memutuskan hidup membiara. SY terlihat antusias saat bercerita pertemuannya dengan guru dan seniornya, hal ini terlihat dari suara SY
yang lebih jelas dan lantang, dan raut wajah SY yang kembali terlihat tersenyum sambil bercerita. Ketika SY menceritakan gambaran
mengenai pribadi gurunya, SY pun terlihat bersemangat, bagi SY gurunya seperti orang tuanya sendiri, dan kakak sepergurannya sudah
seperti kakaknya sendiri.
c. Analisa Verbatim
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara
psikologis, antara lain :
Analisis Verbatim P3W1
Makna Teks dan Kode
P memutuskan hidup membiara setelah
kehilangan seluruh keluarganya karena
musibah. Keinginan ini timbul waktu saya SMA kelas 2, nah
mama masih hidup waktu itu, kan saya anak cewek satu-satunya adik saya dua cowok, nah saya
ijin sama mama tapi gak dikasih ya udah saya urungkan niatnya, nah udah gitu mama meninggal
akhir saya SMA kelas 2 mau naik kelas 3 mama meninggal, kemudian waktu 2004 orang tua saya
kena tsunami, nah kena tsunami sama adik saya jadi tinggal saya sendiri, jadi saya berpikir ulang
kenapa tidak saya ambil membiara gitu kan, e… sedangkan kedua orang tua saya sudah tidak ada
gitu kan, akhirnya saya memutuskan keluar dari pekerjaan saya, saya hidup membiara P3W1 12-
24. Sebelum menjalani
hidup membiara P pernah bekerja.
Selama berapa tahun ya sambil melihat ke atas mencoba mengingat, saya tamat tahun 99 sampai
tahun 2004 kemaren saya bekerja di Medan bagian finance itu 4 tahun, habis itu kepala kasir di
Jakarta dan kemudian pernah kerja di Malaysia, baru kesini sambil menunjuk tempat wawancara
kami P3W1 29-35. Keinginan hidup
membiara timbul ketika saat kecil melihat
seorang bhikkhu. Enggak menggelengkan kepala, nah waktu kecil
kan kita tinggal di Aceh, jarang sekali ada bhikkhu yang kesana, jadi pas bhikkhu datang itu kita liat,
ih hidupnya tenang, orangnya anggun, akhirnya saya suka, nah pas SMA itu saya memutuskan
untuk ikut pelatihan tapi ternyata tidak direstui P3W1 38-44.
Sering terjadi permasalahan dalam
keluarga P. Karena gini, saya kan dari keluarga yang dibilang
kaya tidak, dibilang miskin juga tidak karena kita hidup sederhana nah kita liat, kan orang tua
kadang kan masalah keuangan kan ada cekcoknya, nah kemudian saya merasa bosan dengan cekcok-
cekcok orang tua P3W1 56-61. P menginginkan
kehidupan damai seperti seorang bhikkhu.
nah saya liat ternyata seorang bhikkhu itu hidupnya damai, jadi saya ingin kehidupan yang
damai itu jadi saya ingin sekali latihan tapi gak direstui orang tua sambil tersenyum P3W1 61-
65. Penolakan dari orang tua
saat P memutuskan ikut pelatihan.
ee…, waktu itu mungkin masih anak SMA ya jadi gak direstuin ya udah cuek gitu, konsentrasi
dengan sekolah dan pelajaran lagi P3W1 68-70. Rasa tanggung jawab
Kecewa pasti, tapi ya mungkin mereka orangtua
pada keluarga membuat P mengurungkan niat
hidup membiara meskipun P sempat
merasa kecewa. jadi tidak terlalu mengambil hati, mungkin karena
alasan mama begini, saya cewek satu-satunya di keluarga nah kalau saya membiara, ee… mama
gak rela, jadi ya udah saya menerima, apalagi setelah mama meninggal kan, tinggal papa sama
adik, nah habis itu saya merasa ooo, ya udah saya ngurus keluarga P3W1 74-81.
Keinginan hidup membiara dirasakan
kembali saat P kehilangan keluarganya.
Setelah saya mengetahui orang tua saya meninggal, papa kena tsunami, adik kena tsunami,
jadi satu keluarga 3 orang kena tsunami, kan mama meninggal dan yang ketiganya itu kena
tsunami, settelah itu saya berpikir, memang kerja saya gaji lumayan, tetapi saya berpikir ulang, saya
kan bertekad tidak ingin berumahtangga, tidak berumahtangga, saya berpikir ulang saya cari uang
banyak-banyak untuk apa, jadi ya udahlah saya memutuskan saya ingin hidup membiara aja
P3W1 87-96. Perasaan hampa
walaupun P memiliki banyak uang.
Ha ah, habis tsunami saya sempat bekerja di Malaysia selama 2 tahun, jadi saya berpikir kerja
berat-berat banyak uang untuk apa, jadi saya memutuskan untuk membiara P3W1 99-102.
P mengurungkan niat hidup membiara karena
tidak ada bhikkhuni dalam aliran Theravada.
Waktu saya SMA itu saya kan….. kita kan di agama Buddha ada 3 aliran, nah aliran Mahayana,
Theravada, dan Tantrayana P3W1 117-119 Saya dari dulu ingin sekali memakai jubah seperti
ini yang Theravada nah dialiran Theravada itu bhikhuni itu belum ada, jadi saya memutuskan ya
udahlah saya enggak latihan dulu, saya enggak membiara dulu P3W1 124-128
Informasi keberadaan bhikkhuni Theravada
membuat P kembali menjadi tertarik hidup
membiara. nah kemudian kan saya bekerja-bekerja, nah waktu
mulai aktif facebook, facebook mulai membooming nah kita main-main di facebook, nah
lihat kok ada samaneri yang pakai jubah ini, nah saya merasa tertarik kan, saya tanya kok, eee tukar
no telephone, kemudian dibilang saya orang yang bertukar no telephone sekarang pelatihan di Jawa
Tengah katanya, jadi saya bilang saya ingin sekali latihan, waktu itu saya pulang dari Malaysia, dia
bilang kalau misal mau latihan nanti kita ketemuan dulu di Jakarta, waktu itu saya domisili di Jakarta,
kemudian kita jumpa dan ketemu dengan guru saya sekarang ini, bhante S, kita jumpa di Vihara
Ekayana, kemudian saya merasa saya dekat dengan bhante S, jadi kita sering kontek-kontek,
akhirnya saya memutuskan, sudah ternyata sudah ada samaneri yang jubah kayak gini, jadi saya
ingin latihan P3W1 129-146. Saat keinginan hidup
membiara muncul pertama kali, ibu yang
diberitahu pertama kali. Mama, karna kan saya satu kamar sama mama,
jadi sering curhat sama mama. Nah saya memang waktu memutuskan hidup membiara itu memang
saya aktif di vihara, saya aktif di vihara kan, tapi mama kan memang agama Buddha tetapi tidak
mengerti ajaran Buddha itu apa, mereka hanya ke klenteng, hanya sembahyang-sembahyang bakar
hio, nancep gitu udah permohonan-permohonan gitu, mama cuma tau begitu, mama tidak aktif, jadi
waktu saya bilang ingin menjadi samaneri gitu kan ikut pelatihan membiara mama langsung gak
setuju P3W1 159-170
Orang tua takut jika P hidup membiara, maka
tidak akan bertemu lagi. karna kan pendapat orang tua itu kalau kita sudah
hidup membiara itu tidak boleh ketemu orang tua lagi begitu pemikiran mereka, jadi waktu itu kan
saya masih vakum gak mengerti apa-apa tentang membiara itu, jadi saya bilang “boleh lah, boleh
pulang”, kata mama “gak boleh, itu anaknya siapa teman jadi biksu g
ak boleh pulang”, jadi mama gak kasih karna kan saya cewek satu-satunya.
Padahal boleh kalau kita memang ada waktu, mengunjungi orang tua boleh P3W1 171-179.
P menghadapi salah satu keluarga yang
menyayangkan keputusan membiara.
Ada dari paman saya, kan perlu ijin dari keluarga terdekat untuk ikut latihan, karena keluarga saya
gak ada, saya ijin ke keluarga paman, nah waktu saya minta ijin dia bilang, “gak usahlah, nikah
aja”, aduh saya gak kepikiran nikah gitu, ya kata paman kalau memang kamu merasa ingin seperti
ini, ya kamu jalani, jangan buat yang jahat-jahat, jangan terpengaruh dengan teman yang enggak-
enggak, kalau kamu mau membiara ya silahkan yang penting kamu bisa jaga diri P3W1 182-191.
Dukungan dari teman- teman P untuk
keputusannya hidup membiara.
Waktu saya aktif di vihara Ekayana Jakarta, di Ekayana Buddhist Center, saya punya temen
banyak, dan mereka mendukung, sebenarnya mereka juga ingin seperti saya, ikut latihan hidup
membiara, tetapi mereka kan masih dari keluarga yang lengkap jadi mereka terbebani, belum bisa,
tapi mereka tetap mendukung saya P3W1 194- 201.
Tuntunan yang diberikan oleh kakak seperguruan
Nah dukungan kedua mungkin dari samaneri yang saya kenal itu, samaneri T namanya, waktu saya
membantu P memantapkan
panggilannya. kesini ke Jawa ini, saya tuh gak kenal Jawa tuh
kayak gimana, kotanya bagaimana, saya gak tau, tapi bhante
S, guru saya itu bilang, “kamu datang ke Jawa, nanti dijemput sama samaneri T, jadi
saya datang sendiri kayak orang ilang tersenyum dan tertawa, nah habis itu ketemu sama samaneri,
kita gak saling kenal hmmm… akhirnya “dimana kamu?”, “saya disini”, dan yang keluar pake jubah
gini menunjuk jubahnya, ya berarti dia sambil tersenyum, baru kita kenalan. Padahal saya belum
kenal apakah orang baik atau tidak, tapi saya memberanikan diri P3W1 211-225.
Proses adaptasi yang P lakukan saat pertama
kali masuk dalam biara mendapatkan dukungan.
Kasih support terus karna untuk latihan membiara itu tidak mudah, sangat tidak mudah karna pertama
harus adaptasi dulu, nah saya sampai disini pertama sampai disini, saya dibiarkan lepas gitu,
gak ditegur, gak disuruh makan, jadi dilepasin, saya kan bingung saya masih awam sekali, saya
tanya samaneri D, kalau ke vihara itu kita harus gimana, nah kalau guru saya bhante S, itu biasanya
kalau bawa murid, dibawa kesini terus disuruh adaptasi selama satu atau dua minggu, biar
beradaptasi kehidupan disini itu seperti apa dan bagaimana kebiasaannya, setelah itu kita akan
ditanya, mau lanjut apa lepas keluar dari hidup membiara. Nah setelah 7 minggu, bhante S, suruh
12
samanera gundulin, “kamu sudah siap?”, “siap”, biar kita terbiasa hidup dilingkungan seperti ini
12
Calon bhikkhu
P3W1 227-243. Dukungan yang
diberikan oleh guru. He eh, tergantung dari orangnya sendiri juga, tidak
dipaksa. Guru saya juga selalu beri dukungan dengan berkata yang penting semangat kalau
sudah ada niat tapi gak semangat sama aja boong, kalau sudah ada niat dan tetap semangat itu baru
gitu P3W1 252-257. P merasakan proses
adaptasi yang sulit saat hidup dalam biara,
terutama dalam hal aturan makan.
Pertama masuk saya jadi anagarini, kalau waktu masih umat awam kan kita makan 3 kali sehari,
setelah kita masuk kan kita 2 hari sekali, lewat dari jam 12 kita tidak makan lagi, nah itu mungkin
berat bagi saya waktu awal-awal, tapi saya berusaha saya bisa, saya bisa, tapi malemnya
keroncongan sambil tertawa, tapi saya minum teh akhirnya bisa P3W1 262-269.
Dalam menghadapi masalah dengan rekan-
rekannya, P lebih mengalah.
Kita teman biasa, walaupun kita dibedakan oleh jubah dan pemikiran kita masih awam, tapi
seawam-awamnya pikiran samaneri, kita harus mengalah, misalnya ada masalah kita ya selesaikan
dengan cepat, pertengkaran pasti ada, selisih paham pasti ada tetapi kita selesaikan secepatnya
kalau bisa, kita bertanya ada apa, misalnya mereka bilang kamu gini-gini, y a wes besok saya gak
kayak gitu, nah gitu P3W1 273-281. Perasaan rindu bertemu
dengan mama angkat terkadang hadir.
Ada, karna masih ada, apalagi ada mama angkat, mama angkat sangat baik, nah saya ni liburan
rencana pengen pulang, tapi KKN nanti, nanti kalau udah tamat nanti pulang, kan saya
rencananya saya diwisuda suruh mereka datang, tapi kalau gak bisa saya yang kesana P3W1 284-
289. Keinginan P untuk
memiliki keluarga yang akur dan kehidupan yang
lebih damai, seperti hidup seorang bhante.
Nah karna itu kan, bosen sama cekcok orang tua itu kan pertama karena saya merasa di Aceh itu
kan di kampung, walaupun kampung pun masih agak kota, misalnya gini, kita pulang malam aja,
kita bisa jadi gossip satu RT, aduh manusia ini, kita bosan dengan yang seperti itu, kalau bilang
saya ingin mengasingkan diri, memang mungkin itu, tetapi saat kita lihat kehidupan seorang bhante
sangat damai, kenapa saya mesti mengasingkan diri, kalau saya bisa seperti mereka gitu kan, punya
keluarga yang akur, itu yang membuat saya ingin… sekali latihan membiara P3W1 296-307.
Rasa senang yang dirasakan oleh P setelah
menjadi seorang samaneri walaupun pada
awalnya merasakan takut.
Senang sekali tentunya, dan oo jadi samaneri itu gini ya ternyata, saya ini dulunya penakut dibebani
dengan tugas ceramah di depan orang banyak sangat sangat membuat saya kedinginan
hehehehe….., aduh keringatan tapi sekarang saya seneng kalau disuruh ceramah saya seneng,
ketemu sama ibu-ibu, bapak-bapak, itu tidak beban lagi bagi saya, mungkin awal-awal iya P3W1
310-317. P merasakan ragu, takut
saat harus berhadapan langsung dengan umat
dan berpikir untuk keluar.
Disitu saya ketakutan, keyakutannya gini bagaimana ya saya jika berjumpa dengan umat,
nanti umat tanya a saya jawabnya c, karna waktu saya di Aceh itu pendidikan agama Buddha itu
kurang sekali, nah disini saya kuliah, awalnya saya gak niat kuliah, disini untuk latihan membiara,
tetapi saya ingat lagi umatnya aja sudah pinter- pinter nanti saya diatanya a jawabnya c, kan gak
nyambung banget, ketakutan, was-was, kadang saya berpikir ingin pulang aja, P3W1 328-337.
P mengembangkan disiplin rohani sebagai
pembekalan sebelum melayani
masyarakatumat. tetapi gak ah aku udah sampe sini, ngapain pulang
lagi gitu kan pokoknya berkecambuk disitu, akhirnya disitu bhante menyuruh latihan membaca
parrita, membaca sutra, mantra, pokoknya setiap hai tuh ada latihannya, jadi nanti untuk terjun ke
masyarakat kita bisa jadi setiap hari latihan-latihan ya itulah P3W1 337-344.
Dukungan dari umat menjadi motivasi untuk
P mantap dengan panggilannya.
Pasti ada, waktu awal-awal, saat saya menjadi samaneri diwajibkan ceramah, saya tuh kesulitan
aduh saya pingin pulang aja, jadi umat biasa bekerja begitu, tetapi setelah dijalani ceramahnya,
saya gak takut lagi, malah beberapa orang bilang “samaneri sukses lho, umatnya pada senang”, ibu-
ibunya pada suka, jadi itu yang membuat saya termotivasi banget P3W1 348-355.
Analisis Verbatim P3W2
Makna Teks dan Kode
Peristiwa kematian pada anggota keluarga
mempengaruhi perubahan orientasi hidup P.
Begini kan setelah tamat sekolah SMA, saya kan sudah keluar kota, awal ke Medan lalu ke Jakarta,
nah tahun 2004 itu kan tsunami nah setelah itu a…
saya masih apa, setelah tsunami itu saya masih sempat kerja ke Malaysia, nah setelah ke Malaysia
kan balik, balik saya pikir ulang kalo misalnya saya masih kerja terus gitu kan, kan keinginan
saya untuk latihan ini kan sudah dari dulu, jadi saya berpikir lagi, selesai nabung uang begitu
banyak untuk apa gitu kan, keinginan menikah
memang tidak ada, tidak ada jadi ya sudah saya bilang ya sudah saya mau latihan saja apalagi
waktu itu udah kenal dengan samaneri T itu dari facebook
, nah udah kenalan itu ya udah itu yang membuat tekad saya makin bulat P3W2 14-28.
Kehilangan keluaraga akibat tsunami
meninggalkan perasaan duka yang mendalam.
Itu sangat apa….. piye ya… a… peristiwa itu sangat melukai saya, karna tiba-tiba dulu tiba-tiba
saya harus kehilangan ibu karna saya dekat sama ibu apalagi saya cewek satu-satunya di rumah tapi
setelah ibu meninggal kan sedikit demi sedikit… sempat tinggal dengan adik mama di Biak, setelah
itu saya memutuskan ya saya kembali ke bapak sama adek-adek saya. Nah setelah kita apa tinggal
bersama, walaupun tetap kan saya tamat sekolah saya berpisah sama orang tua, saya kerja keluar
kota tetapi kita tetap… misalnya setahun sekali kadang…setengah tahun sekali saya pulang ke
Aceh, jumpa… jumpa walaupun kita jarang jumpa
tapi lebih akrab gitu, sekali pulang itu akrab banget P3W2 31-45.
Perasaan kehilangan keluarga dan materi
membuat P merasa terganggu jiwanya.
nah tiba-tiba harus kehilangan semuanya sak rumah-rumahnya gitu kan, jadi seperti.. ya bisa di
bilang waktu itu selama dua bulan saya berpikir kayak orang gila sempat jatuh dari motor kan nah
kayak orang gak bener gitu, ya saya kadang pergi sama temen sampe malem gitu, habis itu saya…
saya berpikir yang ngalamin hal itu bukan saya sendiri karna kan teman-teman lain juga seperti itu
ada temen saya juga kehilangan sekeluarga tinggal dia sendiri tapi dia masih bersemangat ya udah
saya kembali lagi saya memutuskan itu kerja dulu, ada yang ngajak ke Malaysia P3W2 45-56.
Upaya menyenangkan ayah tidak berhasil
karena kematian ayah yang tidak terduga.
Sempet down, karna kan kejadiannya minggu, nah sabtu malem itu kita masih sempat teleponan, nah
papa kan suka liat film-film serial-serial drama gitu kan, yang serial drama Taiwan, Korea, nah
saya dah beli banyak udah packing, mau kirim minggu ini, ternyata belum kirim udah gak ada
duluan… itu P3W2 59-65. Jika keluarga masih ada,
P berpikir tidak akan hidup membiara, karena
keluarga menginginkan P menikah.
Mungkin pada saat itu jika orang tua saya masih lengkap, mungkin saya tidak memutuskan untuk
latihan, karna kan bagaimanapun mama saya ingin saya menikah, waktu mama meninggal kan saya
masuk SMA kelas 1, nah dari situ seperti remaja biasa yang sempat pacaran P3W2 76-81.
Rasa tanggung jawab pada keluarga membuat P
memutuskan tidak hidup membiara.
, ketika mama meninggal masih pacaran kemudian …aa… agama kita beda tapi setelah itu tamat
SMA papa gak setuju, nah saya memutuskan kerja di luar kota kita pisah, nah setelah itu saya gak
kepikiran untuk menikah tetapi saya kepikirannya pengen kerja…kerja…kerja… gitu, karna walapun
keluarga kita tidak kaya banget sederhana, saya tidak pernah menyusahkan orang tua, nah saya kan
suka jalan- jalan ke luar negeri, jadi kerja itu…
saya sempet ke luar negeri jalan, nabung jalan, nah kalo keluarga masih ada mungkin saya masih ingin
kerja, ingin jalan-jalan gitu P3W2 81-93. Ada rasa takut saat
pertama kali bertemu dengan bhikkhu, karena
Partama sekali lihat bhikkhu itu takut, rasa takut ada, karna kan kita jarang ketemu sama orang-
orang kayak gitu karna di Aceh kan jarang, nah
tidak pernah berkomunikasi dengan
seorang bhikkhu. sekali ketemu kita merasa takut pernah ketemu
tetapi jarang-jarang sekali, jadi sekali ketemu itu kita takut, jarang berkomunikasi P3W2 104-109.
Pertemuan dengan seorang bhikkhu yang
mengesankan berpengaruh pada
munculnya keinginan hidup membiara.
nah pada saat itu saya mulai aktif di Vihara kan, aktif…aktif … jadi kita akrab dengan guru agama
di sana, bukan guru agama spesial ngajar agama enggak tapi ngurus Vihara gitu kan, nah kita akrab
jadi suatu hari bhikkhunya datang ngajak kita keluar, misalnya ni Banda Aceh kan ibukotanya
nah ada Aceh Besar misalnya ke Melaboh ke Langsa gitu kan, nah kita di ajak, jadi yang pergi
saya sama temen saya berdua nah sama guru agama itu kemudian ada bhikkhunya satu, nah
kemudian kita akrab di situ sama bhikkhu, yah ooo ternyata seorang bhikkhu itu bawaannya tenang,
santai, baik, dan sebagainya, itu yang memotivasi oo ternyata kehidupan bhikkhu itu begitu
menyenangkan P3W2 109-123. P menginginkan
kehidupan keluarga yang tenang dan jauh dari
pertengkaran. Begini, karna pada waktu itu apa masih anak-anak
gitu saya sering liat orang tua saya bertengkar, bertengkar kan kayaknya… kalo udah bertengkar
itu kan namanya anak-anak, waktu itu remaja yak an merasa gak tenang hidupnya, jadi setiap hari
ada warna warni pertengkaran gitu kan, kita rasanya sebel gitu, jadi gimana sih rasanya biar
damai. Habis itu mama itu sering..eee … apa, mungkin dulu saya bandel banget jadi sering di
pukul mama gitu, jadi waktu itu saya ingin sekali apa, punya keluarga yang bahagia, yang tenang
gitu, tidak ada pertengkaran itu yang membuat
saya pengen cari suasana yang tenang bebas dari cekcok cekcok P3W2 133-145.
Rasa tenang yang tidak diperoleh dari orang
tuanya, P rasakan saat bersama dengan bhikkhu.
Begini e…, gimana ya seorang bhikkhu itu kalau berjalan kan kayaknya damai liatnya, dia
membuat..membuat saya itu seperti nyaman, nyaman berada di sisi dia gitu kan, jadi seperti
saya berjumpa dengan guru saya ini saya liat… jiwa bapaknya itu ada gitu jadi saya merasa
nyaman, tenang di sisi dia gitu kan, jadi ya udah, padahal saya belum kenal banget sama guru saya
pertama saya jumpa, baru ketemu dua kali, tapi beda perasaannya ada perasaan yang berbeda,
mungkin saya tidak mendapatkan perasaan itu ketika orang tua saya masih lengkap, ya kata
sekarang ini kurang perhatian lah, nah jadi sekali liat seorang bhikkhu itu ooo seorang bhikkhu itu
seorang yang melindungi P3W2 149-163. Bagi P, bhikkhu seperti
orang tua yang diharapkannya.
He eh mungkin, jadi seorang bhikkhu itu seperti orang tua yang saya harapkan, seorang ayah yang
saya harapkan P3W2 166-168. Ketidak-harmonisan
dalam relasi orangtua membuat P merasa tidak
nyaman hidup dalam keluarga.
Gak mengerti ya, mungkin saya kurang nyaman hidup dengan ayah dan ibu, nah habis itu saya
pernah denger cerita dari tetangga-tetangga itu, waktu itu saya masih kecil orang tua saya
hidupnya mapan, ya bisa di bilang orang kaya gitu kan mapan, sejak itu jatuh usahanya, nah kira-kira
apa saya gak ngerti karna waktu itu masih kecil, nah sejak itu orang tua sering bertengkar, kalo
dulu waktu mapan kata tetangga saya kan mama kan sering jalan-jalan ke rumah tetangga maen,
saya sering dibawa, mama sayang kok katanyanya, tetapi setelah jatuh itu mungkin, yah dari kaya
tiba- tiba miskin mungkin gak menerima ya… jadi
kita sebagai anak merasa kok orang tua kita gak perhatian sama kita, waktu kejadian saat kecil kan
kita gak mengerti tetapi setelah SMP SMA, kita mengerti kok ayah dan ibu gitu P3W2 171-187.
Penolakan awal dari orangtua tidak
mengecewakan P karena P merasa masih
mempunyai kesempatan. Dalem sih gak dalem, karna saya kan berpikir
begini, ya saat ini mungkin belum, mungkin nanti kan karna waktu itu saya mikirnya gini, kan umur
saya masih panjang kok saya masih muda, nanti saya umur tiga puluh saya umur empat puluh saya
masih bisa latihan gitu, ya udah saya gak terlalu kecewa banget.
Iya, jadi ada temen maen, masih ada kegiatan lain, jadi saya lupa gak terlalu kecewa banget P3W2
192-198. Keinginan hidup
membiara saat melihat seorang bhikkhu masih
ada, walau keluarga tidak merestui.
Sempat hilang, tapi tetap saat jumpa dengan bhikkhu itu tetap…tetap pengen. Kan karena
pelatihan kita juga kan gak di batasi umur, jadi kapan pun kita siap kita bisa P3W2 204-207.
Kesibukan pekerjaan mengalihkan minat P
yang semula ingin hidup membiara.
Gak, sewaktu di Malaysia gak muncul, gak muncul mungkin terlalu nyaman dengan
kehidupan di sana, ataupun terlalu disibukan oleh kerjaan di sana, karna kan saya kerja sehari dua
belas jam, jadi pergi pagi pulang malam jam tujuh, kadang kita tukar shift jam tujuh malem pulangnya
jam tujuh pagi, jadi sibuk sibuk jadi gak kepikiran kesana, nah setelah dua tahun kan kita namanya
gak punya tanggungan hidup jadi nabung kan banyak gitu, nah pulang-pulang pengen usaha tapi
usaha apa gitu kan pengen ini penen itu tapi buat apa gitu, nanti kalau saya sakit atau meninggal
sapa yang ngurus semua itu gitu kan, ya udahlah pas chating-chating di facebook ketemu sama
samaneri T, baru kepikiran lagi gitu P3W2 214- 228.
Perjumpaan dengan samaneri yang beraliran
Theravada menghidupkan kembali minat hidup
membiara pada diri P. Belum, jadi setelah saya dari Malaysia, saya kan
bekerja di Jakarta, nah saat itu kan mulai heboh faceboo
kan nah kita mulai chatingan cari teman gitu kan cari dapetlah samaneri T, samaneri T ini
pake jubah Theravada nah dulu kan saya ingin pake jubah Theravada nah saya liat kok sekarang
ada yang cewek pake jubah Theravada ya udah tak chating-chating
kenalan-kenalan, pernah samaneri T datang ke Jakarta jumpa sama saya bareng guru
saya sekarang ini P3W2 242-251. Kekhasan membiara pada
aliran Theravada membuat P tertarik untuk
menjalaninya. Oo, waktu dulu kan belum ada wanita yang
memakai jubah Theravada, dan itu yang mungkin membuat saya juga mengurungkan niat untuk
mengikuti pelatihan, karna saya merasa kalau pake Mahayana yang kayak baju Taiwan itu kan
ritualnya banyak, sembayang sana, jadi lebih fokusnya ke ritual, saya gak suka, saya lebih suka
Theravada, karna Theravada itu lebih ke meditasi jadi lebih simpel daripada Mahayana, nah itu
mungkin faktor yang membuat saya mengurungkan niat saya dulu P3W2 254-264.
Minat P semakin kuat nah ketika saya melihat samaneri T, lho kok sudah
untuk membiara setelah bertemu dengan
samaneri. ada oo ya udah saya ajak chating saya tanya
samaneri sekarang memang wanita uda boleh pake jubah Theravada, kata samaneri T, boleh, saya
latihan di Jawa, di sini ada beberapa orang samaneri katanya gitu P3W2 264-269.
Kemudahan mengikuti pelatihan menambah
semangat P untuk hidup membiara.
nah anagarini juga ada, nah kalo gitu kalo latihan harus nunggu pabbaja atau kita boleh datang
langsung, kata samaneri datang langsung boleh nunggu pabbaja boleh, tapi setelah bertemu sama
guru sudah merasa nyaman gitu dan siap untuk latihan boleh datang sendiri katanya gitu, ya udah
saya bilang saya pengen ketemu…saya pengen ketemu… nah samaneri sama guru saya ada acara
di Jakarta kita jumpa P3W2 269-278. Ada rasa takut yang P
rasakan saat pertemuan pertama P dengan sang
guru bhante. Dag dig dug, gak tau dari dulu saya kalo ketemu
sama bhikkhu itu takut, tapi setelah ngobrol itu nyaman, waktu pertama kali jumpa itu takut, jadi
kita duduk gak kenal kan ngobrol-ngobrol, bhante tanya keluarga gimana, kedua kali jumpa udah
akrab, yang ketiga kali saya memutuskan, selang lama juga ya tiga bulan apa empat bulan kita
jumpa lagi lalu saya bilang bhante saya mau ke Jawa, yah kalau udah niat nanti datang ntar
dijemput sama samaneri P3W2 280-289. Beberapa upaya yang P
lakukan untuk mempersiapkan diri
menjalani kehidupan membiara.
Iya saya sempat.. rambut saya kan panjang saya potong pendek temen-temen kan bilang ngapain lu
potong pendek mungkin teman-teman saya kan teman akrab saya mereka aktif di Vihara jadi
mereka dukung seratus persen, jadi waktu saya potong pendek, mereka tanya ngampain kamu
potong pendek, saya ingin nanti sampe di sini gak susah-susah lagi kan digundulinnya gak susah, oo
ya udah mereka ngasih dukungan, dukungan mereka juga memantapkan saya. Saya juga latihan
tidak makan malem, latihan tidak makan daging, latihan memberika sedekah-sedekah, misalnya
panti asuhan ini butuh, jadi kita berlatih melepaskan uang itu lebih banyak dari biasanya
gitu, jadi tabungan saya itu sedikit demi sedikit saya lepas P3W2 293-308.
Tidak ada lagi keraguan pada diri P saat
memutuskan untuk menjalani hidup
membiara. Hati saya, waktu saat itu senang sekali tidak ada
keragu-raguan sama sekali, malah temen-temen bilang, enak ya kamu punya keinginan sebentar
lagi terkabul, kami punya keinginan tapi belum bisa menjalaninya P3W2 312-316.
P menemukan sosok seorang ayah pada
gurunya dan kakak pada seniornya yang membuat
P mantap pada keputusannya.
Waktu pertama ketemu dengan guru saya ini saya buta sama dia, apa hebatnya dia, apa pinternya dia,
waktu pertama ketemu itu yang saya rasakan saya nyaman, saya merasa nyaman kok bhante ini baik
gitu kan, ayah yang saya harapkan, habis itu samaneri T juga baik gitu kan seperti ibaratnya
seorang kakak, jadi saya merasa oo mungkin inilah…inilah guru yang bisa membimbing saya,
samaneri T bilang mungkin bhante S bisa menjadi guru yang baik buat kita ya udah itu yang
membuat saya mengambil keputusan dengan mantep, padahal saya gak kenal awalnya P3W2
323-335. P melihat bahwa gurunya
sebagai orang tua yang Setelah jadi muridnya saya melihat oo ternyata
murid bhante S banyak juga sudah pada
bijaksana bagi anak- anaknya.
tingkatannya sudah tinggi, padahal bhante S kan umurnya masih empat puluh delapanan, tetapi
muridnya sudah banyak, habis gitu saya juga mendengar bahwa bhate Sur tidak suka membatasi
muridnya harus seperti ini kamu harus gini..gini.. gak, bhante membiasakan pada murid-muridnya
untuk mengambil keputusan sendiri karna murid- muridnya sudah di anggap dewasa, jadi segala
keputusan yang di ambil adalah yang benar, nah nanti kalo ada salah nanti bhante S yang bimbing
lagi, nah begitu banyak masukan-masukan itu yang membuat saya mulai yakin bener gak sih,
jadi setelah saya lihat-lihat dan alami memang bhante
orang yang seperti itu, dia tidak pernah misalnya gini, bhante saya mau gini, oh itu gak
bagus kamu gak boleh gini gini gak itu gak pernah, misalnya kami bilang mau seperti ini bhante
bilang kalau memang itu yang baik kamu ambil. Jadi bagi saya itu bhante itu bijaksana kalo kamu
mau ambil keputusan seperti ini kamu ambil, kita kan gak merasa terbebani karna kita sebagai orang
tua kita tidak boleh mengatakan kata-kata jangan, karna kata-kata itu membuat pikologis anak ini
terganggu. Jadi saya merasa nyaman P3W2 340- 365.
Seorang bhante, bagi P adalah panutan bagi
banyak orang. Ya kalo dulu kan dari seorang bhikkhu doang, yah
saya waktu itu sering melihat bhante Utomo saya melihat dari luar belum tau dalamnya, kan dia
sering talkshow, banyak orang seneng sama dia karna dia lucu menyenangkan ramah salah
satunya, saya sempat ke Blitar saya ingin tau oo bagini kehidupan bhante U, kan saya sempat
mengikuti pelatihan meditasi, setelah kita ngobrol- ngobrol ternyata bhante tidak menerima murid,
jadi bhante masih ingin melatih dirinya dulu. Tapi sampe sekarang bhante U mungkin sesosok bhante
yang yang membuat saya oo bhante itu begini lho begini dalam hal bhante itu bisa jadi panutan bagi
banyak orang, mungkin salah satu faktor saya menjadi seperti ini salah satunya juga dari beliau,
karna saya suka ngeliat talkshownya P3W2 367- 382.
d. Kategori