asosiasi pendidikan.

Dibalik kebijakan pemerintahan Belanda yang menerapkan pendidikan sekuler di bawah bendera politik etis, ternyata mempunyai misi kristenisasi, usaha tersebut dengan cara memperkenalkan sistem pendidikan modern a la Barat kepada masyarakat Hindia tertentu dilakukan oleh misi-misi Kristen. Sekolah dijadikan sebagai sarana untuk menyebarluaskan injil dan menarik pengikut Kristen baru dengan menjanjikan keuntungan-keuntungan bagi pengikut barunya itu. Seperti yang diungkapkan oleh Gavin W. Jones, “menjadi Kristen, juga berarti terbaratkan, dan pendidikan merupakan bagian integral dari westernisasi” (Latif, 2005: 87-88). Kondisi semacam itu mematahkan kebijakan politik netral agama yang dicetuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Masyarakat pribumi sendiri yang dari kalangan bangsawan muslim, pedagang muslim, dan keluarga yang masih kuat dan taat agamanya, lebih memilih untuk mempertahankan tradisi dan keyakinannya dengan cara mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah-sekolah Islam tradisional (seperti pesantren, surau, meunasah, dayah), atau ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah.

Setelah Belanda, kini giliran Jepang yang mengambil alih komando penjajahan di bumi Indonesia. Dimulai pada saat penyerahan kedaulatan dari Gubernur Jenderal Garda Van Starkenborgh Stachhouwern kepada Jenderal


(41)

30

Imamura pada 8 Maret 1942. Berkhirnya penjajahan Belanda disambut dengan antusiasme masyarakat bumiputera. Tetapi apakah dengan kehadiran Jepang di Indonesia berarti segala permasalahan yang telah diwariskan hilang, tentu tidak demikian. Malah selama penjajahan baru yang dilakukan jepang pada kurun waktu 1942-1945 membawa cerita baru, kisah-kisah baru dalam halaman-halaman selanjutnya, terutama bagi kalangan Islam.

Jepang yang pada awalnya mendapatkan simpati besar dari masyarakat yang ketika itu mendeklarasikan diri dengan semboyan 3 A (yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Pelindung Asia), lambat laun dalam perjalanannya berubah menjadi antipati. Hal itu karena kebijakan yang dilakukan Jepang terlalu keras dan fundamental bagi keberlangsungan keyakinan masyarakat Indonesia.

Terdapat tiga langkah dan kebijakan yang dibuat Jepang yang membuat rakyat menarik simpatinya. Pertama, segera setelah berkuasa, Jepang memasukan kehendak untuk mengubah corak kebudayaan rakyat Indonesia. Semua sekolah harus bercorak Jepang dan yang tidak mematuhi akan dilarang kegiatannya. Kedua, Jepang melaksanakan kerja paksa (romusha) dan menjerat kaum perempuan Indonesia menjadi budak sex (jugun ianfu) bagi tentara Jepang. Ketiga, Jepang mewajibkan kepada setiap rakyat Indonesia untuk melakukan sekere yakni menyembah Tenno Heika (Kaisar Jepang) setiap pagi dengan cara menghadap ke arah negeri Jepang (Hanan, 2006: 51-52).

Kebijakan Jepang tersebut mengundang reaksi besar dari kalangan umat Islam, terutama kebijakan menyembah Kaisar Jepang yang menurut ajaran Islam


(42)

31

adalah perbuatan musyrik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu penyembahan selain-Nya, dan hal itu merupakan dosa besar yang tidak dapat diampuni. Ternyata Jepang melakukan gaya yang hampir sama dengan Belanda dan juga mendapatkan protes serta perlawanan yang sama dari rakyat Indonesia.

B. Proses Kelahiran dan Perkembangan Pelajar Islam Indonesia (PII)

Yoesdi Ghozali yang saat itu berstatus sebagai pelajar di STI Yogyakarta berkeinginan membuat sebuah wadah kepelajaran yang menampung seluruh kalangan. Ketika itu memang pelajar mempunyai wadah organisasi bernama Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) pada tanggal 27 September 1945, akan tetapi keberadaannya tidak mewakili kalangan “Islam” karena IPI berhaluan “umum” dan terindikasi didominasi aktivis sayap kiri (Latif, 2005: 429).

Hasrat yang kuat untuk mendirikan wadah gerakan pelajar tersebut dimulai ketika Yoesdi Ghozali beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta tanggal 25 Februari 1947. Saat itu terlintas dalam pikirannya sebuah gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 11 Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam (Darban, 1976: 22).

Pada tanggal 30 Maret-1April 1947 di gedung Mu’allimin Yogyakarta dilaksanakan Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Dalam kesempatan


(43)

32

itu Yoesdi kembali menyuarakan gagasannya tersebut. Pada saat pembahasan kepelajaran, Yoesdi dipersilahkan untuk mempresentasikan gagasannya untuk membentuk wadah bagi pelajar Islam yang ketika itu dipimpin oleh Anton Timur Djaelani sebagai Pimpinan Pusat GPII Bagian Kepelajaran (Darban, 1976: 22).

Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.

Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri yang mewakili Bagian Pelajar GPII. Sementara itu Ibrahim Zarkasji dan Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS). Dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta diwakili oleh Multazam dan Shawabi serta Dida Gursida dan Supomo NA yang mewakili Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta.

Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947. Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei diperingati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.


(44)

33

Kata “siswa” tidak digunakan dalam penamaan organisasi PII karena berasal dari bahasa sansakerta. Selain itu, sudah ada kata siswa yang digunakan dalam istilah “mahasiswa”. (Jaelani, 2011: 21). Sementara itu, kata “mahasiswa” secara prinsip mempunyai makna yang sama yaitu pelajar. antara “mahasiswa” dan “pelajar” dalam bahasa Inggris memiliki terjemahan yang sama yakni “student”,

sehingga secara implisit, PII menamakan semuanya sebagai pelajar. Tetapi, PII lebih diorientasikan sebagai organisasi untuk kelompok SD, SMP, dan SMA (Hannan, 2006: 58).

Kelahiran PII yang eksis mewarnai kehidupan pelajar di sekolah-sekolah sempat mendapat kecurigaan di berbagai kalangan, yang mana PII dituduh memecah belah persatuan pelajar umum. Untuk menepis dugaan tersebut, pada tanggal 9 Juni 1947 disepakai “Perjanjian Malioboro” dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam perjanjian Malioboro itu, IPI berjanji akan menjelaskan bestaanrecht (hak hidup) organisasi Pelajar Islam Indonesia, kepada daerah-daerah dan cabang-cabangnya, jika diperlukan akan membantu berdirinya PII ditempat-tempat yang belum ada organisasi tersebut (Djaelani, 2000: 14).

Dengan demikian, perjanjian itu meneguhkan keberadaan PII sebagai organisasi pelajar Islam dan disambut baik keberadaannya dan diberikan haknya untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Posisi PII sendiri mendapatkan tempat di hati masyarakat, terutama di madrasah-madrasah dan pesantren, sementara keberadaan IPI sendiri sulit diterima karena tidak mempunyai dasar agama Islam.

Pada 20-25 Desember 1949 PII menyelenggarakan kongres pendahuluan di Yogyakarta, poin yang dibicarakan ketika itu adalah persiapan Konferensi Besar III


(45)

34

di Bandung pada 1950 dan upaya konsolidasi PII dan melebarkan sayap gerakan dakwahnya. Hasil keputusan dari pertemuan itu adalah bahwa hanya ada satu organisasi pelajar, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII)

Setelah dilaksanakannya Kongres Pendahuluan PII di Yogyakarta, pada tahun yang sama dilaksanakan Kongres Muslimin Indonesia (KMI), yang mana dalam kegiatan itu PII sebagai salah satu panitia. Kegiatan KMI dihadiri oleh para ulama Indonesia yang memiliki basis massa pesantren sangat besar. Seperti K.H. Ali Maksum, K.H. Imam Zarkasyi, utusan ulama dari Aceh Teuku Daud Beureuh, dan lain-lain. Peluang itu tidak disia-siakan oleh PII untuk berdialog dan membicarakan strategi pelebaran dakwah PII di seluruh tanah air.

Salah satu hasil keputusan dalam Kongres Muslimin Indonesia (KMI) adalah bahwa satu-satunya Organisasi Pelajar Islam adalah “Pelajar Islam Indonesia (PII)”, ketika itu PII mendapatkan momentumnya, terlebih pada saat Konferensi besar III di Bandung tanggal 27-31 Maret 1950 merupakan tonggak sejarah bagi PII. Tiga organisasi lokal, yaitu Pelajar Islam Indonesia Jakarta Raya, PERPINDO di Aceh, dan Pelajar Islam Makasar melebur dalam tubuh PII. Dengan demikian, PII pada saat itu merupakan organisasi pelajar terbesar di Indonesia dengan memiliki beberapa cabang di hampir seluruh Indonesia (Djaelani, 2000: 22).

PII Jakarta secara wilayah administratif terbentang dari Tangerang sampai Subang. Wilayah binaan PII selain Provinsi DKI Jakarta sendiri, juga mengambil wilayah eks Karesidenan Purwakarta di Jawa Barat, juga mengambil sebagian wilayah Provinsi Banten. Dengan luasnya garapan binaan PII Jakarta, kultur dan


(46)

35

karakter yang beragam menjadi warna dan keunikan tersendiri dalam kepengurusan.

Wilayah garapan PW PII Jakarta di Provinsi DKI Jakarta diantaranya, Pengurus Daerah PII Jakarta Pusat, Pengurus Daerah PII Jakarta Timur, Pengurus Daerah PII Jakarta Utara, Pengurus Daerah PII Jakarta Barat, Pengurus Daerah PII Jakarta Selatan dan Pengurus PII Kepulauan Seribu. Pada wilayah Provinsi Jawa Barat, meliputi Pengurus Daerah PII Karawang, Pengurus Daerah PII Purwakarta, Pengurus Daerah PII Subang, Pengurus Daerah PII Kota Bekasi, Pengurus Daerah PII Kabupaten Bekasi, dan Pengurus PII Kota Depok. Selain itu, sebagian wilayah Provinsi Banten diantaranya Pengurus Daerah PII Kota Tangerang Selatan, Pengurus Daerah PII Kota Tangerang, dan Pengurus Daerah PII Batu Ceper (Wawancara dengan Ahmad Fadil pada 19 April 2013).

C. Tujuan dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII)

Pelajar Islam Indonesia (PII) mempertegas peranan dan eksistensinya sebagai organisasi berbasis pelajar yang konsen terhadap pendidikan dan dakwah dan kebudayaan. Sebagai implementasinya, PII menggariskan tujuan organisasi yaitu: “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia” (PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2004: 137).

Pada mulanya tujuan PII adalah, "Kesempurnaan pendidikan dan pengajaran bagi seluruh anggotanya." Dalam Kongres I PII, 14-16 Juli 1947 di Solo tujuan tersebut diperluas menjadi "Kesempurnaan pengajaran dan pendidikan yang sesuai


(47)

36

dengan Islam bagi Republik Indonesia." Akhirnya tujuan tersebut semakin universal dengan perubahan lagi pada Kongres VII tahun 1958 di Palembang menjadi "Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia." Rumusan tujuan PII hasil Kongres VII terse-but yang digunakan sampai sekarang ini sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) PII Bab IV pasal 4 (PB PII Dokumen Sejarah PII, 2010: 2).

Pada tujuan ini terdapat dua hal yang ingin dicapai oleh PII, yakni kesempurnaan pendidikan dan kesempurnaan kebudayaan. Kedua komponen tersebut merujuk pada Islam Islam sebagai sumber nilai dan pandangan dunia, sedangkan segenap rakyat Indonesia dan umat manusia adalah setting sosio-historis atau wilayah dakwahnya.Untuk mewujudkan tujuannya, usaha yang dilakukan PII sesuai dengan Bab VI Pasal 7, adalah :

a. Mendidik anggotanya menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT b. Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan untuk memahami,

mengkaji, mengapresiasi, dan melaksanakan ajaran serta tuntunan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat

c. Mencetak kader-kader pemimpin yang memiliki pandangan hidup Islami, keluasan pandangan global, dan berkpribadian muslim dalam segala bidang kehidupan

d. Mendidik anggotanya untuk memiliki dan memelihara jiwa independen yang tangguh


(48)

37

e. Membina mental dan menumbuhkan apresiasi keilmuan serta kebudayaan yang sesuai dengan Islam

f. Menumbuh-kembangkan semangat dan kemampuan anggota untuk mengikuti, menguasai, dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan ummat manusia

g. Mengembangkan kecerdasan, kreativitas, keterampilan, minat, dan bakat anggotanya

h. Membantu dalam pemenuhan dan pengembangan minat, bakat, dan potensi masyarakat pelajar

i. Membela hak-hak dan mengatasi problematika pelajar

j. Menyelenggarakan kegiatan sosial untuk kepentingan Islam dan umat Islam serta manusia pada umumnya (PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2006: 162).

E. Kiprah Pelajar Islam Indonesia (PII) Dalam Pemberdayaan Politik Pelajar 1. Pelajar Islam Indonesia di era Orde Lama

Sebagai organisasi pelajar tertua di Indonesia yang saat ini masih eksis, dalam sejarahnya PII turut terlibat dalam dinamika sosial politik bangsa, hal tersebut turut mewarnai perjuangan PII dalam aktifitas organisasinya. Tidak lama setelah berdirinya PII, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer I yang berusaha mencoba merebut kembali tanah air Indonesia.

Ketika itu PII dihadapkan oleh situasi yang mengharuskan diri ikut terlibat dalam perjuangan fisik melawan kolonial Belanda. Anggota-anggota PII pun


(49)

38

banyak yang bergabung ke Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Tentara Pelajar, Mujahidin, Angkatan Perang Sabil, dan sebagainya (Hannan, 2006: 61). Kondisi negara yang sedang terancam kedaulatannya itu memaksa PII untuk merubah model perjuangannya, dari perjuangan menggunakan pena menjadi perjuangan yang menggunakan bedil di medan tempur (Djaelani, 2000: 9).

Dalam kondisi seperti itu, PII membentuk Korps Brigade PII dalam Konferensi Besar yang ke-1 di Ponorogo pada 6 November 1947 yang dipimpin oleh Abdul Fattah Permana. Untuk memperkokoh perjuangan akibat agresi Belanda tersebut, PII ikut membentuk “Front Pelajar” pada tanggal 17 November 1947 (Djaelani, 2000: 17).

Brigade PII berfungsi sebagai sarana penyaluran minat pelajar pada dunia ketentaraan, ia merupakan salah satu dari pasukan rakyat yang berjuang melawan penjajah. Brigade PII berjuang saling bahu membahu dengan saudara perjuangan lainnya seperti : TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI Hizbullah, BPRI (Baris dan Pemberontakan RI), TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur) Sabilillah, Tentara pelajar ketentaraan IPPI, TPI (Tentara Pelajar Islam Aceh), CM Corps- Mahasiswa, CP ( Corps Pelajar Solo ) dan lain sebagainya (PB PII Dokumen Sejarah PII, 2010: 6).

Pada saat itu Brigade PII ikut serta dalam agresi militer I dan II dan bergerilya ke pelosok-pelosok mendampingi panglima besar Jenderal Sudirman. Dengan konsistensi perjuangan yang dilakukan PII dalam mempertahankan kedaulatan negara, hal itu menunjukan bahwa PII merupakan organisasi pelajar


(1)

kader PII secara individual terhadap masalah-masalah politik kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti kasus Ujian Nasional. Kita juga merespon fenomena pilpres 2004 itu dengan melakukan kajian berupa “Ngompol” atau ngomong politik sebagai ruang pendidikan politik bagi pelajar dalam menghadapi pemilihan presiden tahun 2004. Acara “ngompol” itu dilaksanakan di sekretariat PII Jakarta dan undang puluhan pelajar yang ada di Jakarta. Kita dalam kegiatan itu meminta kepada para tim sukses untuk menjelaskan seluk beluk partai politik dan mengenalkan calon presiden kepada pelajar, saat itu kita undang seluruh tim sukses pasangan calon presiden untuk memberikan pengetahuan politik kepada pelajar, yang datang saat itu Pak Andi Alfian Mallarangeng dan dari partai-partai lain-lain. Kita juga ikut berpartisipasi malahan sering aksi-aksi demonstrasi bahkan bisa dalam seminggu sekali dalam merespon isu-isu politik dunia internasional. Diantaranya aksi “Tolak Perang Terhadap Iraq”, di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan pernah juga aksi bersama KISRA melakukan aksi sejuta umat menentang Amerika Serikat, di Bunderan HI dan kantor perwakilan PBB. Aksi itu kita membawa ratusan pelajar yang ikut dari berbagai daerah di Jakarta. Kita juga terlibat aksi mendukungan RUU tentang sisdiknas di depan Gedung DPR/MPR RI. Kita juga aktif dalam menjalankan kaderisasi dan melalui LBT kita laksanakan dan daerah-daerah mulai saat itu saya aktifkan kembali seperti Karawang, Ciputat dan lain-lain.

4. Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ?

Respon pelajar bagus dan banyak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang kita laksanakan.

5. Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Semangat yang muncul dari kader-kader PII

6. Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Masalah waktu dan kesediaan untuk aktif dalam kegiatan PII, kadang berbenturan dengan padatnya waktu belajar di sekolah dan harus membangi waktunya antara kebutuhan studi dan keaktifannya di PII.


(2)

PERTANYAAN WAWANCARA

Nama : Ahmad Fadhil

Jabatan : Ketua Bidang Eksternal PW PII Jakarta Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal : 19 April 2013

Tempat : Rumah Ahmad Fadhil, Batu Ceper.

1. Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ?

Bagi saya pelajar adalah harapan bangsa dan calon pemimpin masa depan. Sesuai dengan simbol yang selalu kita serukan kepada pelajar kalau pelajar hari ini adalah pemimpin hari esok, dari situ menjadi titik awal untuk pelajar bergerak dan bangkit menjadi pemimpin, baik untuk dirinya maupun dalam masyarakat. Pandangan kita atau PII secara umumnya bahwa pelajar harus tau politik dan politik menjadi alat untuk mereka memperjuangkan hak-haknya. Tetapi politik yang dijalankan oleh PII hanya sebagai upaya penanaman daya kritis dan kepekaan sosial pelajar dalam menghadapi permasalahan dirinya sendiri dengan lingkungan sekitar. Nah kalau pelajar sudah tau politik dan mereka kritis, jadi mereka akan mudah mengontrol setiap kebijakan yang akan dan telah dikeluarkan oleh pemerintah.

2. Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ?

Seperti pada umumnya ya, kita aktif melakukan kaderisasi karena itu program pokok dan rutin yang wajib dilakukan oleh PII untuk memastikan kelangsungan regenerasi kepemimpinan PII selanjutnya. Pada aspek bimbingan kepada pelajar kurang aktif karena pada periode ini bisa saya katakan ada semacam sinyal vakum of power atau masalah kepemimpinan. Roda organisasi kurang berjalan efektif, masing-masing ketua bisang jalan sendiri-sendiri dan kurang terkontrol, tradisi-tradisi harkom yang jadi warisan periode-periode selanjutnya juga tidak aktif. Bahkan karena problem kepemimpinan itu pada pertengahan periode ketua umum diganti. Tapi walaupun di internal kurang solid, ada lah yang kita kerjakan. Kita sering mengadakan kajian-kajian mengenai politik dan kita undang alumni-alumni PII yang sekarang jadi tokoh politik untuk bicarakan pengalamannya kepada pelajar, terus juga seminar dan diskusi Pelajar mengkritisi RUU BHP di UIN Jakarta, kerjasama dengan BEM Sosiologi dan Hima Persis, kita undang mas Tom dan ketum PB juga ketua LBH Jakarta untuk menjelaskan hal itu. Saya


(3)

juga kebetulan memegang tanggung jawab di eksternal untuk melakukan konsolidasi gerakan PII di luar, kita lakukan kerjasama dengan IPM, IPNU dan aliansi-aliansi lain untuk bersama-sama melakukan aksi. Saat itu isu yang kita fokuskan tentang mengawal perjalan UN setelah pada periode lalu PII Jakarta melakukan apa namanya citizen law suit di PN Pusat, saat periode saya hanya mengawal saja karena saat itu pemerintah ngeyel mengajukan kasasi ke MA setelah kalah oleh penggugat di PN Pusat. Saat itu alhamdulillah MA menolak kasasi pemerintah dan UN akan dihapus. Tapi kenyataannya pemerintah tidak mau mengikuti putusan MA dan mereka tetap melaksanakan UN di tahun 2010. Kita dari aliansi segera bertemu untuk membahas agenda selanjutnya, kita diskusi di wisma kodel dengan educations reform bersama Mas Tom dan FGII, kita juga diskusi dengan KOBAR 2 Mei yang didalamnya ada BEM UI, PII, IPM, FMN, Forum OTM, E-Net For Justice, LAP, PMKRI, KPKB, dan IKABI di Paramadina, juga diskusi di LBH Jakarta, dan paa akhirnya kita sepakat untuk melakukan aksi bersama aliansi itu dengan melibatkan ratusan pelajar di bundaran HI untuk tegas menolak UN dan meminta pemerintah untuk menghormati putusan MA tersebut.

4. Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ?

Respon pelajar lumayan aktif dan sebelum kita melakukan aksi terlebih dahulu kita adakan kajian mengenai isu yang akan jadi tema aksi itu. Mereka akhirnya mengerti dan paham kenapa harus aksi dan pada akhirnya kritis merespon isu-isu yang akan kita angkat nantinya.

5. Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Faktor pendukung ya banyak diantaranya karena PII itu sudah lama berdiri dan termasuk organisasi pelajar terutua di Indonesia jadi PII tentu sudah melahirkan banyak alumni dan itu adalah jaringan potensial PII. Alumni-alumni PII banyak yang tersebar di hampir semua jenis profesi dan kedudukan di masyarakat, seperti Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Soetrisno Bachir, Tifatul Sembiring, Mahfud MD, Hatta Radjasa, Sofyan Djalil, KH Hasyim Mujadi, Kholil Ridwan, Taufiq Ismail, Muchdi Pr, Mas Tom, Mas Mansyur Suryanegara, dan banyak lagi dan mereka tersebar di jajarang posisi strategis di bangsa ini dari eksekutif, legislatif, patai politik, TNI/POLRI seniman, budayawan, akademisi, agamawan dan lain-lain. Jaringan yang dimiliki PII itu jadi salah satu faktor pendukung.

6. Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? Nah selain jadi faktor pendukung, alumni PII juga jadi salah satu penghambat. Hal itu karena pembacaan saya sangat krusial, terutama masalah pendanaan atau biaya untuk kegiatan kepengurusan. Masalahnya adalah


(4)

ketika munculnya sikap ketergantungan terhadap alumni yang secara tidak langsung mampu menghambat kreatifitas dan potensi kelembagaan yang dimiliki PII juga memberikan pengaruh bagi pergerakan PII. Selain itu Luasnya wilayah garapan PW PII Jakarta yang tidak hanya mencakup daerah di DKI Jakarta membuka peluang bagi kader PII di daerah-daerah pinggiran seperti Karawang, Bekasi, Subang, Purwakarta, Depok dan Tangerang mengisi kepengurusan di tingkat wilayah. Latar belakang Pengurus Wilayah PII Jakarta yang dihuni mayoritas daerah pinggiran, sementara personil asli daerah Jakarta rapuh, berdampak pada psikologi atau cara berpikir pengurus yang belum mampu membaca persoalan kompleksitas daerah perkotaan yang notabene berbeda dengan daerah-daerah mereka tinggal.


(5)

PERTANYAAN WAWANCARA

Nama : Ahmad Basori

Jabatan : Ketua Umum PW PII Jakarta periode 2006-2008 Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal : 19 April 2013

Tempat : Rumah Ahmad Basori, Batu Ceper.

1. Apa pandangan anda terhadap peran politik pelajar ?

Pandangan politik PII sesuai dengan Khittah Perjuangan PII. Disana kita hanya berada pada tataran high politik bukan ke arah politik praktis. Sementara itu politik yang kita mainkan mengarah ke politik kebijakan yang memandang politik sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak dasar pelajar dalam rangkaian masalah pendidikan. PII fokus pada politik kebijakan dalam pendidikan itu sebagai kelompok penekan. Hal itu agar formasi yang menjadi gerakan kita bisa berjalan linear, misalnya kalau masalah buruh, orang akan mencari organisasi buruh, nah kalau ada masalah pendidikan orang akan mencari PII, karena kita berperan di situ. Pelajar merupakan agen perubahan sosial yang mempunyai basis massa potensial memiliki daya tawar yang tinggi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tapi permasalahannya pelajar sekarang kurang mampu memaknai dirinya sebagai pelajar yang punya jutaan potensi yang dimilikinya. Ada semacam ketidakberdayaan dari kalangan pelajar sendiri dalam merespon berbagai situasi politik yang sedang berkembang, terutama yang berkaitan dengan dunia pelajar. Hal itu karena ada sebagian diantara pelajar yang masih terjebak pada pergaulan bebas, narkoba, dan tawuran. Padahal, pelajar merupakan agen perubahan sosial yang mempunyai basis massa potensial memiliki daya tawar yang tinggi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebut memberikan sebuah keniscayaan mengenai posisi strategis pelajar dalam sebuah Negara. Politik yang diperankan oleh pelajar hanyalah gerakan moral, advokasi permasalahan-permasalan yang dihadapi pelajar dan menyuarakan politik kepentingan kelompok pelajar. 2. Apa strategi dan Kegiatan yang anda lakukan sewaktu menjabat ketua

umum PW PII Jakarta periode 2004-2006 dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ?

Strateginya kita fokus pembenahan di internal kepengurusan dan memantapkan jaringan eksternal organisasi dengan mengikuti berbagai aktifitas di luar. Setiap liburan sekolah kita laksanakan training


(6)

kepemimpinan untuk pelajar, jadi bagi PII liburan sekolah itu malah kita sibuk-sibuknya adakan training. Dalam merespon isu-isu politik dalam pendidikan, kita aktif terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi, seperti yang lagi hangat-hangatnya mengenai kasus Ujian Nasional. Kita pernah mengajukan gugatan kepada negara dalam Citizen Law Suit tahun 2006. Saat itu PII Jakarta diwakili oleh Awwaluddin salah satu dari 58 orang yang terdiri dari pemerhati, pendidik, aktivis, dan orang tua murid yang menjadi korban UN, yang tergabung dalam Tim Advokasi korban Ujian Nasional (TeKUN). Kita selalu mengawal prosesnya dan hadir di pengadilan negeri Jakarta Pusat setiap kali persidang. Alhamdulillah PN Pusat mengabulkan gugatan kita dan menyatakan bahwa pemerintah lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Pemerintah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, hasilnya pada pada tanggal 6 Desember 2007, Pengadilan Tinggi Jakarta juga menolak permohonan pemerintah. Sampai akhirnya pemerintah melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Lagi-lagi permohonan kasasi pemerintah ditolak oleh MA melalui putusan No.256 K/PDT/2008 pada tanggal 14 September 2009.

4. Bagaimana respon pelajar dari hasil pemberdayaan politik ?

Setiap kali ada aksi atau apapun kita tersebih dahulu mengundang pelajar untuk berdiskusi. Seperti ketika Citizen Law Suit itu, kita ita terlebih dahulu mengumpulkan keluhan dari pelajar yang menjadi korban UN, setelah itu data dikaji dan diserahkan kepada LBH Jakarta untuk dijadikan bahan dalam materi gugatan. Tapi memang tidak semuanya mau ikut berpartisipasi karena banyak diantara mereka yang masih belum memahami mengenai hal ini. 5. Apa faktor pendukung dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ?

Yang menjadi faktor pendukung bagi PII Jakarta khususnya karena situasi politik di era reformasi ini yang lebih terbuka dan sangat mendukung bagi pergerakan pelajar tidak seperti zaman orde baru dulu yang sangat mengekang. yang secara langsung memberikan nafas segar dalam pergerakan pelajar dan membawa dampak positif bagi pergerakan PII yang kembali bangkit dan tampil ke permukaaan menyuarakan aspirasi dan kegelisahan pelajar setelah mengalami tidur panjangnya

6. Apa faktor Penghambat dalam melakukan pemberdayaan politik pelajar ? PII merupakan organisasi yang ideologis, hal itu yang menjadikan pandang hitam putih menjadi sesuatu umum diantara kader PII dan penghakiman tehadap seseorang yang memunculkan konflik diantara pengurus.