Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan di Tingkat Petani

luar usaha tani. Setelah melakukan konversi lahan, sebesar 30,05 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 69,95 persen pendapatan diperoleh dari luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur pendapatan petani dari yang berstrukur pertanian ke non pertanian dimana pendapatan diluar usaha tani mengalami peningkatan setelah adanya konversi lahan.

6.5 Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi yang Hilang

Produksi padi yang hilang sebagai dampak langsung dari adanya konversi lahan sawah yang dipengaruhi oleh , a luas lahan sawah yang terkonversi, b pola tanam yang diterapkan dan c produktivitas usahatani padi Pakpahan et al. 1993. Asumsi yang digunakan dalam menghitung produksi dan nilai produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah pada periode 2002-2011 adalah pola tanam yang dilakukan konstan, produktivitas dari ke empat jenis sawah terkonversi adalah sama serta diestimasi dengan harga 2011. Jumlah produksi padi yang hilang dan nilai produksi padi yang hilang merupakan dampak langsung dari adanya konversi lahan pertanian. Jumlah produksi padi yang hilnag dipengaruhi oleh luas panen yang hilang, produktivitas lahan sawah dan pola tanam dalam satu tahun. Luas panen merupakan luasan sawah yang digarap atau berhasil panen dalam satu tahun. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa petani penggarap menggarap seluruh lahan yang hilang tersebut dan tidak ada gagal panen. Diasumsikan juga pola tanam dalam satu tahun untuk seluruh lahan dipanen dua kali. Produktivitas lahan sawah adalah hasil panen per hektar lahan sawah serta tidak adanya perbedaan tipe irigasi dan jenis padi yang ditanam. Secara umum, rata-rata produktivitas padi sawah selama 2002-2011 per tahun adalah sebesar 12,95 tonha. Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah disebutkan, total produksi padi yang hilang selama sepuluh tahun terakhir adalah sebesar 35.612,41 ton atau 3.561,24 ton per tahun yang tercantum pada Tabel 15. Nilai produksi padi diestimasi menggunakan harga gabah kering giling GKG dikalikan dengan jumlah produksi padi yang hilang. Jika harga GKG Rp 4.300 per kg atau Rp 4.300.000 per ton, maka kehilangan nilai produksi tersebut menjadi 35.612,41 ton x Rp 4.300.000 per ton = Rp 153.133.354.400, sedangkan rata-rata hilang per tahunnya adalah sebesar Rp 15.313.335.440. Nilai produksi beras diestimasi menggunakan harga beras dikalikan dengan jumlah produksi padi yang hilang. Jika harga beras Rp 7.000 per kg atau Rp 7.000.000 per ton, maka kehilangan produksi beras tersebut menjadi 35.612,41 ton x Rp 7.000.000 per ton = Rp 249.286.856.000, sedangkan rata-rata hilang per tahunnya adalah sebesar Rp 24.928.685.600. Tabel 15. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang Tahun Produktivitas Padi Sawah tonha Lahan Konversi Produksi Padi Yang Hilang ton Nilai Produksi Padi Yang Hilang Rp Nilai Produksi Beras Yang Hilang Rp 2002 13,33 -101 -1.345,93 -5.787.481.800 -9.421.482.000 2003 13,35 -45 -600,75 -2.583.225.000 -4.205.250.000 2004 13,42 - - - - 2005 13,46 -634 -8.533,64 -36.694.652.000 -59.735.480.000 2006 13,48 -150 -2.022,30 -8.695.890.000 -14.156.100.000 2007 13,50 29 391,62 1.683.948.800 2.741.312.000 2008 13,70 -738 -10.110,60 -43.475.580.000 -70.774.200.000 2009 13,70 -92 -1.260,40 -5.419.720.000 -8.822.800.000 2010 10,77 -984 -10.599,65 -45.578.486.400 -74.197.536.000 2011 10,78 -142 -1.530,76 -6.582.268.000 -10.715.320.000 Total -2.857 -35.612,41 -153.133.354.400-249.286.856.000 Rata-rata -286 -3.561,24 -15.313.335.440 -24.928.685.600 Sumber : Badan Pusat Statistik diolah

6.6 Perkiraan Terhadap Konsumsi Padi Masa Depan

Konversi lahan yang terjadi terus menerus akan mengancam terhadap ketahanan pangan. Ketahanan pangan ini tidak hanya menyebabkan berkurangnya produksi beras tetapi juga akan mengganggu terhadap stabilitas ekonomi, sosial, politik dan perkembangan penduduk. Lahan pertanian yang terus menurun di Kabupaten Tangerang, akan menurunkan produksi beras yang dihasilkan. Hal ini bertolak belakang dengan adanya jumlah penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Simulasi ini dilakukan dengan membandingkan jumlah beras yang dapat diproduksi dan jumlah beras yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jumlah beras yang diproduksi diperoleh dari konversi jumlah gabah satu tahun yang sama. Jumlah gabah yang diproduksi dihitung dari luas lahan dikalikan dengan produktivitas sawah dan jumlah musim panen. Luas sawah per tahunnya berubah dengan laju penurunan luas lahan sawah sebesar -0,71 persen dan produktivitas lahan berubah dengan laju -1,80 persen. Nilai tersebut diperoleh dari rata-rata perubahan pada tahun 2002 hingga 2011. Musim panen yang dilakukan diseluruh lahan yaitu sebanyak dua kali panen dalam setahun. Jumlah gabah yang dikonversi kedalam jumlah beras yaitu sebesar 82,34 dari jumlah gabah. Jumlah kebutuhan beras masyarakat didapat dari jumlah penduduk dikalikan dengan jumlah konsumsi beras per kapita. Jumlah penduduk setiap tahunnya bertambah sebesar 0,91 persen yang diperoleh dari laju pertambahan jumlah penduduk dan konsumsi beras diasumsikan tetap yaitu 140 kg per jiwa. Berdasarkan asumsi tersebut, simulasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Simulasi Perbandingan Kebutuhan dan Produksi Beras dengan Konsumsi Beras Perkapita Tetap di Kabupaten Tangerang Tahun Luas Sawah Ha Jumlah Penduduk Jiwa Produksi Beras Ton Kebutuhan Beras Ton Selisih Beras Ton 2011 38.697 2.960.474 458.192 414.466 43.725 2012 38.422 2.987.414 446.749 418.238 28.511 2013 38.149 3.014.600 435.593 422.044 13.549 2014 37.879 3.042.033 424.715 425.885 -1.169 Sumber : Badan Pusat Statistik diolah Dari hasil yang diperoleh pada Tabel 16 diketahui bahwa pada tahun 2014 produksi beras tidak dapat memenuhi kebutuhan beras di Kabupaten Tangerang. Ketersediaan produksi beras pada tahun tersebut lebih kecil dari kebutuhan beras yaitu diperkirakan sebesar 424.715 ton dengan kebutuhan beras diperkirakan sebesar 425.885 ton. Sehingga pada tahun tersebut akan terjadi kekurangan beras sebesar 1.169 ton. Kebutuhan beras per kapita Indonesia masih sangat besar dibandingkan dengan kebutuhan beras di negara lain yaitu dua kali lipat rata-rata kebutuhan beras dunia pertahunnya yang hanya 60 kg per jiwa. Badan Ketahanan Pangan BKP Kementrian Pertanian Indonesia menargetkan konsumsi beras sebesar 1,5 persen per tahun. Penekanan konsumsi beras ini dilakukan dengan program penganekaraagaman konsumsi panagn dari pangan lokal, seperti ubi, singkong, sagu dan jagung. Adanya asumsi tersebut dapat menekan konsumsi beras sebesar 1,5 persen. Adanya penurunan konsumsi beras sebesar 1,5 persen setiap tahunnya maka Kabupaten Tangerang dapat memenuhi kebutuhan beras masyarakatnya sampai pada tahun 2018. Penurunan konsumsi beras tersebut menyebabkan ketahanan pangan lebih lama hingga empat tahun dibandingkan dengan tidak adanya penurunan konsumsi beras. Pada tahun tersebut diperkirakan produksi beras sekitar 383.854 ton dengan konsumsi beras masyarakat sebesar 391.308 ton dengan kekurangan produksi beras sebesar 7.454 ton pada tahun 2018 jika terdapat penurunan konsumsi beras sebesar 1,5 persen. Simulasi-simulasi yang tersebut, mengasumsikan tidak adanya perdagangan antar wilayah, ekspor ataupun impor yang berlaku di Kabupaten Tangerang. Tabel 17. Simulasi Perbandingan Kebutuhan dan Produksi Beras dengan Konsumsi Beras Perkapita Menurun di Kabupaten Tangerang Tahun Luas Sawah Ha Jumlah Penduduk Jiwa Produksi Beras Ton Kebutuhan Beras Ton Selisih Ton 2011 38.697 2.960.474 458.192 408.249 49.942 2012 38.422 2.987.414 446.749 405.785 40.965 2013 38.149 3.014.600 435.593 403.335 32.258 2014 37.879 3.042.033 424.715 400.901 23.815 2015 37.610 3.069.715 414.109 398.481 15.629 2016 37.343 3.097.650 403.768 396.075 7.693 2017 37.077 3.125.838 393.685 393.684 1 2018 36.814 3.154.283 383.854 391.308 -7.454 Sumber : Badan Pusat Statistik diolah

6.6.1 Implikasi Kebijakan

Kebijakan pemerintah Kabupaten Tangerang dalam meminimalisir konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yaitu adanya lahan abadi, pemanfaatan rencana tata ruang yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Tangerang serta penganekaragaman pangan lokal. Kebijakan peemanfaatan rencana tata ruang yaitu dengan mempertahankan lahan basah pertanian yang beririgasi untuk tidak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian serta penetapan lahan pangan berkelanjutan di wilayah Kabupaten Tangerang. Terdapat tiga aspek yang dapat ditempuh dalam pengendalian konversi lahan sawah yang berkaitan dengan penataan ruang yaitu : 1. Aspek kepemilikan lahan, 2. pengendalian dan penegakan hukum, dan 3. Peningkatan kualitas data dan informasi. Kebijakan lahan abadi merupakan salah satu bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan RPPK. Persoalan yang menjadi dasar kegagalan dalam kebijakan lahan abadi adalah tidak cukup kuatnya dukungan tata perundang-undangan. Dalam RPPK, program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan ke dalam tiga bentuk, yaitu : 1. Pemanfaatan lahan terlantar lahan alang-alang dan semak belukar dengan mengembangkan tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi. 2. Pengendalian konversi lahan pertanian. Mempertahankan lahan irigasi yang telah menghabiskan investasi besar dalam pencetakkan dan pembangunan jaringan irigasinya. 3. Perluasan areal sawah dan lahan kering terutama di luar Jawa. Adanya penganekaragaman pangan masyarakat bertujuan untuk menurunkan konsumsi beras yang dirintis sejak awal tahun 60-an. Namun, pada kenyataannya posisi beras menjadi pangan pokok di semua provinsi semakin kuat dan meninggalkan pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian. Hal tersebut diakibatkan karena rasa beras lebih enak, mudah diolah, konsep makan, ketersediaannya melimpah dan harga yang murah. Sehingga adanya penganekaragaman lokal tidak berpengaruh besar terhadap ketahanan pangan. Berbagai strategi yang terkait dengan upaya penganekaragaman konsumsi pangan antara lain adalah 1 Diversifikasi usaha rumah tangga diarahkan untuk meningkatkan pendapatan produsen, terutama petani, peternak, dan nelayan kecil melalui pengembangan usahatani terpadu; 2 Diversifikasi usaha atau produksi pangan dan diversifikasi konsumsi pangan melalui pengembangan diversifikasi usahatani terpadu bidang pangan, perkebunan, peternakan, perikanan; 3 Pengembangan pangan lokal sesuai dengan kearifan dan kekhasan daerah untuk meningkatkan diversifikasi pangan lokal; 4 Pengembangan sumberdaya manusia di bidang pangan dan gizi dilakukan melalui pendidika, pelatihan dan penyuluhan secara komprehensif.