IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH INKLUSI SD TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN TAMANSISWA YOGYAKARTA.

(1)

i

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH INKLUSI SD TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN TAMANSISWA

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Nuhraini Palipung NIM 12110241055

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

“MOTTO”

“Keramahtamahan dalam perkataan menciptakan keyakinan, keramahtamahan dalam pemikiran menciptakan kedamaian, keramahtamahan dalam memberi

menciptakan kasih” – Lao Tse

“Hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi, semakin seseorang paham tentang perbedaan, dia akan mengerti makna kebersamaan”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan, kemampuan, dan petunjuk kepada saya dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Tugas akhir skripsi ini saya persembahkan kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Martinus Kendek dan Ibu Rusnawati, yang selalu ingin saya bahagiakan dan menjadi motivasi saya dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Serta yang selalu mendoakan, memberi semangat, perhatian, dan nasihat yang sangat berarti.


(7)

vii

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH INKLUSI SD TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN TAMANSISWA

YOGYAKARTA Oleh Nuhraini Palipung NIM 12110241055

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang implementasi pendidikan multikultural, faktor pendukung dan penghambat, serta upaya mengatasi hambatan dalam implementasi pendidikan multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Subjek penelitian adalah Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa. Objek penelitian berupa strategi implementasi pendidikan multikultural di sekolah, serta faktor pendukung dan penghambatnya. Setting penelitian bertempat di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta. Pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis deskriptif dengan tiga langkah, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan strategi yang dilakukan sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural melalui, (1) integrasi kedalam kegiatan pengembangan diri secara terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan pengembangan diri secara terprogram berupa ekstrakurikuler, dan kegiatan pengembangan diri tidak terprogram terdiri dari kegiatan rutin yang dilakukan secara terjadwal, kegiatan spontan dan kegiatan keteladanan. (2) integrasi kedalam mata pelajaran PKn, IPS dan Ketamansiswaan. Pengintegrasian dalam mata pelajaran dilakukan pada setiap pokok bahasan atau tema dalam pembelajaran. Faktor pendukung yaitu iklim sekolah, kurikulum sekolah, sarana dan prasarana, peran guru, program dan kegiatan sekolah, serta peserta didik. Faktor penghambat yaitu sikap individu, kurangnya media keberagaman, poster-poster tentang keberagaman dan nilai-nilai multikultural, dan kurangnya sosialisasi. Selain itu pendidikan multikultural dalam bentuk kegiatan praktek di luar sekolah secara khusus masih kurang dilakukan sekolah. Upaya untuk mengatasi hambatan diantaranya dengan menekankan tentang nilai-nilai menghargai, menghormati dan toleransi. Didukung dengan kebijakan sekolah yang melaksanakan pendidikan budi pekerti luhur, menambah poster-poster keberagaman, sosialisasi, melakukan kegiatan di luar sekolah dengan mengikutsertkan siswa dalam berbagai kegiatan di luar sekolah.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah Inklusi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pendidikan di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penelitian.

2. Bapak Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penelitian.

3. Bapak Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan.

4. Bapak L. Hendrowibowo, M.Pd, sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran yang mendukung, serta memberikan arahan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesian tugas akhir skripsi ini.

5. Bapak Drs. Petrus Priyoyuwono, M.Pd sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dalam rencana studi selama perkuliahan.


(9)

ix

6. Bapak dan Ibu Dosen Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan kepada penulis.

7. Kepala Sekolah dan Bapak Ibu Guru SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian serta memberikan infomasi dan bantuan dalam melaksanakan penelitian.

8. Seluruh Staf dan Siswa Siswi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta.

9. Sahabat-sahabat tersayang, Farida Yuswardana, Alvira Pranata, Anggi Wulandini, dan Asa Muharorroh, yang selalu mendukung dan memberi semangat dalam menyusun tugas akhir skripsi ini.

10.Seluruh teman-teman Kebijakan Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

11.Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan tugas akhir skripsi ini yang belum disebutkan di atas.

Yogyakarta, 8 September 2016 Penulis,


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Implementasi ... 12

B. Pendidikan Multikultural ... 13

1. Pendidikan ... 13

2. Pendidikan Multikultural ... 16

3. Tujuan Pendidikan Multikultural ... 23

4. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional ... 29

5. Bentuk Pengembangan dan Pendekatan Pendidikan Nasional ... 30

6. Program dan Dimensi Pendidikan Multikultural ... 33

a. Program Pendidikan Multikultural ... 33


(11)

xi

7. Konsep Pembelajaran Multikultural ... 42

a. Pengertian Pembelajaran Multikultural ... 42

b. Tujuan Pembelajaran Multikultural ... 44

c. Dasar-dasar Pembelajaran Multikultural ... 45

8. Peranan Guru dan Sekolah dalam Penerapan Pendidikan Multikultural ... 46

C. Penelitian yang Relevan ... 50

D. Kerangka Berpikir ... 52

E. Pertanyaan Penelitian ... 53

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 54

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 55

C. Instrumen Penelitian ... 55

D. Subjek dan Objek Penelitian ... 56

E. Teknik Pengumpulan Data ... 56

F. Teknik Analisis Data ... 59

G. Keabsahan Data ... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa ... 63

B. Hasil Penelitian ... 68

1. Implementasi Pendidikan Multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa ... 68

a. Pemahaman Warga Sekolah tentang Pendidikan Multikultural .... 68

b. Interaksi Warga Sekolah ... 73

c. Nilai-nilai yang Ditanamkan dalam Implementasi Pendidikan Multikultural ... 78

d. Strategi Implementasi Pendidikan Multikultural ... 91

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Pendidikan Multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa ... 100

a. Faktor Pendukung Implementasi Pendidikan Multikultural ... 100


(12)

xii

C. Pembahasan ... 108

1. Implementasi Pendidikan Multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa ... 108

a. Pemahaman Tentang Pendidikan Multikultural dan Interaksi Warga Sekolah ... 108

b. Integrasi Pendidikan Multikultural dalam Kegiatan Pengembangan Diri... 116

c. Integrasi Pendidikan Multikultural dalam Mata Pelajaran ... 122

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Pendidikan Multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa ... 129

a. Faktor Pendukung Implementasi ... 129

b. Faktor Penghambat Implementasi ... 133

3. Upaya Mengatasi Hambatan dalam Implementasi Pendidikan Multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa ... 135

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 138

B. Saran ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 141


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Observasi ... 57

Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 58

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi ... 59

Tabel 4. Rombongan Belajar ... 65

Tabel 5. Jumlah Peserta Didik ... 66

Tabel 6. Jumlah Tenaga Pendidik ... 66

Tabel 7. Jumlah Tenaga Kependidikan ... 66

Tabel 8. Sarana dan Prasarana yang dimiliki Sekolah ... 67


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Wawancara ... 144

Lampiran 2. Pedoman Observasi ... 146

Lampiran 3. Pedoman Dokumentasi ... 147

Lampiran 4. Transkrip Wawancara ... 148

Lampiran 5. Catatan Lapangan ... 164

Lampiran 6. Profil Sekolah ... 171

Lampiran 7. Surat Izin Penelitian ... 180


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Multikultural berasal dari adanya suatu kebudayaan. Secara etimologi, multikultural terdiri dari multi yang berarti “banyak”, kultur yang berarti “budaya”. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas banyak struktur kebudayaan yang disebabkan oleh banyaknya suku bangsa yang memiliki struktur budaya yang berbeda-beda. Namun pada kenyataannya kondisi demikian tidak diiringi dengan keadaan sosial yang membaik. Bahkan banyak terjadinya ketidak teraturan dalam kehidupan sosial di Indonesia pada saat ini yang menyebabkan terjadinya berbagai ketegangan dan konflik. Terjadinya konflik dalam negara yang majemuk atau multikultur merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri, karena dalam negara yang masyarakatnya multikultural pada satu sisi menyimpan banyak kekuatan dari masing-masing kelompok, namun disisi lainnya menyimpan benih perpecahan apabila tidak dikelola dengan baik dan rasional.

Sikap toleransi di Indonesia sebagai negara yang multikultural, dapat terjadi jika terjalin komitmen untuk saling hidup rukun dan menghormati. Penduduk Indonesia banyak yang belum sepenuhnya memiliki wawasan yang luas tentang kebhinekaan di Indonesia sehingga gampang memunculkan konflik laten yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Toleransi antar umat beragama di masyarakat masih sangat minim, itulah fakta yang sekarang terjadi di Indonesia. Sebuah ironi karena terjadi di negara yang dilandasi dengan keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika.


(16)

2

Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus-kasus menunjukkan kepada kita terkait permasalahan yang disebabkan oleh keragaman di Indonesia, apabila hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa. Di Indonesia, kemajemukan suku merupakan salah satu diri masyarakat Indonesia yang sering dibanggakan. Banyak orang belum juga menyadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, penting untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak awal pada masyarakat Indonesia agar mekanisme dan nilai-nilai substantif dalam demokrasi memuat nilai humanisme (kemanusiaan) seperti keadilan, empati, kebersamaan, dan mampu menerima perbedaan.

Multikultural selalu ada didalam lingkungan masyarakat. Apalagi saat ini teknologi transportasi dan teknologi informasi telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, kemajemukan merupakan inevitable destiny di tingkat global maupun dalam suatu negara itu sendiri. “Secara teknis dan teknologis kita telah mampu tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, namun spiritual kita belum memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan budaya, antara lain mencakup perbedaan agama, etnisitas dan kelas sosial” (Khisbiyah, 2000 dalam Jurnal Ilmiah Farida Hanum). Seiring dengan


(17)

3

perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh adanya globalisasi banyak terjadi krisis sosial-budaya terjadi di masyarakat. Misalnya seperti merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial. Semakin luasnya penyebaran narkotika, maraknya tawuran antar pelajar, bullying, kenakalan remaja, dan penyakit sosial lainnya.

Dilihat dari berbagai kondisi dan konflik yang banyak terjadi terkait dengan keberagaman, idealnya negara harus memiliki komitmen untuk bertindak. Namun seringkali negara melalui aparat yang berwenang dinilai selalu hadir terlambat sehingga kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ada upaya untuk mencegah sejak dini. Dalam konteks demikian, dibutuhkan pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai multikultural sejak dini, sehingga generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan sebagai sebuah kelebihan bahkan keunggulan, melihat keberagaman sebagai pola perilaku khas di tengah-tengah negeri yang memang telah ditakdirkan sebagai bangsa multibudaya.

Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Sampai kapan pun, akar kekerasan akan menjadi ancaman laten selama nilai-nilai primordialisme dipahami secara naif dan sempit. Salah satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun generasi masa depan yang sadar budaya semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan multikultural di sekolah. Perlu disadari bahwa proses pendidikan adalah proses pembudayaan dan cita-cita persatuan bangsa merupakan unsur budaya nasional. Pendidikan juga turut andil dalam pembentukan sikap toleransi. Di tengah kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini,


(18)

4

memang bukan hal mudah untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan multikultural dalam dunia persekolahan.

Pendididikan multikultural menawarkan alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Pendekatan melalui pendidikan multikultural yang terpenting, strategi pendidikan tidak hanya bertujuan agar siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran siswa agar dapat menerima dan menghargai perbedaan.

Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka atau prejudice untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in ones’s home nation). Penerapan pendidikan multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.

Pendidikan merupakan wahana paling tepat untuk membangun kesadaran multikultural. Karena, dalam tataran ideal, pendidikan seharusnya berperan sebagai “juru bicara” bagi terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang


(19)

5

terbebas dari kooptasi negara. Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan paradigma dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu kearah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan.

Pendidikan multikultural di Indonesia relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat indonesia yang heterogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 lalu hingga saat ini. Pendidikan multikultural harus dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi sebagai penyangga kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (Syafiq A. Mughni, 2014 : viii dalam Choirul Mahfud).

Sekolah merupakan lembaga yang tepat dalam membumikan pendidikan multikultural ditengah-tengah kekhawatiran akan bahaya disintegrasi bangsa. Dalam pendidikan multikultural yang diselenggarakan disekolah, seluruh elemen sekolah memiliki peran sentral. Seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa.

Selain guru, kepala sekolah juga mempunyai peranan cukup vital dalam pendidikan multikultural dimana kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya dapat menuntun kedalam suatu kondisi yang sangat menuntut pemahaman kepada perbedaan dan keragaman yang ada. Melalui pendidikan multikultural disekolah,


(20)

6

subjek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi.

Pada beberapa kondisi, sekolah belum mampu menerapkan pendidikan multikultural dengan seutuhnya. Wulandari (2013), dalam desertasinya menyimpulkan bahwa setelah menggali kehidupan di kedua sekolah dari perspektif pendidikan multikultural, baik kepala sekolah, guru, siswa, dan orangtua siswa diperoleh gambaran bahwa pihak-pihak tersebut pada dasarnya telah memiliki kesadaran dan pemahaman akan perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap orang.

Pemikiran dan praktik kepala sekolah sudah sesuai dengan nilai-nilai multikultural, namun terdapat beberapa hal yang praktiknya tidak sesuai, diantaranya tidak menyediakan guru agama Katolik. Pemikiran dan praktik guru tentang pendidikan multikultural sudah sesuai, namun pemikiran siswa tidak sesuai dengan konsep pendidikan multikultural. Tetapi dalam kesehariannya keduanya telah mampu untuk menerapkan nilai-nilai multikultural dalam praktik kehidupan disekolah.

Mengenai fokus pendidikan multikultural, H.A.R Tilaar (2002 : 179) mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok sosial, agama, dan kultural mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti ataupun pengakuan terhadap orang lain yang berbeda. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.


(21)

7

Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap indifference (ketidakacuhan) dan non recognition (tiadanya pengakuan), tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang, baik itu sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya.

Dalam konteks dekriptif, pendidikan multikultural seyogyanya berisikan tentang tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethno-cultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokratisasi, pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan. Adapun pelaksanaan pendidikan multikultural tidaklah harus mengubah kurikulum. Pelajaran pendidikan multikultural dapat terintegrasi pada mata pelajaran lainnya. Hanya saja diperlukan pedoman bagi guru untuk menerapkannya. Utamanya kepada para siswa perlu diajari mengenai toleransi, kebersamaan, HAM, demokratisasi, dan saling menghargai. Hal tersebut sangat berharga bagi bekal hidup mereka di kemudian hari dan sangat penting untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.

Sekolah memegang peranan penting dalam menerapkan nilai multikultural pada siswa sejak dini. Bila sejak awal mereka telah memiliki nilai-nilai kebersamaan, toleran, cinta damai, dan menghargai perbedaan, maka nilai-nilai tersebut akan tercermin pada tingkah laku mereka sehari-hari karena terbentuk pada kepribadiannya. Bila hal tersebut berhasil dimiliki para generasi muda kita,


(22)

8

maka kehidupan mendatang dapat diprediksi akan relatif damai dan penuh penghargaan antara sesama dapat terwujud.

Di Yogyakarta terdapat salah satu sekolah yaitu SD Taman Muda Ibu Pawiyatan. Sekolah ini termasuk sekolah inklusi yang memiliki beragam latar belakang siswa dengan berbagai macam karakter anak, serta memiliki siswa berkebutuhan khusus di dalamnya. SD Taman Muda Ibu Pawiyatan juga merupakan sekolah yang berbasis seni dan budaya dan menerapkan pendidikan budi pekerti luhur. Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah dijelaskan, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana implementasi pendidikan multikultural di sekolah inklusi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.


(23)

9 B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah, diantaranya :

1. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

2. Terjadinya konflik dalam negara yang majemuk atau multikultur merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri.

3. Banyak kasus-kasus yang menunjukkan terkait permasalahan yang disebabkan oleh keragaman misalnya meluasnya penyebaran narkotika, maraknya tawuran antar warga maupun pelajar, kasus-kasus bullying, kenakalan remaja dan penyakit-penyakit sosial lainnya.

4. Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh adanya globalisasi banyak terjadi krisis sosial-budaya yang terjadi di masyarakat. 5. Sekolah merupakan lembaga yang tepat dalam membumikan pendidikan

multikultural namun beberapa sekolah belum mampu menerapkan pendidikan multikultural secara utuh.


(24)

10 C. Rumusan Masalah

Berdasarkan beberapa identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah yang dipilih dan akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana implementasi pendidikan multikultural di Sekolah Inklusi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa?

2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi pendidikan multikultural di Sekolah Inklusi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa?

3. Bagaimana upaya mengatasi hambatan dalam implementasi pendidikan multikultural di Sekolah Inklusi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan implementasi pendidikan multikultural di Sekolah Inklusi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

2. Mendeskripsikan faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi pendidikan multikultural di Sekolah Inklusi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

3. Mendeskripsikan cara mengatasi hambatan dalam implementasi pendidikan multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.


(25)

11 E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini antara lain : Manfaat Teoritis :

1. Berupa penambahan teori, pengembangan ide dan konsep-konsep dasar tentang kebutuhan terkait implementasi pendidikan multikultural.

Manfaat Praktis :

1. Temuan penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi bagi sekolah dalam upaya penerapan pendidikan multikultural yang telah dilakukan sekolah.

2. Menambah pengetahuan pendidik tentang cara mengembangkan ide dan konsep yang sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didik dalam proses pembelajaran.

3. Hasil penelitian ini bisa juga dipergunakan sebagai referensi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian tentang pendidikan multikultural.

4. Secara khusus hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan dan referensi teoritis-empiris bagi masyarakat dan pemerintah dalam mematangkan kebijakan yang terkait dengan sosialisasi dan penyiapan pendidikan multikultural di sekolah.


(26)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Implementasi

Menurut Nurdin Usman dalam bukunya yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, “Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan” (Usman, 2002: 70). Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya.

Menurut Guntur Setiawan dalam bukunya yang berjudul Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan, “Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif” (Guntur Setiawan, 2004: 39). Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa implementasi yaitu merupakan proses untuk melaksanakan ide, proses atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan melakukan penyesuaian dalam tubuh birokrasi demi terciptanya suatu tujuan yang bisa tercapai dengan jaringan pelaksana yang bisa dipercaya.

Dari pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme


(27)

13

mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh obyek berikutnya. B. Pendidikan Multikultural

1. Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata didik, mendidik berarti memelihara dan membentuk latihan. Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”. Poerbakawatja dan Harahap (Sugiyono, 2012: 3) menyatakan bahwa “pendidikan merupakan usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang selalu diartikan sebagai kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya”.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

T.Sulistyono dalam Dwi Siswoyo (2011: 1) menyatakan bahwa, “pendidikan sebagai usaha sadar bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan pada landasan pemikiran tertentu”. Dengan kata lain, upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan, didasarkan atas pandangan hidup atau filsafat hidup, bahkan latar belakang sosiokultural tiap-tiap masyarakat, serta


(28)

14

pemikiran-pemikiran psikologis tertentu. Dasar pendidikan adalah landasan berpijak dan arah bagi pendidikan sebagai wahana pengembangan manusia dan masyarakat. Walaupun pendidikan itu universal, namun bagi suatu masyarakat pendidikan akan diselenggarakan berdasarkan filsafat dan atau pandangan hidup serta berlangsung dalam latar belakang sosial budaya masyarakat tersebut.

Pendidikan dalam pengertian maha luas, tempat berlangsungnya tidak hanya terbatas dalam satu jenis lingkungan hidup tertentu dalam bentuk sekolah. Tetapi berlangsung dalam segala bentuk lingkungan hidup manusia. Pendidikan sebagai pengalaman belajar berlangsung baik dalam lingkungan budaya, masyarakat hasil rekayasa manusia, maupun dalam lingkungan alam yang terjadi dengan sendirinya tanpa rekayasa manusia.

Sementara itu, dalam pengertian sempit, pendidikan adalah sekolah atau persekolahan. Sekolah adalah lembaga pendidikan formal sebagai salah satu hasil rekayasa peradaban manusia. Sekolah sebagai hasil rekayasa manusia diciptakan untuk menyelenggarakan pendidikan; penciptaannya berkaitan erat dengan penguasaan ilmu pengetahuan, juga dengan berkembang dan tumbuhnya kesadaran masyarakat yang semakin lama semakin meningkat.

Fungsi pendidikan merupakan serangkaian tugas atau misi yang diemban dan harus dilaksanakan oleh pendidikan (Dirto Hadisusanto, 1995: 57). Tugas atau misi pendidikan itu dapat tertuju pada diri manusia yang di didik maupun kepada masyarakat bangsa di tempat ia hidup. Bagi dirinya sendiri, pendidikan berfungsi menyiapkan dirinya agar menjadi manusia secara utuh, sehingga ia


(29)

15

dapat menunaikan tugas hidupnya secara baik dan dapat hidup wajar sebagai manusia.

Fungsi pendidikan terhadap masyarakat setidaknya ada dua bagian besar, yaitu fungsi preserveratif dan fungsi direktif. Fungsi preserveratif dilakukan dengan melestarikan tata sosial dan tata nilai yang ada dalam masyarakat, sedangkan fungsi direktif dilakukan oleh pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial, sehingga dapat mengantisipasi masa depan. Selain itu pendidikan mempunyai fungsi (1) menyiapkan sebagai manusia, (2) menyiapkan tenaga kerja dan (3) menyiapkan warga negara yang baik.

Ada bermacam-macam tujuan pendidikan menurut para ahli, M.J. Langeveld (Dwi Siswoyo, 2011: 26) mengemukakan ada enam macam tujuan pendidikan, yaitu:

a. Tujuan umum, total atau akhir, adalah tujuan paling akhir dan merupakan keseluruhan/kebulatan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan. Bagi Lavengeld tujuan umum atau tujuan akhirnya adalah kedewasaan yang salah satu cirinya adalah tetap hidup dengan pribadi mandiri.

b. Tujuan khusus, adalah pengkhususan tujuan umum atas dasar berbagai hal, misalnya usia, jenis kelamin, intelegensi, bakat, minat, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan persyaratan pekerjaan dan sebagainya.

c. Tujuan tak lengkap, adalah tujuan yang hanya menyangkut sebagian aspek kehidupan manusia. Misalnya aspek psikologis, biologis, dan sosiologis saja. Salah satu aspek psikologis misalnya hanya mengembangkan emosi atau pikirannya saja.

d. Tujuan sementara, adalah tujuan yang hanya dimaksudkan untuk sementara saja, sedangkan kalau tujuan sementara itu sudah dicapai, lalu ditinggalkan dan diganti dengan tujuan yang lain.

e. Tujuan intermedier, adalah tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok. f. Tujuan insidental, adalah tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu,


(30)

16 2. Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.

James Banks (Choirul Mahfud,1993: 3) mendefinisikan :

Pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, ataupun negara.

Ia mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai ide, gerakan, pembaharuan pendidikan, dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa laki-laki dan perempuan, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.

Dalam pendidikan multikultural, dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat lokal sampai kepada masyarakat dunia global. James Banks (Choirul Mahfud, 2014: 202) mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap


(31)

17 identitas etnik atau cultural identity, yaitu:

a. Ethnic Psychological Captivity. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotipe kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior. b. Ethnic Encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul

kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan tinggi, dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.

c. Ethnic Identifities Clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka sesorang lebih dahulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsanya sendiri. d. The Ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap

budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.

e. Multicultural Ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya. f. Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa

lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterikatannya terhadap budaya bangsa dan budaya global.

Pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu : Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi


(32)

18

dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.

Trice dan Beyer (J.David Smith, 2015: 379) mengusulkan empat jenis kebiasaan yang dapat membantu meningkatkan solidaritas kelompok dalam sebuah organisasi yang dapat diterapkan dalam kelas. Inilah teknik yang dapat membantu siswa merasa bersama yang dapat membentuk mereka satu kelompok, meskipun setiap orang memiliki perbedaan khusus. Kebiasaan tersebut meliputi : a. Rites of Enhancement: dikelas, kebiasaan ini dapat dicapai guru dan

teman-teman dengan mengenali pencapaian individu dan kelompok (misalnya, mendorong siswa untuk memuji orang lain atas pekerjaan yang baik).

b. Rites of Conflict Reduction: temukan cara dalam mengatasi stres dan tekanan serta aktivitas kelompok yang dapat dinikmati dan mendorong untuk tertawa. c. Rites of Integration: aktivitas yang dapat membantu siswa belajar mengenai

nilai-nilai yang mereka bagi (misalnya, diskusi mengenai masalah-masalah penting bagi kelompok seusianya, role-playing, membaca cerita, dan menyuruh siswa mendiskusikan artinya).

d. Rites of Renewal: memberi bantuan siswa yang akan memotivasi mereka dan membantu meningkatkan moral, misalnya tutorial satu per satu dengan materi-materi yang sulit.

e. Rites of Passage: kelompok mengetahui hari ulang tahun dan peristiwa hidup yang penting mengenai orang lain (misalnya, hari ulang tahun seseorang saudara, prestasi di pramuka, dan sebagainya).


(33)

19

Menurut Prof. HAR Tilaar (Choirul Mahfud, 2014: 178) :

Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai Perang Dunia (PD) kedua. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas (keberagaman) di negara-negara barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Azra (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 197) menjelaskan:

Pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia, seperti toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, serta subjek-subjek lain yang relevan.

Pendidikan multikultural (multicultural education) tidak persis sama dengan enkulturasi ganda (multiple enculturation). Sizemore (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 197) membedakan pendidikan multikultural dengan enkulturasi ganda. Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Enkulturasi lebih menekankan pada integrasi struktural yang mengaburkan makna akulturasi dengan enkulturasi. Pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pemerolehan pengetahuan untuk dapat mengontrol orang lain demi sebuah kehidupan (survival).

b. Pendidikan multikultural, sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti (difference) atau politics of recognition, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

Secara operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi pembelajar (multiple learning environments) dan yang sesuai dengan kebutuhan akademis ataupun sosial anak didik.


(34)

20

Adapun definisi pendidikan multikultural yang diadopsi dari Suzuki dan Pramono (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 198) didasarkan pada asumsi awal bahwa sekolah dapat memainkan peran besar dalam mengubah struktur sosial sebuah masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah satu-satunya lembaga sosial yang dapat mengubah struktur sosial sebuah masyarakat, tetapi sekolah dapat menjadi wahana atau alat bagi perubahan sosial dari masyarakat. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dimaknai hal-hal sebagai berikut.

a. Guru-guru dapat membantu siswanya mengonseptualisasi dan menumbuhkan aspirasi tentang struktur sosial alternatif serta memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk berubah. Definisi dan tujuan inilah yang akan dikembangkan menjadi program pendidikan multikultural di sekolah-sekolah yang memiliki latar belakang dan kebhinnekaan sosio-historis, budaya, ekonomi dan psikologi.

b. Pendidikan multikulturalisme dalam konteks Indonesia penting untuk dikembangkan. Hal ini mengingat faktor kebhinekaan bangsa Indonesia dan faktor-faktor lain yang menjadi pengalaman bangsa Indonesia.

c. Terjadinya peristiwa disintegrasi sosial dan konflik selama ini, semakin perlu untuk diantisipasi secara tepat. Hal yang paling memungkinkan adalah melalui program pendidikan multikulturalisme.

d. Kesungguhan dalam merumuskan pendidikan multikulturalisme dalam konteks Indonesia yang tepat semangat dan tepat tujuan (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 198).

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non-Eropa. Adapun secara luas, pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan agama.


(35)

21

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri :

a. Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya” (berperadaban).

b. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).

c. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis). d. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak

didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Mengenai fokusnya, fokus pendidikan multikultural tidak lagi diarahkan hanya pada kelompok rasial, agama, dan kultural domain atau mainstream. Pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individual yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.

Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference) atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas). Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup


(36)

22

subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang.

Apa yang dipikirkan oleh seseorang tentang dirinya berjalin dengan penerimaan dan dukungan yang dirasakan dari orang lain. Kehidupan internal seseorang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan eksternal. Siccone (J.David Smith, 2015: 379) membuat konsep interaksi antara diri sendiri dan orang lain dengan dimensi-dimensi berikut ini :

a. Independence, ini adalah pengalaman menganggap dirinya berharga, ini menyangkut perasaan bahwa seseorang adalah mandiri dan unik di dunia ini. Meliputi persoalan siapa dan apa membuat saya istimewa.

b. Interdependence, inilah pengakuan bahwa saya perlu orang lain. Inilah rasa yang dibutuhkan untuk dimiliki keluarga, komunitas, sekolah, dan masyarakat, meliputi kebutuhan persahabatan, afiliasi, dan hubungan.

c. Personal Responsibility, inilah pengakuan untuk melakukan kontrol dalam kehidupan seseorang. Menyangkut rasa, mampu meraih tujuan, pengarahan diri, dan kemampuan.

d. Tanggung jawab Sosial, adalah kemampuan untuk bergerak pada kepentingan sendiri dan mau menerima tanggung jawab kehidupan di sekitar. Ini merupakan suatu keyakinan yang bukan saja pentingnya menerima orang lain, tapi juga sanggup bahwa saya harus menolong orang lain.

Tilaar (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 202) menegaskan bahwa:

Pengertian tentang multikultural mencakup pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural harus mencakup subjek-subjek, seperti toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan. Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, ada beberapa pendekatan yaitu :


(37)

23

a. Pendidikan tentang perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme b. Pendidikan tentang perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan c. Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan

d. Pendidikan dwi budaya

e. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia. 3. Tujuan Pendidikan Multikultural

Tujuan utama pendidikan multikultural adalah mengubah pendekatan pelajaran dan pembelajaran ke arah memberikan peluang yang sama pada setiap anak. Jadi, tidak ada yang dikorbankan demi persatuan. Untuk itu, kelompok-kelompok harus damai, saling memahami, mengakhiri perbedaan, tetapi tetap menekankan pada tujuan umum untuk mencapai persatuan. Siswa ditanamkan pemikiran lateral, keanekaragaman dan keunikan itu dihargai. Hal ini berarti harus ada perubahan sikap, perilaku, dan nilai-nilai khususnya civitas akademika sekolah.

Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk membantu siswa: a. Memahami latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat;

b. Menghormati dan mengapresiasi kebhinnekaan budaya dan sosio-historis etnik;

c. Menyelesaikan sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh purbasangka; d. Memahami faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang


(38)

24

e. Meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis masalah-masalah rutin dan isu melalui proses demokratis melalui sebuah visi tentang masyarakat yang lebih baik, adil dan bebas;

f. Mengembangkan jati diri yang bermakna bagi semua orang.

Perbedaan pada diri anak didik yang harus diakui dalam pendidikan multikultural, antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras, kelompok pemeluk agama, agama, jenis kelamin, kondisi ekonomi, daerah/asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur dan lain-lain (Baker, dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 199).

Pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural. Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling), atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal.

Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka, tetapi justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab, karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal diluar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih mengasosiasikan kebudayaan dengan


(39)

25

kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus-menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan.

Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotipe menurut identitas etnik mereka, sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi alam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun non formal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antar pribumi dan non pribumi.


(40)

26

Dikotomi semacam ini akan membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengambangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam aktivitas pendidikan mana pun, peserta didik merupakan sasaran (objek) sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu memahami ciri-ciri umum peserta didik, antara lain:

a. Dalam keadaan sedang berdaya. Maksudnya, peserta didik dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.

b. Memiliki keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. c. Memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

d. Melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual.

Menurut Farida Hanum (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 200), nilai-nilai inti dari pendidikan multikulktural berupa demokratis, humanisme, dan pluralisme.

a. Nilai Demokratisasi atau keadilan, merupakan sebuah istilah yang menyeluruh dalam segala bentuk, baik keadilan budaya, politik, maupun sosial. Keadilan merupakan bentuk bahwa setiap insan mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.

b. Nilai Humanisme atau kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas, heterogenitas, dan keragaman manusia. Keragaman itu dapat berupa ideologi, agama, paradigma, suku bangsa, pola pikir, kebutuhan, tingkat ekonomi dan sebagainya.


(41)

27

c. Nilai Pluralisme bangsa, adalah pandangan yang mengakui adanya keragaman dalam suatu bangsa, seperti yang ada di Indonesia. Istilah plural mengandung arti berjenis-jenis, tetapi pluralisme bukan berarti sekedar pengakuan terhadap hal-hal tersebut, melainkan memiliki implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Oleh sebab itu, pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi, tetapi tidak mengakui adanya pluralisme dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai segregesi. Pluralisme berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas.

Ada tiga persepektif multikulturalisme dalam sistem pendidikan, yaitu perspektif cultural assimilation, perspektif cultural pluralism, dan perspektif cultural synthesis.

a. Perspektif Cultural Assimilation

Cultural assimilation merupakan model transisi dalam sistem pendidikan yang menunjukkan proses asimilasi anak atau subjek didik dari berbagai kebudayaan atau masyarakat subnasional ke dalam suatu “core society”. b. Perspektif Cultural Pluralism

Cultural pluralism merupakan suatu sistem pendidikan yang menekankan pada pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat subnasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing. c. Perspektif Cultural Synthesis

Cultural synthesis merupakan sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis yang menekankan pentingnya proses terjadinya elektisisme dan sintesis dalam diri anak atau subjek didik dan masyarakat serta terjadinya perubahan dalam berbagai kebudayan dan masyarakat subnasional.


(42)

28

Dalam mayarakat Indonesia yang sangat majemuk, diperlukan aplikasi pilihan perspektif pendidikan yang ketiga. Perspektif pendidikan yang demikian memberikan peran pada pendidikan multikultural sebagai instrumen bagi pengembangan eksistensisme dan sintesis beragam kebudayaan subnasional pada tingkat individual dan masyarakat serta bagi promosi terbentuknya suatu melting pot dari beragam kebudayaan dan masyarakat subnasional.

“Pilihan perspektif pendidikan sintesis multicultural memiliki rasional paling dasar dalam hakikat tujuan suatu pendidikan multikultural yang dapat diidentifikasi melalui tiga tujuan ekstrand, yaitu tujuan attitudinal, tujuan kognitif, dan tujuan instruksional”, Nasikun (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 210). a. Pada Tingkat Attitudinal

Pendidikan multikultural berfungsi untuk menyemai dan mengembangkan sensitivitas kultural, toleransi kultural, penghormatan pada identitas kultural, pengembangan sikap budaya responsif serta keahlian untuk melakukan penolakan dan resolusi konflik.

b. Pada Tingkat Kognitif

Pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi pencapaian kemampuan akademis, pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan kebudayan, kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku kultutral, dan kemampuan membangun kesadaran kritis tentang kebudayaan sendiri. c. Pada Tingkat Instruksional

Pendidikan multikultural bertujuan untuk mengembangkan kemampuan melakukan koreksi atas distorsi-distorsi, stereotipe-stereotipe, peniadaan dan mis-informasi tentang kelompok-kelompok etnis dan kultural yang dimuat dalam buku dan media pembelajaran, menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup dalam pergaulan multikultural, mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal, menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi dan membentuk menyediakan klarifikasi dan penjelasan tentang dinamika perkembangan kebudayaan.


(43)

29

4. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional

Menurut Tilaar (2004) dan Benni (2006) (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 208), pendidikan multikultural memiliki dimensi sebagai berikut:

a. Right to culture dan identitas budaya lokal

Multikulturalisme didorong oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi, akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga pada hak-hak lain, yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di Indonesia memerlukan masa transisi, yaitu seakan-akan menurunnya rasa kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena yang disebut budaya Indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita. Identitasi budaya makro, yaitu budaya Indonesia yang sedang menjadi harus terus-menerus dibangun atau merupakan proses yang tanpa ujung.

b. Kebudayaan indonesia yang menjadi

Maksud kebudayaan Indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro Indonesia. Hal tersebut merupakan sistem nilai baru yang kemudian memerlukan proses yang perwujudannya melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu, di tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan diwujudkan, yaitu sistem nilai keindonesiaan. Hal tersebut tidak mudah karena memerlukan paradigm shift dalam proses pendidikan bangsa Indonesia.

c. Pendidikan multikultural yang normatif

Konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat dibunakan untuk mewujudkan cita-cita. Konsep pendidikan multikultural normatif diharapkan mampu memperkuat identitas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia.

d. Pendidikan multikultural rekonstruksi sosial

Suatu rekonstruksi sosial, artinya upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada saat ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perseorangan ataupun suatu suku bangsa Indonesia telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Semua ini akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.

e. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan dalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Adapun kehidupan sosial-budaya di Indonesia menuntut pendidikan hati (pedagogy of heart), yaitu diarahkan pada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistis.


(44)

30

f. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa.

TAP/MPR RI Tahun 2001 No. VI dan VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan Multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003 (UUSPN 2003).

5. Bentuk Pengembangan dan Pendekatan Pendidikan Multikultural

Bentuk pengembangan pendidikan multikultural di setiap negara berbeda-beda sesuai dengan permasalahan yang dihadapi setiap negara. Banks (1993) (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 211) mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum ataupun pembelajaran di sekolah yang jika dicermati relevan untuk diimplementasikan di Indonesia.

a. Pendekatan kontribusi (the contributions approach)

Level ini yang paling sering dilakukan dan paling luas digunakan dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis. Cirinya adalah dengan memasukkan pahlawan-pahlawan dari suku bangsa/etnis dan benda-benda budaya ke dalam pelajaran yang sesuai. Hal inilah yang selama ini telah dilakukan di Indonesia.

b. Pendekatan aditif (aditif approach)

Pada tahap ini dilakukan penambahan materi, konsep, tema, perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya. Pendekatan aditif ini sering dilengkapi dengan buku, modul, atau bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa mengubah secara substansif. Pendekatan aditif merupakan fase awal dalam melaksanakan pendidikan multikultural karena belum menyentuh kurikulum utama.

c. Pendekatan transformasi (the transformation approach)

Pendekatan transformasi berbeda secara mendasar dengan pendekatan kontribusi dan aditif. Pendekatan transformasi mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi dasar siswa dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama yang mungkin dipaparkan dalam materi pelajaran. Siswa boleh melihat dari perspektif yang lain.

Banks (1993) (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 212), menyebut ini sebagai proses multiple acculturation, sehingga rasa saling menghargai,


(45)

31

kebersamaan, dan cinta sesama dapat dirasakan melalui pengalaman belajar. Konsepsi akulturasi ganda (multiple acculturation conception) dari masyarakat dan budaya negara mengarah pada perspektif bahwa memandang peristiwa etnis, sastra, musik, seni, dan pengetahuan lainnya sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya secara umum. Budaya kelompok dominan hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya yang lebih besar.

d. Pendekatan aksi sosial (the social action approach)

Pendekatan aksi sosial mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, tetapi menambah komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pembelajaran dan pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan kritik sosial dan mengajarkan keterampilan membuat keputusan untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh pendidikan politis, sekolah membantu siswa menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga kelompok-kelompok etnis, ras dan golongan yang terabaikan dan menjadi korban dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat.

“Peran pendidikan dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin-disiplin ilmu yang lain, seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmodernisme, antropologi, dan sosiologi” (Dawam, Ainur Rafiq, dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 206).

Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural tidak akan kehilangan arah atau berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Karena hegemoni bukan hanya di bidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.

Dengan demikian, orientasi yang seharusnya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi hal-hal berikut.


(46)

32 a. Orientasi Kemanusiaan

Kemanusiaan atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusiaan bersifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan, dan agama.

b. Orientasi Kebersamaan

Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa pada kedamaian yang tidak ada batasannya. Kebersamaan yang dibangun di sini adalah kebersamaan yang terlepas dari unsur kolutif ataupun koruptif. Intinya kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-masing pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.

c. Orientasi Kesejahteraan

Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan perilaku menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat. d. Orientasi Profesional

Profesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.


(47)

33

e. Orientasi Mengakui Pluralitas dan Heterogenitas

Pluralitas dan heterogenitas merupakan kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap kebenaran yang diyakini oleh banyak orang.

f. Orientasi Anti Hegemoni dan Anti Dominasi

Hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Akan tetapi, kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan, bahkan dihindari oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis.

6. Program dan Dimensi Pendidikan Multikultural a. Program Pendidikan Multikultural

1) berorientasi pada materi (content-oriented programs)

Berorientasi pada materi (content-oriented programs) merupakan bentuk pendidikan multikultural yang paling umum dapat cepat dipahami. Tujuan utamanya adalah memasukkan materi tentang kelompok budaya yang berbeda dalam kurikulum dan materi pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang kelompok-kelompok tersebut.

Dalam bentuknya yang paling sederhana bentuk program ini menambahkan aspek multikultural ke dalam kurikulum yang standar. Versi yang lebih canggih dari bentuk ini, yaitu mengubah kurikulum secara aktif dengan tiga tujuan berikut :

a) Mengembangkan muatan multikultural melalui berbagai disiplin. b) Memasukkan sejenis sudut pandang dan perspektif yang berbeda


(48)

34

c) Mengubah aturan, yang pada akhirnya mengembangkan paradigma baru bagi kurikulum.

2) berorientasi pada siswa (student-oriented programs)

Program yang berorientasi pada siswa (student-oriented programs) bertujuan untuk meningkatkan prestasi akademik kelompok siswa yang berbeda meskipun pada saat itu tidak memberikan perubahan besar dalam muatan kurikulum. Beberapa program ini tidak dirancang untuk mengubah kurikulum atau konteks sosial pendidikan, tetapi membantu siswa dengan budaya dan bahasa yang berbeda untuk menciptakan perubahan dalam mainstream pendidikan. Terdapat beberapa kategori program yang khas: a) Program yang menggunakan riset dalam model belajar yang berbasiskan

budaya (culturally-based learning styles) dalam menentukan gaya mengajar yang digunakan pada kelompok siswa tertentu;

b) Program dua bahasa (bilingual) atau dua budaya (bicultural);

c) Program bahasa yang mengandalkan bahasa dan budaya sekelompok siswa minoritas.

3) berorientasi sosial (sosially-oriented programs)

Program yang berorientasi sosial (sosially-oriented programs) berupaya mereformasi pendidikan ataupun konteks politik dan budaya pendidikan. Program ini bertujuan bukan untuk meningkatkan prestasi akademis atau menambah sekumpulan pengetahuan multikultural, melainkan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan toleransi budaya dan ras serta mengurangi bias.


(49)

35

Kategori program ini juga tidak hanya meliputi program yang dirancang untuk menstrukturkan kembali dan menyatukan sekolah, tetapi juga program ini dirancang untuk meningkatkan semua bentuk hubungan di kalangan kelompok etnik dan ras dalam program belajar bersama tanpa membedakan perbedaan yang ada pada setiap individu. Bentuk pendidikan multikultural ini menekankan “hubungan manusia” dalam semua bentuknya dan menggabungkan beberapa karakteristik dua bentuk program lainnya, yaitu program yang menuntut perbaikan kurikulum untuk menekankan kontribusi sosial yang positif dari kelompok etnis dan budaya sambil menggunakan riset tentang model belajar untuk meningkatkan prestasi siswa dan mengurangi ketegangan dalam ruang kelas.

Selain program-program tersebut, menurut Iis Arifudin (2007: 220) implementasi pendidikan multikultural dapat dilakukan di sekolah melalui beberapa cara yaitu :

a. Implementasi pendidikan multikultural terintegrasi dengan mata pelajaran

Pelaksanaan pendidikan multikultural tidaklah perlu mengubah kurikulum, pelajaran pendidikan multikultural dapat terintegrasi pada mata pelajaran yang lainnya. hanya saja diperlukan pedoman bagi guru untuk menerapkannya. yang utama kepada para siswa perlu diajari mengenai toleransi, kebersamaan, HAM, demokratisasi, dan saling menghargai. Hal tersebut sangat berharga bagi bekal hidup mereka


(50)

36

dikemudian hari dan sangat penting untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.

Jadi implementasi dan pengembangan pendidikan multikultural terintegrasi melalui mata pelajaran dapat dilakukan oleh perguruan tinggi atau sekolah dasar dan menengah sebagai berikut, 1) perguruan tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan misalnya melalui mata kuliah umum, seperti kewarganegaraan, agama, dan bahasa. 2) tingkat SD, SLTP, atau sekolah menengah (SMA), pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran dan bahan ajar seperti agama, sosiologi, dan antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran seperti diskusi kelompok atau kegiatan lainnya.

b. Implementasi pendidikan multikultural melalui kegiatan pengembangan diri.

Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta didik, dan kondisi sekolah.

1) Pengembangan diri terprogram

Pengembangan diri terprogram untuk pendidikan multikultural dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut ini:


(51)

37

a) kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler

Kegiatan intra dan ekstrakurikuler yang ada di sekolah meliputi Organisasi Siswa Intra Sekolah, Pramuka, Kegiatan Olahraga dan lain-lain yang tentunya akan diikuti oleh siswa yang berasal dari berbagai etnis, budaya. Dalam komposisi kepengurusan OSIS juga melibatkan siswa dari berbagai unsur etnis. Agar terjadi kontak fisik alamiah dan melahirkan pemahaman yang baik antar sesama maka perlu diadakan berbagai kegiatan yang berorientasi kelompok. Dimana tanpa disadari kegiatan tersebut melibatkan berbagai etnis seperti tim bola basket, voli, pentas drama, vokal grup, pramuka dan sebagainya.

Kegiatan ekstrakurikuler hendaknya juga multinilai. Sikap menghargai orang yang berbeda dari budaya lain akan lebih berkembang bila siswa mempraktikkan dan mengalami sendiri, maka model live-in, tinggal di tengah orang yang berbudaya lain dapat membantu siswa menghargai budaya lain. Misalnya siswa dari Bali ikut live-in satu minggu di tengah orang Sunda, mereka akan dapat lebih menghargai budaya Sunda. Proyek dan kepanitiaan di sekolah juga sebaiknya diatur dengan lebih bervariasi dan beragam. Setiap panitia terdiri dari aneka macam siswa dari berbagai suku, ras, agama, budaya, dan gender. Ini


(52)

38

akan lebih menumbuhkan semangat kesatuan dalam perbedaan yang ada.

b) layanan konseling

Pembina layanan konseling dalam melaksanakan kegiatan tidak boleh bersikap diskriminatif pada peserta didik, darimana pun asal usul peserta didik ketika mengalami kesulitan dalam pengembangan diri, pengembangan sosial, pengembangan kemampuan belajar dan pengembangan karir harus dilayani secara optimal. Dengan demikian tindakan dan sikap layanan konseling telah mencerminkan layanan yang berbasis multikultural karena sesuai dengan fungsi layanan konseling.

2) pengembangan diri tidak terprogram

Pengembangan diri tidak terprogram untuk pendidikan multikultural dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pembiasan, spontanitas dan pembinaan disiplin seperti bersalam-salaman antar siswa dengan guru, siswa dengan siswa dan siswa dengan tata usaha. Bentuk-bentuk keteladanan seperti sikap saling menghormati yang ditunjukan oleh guru maupun warga sekolah lainnya.

c. Implementasi pendidikan multikultural melalui muatan lokal

Muatan lokal merupakan mata pelajaran yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan. Satuan pendidikan dapat


(53)

39

menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun pelajaran, satuan pendidikan dapat menyelenggarakan lebih dari satu mata pelajaran muatan lokal untuk setiap tingkat.

Implementasi pendidikan multikultural melalui muatan lokal dapat dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pengembangan muatan lokal maksudnya muatan lokal pendidikan multikultural disesuaikan dengan potensi daerah tempat sekolah berada seperti keterkaitan muatan lokal dengan sumber daya alam (SDA), keterkaitan muatan lokal dengan sumber daya manusia (SDM), keterkaitan muatan lokal dengan geografis, keterkaitan muatan lokal dengan budaya, dan keterkaitan muatan lokal dengan historis. d. Implementasi pendidikan multikultural melalui pendidikan lingkungan

Pendidikan multikultural dapat diimplementasikan melalui pendidikan lingkungan dengan maksud agar peserta didik lebih dekat dengan keadaan lingkungan sebenarnya sehingga menumbuhkan rasa memiliki lingkungan, mencintai lingkungan dan menghargai eksistensi lingkungan yang juga bagian dari ekosistem dan mempengaruhi kehidupan manusia.

Pelajaran yang terpenting yang dapat dimaknai peserta didik dari pendidikan lingkungan, jika dikorelasikan dengan hakikat pendidikan multikultural bahwa alam lingkungan tidak pernah melakukan diskriminasi pada siapapun yang berinteraksi dengan alam seperti


(54)

40

mengeluarkan oksigen untuk dihirup siapapun tanpa membedakan suku, ras, agama dan budaya. Makna ini menjadi titik tolak bagi peserta didik bahwa pendidikan multikultural melalui pendidikan lingkungan dapat menjadi acuan dalam mengembangkan sikap-sikap yang bernuansa multikulturalisme.

Pendidikan lingkungan hidup berupa “out door activities” yang dikaitkan dengan penyadaran bahwa sesungguhnya alam juga tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap apapun. Pohon di hutan yang senantiasa menghasilkan oksigen yang sama banyaknya untuk dihirup oleh manusia dan hewan tanpa ada batasan dan diskriminasi. Lalu mengapa manusia yang memiliki akal budi tidak melakukan hal yang sama, memberi dan membantu tanpa ada diskriminasi dan pembedaan antar satu dengan lainnya.

Pelajaran yang berharga dari perilaku dan interaksi lingkungan menumbuhkan pikiran positif pada peserta didik dimana peserta didik akan memiliki pikiran positif terhadap lingkungan maka rasa peduli akan lingkungan yang lestari akan tertanam dan sikap selalu mencegah agar lingkungan alam tetap lestari menjadi perhatian peserta didik. b. Dimensi pendidikan multikultural

Dimensi–dimensi pendidikan berbasis multikultural Menurut Banks (2002), pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas, dan cara berfikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok etnis, ras, dan


(55)

41

budaya. Secara spesifik, Banks menyatakan bahwa pendidikan multikultural dapat dikonsepsikan atas lima dimensi yaitu:

1) dimensi integrasi isi/materi (content integration)

Dimensi ini berkaitan dengan upaya untuk menghadirkan aspek kultur yang ada ke ruang-ruang kelas. Seperti pakaian, tarian, kebiasaan, sastra, bahasa, dan sebagainya. Dengan demikian, diharapkan akan mampu mengembangkan kesadaran pada diri siswa akan kultur milik kelompok lain. Konsep atau nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan ke dalam materi-materi, metode pembelajaran, tugas atau latihan, maupun evaluasi yang ada dalam buku pelajaran.

2) dimensi konstuksi pengetahuan (knowledge construction)

Pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk memahami dan merekonstruksi berbagai kultur yang ada. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai,dan merayakan keragaman kultural.

3) dimensi pendidikan yang sama/adil (an equity paedagogy)

Dimensi ini menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (social). 4) dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction)

Dimensi ini sebagai upaya agar para siswa menghargai adanya berbagai kultur dengan segala perbedaan yang menyertainya. Sangat


(56)

42

penting adanya refleksi budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial ekonomi, dalam proses pendidikan multikultural. 5) dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan stuktur sosial

(empowering school culture and social stucture)

Dimensi ini merupakan tahap dilakukannya rekonstruksi baik struktur sekolah maupun kultur sekolah. Hal tersebut diperlukan untuk memberikan jaminan kepada semua siswa dengan latar belakang yang berbeda agar mereka merasa mendapatkan pengalaman dan perlakuan yang setara dalam proses pembelajaran di sekolah. Dari paparan di atas tentang dimensi-dimensi pendidikan berbasis multikultural dapat disimpulkan, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural dengan segala perbedaan yang menyertainya setra perlakuan proses belajar yang sama, sehingga diharapkan anak dapat memiliki karakter yang baik saat dewasa nanti.

7. Konsep Pembelajaran Multikultural

a. Pengertian Pembelajaran Multikultural

“Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, dan kelas” (Sleeter dan Grant, dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 282). Pembelajaran multikultural merupakan strategi pendidikan yang menfaatkan keberagaman


(57)

43

latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas.

“Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya” (Banks, dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 282). Dengan demikian, pembelajaran multikultural adalah proses pendidikan yang dapat membimbing, membentuk, dan mengondisikan siswa agar memiliki mental atau karakteristik terbiasa hidup di tengah-tengah perbedaan yang sangat kompleks, baik perbedaan ideologi, sosial, ekonomi maupun perbedaan agama.

Syafiq A. Mughni (Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 282) menjelaskan bahwa inti pembelajaran pendidikan multikultural, yaitu sebagai berikut:

1) Adanya dialog secara aktif dan partisipatoris. Artinya, selama proses pembelajaran harus dibiasakan berdialog secara intensif dan partisipatoris sehingga siswa mampu mengembangkan pengetahuannya secara bebas dan independen.

2) Adanya toleransi antar siswa, antara siswa dan guru, serta antar guru. Toleransi ini bertujuan membudayakan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan, baik perbedaan pendapat maupun ideologi yang dilakukan oleh guru ataupun siswa.


(1)

169

4 2010/2011 11 30 24 16 26 16 123 5 2011/2012 10 9 31 25 17 27 119 6 2012/2013 17 12 12 34 26 20 121 7 2013/2014 20 17 15 12 34 29 127 8 2014/2015 22 23 16 15 15 34 125 9 2015/2016 10 23 26 17 17 16 109

E. Keadaan Pendidik

No Jabatan

Status Pegawai

JUMLAH

PNS GTY GTT

5. Kepala Sekolah 1 1

6. Guru Kelas 1 2 3 6

7. Guru Agama 3 2 5

8. Guru Penjas 1 1

9. Guru Mulok 2 2 4

10. Guru Inklusi 2 2

Jumlah 5 4 10 19

F. Keadaan Tenaga Kependidikan

No Jabatan

Status Pegawai

Jumlah

PTY PTT

1. Administrasi 2 2

2. Bendahara Sekolah 1 1


(2)

170

4. Petugas Kebersihan / Caraka 1 1 2

Jumlah 1 5 6

G. Keadaan ruangan

No. Jenis Ruang

Milik

Baik Rusak Ringan

Rusak Berat

Sub-Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Ruang Kelas 6 6

2. Ruang Perpustakaan 1 1

3. Laboratorium IPA 1 1

4. Ruang Kepala Sekolah 1 1

5. Ruang Guru 1 1

6. Ruang Komputer 1 1

7. Tempat Ibadah 1 1

8 Ruang Kesehatan (UKS) 1 1

9 Kamar Mandi / WC Guru 1 1

10 Kamar Mandi / WC Siswa 3 3

11 Gudang 1 1

12

Tempat Bermain /

Tempat Olahraga 1 1

H. Angka Mengulang (Tidak Naik Kelas) Peserta Didik

No

Tahun Pelajaran

Jumlah Siswa Mengulang Kelas I Kelas II Kelas III Kelas

IV

Kelas V

Kelas VI

1 2006/2007 - - - -


(3)

171

3 2008/2009 - - - -

4 2009/2010 1 1 - - - -

5 2010/2011 - - - -

6 2011/2012 - - - -

7 2012/2013 - - - -

8 2013/2014 - - - -

9 2014/2015 - - 1 - - -

I. Kelulusan Tahun Pelajaran

Jumlah

Rata - rata UASBN/UN

Presentase Melanjutkan Peserta Lulus Jumlah Target Jumlah Target

2008/2009 26 26 7,60 100 % 26 100 %

2009/2010 18 18 6,50 100 % 18 100 %

2010/2011 16 16 7,55 100 % 16 100 %

2011/2012 26 26 6,96 100 % 26 100 %

2012/2013 20 20 7,02 100% 20 100%

2013/2014 30 30 6,03 100% 30 100%

2014/2015 34 34 6,67 100% 34 100%

J. Prestasi Siswa

No. Tahun Jenis Kejuaraan Tingkat Juara ke-

1. 2008 Seni Suara Keagamaan (MTQ) Kota Juara III putri

2. 2008 Futsal Kota Harapan I,

Juara III

3. 2008 POR Dini Kecamatan Juara I


(4)

172

5. 2008 Nyanyi tunggal Kota Harapan I

6. 2008 Cerita rakyat UPT Harapan II

7. 2008 Cerita rakyat bergambar Kecamatan Juara I

8. 2008 Hasta karya UPT Juara I

9. 2008 Seni suara (nyanyi tunggal) UPT Juara I 10. 2008 MTQ :

- Menyanyi - Seni Lukis - Adzan - Tartil

Kecamatan

- Juara I putri, Juara II putra - Juara II

putra - Harapan I - Harapan I 11. 2008 Permainan rakyat :

- Lepetan - Benthik

Propinsi

- Juara III - Juara II

12. 2008 Langen carita Kota Harapan I

13. 2008 Transliterasi Kota Juara III

14. 2008 Panembromo Kota Juara I

15. 2008 Mocopat Kota Juara II

16. 2009 MTQ Kecamatan Juara III

17. 2009 Seni Musik Tradisional Propinsi Juara III 18. 2009 Lomba permainan rakyat ( Lomba

lompatan

Propinsi Juara I

19. 2009 Lomba permainan rakyat ( Lomba lompatan

Propinsi Juara Harapan II 20. 2009 Lomba tari dolanan anak Propinsi Juara I 21. 2009 Pekan Etika Budaya Pelajar (

Macapat putra SD )

Kota Juara I

22. 2009 Pekan Etika Budaya Pelajar ( Panembromo )

Propinsi Juara III


(5)

173

24. 2010 Drumband Propinsi Juara I

Paramanandi

25. 2010 Drumband Propinsi Juara III

26. 2010 Modelling Kota Juara harapan

I putra 27. 2010 Panembromo,macapat,pidato

basa jawa

Kota Juara I panembromo

28. 2010 Lomba daur ulang Kota - Juara 2

(kelas I) - Juara 3

(kelas II) - Juara

harapan I (kelas V)

29. 2011 Drumband Propinsi Juara harapan

I

30. 2011 Menyanyi solo propinsi Juara I

31. 2011 Kria nusantara Nasional Juara II lomba bakiak

32. 2011 Dolanan anak Kota Juara II (

penyanyi terbaik II )

33. 2011 Macopat UPT Juara II

34. 2011 Pidato bahasa jawa UPT Juara I

35. 2011 Panembromo Kota Juara I

36. 2012 Perkusi Propinsi Juara I

37. 2012 Panembromo Kota Juara I

38. 2013 Festival Lomba Siswa Seni Nasional (FLS2N)

UPT Harapan II

Pidato

39. 2013 Mocopat Kota Juara III

40. 2013 Panembromo Kota Juara III

41. 2013 Panembromo UPT Juara I


(6)

174

43. 2013 Pidato bahasa indonesia UPT Juara harapan II

44. 2013 Mocopat putri UPT Juara harapan

I 45. 2013 Bercerita agama hindu Propinsi Juara I 46. 2014 Futsal dalam rangka HAORNAS Propinsi Juara III

47. 2014 MTQ Kecamatan Juara III

Puitisasi

48. 2014 MTQ Kecamatan Harapan I

Pildacil

49. 2014 MTQ Kecamatan Harapan 1

Tartil

50. 2015 Lomba CCA Agama kristen Kota Juara harapan I

51. 2015 Lomba menyanyi ( siswa ABK) Kota Juara II

K. KEGIATAN EKSTRAKURIKULER

1. Bahasa Inggris 2. Bahasa Jawa 3. Pramuka 4. Pencak silat 5. Drum band 6. Dolanan Anak 7. Pianika 8. Komputer 9. Seni lukis 10. TPA