d. Kategori
Pada  tahap  sebelumnya,  sudah  diperoleh  makna  psikologis  dari hasil analisis verbatim P2 dari W1, W2, W3 terlampir. Setelah proses
pencarian  makna,  maka  tahap  selanjutnya  adalah  menentukan  kategori dari setiap makna yang muncul, yaitu :
1. Ketertarikan pada sosok suster saat SD.
2. Pencarian informasi membiara.
3. Nekat  berbohong  mengikuti  pembinaan  hidup  membiara  pada
keluarga. 4.
Perasaan P saat mengikuti pembinaan. 5.
Respon negatif dari keluarga dan teman spesial. 6.
Mengalami  proses
trial  and  error
dalam  proses  pengambilan keputusan.
7. Fase pasang surut dalam membiara.
8. Perasaan keluarga saat mengetahui P menjadi suster.
9. Dukungan-dukungan dari keluarga.
10. Usaha-usaha yang dilakukan untuk tetap pada panggilannya.
11. Anak-anak menjadi motivasi bagi P.
12. Pengaruh mamak kecil pada diri P mengenai kepedulian pada anak-
anak panti. 13.
Keyakinan yang kuat utuk berkomitmen membiara.
menangis, mereka itu terharu P2W3 132-133. Begitu saja, mau bagaimana, ya senang..senang
P2W3 135.
e. Analisis Pengambilan Keputusan
Ketertarikan  hidup  membiara  partisipan  rasakan  saat  masih  duduk di  kelas  tiga  sekolah  dasar,  ketika  partisipan  melihat  seorang  suster  di
gereja.  Pribadi  yang  sopan,  keanggunan,  dan  rajin  berdoa  pada  diri seorang  suster  yang  dilihatnya,  meninggalkan  kesan  yang  mendalam
pada dirinya. Setelah pertemuan tersebut, timbul keinginan pada dirinya untuk menjadi suster.
saya  lihatnya  itu  sopan,  anggun  seperti  itu,  rajin  berdoa,
kelihatan… itu saya tertarik itu di situ P1W1 24
-26.  Gak  tau  ya mba, pokoknya saat melihat itu pingin jadi suster P2W1 29-30.
Sejak saat itu, keinginan menjadi suster menjadi cita-citanya kelak. Hal ini diungkapkan ketika partisipan mendapatkan tugas mengarang dalam
pelajaran  bahasa  Indonesia,  Partisipan  mengungkapkan  bahwa  dirinya ingin  menjadi  seorang  suster.  Akan  tetapi  seiring  berjalannya  waktu,
ketertarikan  yang  tidak  ditumbuhkan  dalam  dirinya,  membuat partisipan kehilangan keinginan untuk menjadi suster, bahkan tidak ada
pikiran untuk masuk dalam hidup membiara. Panggilan  hidup  membiara  dirasakannya  kembali  saat    kelas  dua
SMA,  saat  partisipan  mengunjungi  kakak  kelasnya  yang  tinggal  di kesusteran  PRR.    Saat  itu  juga,  keinginan  yang  dulu  menjadi  cita-cita
partisipan sejak masih kecil kembali muncul, dan begitu kuat dirasakan. Kemudian  partisipan  mencari  informasi  pembinaan  hidup  membiara
pada  kakak  kelasnya  itu,  hingga  akhirnya  mendapatkan  informasi pembinaan  yang  diadakan  setiap  hari  minggu,  dan  partisipan  pun
memutuskan untuk mengikutinya.
Orang  pertama  yang  diberitahu  oleh  partisipan,  mengenai keputusannya  hidup  membiara  adalah  kakak  nomor  tiga.  Kakak
memberikan  respon  negatif  atas  keputusan  yang  dia  ambil,  kakaknya tidak  setuju  dengan  keputusan  partisipan.  Adapun  alasan  kakak,  tidak
mengijinkan  partisipan  menjadi  suster,  karena  kakak  menyayangkan pendidikan yang sudah dijalani oleh partisipan selama ini akan sia-sia,
jika nanti masuk dalam hidup membiara.
kaka
k  itu…  bilang  “masa  kamu…  gak  boleh…  kamu  kan  jurusan IPA”, saya kan jurusan Fisika P1W1 57
-58
Reaksi  yang  ditunjukan  oleh  kakak,  tidak  membuatnya  menyerah, panggilan  membiara  yang  begitu  kuat,  mendorong  partisipan  untuk
melakukan  tindakan  nekat    mengikuti  pembinaan  hidup  membiara tanpa memberitahukan keluarga.
Partisipan  berbohong  pada  keluarga  agar  dapat  mengikuti pembinaan setiap hari minggunya, dan beralasan pergi belajar ke rumah
teman, agar mendapat ijin keluar rumah mengikuti pembinaan. Selama satu tahun pambinaan  yang dilakukannya  dengan diam-diam berhasil,
dan  selama  itu  juga  partisipan  dapat  mengikuti  pembinaan  hidup membiara  tanpa  diketahui  oleh  keluarga.  Ada  perasaan  bahagia  ketika
menjalani  proses  pembinaan  tersebut,  walaupun  terkadang  rasa  cemas juga  dirasakan,  karena  takut  keluarga  mengetahui  kebohongannya
selama ini. Partisipan memberitahukan pada keluarga akan menjadi suster, dan
menjalani  hidup  membiara  setelah  dia  lulus  sekolah  dan  lulus pembinaan  hidup  membiara.  Tidak  banyak  pihak  yang  mendukung
keputusannya,  hanya  paman  dan  ayahnya  yang  mendukung keputusannya.  Mamak  kecil  yang  dekat  dengan  partisipan  pun,  tidak
setuju  dengan  keputusan  yang  dia  ambil.  Tidak  hanya  mamak  kecil, partisipan  juga  menghadapi  kekecewaan  keluarganya  yang  lain,  atas
keputusannya  untuk  membiara.  Keluarga  menyayangkan  partisipan masuk  dalam  hidup  membiara,  karena  dia  anak  perempuan,  dan  jika
masuk  dalam  biara  maka  tidak  akan  memiliki  keturunan.  Sekali  lagi partisipan  pun,  harus  menghadapi  kekecewaan  teman  spesialnya  yang
tidak setuju dengan keputusannya. Akan tetapi dengan keyakinan besar dan  pengertian-pengertian  yang  diberikan  oleh  partisipan,  pada
akhirnya  membuat  keluarga  dan  temannya  itu  luluh  dan  menerima keputusan  yang  dia  ambil.  Mereka  mendukung  apapun  yang  sudah
menjadi keputusan dari partisipan. Pada  tahun  1996,  partisipan  masuk  dalam  biara  PRR,  dan  selama
delapan bulan menjalani hidup membiara, partisipan sering mengalami sakit,  seperti  sakit  lambung  dan  juga  malaria.  Selama  delapan  bulan,
sudah tiga kali dirawat di rumah sakit. Pada akhirnya dia memutuskan untuk  berobat  di  Ende  selama  satu  minggu,  dan  kemudian  pulang  ke
Atambua.  Selama  tiga  bulan  di  rumah,  keluarga  dan  juga  pamannya memberikan tawaran pada partisipan untuk kembali ke biara PRR atau
menerima  tawaran  pamannya  untuk  berkuliah  di  IPI,  Malang.  Pada akhirnya partisipan pun mengambil tawaran pamannya untuk kuliah di
IPI. Tanggal  29  Juni  1996,  partisipan  dengan  diantar  oleh  kakaknya
nomor tiga, bertolak ke Malang dengan menggunakan transportasi laut,
dan  sampai  di  Malang  tanggal  1  Juli.  Dalam  perjalanan  mereka berkenalan dengan suster komunitas AM, selama perjalanan partisipan
dan  kakaknya  bercerita  mengenai  tujuan  mereka  pada  suster  tersebut, dan  ternyata  mereka  baru  mengetahui  bahwa  IPI  merupakan  satu
yayasan  dengan  AM.  Karena  tujuan  mereka  sama,  maka  dia  beserta kakak dan suster tersebut pergi bersama sampai tujuan.
Selama  menjalani  perkuliahan,  partisipan  bersama  dengan  teman- teman  komunitas  kampusnya,  rutin    berkunjung  ke  panti  asuhan  milik
komunitas  AM.  Pertemuannya  dengan  anak-anak  panti  yang  memiliki kekurangan  dalam  fisik  dan  psikis,  membuat  dia  merasa  terpanggil
untuk  melayani  mereka  secara  langsung,  bukan  hanya  sekedar  datang mengunjungi  saja.  Maka  partisipan  pun  memutuskan  untuk  masuk
dalam kehidupan membiara di AM.
Nah  di  kampus  itu  kan  ada  kita  pergi  ke  panti-panti  gitu,  setiap beberapa  kali  dalam  seminggu,  di  situ  saya lihat  langsung  mereka
anak-anak  yang  cacat,  di  situ  kami  biasanya  bantu  bersih-bersih panti, bantuin kasih makan, setelah pulang dari situ saya putuskan
saya pengen jadi suster, biar bisa rawat langsung mereka, akhirnya saya masuk AM P2W1 15-21.
Keputusan  partisipan  untuk  kembali  masuk  dalam  hidup  membiara, kembali  tidak  diberitahukan  pada  keluarga.  Keluarga  mengetahui
partisipan  telah  menjadi  suster  ketika  dia    mendapatkan  tugas  ke Atambua pada Januari 1999. Rasa terkejut dialami oleh keluarga ketika
bertemu  dengan  partisipan  dan  melihat  penampilannya  yang  sudah menjadi  suster  saat  itu  menjalani  masa  novis.  Partisipan  pun
memberikan  pengertian  pada  keluarga  mengapa  dirinya  mengambil keputusan  menjadi  suster,  dan  dia  pun  menceritakan  karya-karya
pelayanan yang dilakukan oleh AM, seperti merawat anak miskin, anak cacat, dan partisipan juga sempat membawa anak-anak panti yang cacat
untuk  bertemu  dengan  keluarganya.  Keluarga  pun  dapat  mengerti  dan mendukung keputusannya, bahkan mamak kecil saat itu meneteskan air
mata terharu setelah melihat partisipan menjadi suster. Fase  pasang  surut  pada  panggilannya,  dialami  oleh  partisipan  saat
menjalani kehidupan membiara di dalam komunitas. Saat itu partisipan memiliki persoalan yang berat dengan salah satu rekannya, dan keadaan
itu  membuatnya  sempat  berpikir  untuk  meninggalkan  kehidupan membiara.  Karena  sangat  besarnya  permasalahan  yang  dihadapinya
dalam  komunitas,  membuat  partisipan  keluar  dari  asrama  kesusteran selama  satu  hari  untuk  pergi  ke  tempat  salah  satu  rekannya  untuk
menenangkan  diri.  Dalam  dirinya  saat  itu  ada  rasa  enggan  untuk kembali  pada  komunitasnya,  kebingungan  harus  meninggalkan
panggilan  atau  tidak  membuatnya  sedih.  Adapun  usaha-usaha  yang dilakukan oleh partisipan untuk tetap pada panggilannya,  yaitu dengan
berdoa,
sharing
dengan  keluarga  di  sini  peran  mamak  besar  sangat berpengaruh,  memberikan  nasihat  padanya  untuk  terbuka  akan
masalahnya  dengan  pimpinan.  Sehingga  membuat  P  tetap  pada panggilannya  dan  mengurungkan  niat  untuk  meninggalkan  kehidupan
membiara. Yang  menjadi  motivasi  pada  partisipan  untuk  tetap  pada
panggilannya,  tidak  hanya  berasal  dari  keluarga  dan  rekan.  Motivasi
yang  paling  besar  yang  menjadi  pertimbangan  partisipan  tetap membiara  yaitu  anak-anak  panti,  anak-anak  menjadi  pertimbangan
yang signifikan bagi partisipan untuk tetap membiara. Ketika partisipan menghadapi  tantangan  dalam  hidupnya  dalam  komunitas,  dia  teringat
pada anak-anak panti. Perasaan kasih sayang partisipan pada anak-anak itu  membuatnya  tidak  tega  jika  harus  meninggalkan  panggilannya  dan
meninggalkan mereka. “Saya itu kuatnya karna anak
-anak he em, kalo anak-anak itu kalau mau tinggalkan
mereka itu gak tega…..” P2W1 278
-279.
Segala  persoalan  dan  tantangan  dari  dalam  diri  partisipan  dan  dari keluarga juga orang disekitarnya, membuatnya semakin mantap dengan
panggilannya  untuk  membiara  dan  melayani  anak-anak  cacat.  Dengan keyakinannya  dan  keteguhannya  pada  panggilan,  pada  akhirnya
keluarga pun memberikan dukungan penuh pada partisipan.
3. Partisipan Penelitian 3 SY