3. P melakukan pola coping menunda dalam mengambil keputusan
d e f e n s i v e a v o i d a n c e membiara.
4. Kembalinya minat untuk hidup membiara setelah bapak besar
meninggal. 5.
Terpanggil untuk melayani anak-anak cacat. 6.
Respons yang positif dari keluarga inti. 7.
Mengutamakan pendapat keluarga inti 8.
Kebanggaan jika salah satu anggota keluarga ada yang hidup membiara.
9. Perasaan keluarga dan SL saat harus berpisah.
10. Konflik batin saat membiara.
11. Membawa permasalahan dalam doa.
12. Berfokus pada motivasi awal saat menghadapi tantangan
13. Usaha-usaha P untuk setia pada panggilannya
14. Dukungan dari pimpinan dan teman seprofesi sangat berarti
15. Tidak ada keraguan lagi pada dirinya karena menjadi suster adalah
takdirnya.
e. Analisis Pengambilan Keputusan
Ketertarikan partisipan pada kehidupan membiara, berawal dari pertemuan dengan seorang suster yang menimbulkan kesan yang
mendalam pada dirinya. Partisipan saat itu masih duduk di sekolah dasar, dia mengunjungi bapak besarnya yang adalah seorang Pastor
SVD. Di biara itulah merupakan pertemuan pertamanya dengan seorang suster senior yang sudah cukup berumur. Partisipan terpukau melihat
keanggunan suster itu dengan pakaian putih, dan segala atribut yang suster senior itu pakai. Partisipan merasakan adanya kebahagiaan,
kedamaian, keamanan, dan kehidupan yang tidak ada beban pada suster tersebut. Pertemuan itulah menjadi dasar ketertarikannya pada
kehidupan membiara, yang membuatnya ingin menjadi suster dan memiliki kehidupan dengan unsur-unsur yang dimiliki suster senior
tersebut.
Bagaimana ya, saat saya melihat seorang suster itu kayak anggun banget, kayak bahagia begitu berpakaian putih, kok bisa seperti itu
bagaimana ya, saya pingin tahu P1W1 14-17.
Keinginan menjadi suster, partisipan simpan dalam hatinya dan tidak diceritakan pada orang lain. Ketika partisipan sudah beranjak remaja
keinginan menjadi suster tersebut masih disimpannya dalam hati, dan menjadi semakin besar karena didukung dengan pola hidupnya ketika
di asrama. Sejak SMP kelas tiga, partisipan tinggal di asrama sekolahnya. Di
asrama itu dipimpin oleh kepala asrama yang merupakan seorang suster. Partisipan sangat senang dan nyaman dengan kehidupan di
asramanya, pola kehidupan yang teratur di mana kehidupan doa, makan, istirahat, dan belajar yang sangat teratur membuatnya semakin
tertarik dengan hidup membiara. Keinginannya menjadi seorang suster yang sejak kecil disimpan dalam hatinya, menjadi semakin besar
dengan pola hidup teratur yang dijalaninya di asrama. Selain itu minat partispan pada kehidupan membiara dan menjadi seorang suster,
memperoleh dukung dari bapak besarnya yang berprofesi sebagai
pastor SVD. Bapak besar selalu berharap bahwa partisipan dapat menjadi seorang suster, bahkan sebelum partisipan menceritakan
keinginannya menjadi suster, bapak besar seperti sudah terlebih dahulu mengetahui keinginannya.
Dalam perjalanan hidupnya yang semakin beranjak dewasa, partisipan mulai kehilangan minat untuk membiara. Hal ini terjadi pada
saat sekolah menengah atas. Saat SMA pun partisipan tinggal di asrama sekolahnya, adanya perbedaan peraturan di asrama SMA yang tidak
seketat dengan peraturan saat di asrama SMP membuat dirinya melupakan minatnya pada kehidupan membiara. Kehidupan doa dan
aktivitas dalam asrama SMA lebih bebas, dan hal ini berdampak pada kehidupannya yang lebih terasa bebas. Bahkan saat SMA, partisipan
memiliki pacar, sehingga keinginan untuk hidup membiara terlupakan. Ketika kesempatan hidup membiara itu datang, dengan adanya aksi
panggilan sebuah kesusuteran ke SMAnya, dia bahkan tidak tertarik. Pada saat itu dirinya benar-benar lupa akan keinginannya untuk
menjadi suster, dan ketika partisipan kelas tiga SMA, bapak besar meninggal. Partisipan mengalami kesedihan yang mendalam karena
relasi yang dekat dengan bapak besar, dan saat itu dia pun teringat akan perkataan bapak besar yang ingin dirinya menjadi suster. Dia pun
berdoa dan berjanji dalam hatinya untuk memenuhi harapan bapak besar dengan menjadi seorang suster. Bagi partisipan bapak besar
menjadi seseorang yang menginspirasinya untuk mengambil keputusan hidup membiara dan menjadi suster.
“
Saya tuh lebih kuat lagi keinginan itu tuh, saat bapak besar saya meninggal itu, itu kayaknya saya ada apa mungkin, tapi saya tidak
ungkap, saya tidak ungkap mungkin saya janji dalam hati, saya tidak tahu, waktu itu memang sempet bilang gini bapak saya ikut
bapak seperti yang bapak omong ke saya itu, tapi memang saya tidak ungkap, waktu itu saya hanya menangis saja, hanya menangis
di depannya dia itu” P1W2 258
-265.
Peristiwa kehilangan bapak besar membuatnya kembali terpanggil untuk hidup membiara, hal ini ditunjukan dengan partisipan yang
memilih untuk bekerja di biara SPSS di Ende, bekerja sebagai karyawati di sana. Kehidupan dalam biara SPSS dengan hidup doanya
yang teratur dengan adanya jam doa, membuat minat untuk hidup membiara dan menjadi suster semakin kuat. Akan tetapi hal itu tidak
serta merta membuat SL masuk mengikuti pembinaan menjadi suster di SPSS. Beberapa tawaran dari temannya dan tawaran dari suster di biara
SPSS tempat partisipan bekerja, untuk menjadi suster di SPSS tidak membuatnya tertarik untuk ikut. Partisipan merasakan dalam dirinya
bahwa dia belum menemukan biara yang cocok baginya, yang membuat panggilannya semakin kuat lagi.
Dua tahun sudah sejak partisipan bekerja sebagai karyawati di SPSS, dan pada tahun 1994 biara SPSS kedatangan tiga orang suster ke
Ende untuk mencari panggilan, ketiga suster tersebut berasal dari komunitas AM. Dari ketiga suster tersebut, salah satunya merupakan
teman partisipan saat masih SMA dan sekarang telah menjadi suster di komunitas AM. Hal itu yang membuat rasa keingintahuan SL yang
besar bagaimana bisa temannya itu dengan waktu yang singkat dapat menjadi seorang suster. Rasa keingintahuan yang besar ini membuatnya
mencari informasi mengenai visi dan misi komunitas AM, hingga pada akhirnya dia pun memutuskan untuk menemui ketiga suster tersebut.
Penjelasan mengenai visi dan misi, dan juga karya-karya AM di bidang pelayanan pada anak-anak cacat membuatnya semakin tertarik, dan
pada akhirnya memutuskan untuk menerima panggilannya menjadi suster AM. Partisipan merasakan dalam hatinya bahwa komunitas AM
merupakan tempat yang cocok untuknya, di mana dia dapat melayani anak-anak cacat dan hidup bersama-sama dengan mereka, kekhasan
AM dengan karya-karya melayani umat secara langsung membuatnya semakin tertarik dan mantap dengan keputusannya, karena pelayanan
seperti ini yang dicarinya. “Sudah, saya tu pingin, sudah saya masuk di sini saja, saya tuh
pingin melayani seperti ini. Saat saya ambil keputusan masuk
dalam AM”
P1W1 121-124.
Orang pertama yang partisipan beritahu mengenai keputusannya masuk komunitas AM adalah kakak nomor enam. Partisipan dekat dengan
kakaknya ini, saat ada masalah biasanya kakak nomor enam ini yang dijadikan partisipan sebagai tempat mengadu. Kakaknya ini juga
berkerja sebagai karyawati di salah satu biara di Ende. Ketika partisipan mengirimkan surat ijin pada keluarganya di kampung, dia dalam
hatinya merasa yakin bahwa keluarga akan mendukung keputusannya untuk membiara dan menjadi suster. Keyakinannya ini juga didasari
dari pandangan masyarakat di sana, yang menganggap bahwa suatu
kebanggaan jika ada anaknya yang masuk dalam hidup membiara, baik menjadi pastor maupun suster.
Saya waktu itu gak ada, karena saya pikir pasti mereka senang sekali karena diantara sembilan bersaudara ada yang mau jadi
suster, itu pasti mereka senang, pikiran saya seperti itu P1W2 174- 177.
Bagi partisipan dukungan dari keluarga merupakan hal yang sangat penting, tanpa dukungan dari keluarga dia tidak akan berani melangkah
untuk lebih jauh lagi dalam hidup membiara. Keyakinannya bahwa keluarga akan mendukung keputusannya sangatlah besar, partisipan
tahu bahwa keluarganya akan mengerti dan bangga dengan keputusan yang diambilnya
. Hal ini terbukti dengan kedatangan perwakilan
keluarganya ke biara SPSS dengan maksud untuk memberitahukan padanya bahwa mereka sekeluarga mendukung dengan sepenuh hati
keputusan yang diambilnya. Akan tetapi ketika tiba saatnya berpisah dengan, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga juga merasakan
kesedihan karena akan jauh dari partisipan. Keluarga pun sempat mempertanyakan mengapa partisipan memutuskan manjadi suster, hal
ini juga membuat partisipan bersedih dan sempat ragu apakah dirinya mampu menjalani kehidupan membiara. Keraguan dan kesedihan yang
dirasakannya ini terobati dengan mengingat dukungan yang sudah keluarganya berikan dan pesan dari bapak besarnya sebelum
meninggal, yang mengatakan “ingat pilihanmu”. Ini yang membuatnya tidak merasakan keraguan lagi saat harus berpisah dari keluarga dan
dengan mantap memutuskan untuk hidup membiara. Adapun keluarga
yang lain yang bukan merupakan keluarga inti memberikan respons yang negatif dengan keputusan yang partisipan ambil, mereka
mempertanyakan keputusannya menjadi suster dan bahkan pamannya meremehkan pelayanan yang partisipan lakukan.
Keraguan partisipan rasakan kembali pada awal kehidupan membiara, dia merasakan konflik batin pada dirinya. Di satu sisi
partisipan merasa senang karena cita-cita sejak kecilnya tercapai dan dapat bertemu dengan suster-suster dan dapat melayani anak-anak
cacat, akan tetapi di sisi lain ada perasaan sedih saat awal membiara karena perasaan rindunya pada keluarga di NTT. Rasa rindu akan
kehadiran ibu yang selalu ada jika partisipan jatuh sakit, perhatian dan kasih sayang ibunya sempat membuatnya ingin pulang saja. Masalah
dan tantangan yang SL rasakan di dalam komunitas membiara pun dirasakan begitu berat, fase pasang surut motivasi pun kadang kala
terjadi di perjalanan hidupnya dalam biara. Ketika keinginan-keinginan untuk menyerah dirasakan olehnya, partisipan selalu membawa
masalah-masalanya dalam doa. Berdoa pada Tuhan untuk dapat menguatkan dirinya agar tetap setia pada panggilan. Usaha lain yang
dilakukan oleh partisipan agar kuat pada panggilannya, yaitu dengan mengingat motivasi awal dirinya yang begitu ingin hidup membiara
menjadi suster dan dapat melayani anak-anak cacat. “Kalau saya seperti itu ya saya masuk kapel terus saya duduk,
duduk di depan kapel itu, saya duduk diam… saya duduk diam saya
gak ngomong apa-
apa saya berdoa… mengucapkan doa y
ang pernah dipanjatkan dengan suara yang sangat pelan, hanya
Engkau yang tau, hanya Engkau yang memberikan jalan keluarnya memberikan yang terbaik, jadi saya berdoa seperti itu, pokoknya
kalau saya mendapat tantangan saya duduk di kapel, kalau gak di kape
l di kamar dan merenung dengan tenang”
P1W3 62-71.
Tatkala partisipan memanjatkan doa pada Tuhan, perasaan damai tenang dan kelegaan dari semua masalah-masalah yang dihadapinya
dapat dia rasakan. Tidak hanya keluarga yang mendukungnya untuk membiara, akan
tetapi teman-teman satu komunitas dan juga suster pimpinan selalu mendukung baik saat masih dalam biara maupun saat partisipan
ditugaskan di tempat lain. Mereka terus memberikan semangat, dorongan, padanya, terutama suster pimpinan, yang sangat dekat
dengan partisipan. Pimpinan selalu memberikan arahan-arahan padanya jika dia menghadapi permasalahan dalam motivasinya maupun
kehidupan komunitasnya. Hingga pada saat meninggalnya suster pimpinan, partisipan sangat merasakan kehilangan sosok ibu yang
selalu memberikan kasih sayang padanya saat dalam biara. Berbagai cobaan yang dihadapi oleh partisipan dalam mencapai
tujuannya hidup membiara, pada akhirnya justru membuatnya semakin kuat pada panggilannya, dan membuat partisipan semakin dekat dengan
Tuhan. “kalau saya mendapatkan tantangan saya merasa lebih… apa ya…
saya melihat kembali apa… hikmahnya di balik tantangan itu bahwa dengan tantangan ini memberi lebih…lebih memberi
kekuatan atau mendorong saya agar lebih kuat untuk bisa
menghadapi masalah tersebut”
P1W3 47-52.
Partisipan semakin kuat pada panggilannya, dan menganggap bahwa panggilannya menjadi seorang suster adalah takdirnya.
2. Partisipan Penelitian 2 SE