KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM MENERAPKAN NILAI-NILAI BUDAYA JAWA MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DI SD TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN YOGYAKARTA.

(1)

i

KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM MENERAPKAN NILAI-NILAI BUDAYA JAWA MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER

DI SD TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Chandra Puspitasari NIM 09110241021

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

Pondasi negara yang terbaik adalah budaya, sebagai dasar mengembangkan bangsa tanpa melupakan asal usul jati dirinya

(NN)

Jangan melihat masa lalu dengan penyesalan, jangan pula melihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran dan keyakinan

bahwa masa depan penuh cita-cita indah itu dapat kau gapai (Penulis)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Teriring rasa syukur kepada Allah SWT Dan dengan penuh rasa hormat

Karya sederhana ini kupesembahkan kepada Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta Dan

Kupersembahkan untuk :

Ayah dan Ibuku tercinta yang tak pernah berhenti berharap dan berdoa untuk kesuksesanku

Juga untuk Adikku


(7)

vii

KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM MENERAPKAN NILAI-NILAI BUDAYA JAWA MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER

DI SD TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN YOGYAKARTA

Oleh

Chandra Puspitasari NIM 09110241021

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan kebijakan sekolah dalam menerapkan nilai- nilai budi pekerti, (2) memahami kebijakan sekolah dalam menerapkan nilai-nilai budaya Jawa melalui kegiatan ekstrakurikuler, (3) memahami faktor penghambat dan pendukung kebijakan sekolah dalam menerapkan nilai-nilai budaya Jawa, dan (4) memahami strategi yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam menanggulangi hambatan yang ditemui saat menerapkan nilai-nilai budaya Jawa.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan beberapa peserta didik di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data berupa pengumpulan data, reduksi data (penyederhanaan), display data (disajikan), atau verifikasi atau penarikan kesimpulan. Teknik keabsahan data menggunakan triangulasi teknik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) bentuk nilai-nilai budaya jawa yang diterapkan meliputi penggunaan bahasa Jawa dalam berkomunikasi, penerapan sikap sopan santun dan menghormati terhadap semua warga sekolah, berbaris sebelum masuk kelas dan salim kepada Kepala sekolah dan guru setiap pagi dan pulang sekolah, serta wajib menyanyikan tembang dan lagu nasional; 2) cara menanamkan nilai-nilai budaya jawa meliputi menyanyikan tembang jawa sebelum memulai pelajaran dan melalui kegiatan ekstrakurikuler tari, gamelan, karawitan, pramuka, membatik, dolanan anak, dan nembang Jawa; 3) faktor pendukung adalah pemerintah, sekolah, guru, orangtua, siswa dan seluruh komunitas sekolah. Sedangkan, faktor penghambat adalah kebiasaan sehari-hari siswa di rumah yang sering menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa jawa, keterbatasan dana sekolah, keterbatasan alat, kurangnya pelatih pada kegiatan ekstrakurikuler karawitan dan 4) upaya pihak sekolah dalam mengatasi setiap hambatan berupa melakukan kerjasama dengan seluruh komunitas sekolah dan orangtua, dalam hal pendanaan sekolah bekerjasama dengan pemerintah dan orangtua, sekolah berupaya mengumpulkan dana untuk pembelian alat musik, sekolah mendatangkan pelatih dari luar, sekolah memberikan tanggung jawab kepada guru kelas untuk bertanggung jawab kepada masing-masing kelas dan memberikan sanksi tegas bagi siswa yang melanggar.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Sekolah Dalam Menerapkan Nilai-Nilai Budaya Jawa Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta”. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Program Studi Kebijakan Pendidikan Fakultas Ilmu Pensdidikan Unversitas Negeri Yogyakarta. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk menimba ilmu selama masa studi di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

4. Pembimbing Akademik Bapak I Made Suatera M. Hum, yang telah membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama menjadi mahasiswa.

5. Dosen Pembimbing Skripsi Bapak Dr. Dwi Siswoyo M. Hum, yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing, memotivasi, mengarahkan dan memberi saran dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

ix

6. Ibu Anastasia, Kepala Sekolah SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta.

7. Keluarga Besar SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta.

8. Ayah dan Ibuku tercinta yang senantiasa membesarkan hati dan dengan penuh kasih sayang memberikan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini, dan adikku tersayang Dhimas Bayu Dwi Arivianto

9. Teman-teman angkatan 2009: Restu, Wulan, Lia, Wahyu, Furi yang memberi motivasi hingga skripsi ini selesai

10.Teman-teman seperjuangan Bayu, Aldy, Kak Rio, Kak Ika, Kak Alin, Kak Yosua, Kak Alma, Marcel, Kak Yonas, Kak Hugo yang memberikan bantuan, semangat, kritik, saran, dan motivasi.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini

Semoga bantuan dan kebaikan pihak-pihak yang disebutkan di atas mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat optimal bagi pengembangan keilmuan Kebijakan Pendidikan dan bagi siapa saja yang membacanya. Amin.

Yogyakarta, 20 Agustus 2016


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Batasan Masalah ... 13

D. Rumusan Masalah ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Manfaat Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN TEORI A. Implementasi Kebijakan ... 16

1. Pengertian Kebijakan Pendidikan ... 16

2. Pengertian Kebijakan Sekolah ... 18

B. Budaya Jawa ... 24

1. Pengertian Budaya Jawa ... 24


(11)

xi

3. Hakikat Kearifan Lokal ... 36

4. Nilai dan Budi Pekerti Budaya Jawa ... 40

C. Budaya Sekolah ... 55

D. Ekstrakurikuler ... 58

E. Penelitian yang Relevan ... 62

F. Kerangka Berpikir ... 64

G. Pertanyaan Penelitian ... 67

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 68

B. Subjek Penelitian ... 68

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data ... 69

E. Instrumen Penelitian ... 73

F. Teknik Analisis Data... 73

G. Keabsahan Data ... 75

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 77

B. Hasil Penelitian ... 92

C. Pembahasan ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 143

B. Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147

LAMPIRAN ... 151


(12)

xii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Jumlah Rombongan Belajar ... 79 Tabel 2. Jumlah Peserta Didik ... 79 Tabel 3. Keadaan Pendidik ... 80 Tabel 4. Jumlah Tenaga Kependidikan Berdasarkan Status Kepegawaian .... 80 Tabel 5. Jumlah Tenaga Kependidikan Berdasarkan Pengalaman Kerja ... 80 Tabel 6. Jumlah Keadaan Ruangan ... 81 Tabel 7. Prestasi Siswa ... 82


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Struktur Organisasi SD ... 21

Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian ... 67

Gambar 3. Pendopo Sekolah Tamansiswa ... 196

Gambar 4. Lapangan SD Taman Muda IP Yogyakarta ... 196

Gambar 5. Halaman Depan SD Taman Muda IP Yogyakarta ... 196

Gambar 6. Kondisi Pendopo Tamansiswa ... 197

Gambar 7. Visi dan Misi Taman Muda Ibu Pawiyatan ... 197

Gambar 8. Semboyan Ki Hajar Dewantara yang terdapat pada dinding ruang guru ... 197

Gambar 9. Kegiatan Salim dengan Guru dan Kepala Sekolah pada pagi hari ... 198

Gambar 10. Kegiatan baris berbaris sebelum memasuki kelas ... 198

Gambar 11. Kegiatan bersalaman dengan guru sebelum pulang sekolah ... 198

Gambar 12 Pamong menjelaskan cara membaca aksara jawa dalam pembelajaran ekstrakurikuler bahasa Jawa ... 199

Gambar 13. Aksara jawa yang di tulis peserta didik ... 199

Gambar 14. Pembelajaran notasi dan gerakan dalam kegiatan ekstrakurikuler karawitan ... 199

Gambar 15. Peserta didik berlatih menggunakan gamelan dalam ekstrakurikuler karawitan ... 200

Gambar 16. Tari Perang-perangan putra dalam ekstrakurikuler tari ... 200

Gambar 17. Tari Lilin untuk peserta didik putri dan putra dalam ekstrakurikuler tari ... 200

Gambar 18. Peserta didik menyanyikan tembang tak pethik-pethik dalam ekstrakurikuler nembang ... 201

Gambar 19. Peserta didik memainkan dolanan jamuran dalam ekstrakurikuler dolanan anak ... 201

Gambar 20. Peserta didik memainkan dolanan cublak –cublak suweng dalam ekstrakurikuler dolanan anak ... 201

Gambar 21. Peserta didik menggambar motif batik truntum ... 202

Gambar 22. Peserta didik menggambar dan memberi warna motif batik truntum dalam ekstrakurikuler membatik ... 202


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 152

Lampiran 2. Pedoman Wawancara ... 153

Lampiran 3. Transkip Wawancara yang Telah Direduksi ... 158

Lampiran 4. Catatan Lapangan ... 173

Lampiran 5. Kisi Kisi Wawancara ... 193

Lampiran 6. Dokumentasi Foto... 195


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan. Pengertian lain pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. John Dewey mengemukakan bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai sebuah upaya konservatif dan progresif dalam bentuk pendidikan sebagai pendidikan sebagai formasi, sebagai rekapitulasi dan retropeksi, dan sebagai rekonstruksi (Riant Nugroho, 2008: 20).

Pendidikan sebagai proses budaya yang secara terus menerus selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu. Jika nilai-nilai budaya hilang dari proses pendidikan, maka dampaknya dapat kita rasakan pada generasi mendatang, yakni suatu generasi yang tidak memahami karakter budaya dan cenderung mengarah pada perbuatan negatif.

Dewasa ini negara kita sedang dihadapkan dengan permasalahan moral dikalangan pelajar. Arus globalisasi didorong dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memicu lunturnya moral dan hilangnya nilai luhur budaya ditandai dengan semakin terkikisnya nilai


(16)

2

budaya Jawa lama yaitu nilai gotong royong, ramah tamah, tenggang rasa, kerendahan hati, kejujuran dan nilai positif lainnya.

Globalisasi sendiri memberikan dua dampak yang dirasakan oleh masyarakat yaitu sisi negatif dan sisi positif. Sisi positif dari adanya globalisasi adalah terjadinya perluasan pasar sehingga berdampak pada kenaikan pendapatan suatu negara, sedangkan pada sisi pemerintahan banyak negara yang saat ini menerapkan sistem demokrasi yaitu dengan memberikan kebebasan pada rakyatnya. Dalam bidang budaya, globalisasi menyebabkan interaksi antar bangsa semakin cepat sehingga arus pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan semakin terbuka.

Sisi negatif dari globalisasi juga tidak kalah banyaknya. Dibidang ekonomi menyebabkan semakin jelas perbedaan antara kelompok kaya dan miskin. Dalam bidang sosial politik demokrasi cenderung mengarah pada demokrasi tanpa batas. Dalam bidang budaya, adanya globalisasi membawa dampak pada mudahnya warga masyarakat di negara berkembang, termasuk Indonesia meniru budaya luar dalam berbagai bentuk. Seperti, pola pergaulan, pola berpakaian, pola makan, dan berbagai pola perilaku lain yang justru dapat merusak harkat, martabat dan jati diri bangsa itu sendiri (Zamroni, 2005: 65).

Kesadaran diri sebagai warga bangsa dan mengukuhkan ikatan – ikatan sosial dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku bangsa, dan agama sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional. Hal


(17)

3

ini berdasar pada aturan Kemendiknas tentang UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab satu, pasal satu yang berbunyi,

“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap pada tuntutan perubahan zaman.”

Kebudayaan suatu bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak budaya baru melainkan dengan cara melakukan akulturasi budaya. Hal ini berdasarkan pada UUD 1945 tentang pendidikan dan kebudayaan bab tiga belas pasal tiga puluh dua yang berbunyi,

“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

(http://www.frewaremini.com/2014/01/bab-pasal-ayat-uud-1945 penjelasan.html.)

Kebudayaan itu akan berubah terus sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta pengembangan pola pikir manusia melalui pendidikan. Sebab pendidikan adalah tempat manusia dibina, ditumbuhkan, dan dikembangkan potensi-potensinya. Menurut Parsudi Suparlan ada enam fungsi utama kebudayaan dalam kehidupan manusia,


(18)

4

yaitu: agama, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa serta komunikasi dan kesenian (Rusmin Tumanggor, 2010: 19).

Pendidikan merupakan bekal penting untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos kerja di kalangan warga masyarakat. Peran pendidikan menjadi lebih penting ketika arus globalisasi yang membawa pengaruh nilai-nilai dan budaya sering bertentangan dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa Indonesia.

Mengintegrasikan budaya melalui pendidikan berbasis budaya merupakan salah satu cara mewariskan nilai budaya tanpa mengurangi porsi pendidikan yang dibutuhkan peserta didik. Penting bagi bangsa Indonesia untuk menerapkan pendidikan berbasis budaya yang mengedepankan pembentukan karakter sesuai dengan nilai luhur budaya bangsa.

Pendidikan berbasis budaya di Indonesia memiliki kaitan yang erat dengan konsep pendidikan Tamansiswa. Hal ini disebabkan Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Tamansiswa yang juga merupakan bapak pendidikan nasional yang telah meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang berorientasi budaya. Sehingga ada pengaruh yang kuat dari konsep taman siswa terhadap pendidikan berbasis budaya di Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara (2011: 33) tidak hanya berbicara mengenai masyarakat Jawa saja, tetapi yang dimaksud adalah masyarakat kebangsaan Indonesia artinya kebudayaan yang dimiliki atau yang akan


(19)

5

dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia. Kemudian pendidikan pada konsep Tamansiswa dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang riil dengan tujuan untuk meningkatkan derajat negara dan rakyat. Pendidikan nasional mengangkat unsur ketamansiswaan dalam menerapkan budaya sebagai landasan pendidikan untuk meningkatkan hak-hak asasi manusia dan melaksanakan tanggung jawab bersama sebagai bangsa Indonesia daam melestarikan budaya bangsa.

Bangsa Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan berbagai suku bangsa dengan masing-masing daerah yang memiliki budaya dan ciri khas masing-masing. Seperti di daerah lain, masyarakat Suku Jawa juga memiliki kebudayaan daerah yang beragam. Budaya juga merupakan pengikat Suku Jawa yang menunjukkan karakteristik dengan mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, pengikat tersebut telah terabaikan dan menjadi hal yang sulit untuk dicari di era globalisasi ini. Masyarakat Jawa saat ini bisa dianggap kurang memperhatikan unsur-unsur budayanya sendiri yang telah ada seiring dengan berkembangnya zaman, contohnya menurunnya penguasaan bahasa Jawa oleh masyarakat Jawa yang merupakan pemilik bahasa tersebut. Nilai-nilai luhur budaya Jawa mulai terkikis seiring dengan cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.


(20)

6

Nilai merupakan sebuah inti dari kebudayaan. Salah satu contoh nilai kebudayaan didalam pendidikan yaitu budi pekerti. Budi Pekerti adalah nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti luhur merupakan wujud etika pergaulan yang dilandasi oleh tata krama dan ajaran moral luhur, yaitu ajaran moral (budaya Jawa) yang berkaitan dengan perbuatan dan kelakuan sebagai bentuk budi pekerti. Tata krama meliputi aturan moral, sopan santun, unggah ungguh dan etika. Hal ini senada dengan penjabaran Yumarna (Suwardi Endraswara, 2006: 53) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan dapat diwujudkan dalam tiga hal, yaitu usaha pencerdasan siswa dalam kerangka kehidupan, integritas kepribadian sebagai wujud pengembangan manusia yang meliputi religiusitas, budi pekerti, skill, serta keadaan jasmani rohani, dan pembentukan sikap dasar yang meliputi kemandirian dan tanggung jawab sosial.

Penanaman nilai-nilai budi pekerti di sekolah, untuk saat ini memang mengalami kemunduran. Siswa sering kali berperilaku tidak sopan terhadap guru, melecehkan sesama teman. Paul Suparno (Nurul Zuriah, 2007: 170) menyatakan bahwa penyempitan pendidikan budi pekerti hanya sebatas menekankan pentingnya sopan santun saja. Menilai anak itu baik atau tidak membutuhkan pengertian apa yang ada dalam


(21)

7

diri anak itu, apalagi segi moral. Anak tidak dapat dinilai buruk budi pekertinya hanya dari segi luar. Sikap pendidik yang tidak menjadi teladan juga dapat mempengaruhi sikap anak didik tersebut. Pendidik dapat menjelaskan banyak nilai yang baik dalam budi pekerti, namun apabila pendidik tersebut tidak melakukan nilai tersebut maka proses pendidikan tidak akan berjalan baik.

Sosialisasi budi pekerti di sekolah dengan cara pemberdayaan sopan santun dan etika sesuai dengan norma-norma sopan santun yang ditunjukkan guru atau dosen. Khusus di jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Umum, sopan santun telah diterapkan sejak dini melalui peraturan sekolah yang sangat disiplin. Oleh karena itu, dalam realisasi pendidikan budi pekerti perlu diwujudkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan juga sekolah. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal perlu mengambil peran dalam pengembangan sisi afektif siswa. Jadi kesimpulannya sekolah perlu lebih menekankan pada pembinaan perilaku siswa tentang pendidikan budi pekerti melalui upaya keteladanan, pembiasaan, pengamalan, dan pengkondisian lingkungan.

Cara yang dapat ditempuh di sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam proses pembelajaran, kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler serta kegiatan kesiswaan lainnya di sekolah. Sebagai contoh dengan mengadakan kegiatan kesiswaan yang menekankan pada pengenalan budaya lokal


(22)

8

yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat yang perlu diajarkan kepada pada pemuda, selain itu penggunaan bahasa lokal dipandang perlu diaplikasikan paling tidak satu hari dalam enam hari proses pembelajaran di sekolah. Di samping itu diharapkan kegiatan ekstrakurikuler berbasis kebudayaan lokal mulai diadakan di tiap-tiap sekolah guna mendukung kegiatan pelestarian budaya lokal.

Pendidikan hanya berfungsi membantu perkembangan anak, maka pendidik harus menyesuaikan diri dengan individualitas anak. Sejak dini anak perlu di didik berpikir kritis. Ini bertujuan agar anak tidak menerima begitu saja suatu kebudayaan melainkan melalui pemahaman dan perasaan ketika berada dalam kandungan budaya itu, yang akhirnya menimbulkan penilaian menerima, merevisi, atau menolak budaya itu (Suwardi Endraswara, 2006: 55).

Melalui pendidikan serta program melestarikan kebudayaan lokal melalui kegiatan ekstrakurikuler, berbagai budaya baru yang masuk dan bersifat negatif dapat ditanggulangi, oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan penerapan nilai-nilai budaya Jawa melalui kegiatan ekstrakurikuler di Kota Yogyakarta.

Kegiatan ekstrakurikuler memiliki peran cukup penting dalam membangun karakter siswa. Dalam kegiatannya, penerapan nilai-nilai berbudi luhur juga diberikan. Ini menjadi salah satu alasan pentingnya


(23)

9

kegitan ekstrakurikuler diterapkan dalam lingkungan sekolah. Dalam penerapannya, siswa tidak hanya menerima pelajaran budi pekerti di kelas, tapi juga dapat diberikan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Dalam budaya Jawa, unggah-ungguh atau perilaku sopan santun masih sangat penting untuk diterapkan kepada siswa, baik dari sikap, tutur kata kepada pendidik atau orangtua.

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu pusat orientasi budaya Jawa di Indonesia. Sejalan dengan hal ini provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA) DIY nomor 5 tahun 2011 yang berisi tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis kebudayaan. Peraturan gubernur ini secara khusus menunjukkan bahwa dalam menerapkan pendidikan dan nilai luhur budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan berdasarkan konsep “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dengan mengedepankan sifat asah, asih dan asuh.

Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Tamansiswa yang sarat dengan muatan kebudayaan nasional khususnya budaya Jawa di Yogyakarta. Melalui perguruan ini budaya Jawa mulai digunakan sebagai dasar dari pembentukan karakter melalui penerapan budi luhur budaya masyarakat Jawa. Beberapa sekolah dasar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerapkan Pendidikan Berbasis Budaya Jawa salah satunya adalah SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang berdiri atas prakarsa Ki Hadjar Dewantara.


(24)

10

Penerapan Pendidikan Berbasis Budaya Jawa di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa melalui beberapa program intrakurikuler dan ekstrakulikuler yang mengadopsi kebudayaan Jawa. Hal ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan kualitas peserta didik melalui penggunaan budaya Jawa dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga siswa dapat memiliki nilai luhur yang dijunjung dalam budaya Jawa. Terlihat dengan banyaknya prestasi dari siswa SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa dalam bidang budaya lokal seperti karawitan, panembromo, macapat, tari dan lain sebagainya.

Membangun karakter siswa dengan budi pekerti luhur bangsa merupakan fokus utama yang di bentuk di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa melalui penerapan unsur budaya Jawa. Tujuan pembelajaran budi pekerti diberikan kepada siswa agar nilai-nilai budaya bangsa seperti sopan santun tidak luntur oleh perkembangan zaman. SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa menerapkan sistem “among” yang dianggap sebagai keseimbangan antara pendidikan orangtua atau keluarga, sekolah dan masyarakat. Hasil observasi awal diperoleh bahwa konsep pendidikan Tamansiswa yang menjaga nilai luhur budaya bangsa dan penanaman budi pekerti di sekolah tersebut masih dijaga hingga saat ini. Sesuai dengan visi dan misinya, sekolah tersebut memberikan pelajaran budi pekerti baik melalui pelajaran sehari-hari di dalam kelas (intrakurikuler) maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler.


(25)

11

Kebijakan dari sekolah mengenai penerapan budaya Jawa dalam kegiatan sehari-hari dapat dilihat dengan membiasakan menyanyikan lagu nasional dan tembang sebelum memulai pelajaran. Sedangkan salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang wajib diikuti peserta didik adalah membatik. Ini dilakukan sebab disamping pendidikan budi pekerti juga untuk melestarikan budaya Jawa yang hampir luntur.

Keberhasilan SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa menjadi sekolah dasar yang menjunjung tinggi budaya Jawa dan menghasilkan peserta didik yang berbudi pekerti bisa menjadi contoh bagi sekolah lain yang akan menerapkan pendidikan berbasis budaya Jawa khususnya di Yogyakarta.

Tidak semua sekolah dapat menyusun program pendidikan yang kental akan budaya lokal, bahkan sangat sedikit sekolah yang menggunakan kebudayaan lokal dalam penyelenggaraan pendidikannya. Perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi serta bagaimana pendidik dapat mengarahkan siswa dengan baik dalam setiap program pendidikan berbasis budaya Jawa di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang menjadi fokus dalam penelitian yang dilakukan peneliti.

Memiliki visi menjadi sekolah bermutu, berbasis seni budaya dan pendidikan budi pekerti luhur bukan berarti SD Taman Muda IP tersebut tidak memiliki kendala dalam menerapkan budaya Jawa di sekolah. Salah satu hal yang menjadi kendala yaitu sikap orangtua yang tidak


(26)

12

membiasakan siswa untuk bertutur kata menggunakan bahasa Jawa dan tidak membiasakan sikap unggah-ungguh yang baik terhadap orang yang lebih tua. Ini menyebabkan kebiasaan siswa yang bersikap sesuka hati terhadap orang lain. Untuk itu mengetahui kebijakan sekolah dalam penerapan budaya Jawa dan apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan nilai budaya Jawa melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Berdasarkan pada uraian tersebut peneliti tertarik untuk mendeskripsikan kebijakan sekolah dalam menerapkan nilai-nilai budaya jawa melalui penelitian skripsi yang berjudul ”Kebijakan Sekolah Dalam Menerapkan Nilai-Nilai Budaya Jawa Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta” sebagai kajian untuk menerapkan nilai budaya Jawa atau nilai budi pekerti di sekolah.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan budaya Jawa dalam kebijakan sekolah di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta tersebut antara lain:

1. Dampak arus globalisasi yang bersifat negatif membuat siswa saat ini lupa terhadap tatanan nilai budaya lokal dan bangsa.

2. Nilai budaya lokal dan nilai budaya bangsa yang sudah ada perlu ditanamkan terutama untuk anak usia sekolah.


(27)

13

3. Kurangnya pembinaan siswa tentang pendidikan budi pekerti di sekolah dengan upaya keteladanan, pembiasaan, pengamalan, dan pengkondisian lingkungan.

4. Minimnya kebijakan sekolah mengenai penerapan nilai budaya Jawa di sekolah tersebut.

5. Kurangnya kesadaran dalam penerapan nilai budaya Jawa, salah satunya budi pekerti dalam setiap kegiatan belajar mengajar.

C.Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraiakan di atas, maka peneliti membatasi penelitian ini pada bagaimana penerapan nilai-nilai budaya Jawa di sekolah di Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta.

D.Rumusan Masalah

1. Apa saja bentuk nilai – nilai budaya Jawa yang diterapkan di sekolah ? 2. Bagaimana cara menanamkan nilai- nilai budaya Jawa dalam

pendidikan sekolah ?

3. Faktor pendukung dan penghambat dalam penanaman nilai- nilai budaya Jawa di sekolah ?

4. Bagaimana upaya dalam mengatasi kendala tersebut ? E.Tujuan Penelitian


(28)

14

1. Mendeskripsikan bagaimana kebijakan sekolah dalam menerapkan nilai- nilai budi pekerti di Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta. 2. Untuk memahami bagaimana cara menanamkan nilai-nilai budaya

Jawa melalui pendidikan sekolah yang ada di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta.

3. Untuk memahami faktor penghambat dan pendukung kebijakan sekolah dalam menerapkan nilai-nilai budaya Jawa melalui kegiatan ekstrakurikuler di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta. 4. Untuk memahami upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam

menanggulangi hambatan yang ditemui saat menerapkan nilai-nilai budaya Jawa melalui kegiatan ekstrakurikuler di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu : 1. Secara Teoritis

Penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan informasi yang bermanfaat mengenai kebijakan sekolah dalam menerapkan nilai- nilai budaya jawa di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta, serta menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi Program Studi Kebijakan Pendidikan, Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan jurusan Kebijakan Pendidikan khususnya pada mata kuliah Kebijakan Pendidikan.


(29)

15 a. Bagi Sekolah

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan serta pertimbangan oleh pihak sekolah terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan kebijakan sekolah dalam mengembangkan kreativitas siswa.

b. Bagi Siswa

Dengan penelitian ini, diharapkan siswa dapat mengetahui dan mengenal budaya warisan bangsa. Walaupun arus globalisasi berdampak negatif, namun siswa tetap mampu melalui sekolah dan ekstrakurikuler melestarikan nilai luhur budaya Jawa. c. Bagi Peneliti

Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan dapat menambah referensi peneliti mengenai pendidikan budaya di Kota Yogyakarta.


(30)

(31)

17 BAB II KAJIAN TEORI

A. Implementasi Kebijakan

1. Pengertian Kebijakan Pendidikan

William Dunn (Nanang Fattah, 2012: 9) menjabarkan bahwa kebijakan merupakan suatu disiplin ilmu yang berupaya memecahkan masalah dengan menggunakan teori, metode, dan substansi penemuan tingkah laku, dan ilmu-ilmu sosial, profesi sosial, dan filosofi sosial politis atau dengan arti lain analisis kebijakan adalah proses pengkajian multidisipliner ilmu yang dirancang secara kreatif, dengan penilaian yang kritis, dan mengkomunikasikan informasi yang bermanfaat dan dipahami serta meningkatkan kebijakan. Dalam analisis kebijakan prosedur ini diberi istilah khusus, yaitu a) pengawasan (monitoring) adalah hasil informasi tentang hasil kebijakan yang diamati; b) peramalan (forecasting) adalah hasil informasi tentang hasil kebijakan yang diharapkan; c) evaluasi (evaluation) hasil informasi tentang nilai atau value dari hasil yang diamati serta yang diharapkan; d) rekomendasi (recomendation) adalah hasil informasi tentang kebijakan yang lebih disukai; e) struktur masalah (problem structuring) adalah hasil informasi tentang masalah yang dipecahkan.

Prosedur ini menjelaskan ada sejumlah model analisis kebijakan yang bisa menjadi rujukan, yaitu a) model deskripstif yang berupaya


(32)

18

menggambarkan dan menjelaskan sesuatu, atau memprediksi sebuah variabel yang dapat mereaksi perubahan dari suatu bagian sebuah sistem, b) model normatif yang bertujuan merekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa nilai, c) model verbal diapresiasikan dalam bahasa sehari-hari berupa definisi, dan d) model simbolis menggunakan simbol matematis untuk menerangkan hubungan di antara variabel-variabel inti yang memiliki sifat suatu masalah (Nanang Fattah, 2012: 14).

H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho (2009: 15) menyatakan bahwa keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan adalah:

a. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan deliberasi mengenai hakikat manusia sebagai mahkluk yang menjadi manusia dalam lingkungan kemanusiaan.

b. Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis yaitu kesatuan antara teori dan praktik pendidikan.

c. Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu. d. Keterbukaan (Opennes)


(33)

19 f. Analisis kebijakan.

g. Kebijakan pendidikan pertama-tama ditujukan kepada kebutuhan peserta didik.

h. Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis.

i. Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu.

j. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efisiensi.

Duncan Macrae (Nanang Fattah, 2012: 3) mengartikan analisis kebijakan sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai, dan membuahkan pikiran dalam rangka upaya memecahkan masalah publik.

Berdasar atas berbagai pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu perumusan langkah-langkah yang dijadikan pedoman untuk bertindak yang berkenaan dengan masalah-masalah pendidikan dalam rangka tercapainya pendidikan yang berkualitas.

B.Pengertian Kebijakan Sekolah

Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan memiliki fungsi dalam menyampaikan ilmu-ilmu dan pengetahuan yang ada. Sekolah memegang peranan sebagai tempat menuntut ilmu dan belajar. Sebagai lembaga pendidikan formal, keberadaan sekolah dari dan untuk


(34)

20

masyarakat merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan layanan pendidikan bagi masyarakat.

Pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan disiplin mulai dari Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Oleh karena itu, di dalam melaksanakan tugas pendidikan tersebut diperlukan pengaturan-pengaturan tertentu yang disebut juga dengan kebijakan sekolah. Sehingga tujuan pendidikan yang diharapkan oleh stakeholder lembaga pendidikan itu dapat tercapai.

Duke dan Canady (Syafaruddin, 2008: 118) menjabarkan bahwa kerjasama dan keputusan oleh individu atau keinginan kelompok dengan kewenangan yang sah dari dewan sekolah, pengawas, administrator sekolah atau komite sekolah dan tanggung jawab bagi kontrak negosiasi.

Thompson (Syafaruddin,2008: 135) menjelaskan bahwa suatu kebijakan sekolah dibuat oleh orang yang terpilih bertanggung jawab untuk membuat kebijakan pendidikan, dewan sekolah unsur lain diberi kewenangan membuat kebijakan, baik kepala sekolah, pengawas, administrator yang memiliki kewenangan mengelola kebijakan dari dewan sekolah.

Sistem pendidikan sekolah dasar dapat diartikan suatu kesatuan dari berbagai komponen pendidikan yang saling berhubungan dan bergantung untuk mencapai tujuan. Suharjo (2006: 15) mengemukakan


(35)

21

bahwa dalam proses pendidikan di sekolah dasar melibatkan komponen-komponen, yaitu a) visi, misi dan tujuan pendidikan, b) peserta didik, c) pendidik dan tenaga kependidikan, d) kurikulum/materi pendidikan, e) proses belajar mengajar, f) sarana dan prasarana pendidikan, g) manajemen pendidikan di sekolah, dan h) lingkungan eksternal.

Perlu adanya struktur organisasi yang jelas dalam rangka melaksanakan tugas kependidikan di sekolah dasar. Secara sederhana struktur organisasi pada sekolah dasar biasanya terdiri dari komponen utama yaitu kepala sekolah, guru kelas, siswa dan tenaga staff kebersihan. Selain komponen tersebut sekolah juga memiliki hubungan dengan lingkungan sekitar khususnya dengan orangtua peserta didik dan komite sekolah. Sekolah dengan sumber daya yang cukup biasanya menambahkan staff tata usaha atau tenaga administrasi.

Suharjo (2006: 19) menjelaskan struktur organisasi yang digunakan pada sekolah dasar di Indonesia ada beberapa macam. Struktur tersebut dikondisikan sesuai dengan karakter dan komponen yang ada di sekolah tersebut. Berikut alternatif struktur organisasi yang biasa dipergunakan di sekolah dasar :

Kepala Sekolah

Staff TU & Tenaga Kebersihan Guru Kelas Guru Kelas Guru Kelas Guru Kelas Guru Kelas Guru Kelas Komite Sekolah


(36)

22

Gambar 1. Struktur Organisasi SD (Suharjo, 2006: 20)

Struktur diatas terkandung bagian-bagian dan hubungan antar bagian yang diatur dengan baik untuk mencapai tujuan. Hubungan dari tiap bagian dibentuk oleh garis lurus dan putus-putus. Garis lurus menandakan saluran komando atau perintas. Sedangkan garis putus-putus melambangkan hubungan koordinasi. Kepala sekolah mempunyai wewenang untuk memberikan perintah/tugas secara langsung kepada para pendidik, staff TU maupun tenaga kebersihan. Tapi kepala sekolah tidak memberikan komando pada komite sekolah karena hubungannya hanya bersifat koordinatif.

Penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar terdapat komponen yang penting salah satunya adalah pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik dan tenaga kependidikan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam pembentukan dan perkembangan karakter peserta didik pada tingkat sekolah dasar. Dijelaskan dalam Undang- undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 40 bahwa:

“Pendidik dan tenaga kependidikan memiliki beberapa kewajiban utama, yaitu: (a) Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis; (b) Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan;dan (c) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya”.


(37)

23

Setelah melakukan beberapa kewajiban tersebut pendidik dan tenaga kependidikan berhak mendapatkan hak-hak yang tertulis dan diatur dalam undang-undang.

Melihat pentingnya peran pendidik di sekolah dasar yang ikut pembentukan dan perkembangan karakter peserta didik, maka diperlukan kemampuan dan syarat tertentu. Suharjo (2006: 56) mengemukakan secara umum persyaratan menjadi pendidik sekolah dasar sebagai berikut: a) Persyaratan kepribadian artinya seorang pendidik sekolah dasar memiliki kepribadian yang utuh, yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, dan memiliki komitmen yang tinggi. Selain dijadikan sebagai landasan dalam segala perbuatan pendidik, kepribadian ini juga sebagai contoh bagi peserta didik. Di sekolah dasar kepribadian pendidik sangat berpengaruh pada pembentukan karakter peserta didik, b) Persyaratan jasmani dan kesehatan artinya dalam berinteraksi secara optimal disekolah diperlukan kondisi kesehatan yang prima baik kesehatan jasmani dan rohani. Hal tersebut dimaksudkan agar pendidik dapat bekerja secara maksimal dan tidak merugikan peserta didik dari segi kesehatan. Selain itu peran pendidik sekolah dasar yang sangat besar sebagai wali kelas. Diperlukan kondisi yang baik untuk menjadi pendidik sekolah dasar karena harus mengampu dan melaksanakan segala kompetensi pengetahuan yang diperlukan peserta didik, c) Persyaratan penguasaan kompetensi pendidik


(38)

24

sekolah dasar artinya salah satu persyaratan untuk menjadi pendidik sekolah dasar adalah pendidik harus memiliki kompetensi tertentu agar dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Seorang pendidik dianggap kompeten bila mampu menunjukkan tindakan cerdas yang penuh tanggung Jawab dalam bidang tersebut, sehingga ia mendapat kepecayaan dari masyarakat.

Ibrahim Bafadal (2009: 9) mengemukakan pentingnya pendidikan dasar dari beberapa perspektif. Dilihat dari perspektif yuridis ada dua fungsi pendidikan yang didasarkan pada PP No. 28 Tahun 1990 pasal 3 yaitu melalui pendidikan sekolah dasar anak didik dibekali kemampuan dasar dan sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang memberikan dasar-dasar untuk mengikuti pendidikan ke jenjang berikutnya. Sedangkan dari perspektif teoritik keberhasilan peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi sangat ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengikuti pendidikan di sekolah dasar.

Melihat dari perspektif global besarnya peranan pendidikan di sekolah dasar sangat didasari oleh semua negara di dunia dengan semakin meningkatnya investasi pemerintah pada sektor tersebut dari tahun ke tahun.

Berdasarkan beberapa pendapat narasumber di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan sekolah adalah suatu keputusan dengan kewenangan yang sah dari sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat


(39)

25

yang dikelola dengan tujuan pengembangan masing-masing sekolah. Komponen penting dalam pendidikan sekolah dasar diperhatikan secara mendetail pada kompetensinya untuk meralisasikan tujuan pendidikan nasional serta diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penerapan budaya pada pendidikan sekolah dasar membantu penanaman nilai luhur budaya bangsa sejak dini pada awal pendidikan peserta didik. Nilai budaya itu kemudian dikembangkan pada jenjang selanjutnya dan menciptakan rasa cinta pada bangsa.

C.Budaya Jawa

1. Pengertian Budaya Jawa

Kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta yaitu budhayah, yaitu budhi yang berarti akal. Sedangkan kata budaya merupakan perkembangan dari kata budi daya yang artinya daya dari budi. Kesimpulan kebudayaan adalah hasil cipta, karsa, dan rasa manusia yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari- hari kebudayaan itu bersifat abstrak (Koentjaraningrat, 1996: 12).

Koentjaraningrat (Joko Tri Prasetya, 2004: 32) mengemukakan bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu: a) wujud kebudayaan sebagai kompleks gagasan, konsep, nilai-nilai, norma dan peraturan adalah wujud ideal kebudayaan. Memiliki sifat abstrak, tidak dapat diraba dan difoto dan terletak dalam pikiran manusia. Ide- ide dan gagasan manusia ini banyak hidup dalam masyarakat dan memberi jiwa


(40)

26

kepada masyarakat; b) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat adalah yang disebut sistem sosial yaitu tindakan berpola manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktifitas manusia yang berinteraksi satu dengan lainnya dari waktu ke waktu, yang selalu menurut pola tertentu. Sistem sosial ini bersifat konkrit sehingga bisa didokumentasikan; c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia adalah kebudayaan fisik, yaitu seluruh hasil fisik karya manusia dalam masyarakat. Bersifat konkrit berupa benda yang bisa diraba dan didokumentasikan.

Ki Hadjar Dewantara (2011: 27) menjelaskan bahwa budaya adalah buah-buah dari suatu keluhuran budi yang sifatnya bermacam- macam, akan tetapi karena semuanya adalah buah adab, maka semua kebudayaan selalu bersifat tertib, indah, berfaidah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat- sifat itulah yang dijadikan pedoman hidup luhur bangsa Indonesia sebagai budaya. Sifat kebudayaan yang dikemukakan di atas dapat dilihat melalui nilai-nilai budaya yang diakui dan digunakan oleh masyarakat hingga saat ini. Pengertian dan definisi mengenai budaya di atas secara umum prinsipnya sama yaitu mengakui bahwa budaya merupakan hasil cipta manusia yang dibiasakan bahkan didapat melalui belajar untuk mneyempurnakan kehidupan. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia yang dibiasakannya


(41)

27

dengan belajar untuk mencapai kesempurnaan hidup bisa disebut dengan budaya.

Ki Hadjar Dewantara (2011: 66) kemudian membagi kebudayaan menjadi: a) buah fikiran misalnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan pengajaran; b) buah perasaan misalnya segala sifat keindahan, dan keluhuran budi, kesenian, adat istiadat, kenegaraan, keadilan, keagamaan, kesosialan dan sebagainya; dan c) buah kemauan misalnya semua sifat perbuatan dan buatan manusia seperti industri, pertanian, perkapalan, bangunan-bangunan dan sebagainya. Pembagian jenis-jenis kebudayaan di atas berdasarkan bentuk atau buah dari suatu budaya. Bentuk-bentuk tersebut yang kemudian dikembangkan dan dijadikan suatu kebiasaan sebagai kebudayan.

Kebudayaan sebagai fungsi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, alam sekitar dan dengan Tuhan untuk kedamaian batin serta kehidupannya yang abadi, pada hakikatnya selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan perkembangan zaman. Budaya dalam pengertian ini meliputi dimensi sistem berpikir, sistem ekspresif seperti gaya bentuk seni, serta sistem orientasi nilai.

Soerjono Soekanto (Nur Zazin, 2011: 50) mendefinisikan budaya sebagai, “Sebuah sistem nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. Nilai yang dianut oleh suatu organisasi diadopsi dari organisasi lain, baik melalui re-inventing maupun re-organizing.”


(42)

28

Danim (Nur Zazin, 2011: 150) mengartikan budaya sebagai seluruh sistem gagasan, rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar sesuai dengan kekhasan etnik, profesi, dan kedaerahan.

Kebudayaan memiliki pengertian yang begitu luas cakupannya, untuk mempermudahnya disebut unsur universal yaitu: a) sistem religi dan upacara keagamaan, b) sistem dan organisasi kemasyarakatan, c) sistem pengetahuan, d) bahasa, e) kesenian, f) sistem mata pencaharian hidup, g) sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 2015: 22).

Bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang menjadi identitas bangsa. Budaya luhur dan beragam penuh nilai kemanusiaan adalah karakteristik yang dimiliki Indonesia sebagai budaya nasional. Budaya nasional dibentuk oleh budaya-budaya daerah yang merupakan karakteristik bangsa, salah satu budaya daerah yang membentuk budaya nasional adalah budaya Jawa.

Pemilik kebudayaan Jawa yaitu Suku Jawa menduduki wilayah Indonesia terutama di pulau Jawa sehingga ikut menentukan karakter bangsa. Suku Jawa merupakan penduduk asli yang mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh Pulau Jawa yaitu propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Budaya juga merupakan pengikat Suku Jawa yang menunjukkan karakteristik dengan mengutamakan keseimbangan,


(43)

29

keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari (Koentjaraningrat,1999: 300).

Kebudayaan Suku Jawa tidak merupakan suatu kesatuan yang homogen dikarenakan adanya suatu keanekaragaman yang bersifat regional. Menurut Kodiran (Koentjaraningrat, 1999: 322), daerah kebudayaan Jawa itu luas yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Walaupun demikian ada beberapa daerah yang sering disebut daerah kejawen. Daerah itu adalah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri.

Daerah di luar itu dinamakan pesisir dan ujung timur. Dilihat dari banyak daerah tempat kediaman orang Jawa terdapat berbagai variasi dan perbedaan yang bersifat yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaannya, seperti perbedaan istilah teknis, dialek bahasa dan sebagainya namun masih merujuk pada satu pola yang sama. Keberagaman kebudayaan Jawa di setiap daerah terpusat pada dua daerah yaitu Yogyakarta dan Surakarta.

Berdasar analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan mengarahkan tindakan manusia baik gagasan, tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda kebudayaan secara fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu sehingga dapat mempengaruhi pola berpikir dan berbuatnya. Dengan kata lain di mana manusia hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan.


(44)

30 2. Unsur-unsur Budaya Jawa

Suatu kebudayaan terdapat macam- macam unsur yang masuk bahkan membentuk suatu kebudayaan itu sendiri. Bakker (1990: 38) mengatakan sebagai unsur karena pokok-pokok tersebut dapat digabungkan menjadi paduan yang lebih tinggi. Unsur- unsur ini yang menjiwai dan menjadi pokok dari setiap kebudayaan. Unsur- unsur kebudayaan itu dapat disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian.

Koentjaraningrat (2009: 165) mengemukakan pembagian unsur- unsur kebudayaan ditemukan pada semua bangsa di dunia berjumlah tujuh buah, yang dapat disebut sebagai pokok dari setiap kebudayaan, yaitu: (a) bahasa, yaitu sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Bahasa yang digunakan oleh suku bangsa yang bersangkutan memiliki variasi-variasi dari bahasa itu sendiri, (b) sistem pengetahuan, yaitu pemahaman suatu suku bangsa tentang suatu hal. Setiap bangsa di dunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang alam sekitar, flora, fauna, zat-zat atau benda di lingkungannya, tubuh manusia, sifat dan tingkah laku manusia, serta ruang dan waktu, (c) sistem kekerabatan dan Organisasi sosial, yaitu adat istiadat dan aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat suatu bangsa hidup dan bergaul di kehidupan sehari-hari, (d) sistem peralatan hidup dan teknologi, yaitu cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari


(45)

31

suatu suku bangsa. Yang dimaksud sistem peralatan hidup ini seperti bentuk serta cara membuat pakaian, bentuk rumah, bentuk serta pemakaian senjata, bentuk serta cara membuat dan mempergunakan alat transportasi dan sebagainya, (e) sistem mata pencaharian hidup, yaitu sistem produksi lokal termasuk sumber daya alam hingga pengembangannya. Sistem mata pencaharian dalam hal ini terbatas pada sistem- sistem yang bersifat tradisional terutama untuk lebih memperhatikan kebudayaan suatu bangsa secara holistik, (f) sistem religi, yaitu menyangkut hal-hal yang dipercaya dan dijadikan pedoman hidup suatu suku bangsa, (g) kesenian, yaitu segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan dalam suatu kebudayaan bangsa. Benda-benda hasil kesenian budaya dapat berwujud gagasan, ciptaan pikiran, cerita, dan syair yang indah. Selain itu kesenian juga berupa benda-benda indah seperti candi, kain tenun dan sebagainya.

Munandar Soelaeman (2001: 32) mengemukakan bahwa unsur- unsur nilai budaya Jawa yaitu ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat dan menciptakan materi kebudayaan dalam unsur budaya universal. Unsur nilai budaya dibagi menjadi: a) agama meliputi adanya umat beragama, sistem keyakinan, sistem peribadatan, sistem peralatan ritus dan emosi keagamaan, b) ilmu pengetahuan meliputi sistem pengetahuan yang utuh menanggapi keberadaan alam nyata dan nirwana, kondisi ini menyambung kepada pemahaman tentang kehidupan dan kematian, perbuatan dan keadilan,


(46)

32

kefanaan dan keabadian, c) teknologi meliputi setiap warga negara pendukung suatu kebudayaan memiliki kemampuan dalam melaksanakan kegiatan bersama dan menciptakan peralatan hidup yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan pada unsur budaya lainnya, d) ekonomi meliputi setiap kehidupan masyarakat dengan proses jual beli, e) organisasi sosial meliputi perkumpulan jaringan dalam tali perkawinan, wilayah masyarakat, etnis, profesi, dan politik, f) bahasa dan komunikasi meliputi setiap masyarakat dalam kebudayaan memiliki simbol-simbol bunyi dan intonasi serta isyarat yang digunakan untuk menyampaikan suatu maksud untuk dipahami atau dilaksanakan, g) serta kesenian yang meliputi ungkapan seni berupa simbol pernyataan rasa suka atau duka. Baik untuk umum atau diri sendiri, dalam bentuk ukiran, gambar, tulisan, gerak tari dan nyanyian.

Unsur-unsur budaya Jawa sangat menonjol dan mencirikhaskan budaya Jawa. Di dalam pergaulan aktifitas sosialnya masyarakat Jawa sehari- hari menggunakan bahasa Jawa. Pada waktu pengucapan dan penggunaan bahasa Jawa seseorang harus memperhatikan dan membedakan keadaan lawan bicara atau yang sedang dibicarakan berdasarkan usia maupun status sosialnya. Pada dasarnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari tingkatanya, yaitu: a. Bahasa Jawa Ngoko, dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko Andap, b.


(47)

33

Bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan orang yang belum dikenal akrab dan juga orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya (Koentjaraningrat, 1999: 320).

Kedua macam derajat bahasa ini kemudian ada variasi dan kombinasi antara kata-kata dari bahasa Jawa ngoko dan bahasa Jawa krama yang pemakaiannya disesuaikan dengan keadaan perbedaan usia, serta derajat sosial. Misalnya bahasa Jawa Madya yang terdiri dari tiga macam bahasa Madya Ngoko, Madyaantara, Madya Krama. Selain itu juga ada bahasa Krama Inggil, bahasa Kedaton, bahasa Krama Desa, dan bahasa Jawa Kasar yang digunakan pada saat- saat dan lingkungan sosial tertentu (Koentjaraningrat, 1999: 329).

Perbedaan penggunaan bahasa yang disebabkan oleh perbedaan tingkatan, masyarakat Jawa juga memiliki keberagaman pada logat dan karakter bahasa berdasarkan geografi. Sesuai pada keadaan geografis pulau Jawa, maka dapat dibedakan beberapa subdaerah linguistik yang masing-masing mengembangkan logat bahasa Jawa. Beberapa daerah yang berada disekitar peradaban suka Jawa juga mempengaruhi logat Bahasa Jawa yang beragam. (Koentjaraningrat, 1984: 23)

Masyarakat Jawa juga mengenal tulisan asli yang merupakan identitas mereka yaitu tulisan Jawa. Tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sansekerta Dewanagari dari India Selatan yang biasa disebut dengan tulisan Palawa, tetapi dalam waktu berabad-abad tulisan itu mengalami perubahan hingga menjadi Aksara Jawa yang sering


(48)

34

digunakan pada kesusastraan Jawa. Namun sekarang dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa menggunakan huruf latin tidak menggunakan tulisan Jawa (Koentjaraningrat, 1984: 21).

Sistem teknologi masyarakat Jawa dipengaruhi oleh mata pencahariannya. Mata pencaharian masyarakat Jawa berasal dari pekerjaan-pekerjaan kepegawaian, pertukangan dan perdagangan, tapi yang menjadi mayoritas mata pencaharian masyarakat Jawa di desa adalah bertani. Mata pencaharian masyarakat Jawa sangat berpengaruh terhadap kebudayaanya. Masyarakat Jawa masa kini sudah lebih modern dalam hal teknologi dan mata pencahariannya juga lebih beragam.

Kodiran (Koentjaraningrat, 1999: 344), menjabarkan masyarakat Jawa membedakan kelompok masyarakat menjadi priyayi dan bendara yang terdiri dari pegawai negeri, kaum terpelajar, keluarga kraton dan keturunan bangsawan yang hidup di kota dengan wong cilik seperti petani-petani, tukang-tukang, pekerja kasar dan lain sebagaiya. Berdasarkan gengsi kelompok priyayi dan bendara merupakan lapisan paling atas, sedangkan wong cilik berada di lapisan paling bawah. Meskipun saat ini perbedaan antara kedua kelompok masyarakat di atas tidak terlalu mencolok dan terlihat, namun hal itu mempengaruhi proses pembentukan kebudayaan masyarakat Jawa. Misalnya pada kelompok masyarakat wong cilik dalam bertani muncul budaya- budaya menanam atau teknologi menanam mulai dari cara membajak (luku), persemaian benih (pawinih), pemindahan tunas (nguriti/ndaut), hingga menuai padi.


(49)

35

Masyarakat Jawa juga sering membuat suatu pertunjukkan seni budaya sebagai wujud syukur kepada sang pencipta atas hasil panennya. Mereka juga memiliki cara sendiri dalam berekreasi dan berkesenian. Sedangkan pada kelompok masyarakat priyayi dan bendara, budaya timbul kehidupan sehari- hari mereka dalam hal busana, cara bergaul, dan lain sebagainya. Biasanya kebudayaan Jawa yang hidup di kota- kota Yogyakarta dan Surakarta (Solo) merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di Kraton.

Pola rekreasi dan kesenian terdapat keberagaman yang dimiliki oleh budaya Jawa. Masyarakat Jawa sejak dulu memiliki kesenian sendiri-sendiri di berbagai lapisan masyarakat. Koentjaraningrat (1984: 212) menjelaskan kesenian yang biasanya selalu ada di masyarakat desa adalah penari wanita (ledhek), tarian tayuban, dan pertunjukkan wayang kulit. Kesenian-kesenian itu yang dikembangkan bervariasi pada setiap daerah. Tak jarang pelaku seni desa yang tersohor dan berbakat diminta untuk mengadakan pertunjukkan di kota. Tarian-tarian rakyat Jawa sejak dulu merupakan sumber ilham kesenian istana atau kraton. Sehingga kesenian masyarakat kota berpengaruh terhadap kesenian masyarakat kota di kebudayaan Jawa. Dibandingkan dengan masyarakat desa, kelompok priyayi lebih sering mengadakan acara yang mempertunjukkan kesenian dan budaya Jawa seperti pada upacara khitanan, perkawinan dan kelahiran. Kemudian ditegaskan kembali oleh Koentaraningrat (1984: 286) bahwa bentuk kesenian Jawa yang begitu digemari priyayi


(50)

36

Jawa, yaitu seni drama wayang kulit maupun wayang orang, seni suara gamelan yang erat kaitannya dengan tarian-tarian Jawa istana. Tarian-tarian Jawa yang ada di istana atau kraton sangat banyak dan beragam serta terus berkembang hingga saat ini. Tarian-tarian di istana dan kraton adalah tarian yang sakral dan penuh dengan arti kehidupan, bahkan sudah menjadi tradisi yang turun temurun.

Sistem sosialisasi masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kesantunan. Adat istiadat masyarakat Jawa mengedepankan sopan santun untuk menghargai orang lain. Tingkah laku inilah yang menjadi karakteristik masyarakat Jawa. Budaya sopan selalu diajarkan secara turun menurun oleh masyarakat Jawa melalui segala aspek komunikasi yang mempertimbangkan lawan bicara atau dengan siapa mereka bicara. Pada dasarnya tingkah laku dan adat sopan santun orang Jawa memang sangat berorientasi secara kolateral. Masyarakat Jawa menjunjung tinggi sikap tenggang rasa (tepa selira) antar sesama (Koentjaraningrat, 1984: 440).

Koentjaraningrat (Munandar Soelaeman, 2001: 42) menjelaskan bahwa nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem nilai budaya dalam masyarakat menyangkut masalah-masalah pokok bagi kehidupan manusia.

Orientasi nilai budaya bisa merupakan nilai, konsep, dan kebiasaan. Dapat berupa perilaku langsung apabila menghadapi permasalahan maupun berupa karakter. Masyarakat Jawa memiliki


(51)

37

budaya yang sangat beragam dan penuh makna budi pekerti. Budaya ini lah yang menjadikan identitas masyarakat Jawa sebagai masyarakat yang berbudi pekerti luhur dan memiliki nilai budaya yang tinggi. Budaya yang berbudi pekerti luhur ini yang perlu dilestarikan keberadaannya di masyarakat Jawa untuk mempertahankan kualitas hidup namun tetap berkembang mengikuti perkembangan zaman.

3. Hakikat Kearifan Lokal

Budaya Jawa memiliki peranan penting dalam budaya Indonesia, termasuk bahasanya. Bahasa Jawa menjadi salah satu pemerkaya bahasa Indonesia. Aspek yang tidak terpisahkan dari budaya adalah kearifan lokal. Hal ini juga dijelaskan Haryati Soebadio (Ayatrohaedi, 1986: 18) bahwa kearifan lokal merupakan suatu identitas budaya bangsa yang menyebabkan budaya tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.

Moendarjito (Ayatrohaedi, 1986: 40) menjabarkan bahwa unsur budaya sebagai kearifan lokal memiliki ciri sebagai berikut: a) mampu bertahan terhadap budaya luar; b) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; c) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar kedalam budaya asli; d) mempunyai kemampuan mengendalikan; e) mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Hoed (2008: 107) menjelaskan bahwa terdapat nilai-nilai yang muncul dalam kecerdasan masyarakat Jawa semasa masyarakat itu


(52)

38

sendiri ada. Artinya kearifan lokal Jawa itu sudah teruji oleh waktu dan melekat pada masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan sumber di atas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan akumulasi pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas yang merangkum perspektif teologis, kosmologis, dan sosiologis. Kearifan lokal bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya (alam, manusia dan budaya) secara berkelanjutan. Dapat dirumuskan sebagai pandangan hidup sebuah komunitas mengenai fenomena alam maupun sosial yang dapat mentradisi atau secara turun temurun dan telah ada pada suatu daerah tertentu. Kearifan lokal dapat berbentuk sebagai kesenian, tradisi serta nilai-nilai yang sudah melekat dan membudaya dalam suatu masyarakat tersebut.

Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri dan sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Perubahan ini selain karena adanya difusi kebudayaan dan adanya penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi. Salah satu bentuk proses perubahan sosial yang terwujud dalam masyarakat adalah proses yang dilakukan oleh generasi muda terhadap generasi yang lebih tua. Proses ini dilakukan dengan belajar meniru pola tindakan generasi tua


(53)

39

sehingga hasilnya berjalan lambat dan memakan waktu yang panjang. Sedangkan perubahan di dalam masyarakat yang maju, biasanya terwujud melalui proses penemuan dalam bentuk penciptaan baru dan melalui proses difusi (http://m.kompasiana.com/post/read).

Proses perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi suatu penerimaan dan penolakan kebudayaan baru di antaranya: masyarakat terbiasa memiliki hubungan atau kontak dengan orang-orang yang berasal dari luar kebudayaan tersebut, pandangan hidup dan nilai-nilai kebudayaan baru harus berlandaskan agama yang berlaku, corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan baru dan suatu unsur kebudayaan bisa diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan kebudayaan baru tersebut

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk pedoman pembelajaran berbasis budaya sebagai muatan materi tingkat SMP/MTs yaitu unsur- unsur budaya yang dikembangkan merupakan jati diri masyarakat Jawa yang terdiri atas :

1. Nilai- nilai luhur dibagi menjadi empat bagian: yaitu a) nilai luhur spiritual yang mencakup nilai kejujuran, kesusilaan, dan nilai kesabaran, b) nilai luhur personal moral yang mencakup mencakup nilai kerendahan hati, tanggung jawab, percaya diri, pengendalian diri, integritas, kepemimpinan, ketelitian, ketangguhan, welas asih, kesopanan atau kesantunan dalam


(54)

40

bersikap, c) nilai luhur sosial mencakup nilai kerja sama, nilai keadilan, kepedulian, ketertiban dan toleransi nasionalisme, d) nilai luhur bersikap dan berperilaku mencakup nilai sikap cinta tanah air dan menjunjung tinggi kearifan lokal dan menghargai budaya nasional.

2. Artefak dibagi menjadi: a) artefak seni sastra mencakup tembang (gedhe, tengahan, macapat, dolanan), geguritan dan sesorah, b) artefak seni pertunjukan mencakup tarian rakyat, musik tradisional, teater tradisional, dan wayang kulit, c) artefak seni lukis mencakup batik, d) artefak seni busana mencakup busana adat, e) artefak seni kriya mencakup kriya logam, kriya kayu, kriya tanah, kriya kulit, anyaman, kriya tekstil, f) artefak seni arsitektur mencakup bangunan rumah tinggal, bangunan umum, bangunan rumah ibadah, bangunan istana, perabot, g) artefak seni boga mencakup santapan, makanan ringan, minuman khas, g) artefak ilmu kesehatan mencakup ngadi salira (jamu, lulur, dll), h) artefak seni permainan tradisional mencakup permainan tradisional adat. 3. Adat dibagi menjadi: a) adat sosial mencakup jati diri dalam

lingkungan masyarakat (gotong royong, upacara ritual), b) adat ekonomi mencakup sistem lumbung desa, sistem pertanian, dan pranata mangsa (penanggalan, musiman, pasaran), c) adat


(55)

41

politik mencakup rembug desa, struktur pemerintahan dari rt, rw dan lurah.

(http://rudidarmawandisdikkotayk.wordpress.com//pedoman-pembelajaran-berbasis-budaya)

Kesimpulannya masyarakat Jawa membagi setiap unsur-unsur budaya tidak lepas dari tradisi yang sudah dilaksanakan oleh para leluhur. Tradisi ini tetap dilestarikan bahkan dijadikan pedoman hidup, pelaksanaan upacara ada dan struktur pemerintahan.

4. Nilai dan Budi Pekerti Budaya Jawa

Nilai budaya sifatnya sangat umum namun sulit dijelaskan secara rasional dan nyata yang diresapi masyarakat sejak kecil dalam kehidupan masyarakatnya serta dipatuhi sebagai pedoman hidup. Selanjutnya nilai budaya ini yang diteruskan kedalam norma-norma masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1996: 76) nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Budaya inilah yang menjadi karakteristik melalui penerapan adat- istiadat di suatu masyarakat.

Kneller (1989: 89) memberikan pengertian nilai budaya adalah cita-cita tertinggi yang berharga untuk diperjuangkan. Beberapa nilai tersebut sangat jelas seperti kejujuran, sementara yang lain sulit diungkapkan seperti kepercayaan akan nilai tertinggi harkat individu.


(56)

42

Kesimpulannya adalah nilai budaya secara umum dapat dikatakan sebagai hal yang penting dan berharga dari suatu budaya sehingga patut untuk diperjuangkan. Nilai-nilai ini yang menjadi fokus masyarakat penganutnya dan dijadikan pedoman kehidupan. Budaya masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai luhur yang juga digunakan sebagai pedoman hidup hingga saat ini.

Koentjaraningrat (Budiono Herusatoto, 2008: 164) menjabarkan nilai tradisi dibagi menjadi empat, yaitu: a) nilai budaya adalah berupa ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat misalnya gotong royong atau sifat suka kerjasama berdasar solidaritas; b) norma adalah nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan anggota masyarakat dalam lingkungannya, dan menjadi pedoman tingkah laku masing-masing; c) sistem hukum adalah hukum adat pernikahan dan hukum adat kekayaan; d) aturan khusus adalah mengatur kegiatan yang jelas terbatas ruang lingkup dalam masyarakat dan bersifat konkret.

Nilai budaya Jawa dipandang sebagai bagian paling abstrak dari sistem budaya manusia dan sikap masyarakat merupakan fokus dari kebudyaan masyarakat Jawa yang telah menyatu di dalam kehidupan seluruh masyarakat Jawa. Nilai budaya Jawa merupakan bagian dari budaya yang mencerminkan karakter budaya tersebut secara keseluruhan. Budaya Jawa menjunjung tinggi budi pekerti dan pembentukan akhlak mulia demi bekal hidup di masa depan. Pada masyarakat Jawa nilai-nilai


(57)

43

budaya luhur dan budi pekerti ditanamkan sejak dini. Jumlah nilai budaya Jawa sangat banyak dan beragam.

Hal ini senada dengan penjabaran Budiono Herusatoto (2008: 145) tentang panca kreti atau lima perbuatan untuk menilai tingkah laku seseorang yang dipakai sebagai paradigma, yaitu : a) trapsila adalah penilaian pertama seseorang dilihat dari gerak gerik, polah tingkah, cara menghormati orangtua dan sesamanya; b) ukara adalah penilaian seseorang menurut gaya bicaranya dilihat dari runtut, jelas, jujur dan sebaliknya; c) sastra adalah penilaian seseorang menurut kepandaiannya dalam bekerja dilihat dari kalimat atau bahasa dalam menulis menggunakan kalimat yang baik atau tidak; d) susila adalah penilaian seseorang menurut moral dilihat dari banyak ditemukannya seseorang yang sopan dan santun namun moralnya tidak dapat dipertanggung jawabkan; e) karya adalah penilaian seseorang melalui hasil karya yang dikerjakannya.

Manusia dibentuk oleh kesusilaan yang berarti bahwa manusia hidup dalam norma-norma yang membatasi tingkah lakunya, yang menunjukkan bagaimana bertingkah laku dalam masyarakat. Adanya keseimbangan antara kebutuhan individu dan masyarakat juga merupakan salah satu bentuk kesusilaan. Hal ini sesuai dengan penjabaran Hadiatmaja bahwa nilai-nilai yang mendasari keselarasan dan keseimbangan tersebut antara lain mawas diri, budi luhur, tepa slira, mrawira, rasa rumangsa (http://kotakita.weebly.com).


(58)

44

Budaya Jawa menjunjung tinggi budi pekerti dan pembentukan akhlak mulia demi bekal hidup di masa depan. Pada masyarakat Jawa nilai-nilai budaya luhur dan budi pekerti ditanamkan sejak dini. Jumlah nilai budaya Jawa sangat banyak dan beragam. Nilai-nilai budaya Jawa tercermin pada nilai-nilai budaya nusantara yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) D.I. Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2011, pasal dua ayat dua menyebutkan bahwa :

“ Nilai-nilai luhur budaya sebagaimana dimaksud pada ayat satu diantaranya meliputi a) kejujuran, b) kerendahan hati, c) ketertiban/kedisiplinan, d) kesusilaan, e) kesopanan/kesantunan, f) kesabaran, g) kerjasama, h) toleransi, i) tanggung jawab, j) keadilan, k) kepedulian, l) percaya diri, m) pengendalian diri, n) integritas, o) kerja keras, p) ketelitian, q) kepemimpinan, r) ketangguhan”

( http://www.pendidikan-diy.go.id).

Nilai-nilai budaya Jawa ditanamkan dan dipelajari sejak kecil bermula dari keluarga dan lingkungan sekitar melalui penanaman budi pekerti. Suwardi Endraswara (2006: 23) memaparkan penanaman budi pekerti masyarakat Jawa melalui beberapa pembentukan yaitu a) pembentukan akhlak keselarasan dengan cara menanamkan prinsip hormat yang terkait dengan unggah-ungguh dan tata krama Jawa, menanamkan kerukunan hidup; b) pembentukan akhlak keutamaan hidup dengan cara menanamkan watak arif dan jujur, menanamkan akhlak mawas diri, menanamkan watak ikhlas, membentuk watak eling yang dimaksudkan bahwa manusia harus selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa; c) pembentukan akhlak sopan santun dengan cara membentuk sikap rendah hati, membentuk unggah-ungguh dan tatakrama yang baik


(59)

45

dan benar yang merujuk pada aturan yang baik untuk mendidik kesopanan masyarakat dan d) pembentukan watak pengendalian diri dengan cara membentuk akhlak ngati-ati yaitu setiap perbuatan atau tindakan harus dilakukan dengan penuh perencanaan dan tidak terburu-buru, penanaman watak nrima yaitu manusia hendaklah selalu menerima kehendak dan takdir Tuhan.

Penanaman nilai budaya Jawa melalui pendidikan berbasis budaya di Indonesia memiliki kaitan yang erat dengan konsep pendidikan Tamansiswa. Hal ini disebabkan Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Tamansiswa yang juga merupakan bapak pendidikan nasional yang telah meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang berorientasi budaya. Sehingga ada pengaruh yang kuat dari konsep taman siswa terhadap pendidikan berbasis budaya di Indonesia. Berikut adalah butir-butir konsep Tamansiswa yang di kemukaan Ki Hadjar Dewantara (H.A.R Tilaar, 2000: 68):

a. Bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan.

b. Kebudayaan yang menjadi alasan pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan.

c. Pendidikan mempunyai arah yaitu untuk mewujudkan keperluan perikehidupan.

d. Arah tujuan pendidikan ialah untuk mengangkat derajat negara dan rakyat.


(60)

46 e. Pendidikan yang visioner.

Terlihat pada butir-butir rumusan konsep Tamansiswa bahwa pendidikan menjunjung tinggi kebudayaan bahkan menjadi landasan dalam penyelenggaraan pendidikan karena kebudayaan merupakan karakter suatu bangsa. Ki Hadjar Dewantara tidak hanya berbicara mengenai masyarakat Jawa saja, tetapi yang dimaksud adalah masyarakat kebangsaan Indonesia artinya kebudayaan yang dimiliki atau yang akan dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia. Kemudian pendidikan pada konsep taman siswa dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang riil dengan tujuan untuk meningkatkan derajat negara dan rakyat. Pendidikan nasional mengangkat unsur ketaman siswaan dalam menerapkan budaya sebagai landasan pendidikan untuk meningkatkan hak-hak asasi manusia dan melaksanakan tanggung jawab bersama sebagai bangsa Indonesia daam melestarikan budaya bangsa.

Beberapa nilai budaya diatas diatas menjelaskan bahwa pandangan hidup orang Jawa memiliki keseimbangan dan keselarasan serta menerima segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan. Masyarakat Jawa menjunjung tinggi kaidah-kaidah tersebut dalam hidup dengan sesama karena mereka percaya, perbuatan baik akan dibalas dengan perbuatan baik begitu pula sebaliknya. Masyarakat Jawa asli memegang teguh pendirian dan kepercayaannya. Walaupun banyak pengaruh dari luar, masyarakat Jawa tetap menjalankan nilai luhur budaya lokal mereka


(61)

47

dan patuh terhadap budaya atau adat istiadat mereka. Nilai kesatuan dalam bentuk gotong royong merupakan ciri khas masyarakat Jawa dan masih banyak lagi nilai budaya yang menunjukkan kearifan lokal masyarakat Jawa. Nilai-nilai luhur budaya Jawa yang mengutamakan keselarasan inilah yang perlu di tanamkan kepada pewaris bangsa sebagai bekal dalam pembangunan.

Pendidikan humaniora dalam masyarakat Jawa yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan simbolisnya merupakan bagian integral dari sitem budaya sehingga dapat ditemukan macam pendidikan humaniora sesuai dengan pengelompokan masyarakat. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal dan informal melalui bentuk komunikasi sosial.

Pendidikan dalam lingkungan keluarga secara tidak langsung membentuk watak dan karakter seseorang. Ketika beranjak remaja dan menjadi dewasa watak terbagi menjadi watak buruk dan watak baik. Senada dengan itu, Budiono Herusatoto (2008: 146) menjabarkan budaya Jawa memiliki pandangan terhadap watak baik seseorang, yaitu a) rereh adalah watak sabar dan mengekang diri; b) ririh adalah watak tidak tergesa-gesa atas segala sesuatu itu sebelum diperbuat atau dipirkan terlebih dahulu; c) ngati-ati adalah watak selalu berhati-hati dalam setiap tindakan. Pendidikan budi pekerti perlu dibangun seiring penanaman disiplin ilmu pengetahuan untuk bekal peserta didik di masa depan.


(62)

48

Budiono Herusatoto (2008: 147) menjabarkan watak seseorang tidak selalu baik, namun ada halnya watak itu buruk, yaitu a) adigang adalah watak sombong karena mengandalkan diri kepada kedudukaan atau pangkat dan derajat; b) adigung adalah watak sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran diri sendiri, sehingga meremekan orang lain; c) adiguna adalah watak sombong karena mengandalkan kepada keberanian dan kepintaran bersilat lidah atau berdebat.

Setiap tatanan serta aturan mengandung nilai dan pesan moral yang dijadikan rambu-rambu bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat oleh suku Jawa. Salah satunya berupa tradisi simbolis lisan yang berupa nasihat atau ungkapan yang diucapkan orangtua kepada anak. Makna yang terkandung dalam nasihat dan ungkapan orangtua kepada anaknya dapat dilihat dari segi budi luhur, budi pekerti dan etika. Tradisi simbolis yang digunakan sebagai rambu-rambu dalam tingkah laku dalam masyarakat Jawa tidak hanya sebatas lisan yang diberikan orangtua kepada anaknya. Dapat berupa pendidikan budi pekerti di sekolah dan melalui kesenian. Secara tradisional, budi pekerti mulai ditanamkan sejak masa kanak-kanak, baik di rumah maupun disekolah kemudian berlanjut di kehidupan bermasyarakat. Pendidikan informal atau pendidikan didalam lingkungan keluarga mulai ditanamkan pengertian baik dan benar seperti etika, tradisi lewat dongeng, tembang,


(63)

49

dolanan atau permainan anak-anak dan kesenian lain yang mencerminkan hidup bekerjasama dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan.

Suwardi Endraswara (2006: 72) menjelaskan bahwa sebagai contoh pertama selain berperilaku halus dan sopan, juga berbahasa yang baik untuk menghormati sesama. Bahasa yang digunakan seperti krama atau bahasa halus yang digunakan oleh seseorang yang lebih muda kepada seseorang yang lebih sepuh atau tua dan ngoko atau bahasa biasa yang digunakan oleh seseorang yang muda dengan sebayanya. Contoh kedua yaitu melantunkan tembang sebagai pengantar tidur dengan tujuan penuh permohonan kepada Yang Maha Pencipta.

Selain pendidikan informal dan non-formal yang berkembang dan berpengaruh positif, pendidikan formal sangat berpengaruh bagi tumbuh kembang siswa selanjutnya. Adapun implementasinya di bagi menjadi : a) Pendidikan Budi Pekerti, pendidikan budi pekerti merupakan program

pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill (keterampilan dalam mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerjasama).

b) Media Pendidikan Budi Pekerti, dalam mempelajari pendidikan budi pekerti tidak semata-mata memberikan pemahaman dan pengertian


(64)

50

mengenai sopan santun dan moral saja, tetapi perlu adanya pembiasaan baik berupa lisan atau artefak yaitu: 1) memasang tokoh wayang di sekolah. Waluyo (Suwardi Endraswara, 2006: 73) mengemukakan dalam cerita wayang, biasanya budi pekerti yang jahat akan kalah dengan budi pekerti yang baik. Tokoh-tokoh wayang dapat digunakan sebagai media penanaman budi pekerti, 2) memberdayakan lagu dolanan anak. Dalam tembang dolanan anak, dibagi menjadi tiga watak yaitu 1) membentuk watak yang religius dengan cara peserta didik akan belajar watak religi dari keluarga. Jika keluarga termasuk taat dalam menjalankan kaidah religi, tentu peserta didik akan menurutnya, 2) membentuk watak rajin dan tidak sombong dengan cara penanaman sikap rajin, baik dalam belajar maupun bekerja saat di sekolah, 3) membentuk watak prihatin dengan cara belajar berpuasa (Suwardi Endraswara, 2006: 84).

Menurut UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal empat yang berbunyi, “ Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”


(65)

51

Menurut draft kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001, pengertian budi pekerti dapat ditinjau dengan dua cara, yaitu : konsepsional dan operasional,

a) Pendidikan Budi Pekerti secara Konsepsional mencakup hal-hal sebagai berikut: usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang, upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, dan seimbang dalam hal lahir batin, material spiritual, dan individu sosial, dan upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran, dan latihan serta keteladanan.

b) Pendidikan Budi Pekerti secara Operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depan agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Dengan demikian terbentuklah pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja, dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai


(66)

52

agama serta norma dan moral luhur bangsa. (http://www.diskominfo.karangasembkab.go.id)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan dalam pendidikan, budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik. Pada tahap awal proses penanaman nilai, siswa diperkenalkan pada tatanan hidup bersama. Peserta didik harus dikondisikan dan diajak untuk melihat dan mengalami hidup bersama yang baik dan menyenangkan.

Paul Suparno (Nurul Zuriah, 2007: 46) menjabarkan bahwa nilai-nilai budi pekerti yang perlu ditanamkan pada jenjang Sekolah Dasar yaitu a) religius dengan cara mengenal hari-hari besar agama dan menjelaskan nilai-nilai hidup masing-masing agama serta saling menghormati antar agama, b) sosial dengan cara melalui kegiatan baris- berbaris untuk masuk kelas hal ini akan memperkenalkan siswa sikap saling menghargai, saling membantu, saling memperhatikan dan kerjasama, c) gender dengan cara menanamkan kesetaraan gender, d) keadilan dengan cara memperlakukan dan memberikan kesempatan serta hak dan kewajiban yang sama bagi laki-laki dan perempuan secara wajar, e) demokrasi dengan cara sikap menghargai dan mengakui adanya perbedaan dan keragaman pendapat secara wajar, jujur, dan terbuka. Siswa juga diajarkan untuk membuat kesepakatan dan kesepahaman bersama secara terbuka dan saling menghormati, f) kejujuran dengan cara


(1)

201

DOKUMENTASI SEKOLAH

Gambar 15. Peserta didik berlatih menggunakan gamelan dalam ekstrakurikuler karawitan

Gambar 16. Tari Perang-perangan putra dalam ekstrakurikuler tari

Gambar 17. Tari Lilin untuk peserta didik putri dan putra dalam ekstrakurikuler tari


(2)

202

DOKUMENTASI SEKOLAH

Gambar 18. Peserta didik menyanyikan tembang tak pethik-pethik dalam ekstrakurikulernembang

Gambar 19. Peserta didik memainkan dolanan jamuran dalam ekstrakurikulerdolanananak

Gambar 20. Peserta didik memainkan dolanan cublak –cublak suweng dalam ekstrakurikuler dolanan anak


(3)

203

DOKUMENTASI SEKOLAH

Gambar 21.Peserta didik menggambar motif batik truntum

Gambar22. Peserta didik menggambar dan memberi warna motif batik truntum dalam ekstrakurikulermembatik


(4)

(5)

(6)