memiliki
2
bapak besar yang berprofesi sebagai pastor
3
SVD di NTT. Saat SMP, dia bersekolah di sekolah Katolik yang memiliki kepala
asrama seorang suster. SL pindah ke asrama sejak di kelas tiga SMP karena sebelumnya saat kelas satu dan dua, dia masih pulang pergi
sekolah dan rumah. Keinginan untuk menjadi suster sudah dirasakannya sejak masih
kecil tepatnya sejak sekolah dasar ketika SL melihat seorang suster yang sudah berumur, saat dia berkunjung ke biara tempat bapak
besarnya tinggal. Tetapi keinginan tersebut sempat hilang saat SL memasuki jenjang pendidikan menengah atas. Setelah lulus sekolah
menengah atas, SL sempat bekerja di biara
4
SPSS sebagai karyawan disana, banyak ajakan dari teman-teman susternya untuk bergabung
dalam komunitas dan menjadi suster, akan tetapi dirinya tidak terpanggil untuk menjadi suster di SPSS.
Proses pengambilan keputusan yang cukup panjang, yang dialami oleh SL. Persoalan pasang surut minat SL untuk hidup membiara yang
kadang muncul, dan tantangan-tantangan dari sekitar, membuatnya memerlukan pertimbangan yang matang untuk mengambil keputusan
membiara. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1995, SL pun ditahbiskan, dan menerima kerudung, kalung salib, dan cincin.
b. Laporan Observasi Partisipan
2
Panggilan untuk kakak dari ayah atau ibu di NTT dalam bahasa Jawa Pakde
3
Komunitas Serikat Sabda Allah
4
Tarekat suster-suster Abdi Allah Roh Kudus
Wawancara yang pertama dilakukan pada tanggal 16 November 2012 pukul 10.30 WIB. Wawancara dilakukan di panti asuhan tempat
SL ditugaskan sebagai kepala panti cabang Salatiga. Pada saat wawancara pertama SL tengah mengurus anak-anak panti, karena saat
itu anak-anak sudah pulang sekolah. Saat melakukan wawancara SL mengenakan pakaian suster lengkap dengan kerudung, kalung salib,
dan juga cincin di jari manisnya sebelah kanan. Pada awal wawancara SL terlihat menikmati dan memahami topik
yang dibicarakan. Walaupun begitu dalam menjawab pertanyaan, matanya tidak melihat langsung pada peneliti, melainkan melihat ke
arah halaman panti. Ini dilakukan terutama ketika SL berusaha mengingat-ingat pengalamannya, tapi ini tidak berlangsung lama,
karena setengah perjalanan wawancara, dia pun dapat bercerita dengan menatap langsung pada peneliti.
SL mudah menangkap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, dan selalu menjawab pertanyaan dengan jelas dan dengan senyuman. Hal
ini lebih terlihat jelas ketika peneliti mengajak partisipan untuk mengingat kembali perjalanan sebelum menjadi suster hingga menjadi
suster seperti sekarang ini. SL tersenyum saat menceritakan pengalamannya sebelum menjadi suster. Ketika bercerita mengenai
ketertarikan untuk masuk komunitas AM dan sempat berbohong pada para suster di tempat kerjanya saat di NTT, SL tertawa saat mengingat
kembali pengalamannya tersebut. Saat peneliti bertanya mengenai kemungkinan keluarga yang tidak
setuju dengan keputusan yang diambilnya, SL pun terlihat sedih saat
menceritakan ada keluarganya pamannya yang melihat sebelah mata pekerjaannya dalam melayani anak-anak. Ini sangat terlihat kontras dari
sikapnya saat menjawab pertanyaan sebelumnya yang selalu diselingi dengan senyuman, berbeda dengan saat menjawab pertanyaan
mengenai pamannya itu, SL tidak tersenyum dan menjawab dengan suara yang lebih pelan.
Wawancara yang kedua berlangsung pada tanggal 23 November 2012, pada pukul 11.30, masih dilakukan di panti asuhan yang sama.
Pada wawancara yang kedua kali, SL semakin terbuka bercerita mengenai pengalaman hidupnya dalam proses memutuskan hidup
membiara menjadi suster. Hal ini terlihat dari cerita SL yang lebih mendetail mengenai respons-respons yang diterimanya dari keluarga
dan teman-teman mengenai keputusan yang diambil. Kesedihan keluarga, pertanyaan dari teman-teman, bahkan
keraguan yang sempat dia alami saat harus berpisah dengan keluarga, sekaligus rasa senang karena keinginannya menjadi seorang suster dan
melayani anak-anak cacat di panti asuhan dapat terwujud, dapat diceritakan SL dengan sangat lancar dan jelas. Saat diajukan
pertanyaan, Selama wawancara dilakukan, SL pun dalam menjawab pertanyaan memandang langsung pada peneliti sehingga jalannya
wawancara pun terlihat lebih nyaman lagi, ini juga terlihat dari sikap duduk SL yang menyandarkan punggungnya pada sofa.
Wawancara yang ketiga dilakukan pada tanggal 11 Februari 2013, di tempat yang sama, di panti asuhan, hanya dalam ruangan yang
berbeda tepatnya di ruang istirahat tamu ruangan untuk menginap tamu
seperti ketua komunitas. Pada wawancara yang ketiga ini peneliti dan SL duduk berhadapan di sebuah meja makan besar, partisipan terlihat
sedang tidak enak badan, karena terlihat dari wajahnya yang terlihat pucat, dan bibirnya yang pecah-pecah, dan badan yang lebih kurus
daripada saat bertemu pada wawancara pertama dan kedua, hal ini pun dikuatkan dari pernyataan SL yang mengatakan bahwa dirinya baru saja
sembuh dari sakit. Pada wawancara yang ketiga, SL terlihat menjawab dengan sangat
pelan karena sedang masa pemulihan dari sakit. Akan tetapi ketika peneliti menyinggung pertanyaan mengenai keluarganya, SL terlihat
senang dan tersenyum saat menceritakan aktivitas yang dilakukan jika dirinya pulang. Kumpul dengan keluarga, saudara-saudaranya akan
datang walaupun mereka sedang bekerja. SL selalu terlihat gembira dan diperlihatkan dengan senyumnya saat menceritakan mengenai
keluarganya. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan mengenai pimpinan yang
sangat perhatian dan penuh kasih sayang, SL bercerita dengan setengah suara dan pelan saat menceritakan bahwa pimpinannya telah
meninggal. Dia pun menceritakan dengan antusias mengenai pimpinan SL yang penuh kasih sayang, perhatian, seperti seorang ibu baginya.
Dan SL sangat sedih ketika menceritakan detik-detik terakhir SL bertemu dengan pimpinannya sebelum meninggal, kesedihannya dapat
terlihat dari pandangannya yang memandang pada peneliti tapi pandangannya seperti kosong seperti mengingat-ingat sesuatu, dan
kadang juga berhenti sebentar saat bercerita.
c. Analisa Verbatim