Atambua, dia mendapatkan tawaran dari keluarga dan pamannya untuk kembali ke biara atau kuliah saja di
6
IPI, Malang. Akhirnya SE memutuskan untuk menerima tawaran kuliah di IPI. Tanggal 29 Juni
1996, berangkat ke Malang dari Timor Leste menggunakan kapal laut, dan sampai di Malang pada tanggal 1 Juli 1996. Di IPI ada kegiatan
berkunjung beberapa kali dalam seminggu ke panti asuhan komunitas AM, yang menjadi satu yayasan dengan IPI. Disana SE melihat anak-
anak panti asuhan yang cacat dan miskin dirawat oleh para suster, dia merasa terpanggil kembali untuk melayani anak-anak itu secara
langsung dan tidak terbatas dengan jadwal kunjungan saja. Maka SE pun memutuskan untuk masuk dalam hidup membiara dan menjadi
suster di komunitas AM. Selama tiga bulan perkenalan, partisipan diterima sebagai aspiran pada tanggal 30 Desember. Aspiran
7
selama satu tahun, kemudian postulant satu tahun juga, lalu novis
8
selama tiga tahun. Kaul
9
pertama dilakukan oleh SE selama sembilan tahun. Pada tanggal 27 September 2010, SE pun melaksanakan kaul kekal.
b. Laporan Observasi Partisipan
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 15 Pebruari 2013, pada pukul 10.05 WIB. Wawancara dilakukan di tempat partisipan tinggal,
6
Institut Pastoral Indonesia
7
Masa perkenalan, periode 1 tahun sebelum menjadi postulan
8
Periode ±2 tahunpelatihan seluruh ordo, dilakukan setelah masa postulan
9
Janji kepada Allah, harus dipenuhi demi keutamaan agama KGK:2102
yaitu di panti asuhan. Dimana SE ditempatkan untuk melayani. Peneliti mengenal dan mendapatkan no
handphone
SE, dari partisipan penelitian yang pertama. Sebelumnya melalui sms
short messages service
, peneliti membuat janji dengan partisipan. SE memiliki perawakan yang kecil dan cenderung kurus dengan berat badan ±35kg,
partisipan juga memiliki warna kulit yang putih. Saat wawancara partisipan memakai baju suster, lengkap dengan kerudung dan kalung
salib. Kedatangan peneliti untuk melakukan wawancara, sudah diketahui dari kepala panti, yang tidak lain adalah partisipan pertama.
SE merupakan orang yang ramah, hal ini dapat dilihat dari ekspresinya yang selalu tersenyum pada peneliti. Saat melakukan wawancara,
terlihat partisipan masih menjaga jarak dengan peneliti, dengan posisi duduk yang dibatasi satu kursi antara peneliti dan dirinya, dan arah
pandangnya saat berbicara pun tidak langsung melihat pada peneliti. Setiap kali menjawab pertanyaan yang diberikan, SE selalu menjawab
dengan tersenyum, terutama ketika bercerita bahwa dirinya dengan diam-diam mengikuti pembinaan menjadi suster, tanpa memberitahu
keluarganya. SE memperlihatkan ekspresi yang sedikit berbeda, lebih antusias
saat menceritakan pengalamannya dalam hidup berkomunitas, yang membuatnya sempat memiliki niat meninggalkan kehidupan membiara.
Keantusiasannya, diperlihatkan dengan posisi duduk SE yang sedikit maju, dan sorot matanya yang tajam dan melihat langsung pada
peneliti.
Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 10 Maret 2013, pukul 10.34 WIB. Wawancara dilakukan saat penghuni panti asuhan ramai
karena pada hari Minggu ada sekolah minggu yang diadakan di panti asuhan. Hal ini membuat jalannya wawancara sedikit mengalami
gangguan kecil karena beberapa kali anak-anak memanggil SE dan ada pula penghuni panti dewasa yang menghampiri. Hal itu terjadi kurang
lebih tiga kali sehingga partisipan beberapa kali terlihat tidak fokus dalam menjawab pertanyaan yang diberikan dan harus mengulangi
jawabannya, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada wawancara kedua ini SE terlihat lebih nyaman berbicara dengan
peneliti, ini terlihat dengan jarak tempat duduk yang lebih dekat tepatnya partisipan duduk di kursi disebelah peneliti, dan bercerita
sambil matanya melihat pada peneliti. Pada wawancara yang kedua, partisipan semakin terbuka untuk menceritakan pengalamannya yang
lebih pribadi. Pengalaman dengan teman spesialnya, diungkapkan pada wawancara ke dua ini.
Wawancara terakhir dilakukan pada tanggal 4 April 2013, pada pagi hari, tepatnya pukul 10.10 WIB. Menurut peneliti, partisipan kurang
dapat menggambarkan perasaannya saat menceritakan pengalamannya, karena beberapa kali ketika ditanyakan mengenai perasaannya saat
menghadapi tantangan, partisipan tidak mengatakan secara jelas perasaannya saat itu. Partisipan hanya menceritakan hal-hal yang
permukaan saja. Maka dari itu, pada wawancara ketiga, peneliti berfokus pada pertanyaan mengenai perasaan yang dirasakan SE saat
proses memutuskan hidup membiara dan saat menjalaninya. Saat
diberikan pertanyaan
mengenai bagaimana
perasaannya saat
menghadapi tantangan dalam komunitas, peneliti perlu bertanya dua kali dan memancing agar P dapat mengatakan perasaannya yang terjadi
saat itu. SE pun dalam bercerita, kadang kala tidak secara runtut, sehingga memerlukan kepekaan peneliti untuk melakukan klarifikasi.
c. Analisa Verbatim