8. Pengawasan Masyarakat Citizen Control; pada tingkat tertinggi ini, partisipasi masyarakat berada di tingkat yang maksimum. Pengawasan
masyarakat di setiap sektor meningkat. Masyarakat meminta dengan mudah tingkat kekuasaan atau pengawasan yang menjamin partisipan dan penduduk
dapat menjalankan sebuah program atau suatu lembaga akan berkuasa penuh baik dalam aspek kebijakan maupun dan dimungkinkan untuk menegosiasikan
kondisi pada saat di mana pihak luar bisa menggantikan mereka. Tabel 2.1
Matriks Tangga Partisipasi Arnstein, 1969
TanggaTingkatan Partisipasi Hakikat Kesertaan
Tingkatan Pembagian Kekuasaan
1.Manipulasi Manipulation Permainan oleh pemerintah
Tidak ada partisipasi Non-Participant
2.Terapi Therapy Sekedar agar masyarakat
tidak marahmengobati 3.Pemberitahuan
Information Sekedar pemberitahuan
searahsosialisasi Tokenismesekedar
justifikasi agar masyarakat mengiyakan
Degree of
Tokenism 4.Konsultasi Consultation
Masyarakat didengar, tapi tidak
selalu dipakai
sarannya 5.Penentraman Placation
Saran masyarakat diterima tapi
tidak selalu
dilaksanakan 6.Kemitraan Partnership
Timbal-balik dinegosiasikan Tingkatan kekuasaan ada di
masyarakat Degree of Citizen Power
7. Pendelegasian Kekuasaan Delegated power
Masyarakat diberi
kekuasaan sebagianseluruh program
8. Kontrol Masyarakat Citizen control
Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat
Sumber: Suciati, 2006
2.1.3 Partisipasi dan Pemberdayaan Perempuan
Angka kemiskinan di dunia menunjukan bahwa 23 perempuan di dunia termasuk kategori miskin. Perempuan masih menjadi pihak yang dirugikan oleh
kemiskinan dan dipinggirkan oleh proses pembangunan. Dalam bidang pendidikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal masih lebih
banyak diberikan kepada laki-laki dibanding perempuan. Di Indonesia 65 persen anak tidak sekolah adalah perempuan. Dalam bidang kesehatan angka kematian
ibu, merupakan angka terbesar di Asia yaitu 375 per 100.00 kelahiran. Masril,2011
Untuk pembangunan keterlibatan perempuan, masih banyak di sektor domestik dibandingkan dalam sektor publik. Perempuan, terutama di kalangan
miskin seringkali menjadi penerima informasi kedua karena tidak pernah terlibat dalam rembug-rembug yang diselengarakan untuk memecahkan permasalahan
masyarakat. Memang dibeberapa tempat kehadiran perempuan dalam penentuan keputusan terjadi walaupun jumlahnya relatif kecil, akan tetapi seringkali
suaranya kalah dengan suara laki-laki yang jumlahnya cukup besar, bahkan kadang-kadang mereka hanya ikut hadir tetapi tidak bisa memberikan suaranya.
Padahal rembug-rembug yang dilakukan warga merupakan asset yang besar sebagai modal sosial untuk melibatkan masyarakat dalam proses memecahkan
persoalan kehidupan mereka. Menjadi strategis melibatkan perempuan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
monitoring dan evaluasi, karena: 1. Penghargaan terhadap perempuan sebagai manusia yang merdeka yang berhak
untuk menentukan pemecahan masalah yang dihadapinya. 2. Ada pemecahan masalah-masalah; termasuk masalah kemiskinan yang
menyangkut perempuan akan lebih tepat apabila dibicarakan bersama dengan perempuan karena merekalah yang betul-betul merasakan masalah dan
kebutuhannya. Keputusan yang diambil hanya oleh kaum laki-laki seringkali hanya berhubungan dengan „dunia laki-laki‟ dan tidak mempunyai sensitivitas
kepada masalah perempuan. Bila memikirkan masalah perempuanpun seringkali dasarnya tidak kuat karena mereka tidak mengalami masalahnya.
3. Memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya sebagai manusia.
4. Potensi yang besar yang dipunyai oleh perempuan, akan sangat berarti apabila digunakan bukan hanya sektor domestik akan tetapi juga dalam sektor publik
sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. 5. Keterlibatan dalam semua proses pembagunan memberikan kesempatan untuk
mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sama.
Pendekatan pembangunan yang dipakai adalah pendekatan yang adil dan setara, sehingga ada jaminan terbukannya seluruh akses baik bagi laki-laki
maupun perempuan untuk ikut berperan aktif dalam seluruh kegiatan masyarakat, karena sebagai manusia laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Pendekatan yang sejajar dan setara memberi peluang kemitraan bagi laki-laki dan perempuan sehinggga akan saling melengkapi sesuai dengan potensi
yang dimiliki masing-masing bukan untuk saling menguasai. Pada kenyataanya perempuan harus berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan.
Makin banyak pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena mensubordinsaikan perempuan. Selama ini bukan pembangunan untuk perempuan
akan tetapi perempuan untuk pembangunan. Upaya memberdayakan perempuan perlu terus dilakukan agar mereka tidak terlibat sebagai objek melainkan sebagai
subjek dan memberikan seluruh potensinya untuk proses pembangunan. Proses pembangunan, seperti yang didefinisikan oleh sebagaian besar agen-
agen pembanguanan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi
penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk
sampai definisi ini, proses pembangunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan dimana
perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki
pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan
perempuan. Menurut Sudirja 2007, terdapat lima tingkat kesetaraan perempuan agar perempuan terlibat dalam proses pembangunan, yaitu :
1. Kesejahteraan; perempuan
lebih dianggap
sebagai penerima
pasif kesejahteraan. Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui tingkat
kesejahteraan yang berbeda diantara laki-laki dan perempuan dengan indikator keadaan gizi, angka kematian dan lain sebagainya. Pemberdayaan perempuasn
tidak terjadi secara murni pada tingkat kesejahteraan ini karena tindakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat mensyaratkan akses perempuan atas
sumber daya harus meningkat dan ini berarti perempuan maju ke tahap berikutnya.
2. Akses; tingkat produktivitas perempuan lebih rendah karena adanya pembatasan akses atas sumberdaya pembangunan dan produksi dalam
masyarakat, seperti tanah, kredit, lapangan kerja dan pelayanan. Mengatasi kesenjangan gender berarti akan meningkatkan akses perempuan sehingga
setara dengan laki-laki. Pemberdayaan berarti perempuan disadarkan akan situasi-situasi yang tidak adil ini dimana kesadaran baru tersebut akan
mendorong untuk berjuang mendapatkan haknya , termasuk memperoleh akses yang setara dan adil atas berbagai macam sumber daya baik di dalam rumah
tangga komunitas dan masyarakat. 3. Kesadaran Kritis; tingkat kesadaran ini akan meningkatkan kesadaran
perempuan bahwa masalah-masalah mereka tidak bersal dari ketidakmampuan pribadi mereka, melainkan karena ditundukan oleh sistem sosial diskriminasi
yang sudah terinstitusi di dalam diri perempuan. Kesadaran ini akan membangkitkan kemampuan perempuan untuk menganalisis masyarakat secara
kritis dan mengenai semua hal yang dianggap perlu “normal” atau bagian dari “pemberian dunia” yang permanen dan tidak bisa diubah jika menyebabkan
ketidakadilan bagi perempuan. Keyakinan pada kesetaraan gender ni merupakan elemen ideologis yang sangat penting dalam proses pemberdayaan,
yang menyediakan basis konseptual untuk penggalangan kekuatan menuju keadilan dan kesetaraan perempuan.
4. Partisipasi; konsep partisipasi disini diartikan bahwa perempuan setara terhadap laki-laki untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan.
Kesetaraan dalam tingkat ini diartikan sebagai partisipasi setara perempuasn dalam proses pengambilan keputusan.Dalam sebuah proyek pembangunan,
partisipasi dapat berarti bahwa perempuan perempuan diwakili oleh perempuan dalam proses penilaian kebutuhan, identifikasi masalah, perencanaan proyek,
manajemen, penerapan dan evaluasi. “Kesetaraan dalam partisipasi” juga berarti melibatkan perempuan dari komunitas dampingan dalam proses
pengambilan keputusan dikomunitasnya. Kesetaraan dalam partisipasi ini tidak mudah diperoleh. Mobilisasi perempuan yang meningkat akan menghasilkan
meningkatnya jumlah perempuan yang duduk dalam institusi-institusi yang berhak mengambil keputusan. Meningkatnya jumlah perempuan dalam posisi-
posisi penting dalam komuitasnya merupakan hasil pemberdayaan sekaligus menjadi sumbangan potensial bagi peningkatan upaya pemberdayaan
perempuan. 5. Kontrol; partisipasi perempuan yang meningkat pada proses pengambilan
keputusan akan berdampak pada akses dan distribusi keuntungan yang adil bagi perempuan jika partisipasi tersebut diikuti dengan kontrol yang meningkat
pula atas faktor-faktor produksi. Kesetaraan dalam hal kontrol berarti sebuah keseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, dimana tidak ada
satu pihak pun berada di bawah dominasi yang lainnya. Ini berarti perempuan mempunyai kekuasaan yang sama dengan laki-laki untuk mempengaruhi masa
depan mereka dan masa depan masyarakat mereka. Hanya dengan memiliki kontrol inilah perempuan dapat meningkatkan aksesnya terhadap sumberdaya
dan karenannya akan mensejahterakan diri dan anak-anaknya. Kesetaraan dalam partisipasi dan kontrol merupakan persyaratan yang diperlukan jika kita
mau membuat kemajuan pada kesetaraan gender dalam hal kesejahteraan. Mengacu pada konsep tersebut, maka tingkat keberhasilan program dilihat
dari sejauhmana tercapai tingkat keberdayaan perempuan yang diukur dari tingkat akses dan kontrol perempuan dalam program tersebut. Hal ini juga merujuk dari
Soeharto 2005, tentang indikator pemberdayaan ekonomi Tabel 2.2 Matriks Keberdayaan Ekonomi Suharto, 2005
Jenis Hubungan Kekuasaan Kemampuan Ekonomi
Kekuasaan di dalam: Meningkatknya kesadaran dan
keinginan untuk berubah
Evaluasi positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya Keinginan ekonomi yang setara
Keinginan memiliki kesamaan hak terhadap sumber yang
ada pada rumahtangga dan masyarakat Kekuasaan untuk:
Meningkatnya kemampuan individu untuk berubah.
Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses.
Akses terhadap pelayanan keuangan mikro Akses terhadap pendapatan
Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan
rumahtangga Akses terhadap pasar
Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak
Kekuasaan atas: Perubahan pada hambatan-
hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat
rumahtangga, masyarakat dan makro.
Kekuasaan atau tindakan individu untuk mengahadapi
hambatan-hambatan tersebut. Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta
keuntungan yang dihasilkannya Kontrol atas aset produktif dan kepemilikan keluarga
Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga Tindakan individu menghadapi diskriminasi atas akses
terhadap sumber dan pasar
Kekuasaan dengan: Meningkatnya solidaritas atau
tindakan bersama dengan orang lain
untuk menghadapi
hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan
pada tingkat
rumahtangga, masyarakat dan makro
Bertindak sebagai model peranan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan publik dan modern
Mampu memberi gaji terhadap orang lain Tindakan bersama menghadapi diskriminasi pada akses
terhadap sumber termasuk hak atas tanah, pasar dan diskriminasi gender pada konteks ekonomi makro
Sumber: Suharto, 2005
2.1.4 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan