Pendidikan Multikultural Pendidikan Multikultural
19 Menurut Prof. HAR Tilaar Choirul Mahfud, 2014: 178 :
Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai Perang Dunia PD kedua.
Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini, selain terkait dengan
perkembangan politik
internasional menyangkut
HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga
karena meningkatnya pluralitas keberagaman di negara-negara barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru
merdeka ke Amerika dan Eropa.
Azra Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 197 menjelaskan: Pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan
interkultural diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok
manusia, seperti toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal,
serta subjek-subjek lain yang relevan.
Pendidikan multikultural multicultural education tidak persis sama dengan enkulturasi ganda multiple enculturation. Sizemore Yaya Suryana dan
H.A Rusdiana, 2015: 197 membedakan pendidikan multikultural dengan enkulturasi ganda. Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Enkulturasi lebih menekankan pada integrasi struktural yang mengaburkan
makna akulturasi dengan enkulturasi. Pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pemerolehan pengetahuan untuk dapat mengontrol orang lain
demi sebuah kehidupan survival.
b. Pendidikan multikultural, sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau
mengerti difference atau politics of recognition, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Secara operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi pembelajar
multiple learning environments dan yang sesuai dengan kebutuhan akademis ataupun sosial anak didik.
20 Adapun definisi pendidikan multikultural yang diadopsi dari Suzuki dan
Pramono Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 198 didasarkan pada asumsi awal bahwa sekolah dapat memainkan peran besar dalam mengubah struktur
sosial sebuah masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah satu-satunya lembaga sosial yang dapat mengubah struktur sosial sebuah masyarakat, tetapi
sekolah dapat menjadi wahana atau alat bagi perubahan sosial dari masyarakat. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dimaknai hal-hal sebagai berikut.
a. Guru-guru dapat membantu siswanya mengonseptualisasi dan menumbuhkan
aspirasi tentang struktur sosial alternatif serta memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk berubah. Definisi dan
tujuan inilah yang akan dikembangkan menjadi program pendidikan multikultural di sekolah-sekolah yang memiliki latar belakang dan
kebhinnekaan sosio-historis, budaya, ekonomi dan psikologi.
b. Pendidikan multikulturalisme dalam konteks Indonesia penting untuk
dikembangkan. Hal ini mengingat faktor kebhinekaan bangsa Indonesia dan faktor-faktor lain yang menjadi pengalaman bangsa Indonesia.
c. Terjadinya peristiwa disintegrasi sosial dan konflik selama ini, semakin perlu
untuk diantisipasi secara tepat. Hal yang paling memungkinkan adalah melalui program pendidikan multikulturalisme.
d. Kesungguhan dalam merumuskan pendidikan multikulturalisme dalam
konteks Indonesia yang tepat semangat dan tepat tujuan Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 198.
Pendidikan multikultural multicultural education merupakan respon terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi
lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian
terhadap orang-orang non-Eropa. Adapun secara luas, pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya, seperti
gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
21 Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri :
a. Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan
“masyarakat berbudaya” berperadaban. b.
Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis kultural.
c. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis multikulturalis. d.
Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya
lainnya. Mengenai fokusnya, fokus pendidikan multikultural tidak lagi diarahkan
hanya pada kelompok rasial, agama, dan kultural domain atau mainstream. Pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi
individual yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok
minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau
mengerti difference atau politics of recognition politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Dalam konteks itu, pendidikan
multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari
ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup
22 subjek-subjek
mengenai ketidakadilan,
kemiskinan, penindasan
dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang.
Apa yang dipikirkan oleh seseorang tentang dirinya berjalin dengan penerimaan dan dukungan yang dirasakan dari orang lain. Kehidupan internal
seseorang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan eksternal. Siccone J.David Smith, 2015: 379 membuat konsep interaksi antara diri sendiri dan orang lain
dengan dimensi-dimensi berikut ini : a.
Independence, ini adalah pengalaman menganggap dirinya berharga, ini menyangkut perasaan bahwa seseorang adalah mandiri dan unik di dunia ini.
Meliputi persoalan siapa dan apa membuat saya istimewa. b.
Interdependence, inilah pengakuan bahwa saya perlu orang lain. Inilah rasa yang dibutuhkan untuk dimiliki keluarga, komunitas, sekolah, dan masyarakat,
meliputi kebutuhan persahabatan, afiliasi, dan hubungan. c.
Personal Responsibility, inilah pengakuan untuk melakukan kontrol dalam kehidupan seseorang. Menyangkut rasa, mampu meraih tujuan, pengarahan
diri, dan kemampuan. d.
Tanggung jawab Sosial, adalah kemampuan untuk bergerak pada kepentingan sendiri dan mau menerima tanggung jawab kehidupan di sekitar. Ini
merupakan suatu keyakinan yang bukan saja pentingnya menerima orang lain, tapi juga sanggup bahwa saya harus menolong orang lain.
Tilaar Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 202 menegaskan bahwa:
Pengertian tentang multikultural mencakup pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan
dalam masyarakat multikultural harus mencakup subjek-subjek, seperti toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan
agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme,
kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, ada
beberapa pendekatan yaitu :
23 a.
Pendidikan tentang perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme b.
Pendidikan tentang perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan c.
Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan d.
Pendidikan dwi budaya e.
Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.