Pengertian Implementasi Penelitian Relevan

15 dapat menunaikan tugas hidupnya secara baik dan dapat hidup wajar sebagai manusia. Fungsi pendidikan terhadap masyarakat setidaknya ada dua bagian besar, yaitu fungsi preserveratif dan fungsi direktif. Fungsi preserveratif dilakukan dengan melestarikan tata sosial dan tata nilai yang ada dalam masyarakat, sedangkan fungsi direktif dilakukan oleh pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial, sehingga dapat mengantisipasi masa depan. Selain itu pendidikan mempunyai fungsi 1 menyiapkan sebagai manusia, 2 menyiapkan tenaga kerja dan 3 menyiapkan warga negara yang baik. Ada bermacam-macam tujuan pendidikan menurut para ahli, M.J. Langeveld Dwi Siswoyo, 2011: 26 mengemukakan ada enam macam tujuan pendidikan, yaitu: a. Tujuan umum, total atau akhir, adalah tujuan paling akhir dan merupakan keseluruhankebulatan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan. Bagi Lavengeld tujuan umum atau tujuan akhirnya adalah kedewasaan yang salah satu cirinya adalah tetap hidup dengan pribadi mandiri. b. Tujuan khusus, adalah pengkhususan tujuan umum atas dasar berbagai hal, misalnya usia, jenis kelamin, intelegensi, bakat, minat, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan persyaratan pekerjaan dan sebagainya. c. Tujuan tak lengkap, adalah tujuan yang hanya menyangkut sebagian aspek kehidupan manusia. Misalnya aspek psikologis, biologis, dan sosiologis saja. Salah satu aspek psikologis misalnya hanya mengembangkan emosi atau pikirannya saja. d. Tujuan sementara, adalah tujuan yang hanya dimaksudkan untuk sementara saja, sedangkan kalau tujuan sementara itu sudah dicapai, lalu ditinggalkan dan diganti dengan tujuan yang lain. e. Tujuan intermedier, adalah tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok. f. Tujuan insidental, adalah tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, seketika, spontan. 16

2. Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural Multicultural Education merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama. James Banks Choirul Mahfud,1993: 3 mendefinisikan : Pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan set of beliefs dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, ataupun negara. Ia mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai ide, gerakan, pembaharuan pendidikan, dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa laki-laki dan perempuan, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah. Dalam pendidikan multikultural, dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat lokal sampai kepada masyarakat dunia global. James Banks Choirul Mahfud, 2014: 202 mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap 17 identitas etnik atau cultural identity, yaitu: a. Ethnic Psychological Captivity. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotipe kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior. b. Ethnic Encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan tinggi, dan biasanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain. c. Ethnic Identifities Clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka sesorang lebih dahulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsanya sendiri. d. The Ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri. e. Multicultural Ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya. f. Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterikatannya terhadap budaya bangsa dan budaya global. Pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu : Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajarandisiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran disiplin. Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi 18 dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. Trice dan Beyer J.David Smith, 2015: 379 mengusulkan empat jenis kebiasaan yang dapat membantu meningkatkan solidaritas kelompok dalam sebuah organisasi yang dapat diterapkan dalam kelas. Inilah teknik yang dapat membantu siswa merasa bersama yang dapat membentuk mereka satu kelompok, meskipun setiap orang memiliki perbedaan khusus. Kebiasaan tersebut meliputi : a. Rites of Enhancement: dikelas, kebiasaan ini dapat dicapai guru dan teman- teman dengan mengenali pencapaian individu dan kelompok misalnya, mendorong siswa untuk memuji orang lain atas pekerjaan yang baik. b. Rites of Conflict Reduction: temukan cara dalam mengatasi stres dan tekanan serta aktivitas kelompok yang dapat dinikmati dan mendorong untuk tertawa. c. Rites of Integration: aktivitas yang dapat membantu siswa belajar mengenai nilai-nilai yang mereka bagi misalnya, diskusi mengenai masalah-masalah penting bagi kelompok seusianya, role-playing, membaca cerita, dan menyuruh siswa mendiskusikan artinya. d. Rites of Renewal: memberi bantuan siswa yang akan memotivasi mereka dan membantu meningkatkan moral, misalnya tutorial satu per satu dengan materi- materi yang sulit. e. Rites of Passage: kelompok mengetahui hari ulang tahun dan peristiwa hidup yang penting mengenai orang lain misalnya, hari ulang tahun seseorang saudara, prestasi di pramuka, dan sebagainya. 19 Menurut Prof. HAR Tilaar Choirul Mahfud, 2014: 178 : Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai Perang Dunia PD kedua. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas keberagaman di negara-negara barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa. Azra Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 197 menjelaskan: Pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia, seperti toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, serta subjek-subjek lain yang relevan. Pendidikan multikultural multicultural education tidak persis sama dengan enkulturasi ganda multiple enculturation. Sizemore Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 197 membedakan pendidikan multikultural dengan enkulturasi ganda. Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut. a. Enkulturasi lebih menekankan pada integrasi struktural yang mengaburkan makna akulturasi dengan enkulturasi. Pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pemerolehan pengetahuan untuk dapat mengontrol orang lain demi sebuah kehidupan survival. b. Pendidikan multikultural, sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti difference atau politics of recognition, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Secara operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi pembelajar multiple learning environments dan yang sesuai dengan kebutuhan akademis ataupun sosial anak didik. 20 Adapun definisi pendidikan multikultural yang diadopsi dari Suzuki dan Pramono Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 198 didasarkan pada asumsi awal bahwa sekolah dapat memainkan peran besar dalam mengubah struktur sosial sebuah masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah satu-satunya lembaga sosial yang dapat mengubah struktur sosial sebuah masyarakat, tetapi sekolah dapat menjadi wahana atau alat bagi perubahan sosial dari masyarakat. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dimaknai hal-hal sebagai berikut. a. Guru-guru dapat membantu siswanya mengonseptualisasi dan menumbuhkan aspirasi tentang struktur sosial alternatif serta memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk berubah. Definisi dan tujuan inilah yang akan dikembangkan menjadi program pendidikan multikultural di sekolah-sekolah yang memiliki latar belakang dan kebhinnekaan sosio-historis, budaya, ekonomi dan psikologi. b. Pendidikan multikulturalisme dalam konteks Indonesia penting untuk dikembangkan. Hal ini mengingat faktor kebhinekaan bangsa Indonesia dan faktor-faktor lain yang menjadi pengalaman bangsa Indonesia. c. Terjadinya peristiwa disintegrasi sosial dan konflik selama ini, semakin perlu untuk diantisipasi secara tepat. Hal yang paling memungkinkan adalah melalui program pendidikan multikulturalisme. d. Kesungguhan dalam merumuskan pendidikan multikulturalisme dalam konteks Indonesia yang tepat semangat dan tepat tujuan Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 198. Pendidikan multikultural multicultural education merupakan respon terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non-Eropa. Adapun secara luas, pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan agama. 21 Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri : a. Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya” berperadaban. b. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis kultural. c. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis multikulturalis. d. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya. Mengenai fokusnya, fokus pendidikan multikultural tidak lagi diarahkan hanya pada kelompok rasial, agama, dan kultural domain atau mainstream. Pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individual yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti difference atau politics of recognition politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup 22 subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang. Apa yang dipikirkan oleh seseorang tentang dirinya berjalin dengan penerimaan dan dukungan yang dirasakan dari orang lain. Kehidupan internal seseorang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan eksternal. Siccone J.David Smith, 2015: 379 membuat konsep interaksi antara diri sendiri dan orang lain dengan dimensi-dimensi berikut ini : a. Independence, ini adalah pengalaman menganggap dirinya berharga, ini menyangkut perasaan bahwa seseorang adalah mandiri dan unik di dunia ini. Meliputi persoalan siapa dan apa membuat saya istimewa. b. Interdependence, inilah pengakuan bahwa saya perlu orang lain. Inilah rasa yang dibutuhkan untuk dimiliki keluarga, komunitas, sekolah, dan masyarakat, meliputi kebutuhan persahabatan, afiliasi, dan hubungan. c. Personal Responsibility, inilah pengakuan untuk melakukan kontrol dalam kehidupan seseorang. Menyangkut rasa, mampu meraih tujuan, pengarahan diri, dan kemampuan. d. Tanggung jawab Sosial, adalah kemampuan untuk bergerak pada kepentingan sendiri dan mau menerima tanggung jawab kehidupan di sekitar. Ini merupakan suatu keyakinan yang bukan saja pentingnya menerima orang lain, tapi juga sanggup bahwa saya harus menolong orang lain. Tilaar Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 202 menegaskan bahwa: Pengertian tentang multikultural mencakup pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural harus mencakup subjek-subjek, seperti toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan. Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, ada beberapa pendekatan yaitu : 23 a. Pendidikan tentang perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme b. Pendidikan tentang perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan c. Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan d. Pendidikan dwi budaya e. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

3. Tujuan Pendidikan Multikultural

Tujuan utama pendidikan multikultural adalah mengubah pendekatan pelajaran dan pembelajaran ke arah memberikan peluang yang sama pada setiap anak. Jadi, tidak ada yang dikorbankan demi persatuan. Untuk itu, kelompok- kelompok harus damai, saling memahami, mengakhiri perbedaan, tetapi tetap menekankan pada tujuan umum untuk mencapai persatuan. Siswa ditanamkan pemikiran lateral, keanekaragaman dan keunikan itu dihargai. Hal ini berarti harus ada perubahan sikap, perilaku, dan nilai-nilai khususnya civitas akademika sekolah. Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk membantu siswa: a. Memahami latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat; b. Menghormati dan mengapresiasi kebhinnekaan budaya dan sosio-historis etnik; c. Menyelesaikan sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh purbasangka; d. Memahami faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang menyebabkan terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan etnik; 24 e. Meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis masalah-masalah rutin dan isu melalui proses demokratis melalui sebuah visi tentang masyarakat yang lebih baik, adil dan bebas; f. Mengembangkan jati diri yang bermakna bagi semua orang. Perbedaan pada diri anak didik yang harus diakui dalam pendidikan multikultural, antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras, kelompok pemeluk agama, agama, jenis kelamin, kondisi ekonomi, daerahasal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur dan lain-lain Baker, dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 199. Pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural. Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan education dengan persekolahan schooling, atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata- mata berada di tangan mereka, tetapi justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab, karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal diluar sekolah. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata- mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih mengasosiasikan kebudayaan dengan 25 kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus-menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotipe menurut identitas etnik mereka, sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik. Ketiga, karena pengembangan kompetensi alam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis. Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan baik formal maupun non formal meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antar pribumi dan non pribumi. 26 Dikotomi semacam ini akan membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengambangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik. Dalam aktivitas pendidikan mana pun, peserta didik merupakan sasaran objek sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu memahami ciri-ciri umum peserta didik, antara lain: a. Dalam keadaan sedang berdaya. Maksudnya, peserta didik dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya. b. Memiliki keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. c. Memiliki latar belakang yang berbeda-beda. d. Melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual. Menurut Farida Hanum Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 200, nilai-nilai inti dari pendidikan multikulktural berupa demokratis, humanisme, dan pluralisme. a. Nilai Demokratisasi atau keadilan, merupakan sebuah istilah yang menyeluruh dalam segala bentuk, baik keadilan budaya, politik, maupun sosial. Keadilan merupakan bentuk bahwa setiap insan mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. b. Nilai Humanisme atau kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas, heterogenitas, dan keragaman manusia. Keragaman itu dapat berupa ideologi, agama, paradigma, suku bangsa, pola pikir, kebutuhan, tingkat ekonomi dan sebagainya. 27 c. Nilai Pluralisme bangsa, adalah pandangan yang mengakui adanya keragaman dalam suatu bangsa, seperti yang ada di Indonesia. Istilah plural mengandung arti berjenis-jenis, tetapi pluralisme bukan berarti sekedar pengakuan terhadap hal-hal tersebut, melainkan memiliki implikasi- implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Oleh sebab itu, pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi, tetapi tidak mengakui adanya pluralisme dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai segregesi. Pluralisme berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Ada tiga persepektif multikulturalisme dalam sistem pendidikan, yaitu perspektif cultural assimilation, perspektif cultural pluralism, dan perspektif cultural synthesis. a. Perspektif Cultural Assimilation Cultural assimilation merupakan model transisi dalam sistem pendidikan yang menunjukkan proses asimilasi anak atau subjek didik dari berbagai kebudayaan atau masyarakat subnasional ke dalam suatu “core society”. b. Perspektif Cultural Pluralism Cultural pluralism merupakan suatu sistem pendidikan yang menekankan pada pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat subnasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing. c. Perspektif Cultural Synthesis Cultural synthesis merupakan sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis yang menekankan pentingnya proses terjadinya elektisisme dan sintesis dalam diri anak atau subjek didik dan masyarakat serta terjadinya perubahan dalam berbagai kebudayan dan masyarakat subnasional. 28 Dalam mayarakat Indonesia yang sangat majemuk, diperlukan aplikasi pilihan perspektif pendidikan yang ketiga. Perspektif pendidikan yang demikian memberikan peran pada pendidikan multikultural sebagai instrumen bagi pengembangan eksistensisme dan sintesis beragam kebudayaan subnasional pada tingkat individual dan masyarakat serta bagi promosi terbentuknya suatu melting pot dari beragam kebudayaan dan masyarakat subnasional. “Pilihan perspektif pendidikan sintesis multicultural memiliki rasional paling dasar dalam hakikat tujuan suatu pendidikan multikultural yang dapat diidentifikasi melalui tiga tujuan ekstrand, yaitu tujuan attitudinal, tujuan kognitif, dan tujuan instruksional”, Nasikun Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 210. a. Pada Tingkat Attitudinal Pendidikan multikultural berfungsi untuk menyemai dan mengembangkan sensitivitas kultural, toleransi kultural, penghormatan pada identitas kultural, pengembangan sikap budaya responsif serta keahlian untuk melakukan penolakan dan resolusi konflik. b. Pada Tingkat Kognitif Pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi pencapaian kemampuan akademis, pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan kebudayan, kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku kultutral, dan kemampuan membangun kesadaran kritis tentang kebudayaan sendiri. c. Pada Tingkat Instruksional Pendidikan multikultural bertujuan untuk mengembangkan kemampuan melakukan koreksi atas distorsi-distorsi, stereotipe-stereotipe, peniadaan dan mis-informasi tentang kelompok-kelompok etnis dan kultural yang dimuat dalam buku dan media pembelajaran, menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup dalam pergaulan multikultural, mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal, menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi dan membentuk menyediakan klarifikasi dan penjelasan tentang dinamika perkembangan kebudayaan. 29

4. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional

Menurut Tilaar 2004 dan Benni 2006 Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 208, pendidikan multikultural memiliki dimensi sebagai berikut:

a. Right to culture dan identitas budaya lokal

Multikulturalisme didorong oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi, akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga pada hak-hak lain, yaitu hak akan kebudayaan right to culture. Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di Indonesia memerlukan masa transisi, yaitu seakan-akan menurunnya rasa kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena yang disebut budaya Indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita. Identitasi budaya makro, yaitu budaya Indonesia yang sedang menjadi harus terus-menerus dibangun atau merupakan proses yang tanpa ujung.

b. Kebudayaan indonesia yang menjadi

Maksud kebudayaan Indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro Indonesia. Hal tersebut merupakan sistem nilai baru yang kemudian memerlukan proses yang perwujudannya melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu, di tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan diwujudkan, yaitu sistem nilai keindonesiaan. Hal tersebut tidak mudah karena memerlukan paradigm shift dalam proses pendidikan bangsa Indonesia.

c. Pendidikan multikultural yang normatif

Konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat dibunakan untuk mewujudkan cita-cita. Konsep pendidikan multikultural normatif diharapkan mampu memperkuat identitas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia.

d. Pendidikan multikultural rekonstruksi sosial

Suatu rekonstruksi sosial, artinya upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada saat ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perseorangan ataupun suatu suku bangsa Indonesia telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Semua ini akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.

e. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru

Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan dalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Adapun kehidupan sosial-budaya di Indonesia menuntut pendidikan hati pedagogy of heart, yaitu diarahkan pada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistis. 30

f. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi indonesia

masa depan serta etika berbangsa. TAPMPR RI Tahun 2001 No. VI dan VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan Multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003 UUSPN 2003.

5. Bentuk Pengembangan dan Pendekatan Pendidikan Multikultural

Bentuk pengembangan pendidikan multikultural di setiap negara berbeda- beda sesuai dengan permasalahan yang dihadapi setiap negara. Banks 1993 Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 211 mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum ataupun pembelajaran di sekolah yang jika dicermati relevan untuk diimplementasikan di Indonesia.

a. Pendekatan kontribusi the contributions approach

Level ini yang paling sering dilakukan dan paling luas digunakan dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis. Cirinya adalah dengan memasukkan pahlawan-pahlawan dari suku bangsaetnis dan benda-benda budaya ke dalam pelajaran yang sesuai. Hal inilah yang selama ini telah dilakukan di Indonesia.

b. Pendekatan aditif aditif approach

Pada tahap ini dilakukan penambahan materi, konsep, tema, perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya. Pendekatan aditif ini sering dilengkapi dengan buku, modul, atau bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa mengubah secara substansif. Pendekatan aditif merupakan fase awal dalam melaksanakan pendidikan multikultural karena belum menyentuh kurikulum utama.

c. Pendekatan transformasi the transformation approach

Pendekatan transformasi berbeda secara mendasar dengan pendekatan kontribusi dan aditif. Pendekatan transformasi mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi dasar siswa dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama yang mungkin dipaparkan dalam materi pelajaran. Siswa boleh melihat dari perspektif yang lain. Banks 1993 Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 212, menyebut ini sebagai proses multiple acculturation, sehingga rasa saling menghargai, 31 kebersamaan, dan cinta sesama dapat dirasakan melalui pengalaman belajar. Konsepsi akulturasi ganda multiple acculturation conception dari masyarakat dan budaya negara mengarah pada perspektif bahwa memandang peristiwa etnis, sastra, musik, seni, dan pengetahuan lainnya sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya secara umum. Budaya kelompok dominan hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya yang lebih besar.

d. Pendekatan aksi sosial the social action approach

Pendekatan aksi sosial mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, tetapi menambah komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pembelajaran dan pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan kritik sosial dan mengajarkan keterampilan membuat keputusan untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh pendidikan politis, sekolah membantu siswa menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga kelompok- kelompok etnis, ras dan golongan yang terabaikan dan menjadi korban dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat. “Peran pendidikan dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin- disiplin ilmu yang lain, seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmodernisme, antropologi, dan sosiologi” Dawam, Ainur Rafiq, dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 206. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural tidak akan kehilangan arah atau berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Karena hegemoni bukan hanya di bidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat. Dengan demikian, orientasi yang seharusnya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi hal-hal berikut. 32 a. Orientasi Kemanusiaan Kemanusiaan atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusiaan bersifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan, dan agama. b. Orientasi Kebersamaan Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa pada kedamaian yang tidak ada batasannya. Kebersamaan yang dibangun di sini adalah kebersamaan yang terlepas dari unsur kolutif ataupun koruptif. Intinya kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-masing pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara. c. Orientasi Kesejahteraan Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan perilaku menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat. d. Orientasi Profesional Profesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. 33 e. Orientasi Mengakui Pluralitas dan Heterogenitas Pluralitas dan heterogenitas merupakan kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap kebenaran yang diyakini oleh banyak orang. f. Orientasi Anti Hegemoni dan Anti Dominasi Hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Akan tetapi, kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan, bahkan dihindari oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis.

6. Program dan Dimensi Pendidikan Multikultural

a. Program Pendidikan Multikultural

1 berorientasi pada materi content-oriented programs Berorientasi pada materi content-oriented programs merupakan bentuk pendidikan multikultural yang paling umum dapat cepat dipahami. Tujuan utamanya adalah memasukkan materi tentang kelompok budaya yang berbeda dalam kurikulum dan materi pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang kelompok-kelompok tersebut. Dalam bentuknya yang paling sederhana bentuk program ini menambahkan aspek multikultural ke dalam kurikulum yang standar. Versi yang lebih canggih dari bentuk ini, yaitu mengubah kurikulum secara aktif dengan tiga tujuan berikut : a Mengembangkan muatan multikultural melalui berbagai disiplin. b Memasukkan sejenis sudut pandang dan perspektif yang berbeda dalam kurikulum. 34 c Mengubah aturan, yang pada akhirnya mengembangkan paradigma baru bagi kurikulum. 2 berorientasi pada siswa student-oriented programs Program yang berorientasi pada siswa student-oriented programs bertujuan untuk meningkatkan prestasi akademik kelompok siswa yang berbeda meskipun pada saat itu tidak memberikan perubahan besar dalam muatan kurikulum. Beberapa program ini tidak dirancang untuk mengubah kurikulum atau konteks sosial pendidikan, tetapi membantu siswa dengan budaya dan bahasa yang berbeda untuk menciptakan perubahan dalam mainstream pendidikan. Terdapat beberapa kategori program yang khas: a Program yang menggunakan riset dalam model belajar yang berbasiskan budaya culturally-based learning styles dalam menentukan gaya mengajar yang digunakan pada kelompok siswa tertentu; b Program dua bahasa bilingual atau dua budaya bicultural; c Program bahasa yang mengandalkan bahasa dan budaya sekelompok siswa minoritas. 3 berorientasi sosial sosially-oriented programs Program yang berorientasi sosial sosially-oriented programs berupaya mereformasi pendidikan ataupun konteks politik dan budaya pendidikan. Program ini bertujuan bukan untuk meningkatkan prestasi akademis atau menambah sekumpulan pengetahuan multikultural, melainkan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan toleransi budaya dan ras serta mengurangi bias. 35 Kategori program ini juga tidak hanya meliputi program yang dirancang untuk menstrukturkan kembali dan menyatukan sekolah, tetapi juga program ini dirancang untuk meningkatkan semua bentuk hubungan di kalangan kelompok etnik dan ras dalam program belajar bersama tanpa membedakan perbedaan yang ada pada setiap individu. Bentuk pendidikan multikultural ini menekankan “hubungan manusia” dalam semua bentuknya dan menggabungkan beberapa karakteristik dua bentuk program lainnya, yaitu program yang menuntut perbaikan kurikulum untuk menekankan kontribusi sosial yang positif dari kelompok etnis dan budaya sambil menggunakan riset tentang model belajar untuk meningkatkan prestasi siswa dan mengurangi ketegangan dalam ruang kelas. Selain program-program tersebut, menurut Iis Arifudin 2007: 220 implementasi pendidikan multikultural dapat dilakukan di sekolah melalui beberapa cara yaitu : a. Implementasi pendidikan multikultural terintegrasi dengan mata pelajaran Pelaksanaan pendidikan multikultural tidaklah perlu mengubah kurikulum, pelajaran pendidikan multikultural dapat terintegrasi pada mata pelajaran yang lainnya. hanya saja diperlukan pedoman bagi guru untuk menerapkannya. yang utama kepada para siswa perlu diajari mengenai toleransi, kebersamaan, HAM, demokratisasi, dan saling menghargai. Hal tersebut sangat berharga bagi bekal hidup mereka 36 dikemudian hari dan sangat penting untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Jadi implementasi dan pengembangan pendidikan multikultural terintegrasi melalui mata pelajaran dapat dilakukan oleh perguruan tinggi atau sekolah dasar dan menengah sebagai berikut, 1 perguruan tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan misalnya melalui mata kuliah umum, seperti kewarganegaraan, agama, dan bahasa. 2 tingkat SD, SLTP, atau sekolah menengah SMA, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran dan bahan ajar seperti agama, sosiologi, dan antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran seperti diskusi kelompok atau kegiatan lainnya. b. Implementasi pendidikan multikultural melalui kegiatan pengembangan diri. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta didik, dan kondisi sekolah. 1 Pengembangan diri terprogram Pengembangan diri terprogram untuk pendidikan multikultural dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut ini: 37 a kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler Kegiatan intra dan ekstrakurikuler yang ada di sekolah meliputi Organisasi Siswa Intra Sekolah, Pramuka, Kegiatan Olahraga dan lain-lain yang tentunya akan diikuti oleh siswa yang berasal dari berbagai etnis, budaya. Dalam komposisi kepengurusan OSIS juga melibatkan siswa dari berbagai unsur etnis. Agar terjadi kontak fisik alamiah dan melahirkan pemahaman yang baik antar sesama maka perlu diadakan berbagai kegiatan yang berorientasi kelompok. Dimana tanpa disadari kegiatan tersebut melibatkan berbagai etnis seperti tim bola basket, voli, pentas drama, vokal grup, pramuka dan sebagainya. Kegiatan ekstrakurikuler hendaknya juga multinilai. Sikap menghargai orang yang berbeda dari budaya lain akan lebih berkembang bila siswa mempraktikkan dan mengalami sendiri, maka model live-in, tinggal di tengah orang yang berbudaya lain dapat membantu siswa menghargai budaya lain. Misalnya siswa dari Bali ikut live-in satu minggu di tengah orang Sunda, mereka akan dapat lebih menghargai budaya Sunda. Proyek dan kepanitiaan di sekolah juga sebaiknya diatur dengan lebih bervariasi dan beragam. Setiap panitia terdiri dari aneka macam siswa dari berbagai suku, ras, agama, budaya, dan gender. Ini 38 akan lebih menumbuhkan semangat kesatuan dalam perbedaan yang ada. b layanan konseling Pembina layanan konseling dalam melaksanakan kegiatan tidak boleh bersikap diskriminatif pada peserta didik, darimana pun asal usul peserta didik ketika mengalami kesulitan dalam pengembangan diri, pengembangan sosial, pengembangan kemampuan belajar dan pengembangan karir harus dilayani secara optimal. Dengan demikian tindakan dan sikap layanan konseling telah mencerminkan layanan yang berbasis multikultural karena sesuai dengan fungsi layanan konseling. 2 pengembangan diri tidak terprogram Pengembangan diri tidak terprogram untuk pendidikan multikultural dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pembiasan, spontanitas dan pembinaan disiplin seperti bersalam- salaman antar siswa dengan guru, siswa dengan siswa dan siswa dengan tata usaha. Bentuk-bentuk keteladanan seperti sikap saling menghormati yang ditunjukan oleh guru maupun warga sekolah lainnya. c. Implementasi pendidikan multikultural melalui muatan lokal Muatan lokal merupakan mata pelajaran yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan. Satuan pendidikan dapat 39 menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun pelajaran, satuan pendidikan dapat menyelenggarakan lebih dari satu mata pelajaran muatan lokal untuk setiap tingkat. Implementasi pendidikan multikultural melalui muatan lokal dapat dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pengembangan muatan lokal maksudnya muatan lokal pendidikan multikultural disesuaikan dengan potensi daerah tempat sekolah berada seperti keterkaitan muatan lokal dengan sumber daya alam SDA, keterkaitan muatan lokal dengan sumber daya manusia SDM, keterkaitan muatan lokal dengan geografis, keterkaitan muatan lokal dengan budaya, dan keterkaitan muatan lokal dengan historis. d. Implementasi pendidikan multikultural melalui pendidikan lingkungan Pendidikan multikultural dapat diimplementasikan melalui pendidikan lingkungan dengan maksud agar peserta didik lebih dekat dengan keadaan lingkungan sebenarnya sehingga menumbuhkan rasa memiliki lingkungan, mencintai lingkungan dan menghargai eksistensi lingkungan yang juga bagian dari ekosistem dan mempengaruhi kehidupan manusia. Pelajaran yang terpenting yang dapat dimaknai peserta didik dari pendidikan lingkungan, jika dikorelasikan dengan hakikat pendidikan multikultural bahwa alam lingkungan tidak pernah melakukan diskriminasi pada siapapun yang berinteraksi dengan alam seperti 40 mengeluarkan oksigen untuk dihirup siapapun tanpa membedakan suku, ras, agama dan budaya. Makna ini menjadi titik tolak bagi peserta didik bahwa pendidikan multikultural melalui pendidikan lingkungan dapat menjadi acuan dalam mengembangkan sikap-sikap yang bernuansa multikulturalisme. P endidikan lingkungan hidup berupa “out door activities” yang dikaitkan dengan penyadaran bahwa sesungguhnya alam juga tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap apapun. Pohon di hutan yang senantiasa menghasilkan oksigen yang sama banyaknya untuk dihirup oleh manusia dan hewan tanpa ada batasan dan diskriminasi. Lalu mengapa manusia yang memiliki akal budi tidak melakukan hal yang sama, memberi dan membantu tanpa ada diskriminasi dan pembedaan antar satu dengan lainnya. Pelajaran yang berharga dari perilaku dan interaksi lingkungan menumbuhkan pikiran positif pada peserta didik dimana peserta didik akan memiliki pikiran positif terhadap lingkungan maka rasa peduli akan lingkungan yang lestari akan tertanam dan sikap selalu mencegah agar lingkungan alam tetap lestari menjadi perhatian peserta didik.

b. Dimensi pendidikan multikultural

Dimensi –dimensi pendidikan berbasis multikultural Menurut Banks 2002, pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas, dan cara berfikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok etnis, ras, dan 41 budaya. Secara spesifik, Banks menyatakan bahwa pendidikan multikultural dapat dikonsepsikan atas lima dimensi yaitu: 1 dimensi integrasi isimateri content integration Dimensi ini berkaitan dengan upaya untuk menghadirkan aspek kultur yang ada ke ruang-ruang kelas. Seperti pakaian, tarian, kebiasaan, sastra, bahasa, dan sebagainya. Dengan demikian, diharapkan akan mampu mengembangkan kesadaran pada diri siswa akan kultur milik kelompok lain. Konsep atau nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan ke dalam materi-materi, metode pembelajaran, tugas atau latihan, maupun evaluasi yang ada dalam buku pelajaran. 2 dimensi konstuksi pengetahuan knowledge construction Pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk memahami dan merekonstruksi berbagai kultur yang ada. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai,dan merayakan keragaman kultural. 3 dimensi pendidikan yang samaadil an equity paedagogy Dimensi ini menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya culture ataupun sosial social. 4 dimensi pengurangan prasangka prejudice reduction Dimensi ini sebagai upaya agar para siswa menghargai adanya berbagai kultur dengan segala perbedaan yang menyertainya. Sangat 42 penting adanya refleksi budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial ekonomi, dalam proses pendidikan multikultural. 5 dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan stuktur sosial empowering school culture and social stucture Dimensi ini merupakan tahap dilakukannya rekonstruksi baik struktur sekolah maupun kultur sekolah. Hal tersebut diperlukan untuk memberikan jaminan kepada semua siswa dengan latar belakang yang berbeda agar mereka merasa mendapatkan pengalaman dan perlakuan yang setara dalam proses pembelajaran di sekolah. Dari paparan di atas tentang dimensi-dimensi pendidikan berbasis multikultural dapat disimpulkan, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural dengan segala perbedaan yang menyertainya setra perlakuan proses belajar yang sama, sehingga diharapkan anak dapat memiliki karakter yang baik saat dewasa nanti.

7. Konsep Pembelajaran Multikultural

a. Pengertian Pembelajaran Multikultural

“Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, dan kelas” Sleeter dan Grant, dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 282. Pembelajaran multikultural merupakan strategi pendidikan yang menfaatkan keberagaman 43 latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas. “Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya” Banks, dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 282. Dengan demikian, pembelajaran multikultural adalah proses pendidikan yang dapat membimbing, membentuk, dan mengondisikan siswa agar memiliki mental atau karakteristik terbiasa hidup di tengah-tengah perbedaan yang sangat kompleks, baik perbedaan ideologi, sosial, ekonomi maupun perbedaan agama. Syafiq A. Mughni Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 282 menjelaskan bahwa inti pembelajaran pendidikan multikultural, yaitu sebagai berikut: 1 Adanya dialog secara aktif dan partisipatoris. Artinya, selama proses pembelajaran harus dibiasakan berdialog secara intensif dan partisipatoris sehingga siswa mampu mengembangkan pengetahuannya secara bebas dan independen. 2 Adanya toleransi antar siswa, antara siswa dan guru, serta antar guru. Toleransi ini bertujuan membudayakan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan, baik perbedaan pendapat maupun ideologi yang dilakukan oleh guru ataupun siswa. 44

b. Tujuan Pembelajaran Multikultural

Berdasarkan tujuan pendidikan multikultural, terdapat tiga macam tujuan, yaitu tujuan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan pembelajaran. 1 Aspek sikap, yaitu untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap responsif terhadap budaya, keterampilan untuk menghindari dan meresolusi konflik. 2 Aspek pengetahuan, yaitu untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk menganalisis dan menerjemahkan perilaku kultural, serta pengetahuan tentang kesadaran perspektif kultural. 3 Aspek pembelajaran, yaitu untuk memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; menjelaskan dinamika kultural Lawrence J. Saha dalam Yaya Suryana dan H.A Rusdiana, 2015: 283. Pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, dan nilai berbeda. 45

c. Dasar-dasar Pembelajaran Multikultural

1 Unsur kebudayaan Pembelajaran tidak terlepas dari usur kebudayaan karena : a Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks b Kebudayaan merupakan prestasi manusia yang material c Kebudayaan dapat berbentuk fisik d Kebudayaan dapat berbentuk perilaku e Kebudayaan merupakan realitas yang objektif f Kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang terasing. Berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang beragam, kompleks dan terintegrasi, proses pembelajaran harus menggunakan multidisipliner, seperti filsafat, sosiologi, antropologi, biologi, psikologi, dan komunikasi. 2 Keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat Keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat harus dijadikan dasar pengayaan dalam pembelajaran sehingga guru harus menciptakan “belajar untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni” sesuai dengan salah satu pilar belajar dan UNESCO, yaitu learning to live together. 3 Peran guru dalam menerapkan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan Peran guru dalam menerapkan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan adalah : a menjadi model, b menciptakan masyarakat bermoral, c mempraktikkan disiplin moral, 46 d menciptakan situasi demokrasi, e mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum, f menciptakan budaya kerjasama, g menumbuhkan kesadaran karya, h mengembangkan refleksi moral, i mengajarkan revolusi konflik.

8. Peranan Guru dan Sekolah dalam Penerapan Pendidikan Multikultural

Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan berfungsi menanamkan kesadaran di kalangan generasi muda akan identitas dirinya, identitas kolektifnya, serta menumbuhkan calon warga negara yang baik dan terpelajar dalam masyarakat yang homogen atau mejemuk. Sementara itu, guru berfungsi untuk melatih dan mendisiplinkan pikiran peserta didik, memberikan pendidikan moral dan agama, menanamkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme, menjadi warga negara yang baik. Untuk itu, peran guru dan pihak sekolah diperlukan memenuhi berbagai kebutuhan peserta didik, antara lain sebagai berikut: a. Membangun Paradigma Keberagaman Guru memiliki paradigma pemahaman keberagaman yang moderat akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman kepada peserta didik di sekolah. Peran guru dalam hal ini, yaitu sebagai berikut: 1 Guru harus mampu bersikap demokratis. Artinya, dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif bersikap 47 tidak adil atau menyinggung peserta didik yang menganut agama yang berbeda dengannya. 2 Guru seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadian- kejadian tertentu yang berhubungan dengan agama. b. Menghargai Keragaman Bahasa Guru harus memiliki sikap menghargai “keragaman bahasa” dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut di sekolah sehingga dapat membangun sikap peserta didik agar mereka selalu menghargai orang lain yang memiliki bahasa, aksen, dan dialek yang berbeda. Oleh karena itu, guru harus menunjukkan sikap dan tingkah laku yang selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada. c. Membangun Sensitivitas Gender Guru dituntut untuk memiliki peran dalam membangun kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai kesadaran gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan di sekolah dengan cara berikut: 1 Guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender. 2 Guru harus mampu mempraktikkan nilai-nilai keadilan gender secara langsung di kelas atau di sekolah. 3 Sensitif terhadap permasalahan gender di dalam ataupun di luar kelas. d. Membangun Sikap Kepedulian Sosial Guru dan sekolah berperan mengembangkan sikap peduli dan kritis siswa terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik yang ada di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. 48 1 Guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena sosial yang ada di lingkungan para peserta didiknya, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, pengangguran, para siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah, korupsi, penggusuran, dan lain-lain. 2 Guru dapat menerapkan sikap tersebut di sekolah atau di kelas, dengan cara bersikap adil kepada seluruh siswa tanpa harus mengistimewakan salah satu dari mereka meskipun latar belakang status sosial berbeda. e. Membangun Sikap Anti Diskriminasi Etnis Guru berperan dalam menumbuhkan sensitivitas anti diskriminasi terhadap etnis lain di sekolah. Oleh sebab itu guru dituntut untuk : 1 Memiliki pemahaman dan wawasan yang cukup tentang sikap anti diskriminasi etnis sehingga dapat memberikan contoh secara langsung melalui sikap dan perilakunya. 2 Memberikan perlakuan adil terhadap seluruh peserta didik yang ada. f. Membangun Sikap Anti Diskriminasi terhadap Perbedaan Kemampuan Pada aspek ini guru sebagai penggerak utama kesadaran peserta didik agar selalu menghindari sikap yang diskriminatif terhadap perbedaan kemampuan peserta didik, baik di dalam maupun di luar kelas dengan memberikan contoh langsung kepada peserta didik. Demikian pula, sekolah harus mampu menjadi institusi yang membangun sikap peserta didik yang selalu menghargai orang lain yang memiliki kemampuan berbeda dengan cara: 49 1 Membuat dan menerapkan peraturan sekolah yang menekankan bahwa sekolah menerima para peserta didik yang “normal” dan memiliki kemampuan berbeda. 2 Menyediakan pelayanan khusus, seperti guru dengan keterampilan khusus untuk menangani peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan dan menyediakan fasilitas khusus, seperti ruangan khusus, tempat duduk khusus atau fasilitas khusus lainnya. 3 Memberikan pelatihan bagi guru-guru dan staf tentang cara bersikap dan cara menghadapi peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan di sekolah tersebut. g. Membangun Sikap Anti Diskriminasi Umur Sekolah seharusnya menerapkan peraturan yang intinya menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap umur tentu dilarang keras di sekolah dan mewajibkan kepada peserta didik untuk selalu saling memahami dan menghormati perbedaan umur yang ada di sekitar mereka. Sekolah sebaiknya tidak memberikan batasan umur tertentu bagi seseorang yang akan masuk dan belajar di sekolah tersebut apabila yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kemauan seperti yang telah diatur dalam undang-undang sekolah atau negara. 50

C. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah pertama, penelitian skripsi oleh Siti Rochmaniyah 2014 yang berjudul Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah Inklusi SMP Tumbuh Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan objek penelitian SMP Tumbuh Yogyakarta. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi dengan tujuan menyajikan kegiatan belajar mengajar di SMP Tumbuh Yogyakarta secara komprehensif. Hasil penelitian menjelaskan tentang inovasi-kritis yang dilakukan sekolah dalam mengimplementasi pendidikan multikultural, menjelaskan tentang faktor-faktor pendukung implementasi, dan menjelaskan tentang sarana dan prasarana di sekolah. Kedua, penelitian oleh Ana Farkhana Laila Luthfiana 2014 yang berjudul Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Pembelajaran IPS di SMP Budi Mulia 2 Yogyakarta. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif naturalistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran IPS di SMP Budi Mulia 2 Yogyakarta diawali dengan perencanaan, tujuan, materi, media, metode dan evaluasi yang akan digunakan yang menghargai peserta didik karena berpusat pada peserta didik. Pelaksanaan bersifat terbuka, demokratis, berpusat pada peserta didik yang menekankan pada kesetaraan dan keadilan peserta didik serta menghargai masing-masing individu dengan metode pembelajaran yang bervariasi. 51 Ketiga, penelitian oleh Nur Faiqoh 2015 yang berjudul Implementasi Pendidikan Berbasis Multikultural Sebagai Upaya Penguatan Nilai Karakter Kejujuran, Toleransi, dan Cinta Damai Pada Anak Usia Dini di Kiddy Care, Kota Tegal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Penelitian ini membahas tentang dasar acuan dalam implementasi pembelajaran berbasis multikultural di lembaga Kiddy Care, serta hasil pengimplementasian pendidikan berbasis multikultural dalam pembelajaran dan proses penanaman nilai-nilai karakter pada anak kelas Kindy dan keterlibatan orang tua dalam pemantauan perkembangan anak saat dirumah. Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah di perlukan perencanaan, tujuan, materi, media, metode dan evaluasi yang menghargai peserta didik karena pendidikan harus berpusat pada peserta didik. Pelaksanaan pendidikan harus bersifat terbuka, demokratis, berpusat pada peserta didik yang menekankan pada kesetaraan dan keadilan peserta didik serta menghargai masing- masing individu dengan metode pembelajaran yang bervariasi. Serta dibutuhkan inovasi-inovasi kritis dan lingkungan yang mendukung dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural. Pemaparan penelitian relevan dalam penelitian ini digunakan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara penelitian yang lain dengan penelitian yang akan dilakukan. Persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian relevan yang dipaparkan diatas adalah kesamaan variabel penelitian, yaitu terkait dengan implementasi pendidikan multikultural di sekolah. Sedangkan perbedaannya 52 terletak pada pendekatan penelitian yang digunakan, karena penelitian ini akan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Selain itu, penelitian yang relevan yang disajikan dalam penelitian ini juga ditujukan agar dapat memberikan gambaran yang lebih luas dan jelas bagi peneliti tentang variabel penelitian yang ingin diteliti dalam penelitian ini.

D. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka Berpikir Gambar 1. Kerangka Berpikir Implementasi Pendidikan Multikultural Pendidikan Multikultural Kurikulum Proses Pembelajaran Program dan Kegiatan Peran Guru dan Sekolah Faktor Pendukung Penghambat SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Taman Siswa 53

E. Pertanyaan Penelitian

a. Upaya apa yang dilakukan sekolah dalam melaksanakan pendidikan multikultural di sekolah ? b. Program apa yang dilakukan sekolah dalam melaksanakan pendidikan multikultural di sekolah ? c. Kegiatan apa yang dilakukan sekolah dalam melaksanakan pendidikan multikultural di sekolah ? d. Apa saja faktor pendukung pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah ? e. Apa saja faktor penghambat pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah ? f. Bagaimana upaya mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah ? 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu lebih menekankan realitas sosial sebagai sesuatu yang utuh, kompleks, dinamis dan bersifat interaktif untuk meneliti obyek yang alamiah. Penelitian ini memanfaatkan paradigma penelitian interpretatif dengan tujuan membangun makna berdasarkan data-data lapangan. Metode penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Penelitian ini dikategorikan penelitian lapangan field research yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati di observasi. Peneliti memilih jenis penelitian ini karena peneliti beranggapan bahwa suatu penelitian atau suatu keadaan dapat terlihat keasliannya ketika diamati dan dideskripsikan.

b. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif mempelajari masalah- masalah yang ada serta tata cara kerja yang berlaku. Pendekatan deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang ada atau sedang terjadi. Dengan kata lain 55 penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk memperoleh informasi- informasi mengenai keadaan yang ada atau keadaan yang sementara berlangsung. Dalam penelitian ini, pendekatan deskriptif kualitatif digunakan untuk mengetahui bagaimana implementasi pendidikan multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang Implementasi Pendidikan Multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang terletak di Jalan Tamansiswa No.25, Yogyakarta. SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa merupakan salah satu sekolah yang termasuk sekolah inklusi dan memiliki berbagai macam latar belakang siswa dan karakter anak, di sekolah tersebut juga memiliki siswa berkebutuhan khusus maupun bertalenta. SD Taman Muda Ibu Pawiyatan juga merupakan sekolah berbasis seni dan budaya dan menerapkan pendidikan budi pekerti luhur. Oleh karena itu, peneliti tertarik memilih SD Taman Muda Ibu Pawiyatan sebagai lokasi penelitian. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan April 2016 sampai dengan Juni 2016.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan penelitian. Instrumen dalam penelitian kualitatif merupakan peneliti sendiri. Peneliti kualitatif berusaha berinteraksi dengan subjek penelitiannya secara alamiah dan dengan cara tidak memaksa. Didalam penelitian ini, peneliti sebagai instrumen penelitian berusaha mencari informasi dari subjek sebagai orang yang dijakdikan informan.