dikatakan pendatang cenderung menjual lahannya. Hal ini diduga karena kebutuhan hidup disekitar tempat tinggal lebih mahal dibandingkan dilokasi
tempat tinggal sebelumnya. Variabel pengalaman dalam bertani memiliki nilai Sig sebesar 0,077 yang
berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya konversi lahan ditingkat petani pada taraf nyata α 15 persen 0,077 0,15. Nilai
koefisien hasil output yang diperoleh bertanda negatif - dan nilai Exp β atau
odds ratio sebesar 0,469 yang berarti bahwa petani yang memiliki pengalaman bertani lebih lama akan menurunkan peluang untuk tidak mengkonversi lahan
sawahnya sebesar 0,469 lebih kecil dibandingkan petani pemula. Hal ini mengindiksikan petani yang memiliki pengalaman bertani lebih lama akan
cenderung mengkonversi lahan yang dimilikinya. Bagi petani yang memiliki pengalaman lebih lama ingin bekerja disektor lain terkait dengan umur petani
serta adanya faktor keturunan yang lebih memilih bekerja disektor lain selain pertanian.
Variabel harga benih yang diperoleh memiliki nilai Sig sebesar 0,054 yang menunjukkan bahwa variabel harga pupuk berpengaruh nyata terhadap peluang
terjadinya konversi lahan sawah pada taraf 15 persen 0,054 0,15. Koefisien hasil output yang diperoleh bertanda negatif - dan nilai Exp
β atau odds ratio yang diperoleh sebesar 0,997 yang berarti untuk harga benih yang lebih mahal
akan menurunkan peluang petani tidak mengkonversi lahan sawahnya sebesar 0,997 lebih kecil dari harga benih yang lebih murah. Semakin mahal harga benih
yang ditawarkan kepada petani, maka petani akan cenderung mengkonversi lahannya. Hal ini terjadi disebabkan karena petani akan mengalami kerugian dari
harga benih yang ditawarkan, jika harga benih yang ditawarkan terlalu mahal. Karena, harga benih yang mahal, dapat menurunkan pendapatan yang diterima
oleh petani. Variabel independent lain yang berpengaruh nyata terhadap terjadinya
konversi lahan sawah adalah harga padi yang dijual oleh petani. Variabel harga padi yang dijual memiliki nilai Sig sebesar 0,181 yang menunjukkan bahwa
variabel ini berpengaruh nyata pada taraf nyata α 20 persen 0,128 0,20. Nilai koefisien yang diperoleh bertanda positif + dan nilai Exp
β atau odds ratio
sebesar 1,003 menunujukkan peluang petani tidak mengkonversi lahannya akan semakin besar. Petani yang menjual hasil padinya lebih tinggi akan tidak
mengkonversi lahannya lebih tinggi 1,003 kali dibandingkan petani yang menjual hasil padinya lebih rendah. Hal ini mengindikasikan petani yang menjual hasil
padinya lebih tinggi akan memperoleh keuntungan dari setiap hasil panen tiap tahunnya. Sedangkan petani yang menjual hasil padinya lebih rendah cenderung
akan menjual lahannya karena tidak seusai dengan modal yang digunakan sehingga akan mengalami kerugian.
6.4 Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Pendapatan Petani
Sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan bagi masyarakat Indonesia. Lahan merupakan faktor produksi utama dalam pertanian dimana
berfungsi sebagai sumber mata pencaharian bagi para petani. Adanya konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah ke non-pertanian secara langsung akan
berdampak pada penurunan luasan lahan. Selain itu, konversi lahan menyebabkan terjadinya perubahan manfaat yang diperoleh dari adanya penggunaan lain. Hal ini
mengakibatkan hilangnya hasil produksi yang berbanding lurus dengan luas lahan yang dikonversi.
Konversi lahan yang terjadi akan mengurangi hasil pendapatan petani karena petani akan mengalami penurunan pada hasil panen yang diperoleh dari
lahan yang digarap.
Adapun yang termasuk dalam komponen biaya usahatani adalah pengeluaran untuk faktor-faktor produksi, tenaga kerja, harga benih, harga pupuk dan
biaya lainnya yang harus dikeluarkan oleh petani, dimana pendapatan total diperoleh dari hasil pengurangan nilai produksi total dengan biaya total. Dalam studi kasus
yang dilakukan, petani menerima pendapatan tidak hanya dari hasil usaha taninya namun terdapat pendapatan dari hasil non usaha tani, seperti berdagang dan usaha
lainnya.
Petani di lokasi ini tetap mempertahankan komoditas padi sebagai produksi utama. Hal ini disebabkan karena wialyah ini cocok untuk produksi padi dan
sempat menjadi lumbung padi. Namun, adanya konversi lahan yang terjadi diakibatkan oleh adanya limbah yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik yang letaknya
tidak jauh dari lahan pertanian, sehingga lahan tidak dapat ditanami kembali. Konversi lahan yang terjadi menyebabkan adanya pergeseran mata pencaharian.
Sebagian besar responden yang melakukan konversi lahan ada yang berpindah ke sektor non pertanian namun sebagian besar responden tetap bertahan pada sektor
pertanian. Perubahan mata pencaharian akan mempengaruhi pendapatan yang
diperoleh saat ini. Pendapatan petani pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu pendapatan usaha tani dan pendapatan diluar usaha tani non usaha tani.
Pendapatan usaha tani merupakan pendapatan yang diterima dari sektor pertanian, sedangkan pendapatan non usaha tani adalah pendapatan yang diperoleh dari luar
sektor pertanian. Pendapatan yang diperoleh responden sebelum dan sesudah mengkonversi lahan dapat dilihat pada Tabel 14. berikut ini.
Tabel 14. Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Konversi Lahan
Rata-rata Pendapatan
Responden Usaha Tani
Non Usaha Tani Rata-rata
Pendapatan Total
Responden Rupiah
Rupiah Rupiah
Sebelum Konversi
2.992.960 79,62 656.206 20,38
3.649.167 100
Sesudah Konversi
987.813 30,05 1.560.521 69,95
2.548.333 100
Perubahan -2.005.148
904.315 -1.100.833
Sumber : Data Primer diolah
Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa pendapatan total responden dari usaha tani dan non usaha tani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi
perubahan dari Rp 3.649.167 menjadi Rp 2.548.333. Hal ini menunjukkan adanya penurunan rata-rata pendapatan total yang diperoleh responden sebelum dan
sesudah konversi lahan yaitu sebesar Rp. 1.100.833. Penurunan pendapatan yang diperoleh dari usaha tani lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan
pendapatan yang diperoleh dari non-usahatani. Perubahan rata-rata pendapatan usaha tani yaitu sebesar Rp 2.005.148 dan perubahan untuk non usaha tani sebesar
Rp 904.315. Tabel 14 menuliskan bahwa pendapatan baik yang diperoleh dari usaha tani
maupun non usaha tani mengalami perubahan sebelum dan setelah melakukan konversi lahan. Sebelum melakukan konversi lahan, sebesar 79,62 persen
pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 20,38 persen pendapatan diperoleh dari
luar usaha tani. Setelah melakukan konversi lahan, sebesar 30,05 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 69,95 persen pendapatan diperoleh dari
luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur pendapatan petani dari yang berstrukur pertanian ke non pertanian dimana pendapatan diluar
usaha tani mengalami peningkatan setelah adanya konversi lahan.
6.5 Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi yang Hilang
Produksi padi yang hilang sebagai dampak langsung dari adanya konversi lahan sawah yang dipengaruhi oleh , a luas lahan sawah yang terkonversi, b
pola tanam yang diterapkan dan c produktivitas usahatani padi Pakpahan et al. 1993. Asumsi yang digunakan dalam menghitung produksi dan nilai produksi
yang hilang akibat konversi lahan sawah pada periode 2002-2011 adalah pola tanam yang dilakukan konstan, produktivitas dari ke empat jenis sawah
terkonversi adalah sama serta diestimasi dengan harga 2011. Jumlah produksi padi yang hilang dan nilai produksi padi yang hilang
merupakan dampak langsung dari adanya konversi lahan pertanian. Jumlah produksi padi yang hilnag dipengaruhi oleh luas panen yang hilang, produktivitas
lahan sawah dan pola tanam dalam satu tahun. Luas panen merupakan luasan sawah yang digarap atau berhasil panen dalam satu tahun. Pada penelitian ini
diasumsikan bahwa petani penggarap menggarap seluruh lahan yang hilang tersebut dan tidak ada gagal panen. Diasumsikan juga pola tanam dalam satu
tahun untuk seluruh lahan dipanen dua kali. Produktivitas lahan sawah adalah hasil panen per hektar lahan sawah serta tidak adanya perbedaan tipe irigasi dan
jenis padi yang ditanam. Secara umum, rata-rata produktivitas padi sawah selama 2002-2011 per
tahun adalah sebesar 12,95 tonha. Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah disebutkan, total produksi padi yang hilang selama sepuluh tahun terakhir adalah
sebesar 35.612,41 ton atau 3.561,24 ton per tahun yang tercantum pada Tabel 15. Nilai produksi padi diestimasi menggunakan harga gabah kering giling GKG
dikalikan dengan jumlah produksi padi yang hilang. Jika harga GKG Rp 4.300 per kg atau Rp 4.300.000 per ton, maka kehilangan nilai produksi tersebut
menjadi 35.612,41 ton x Rp 4.300.000 per ton = Rp 153.133.354.400, sedangkan rata-rata hilang per tahunnya adalah sebesar Rp 15.313.335.440. Nilai produksi