I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan. Kemiskinan juga merupakan persoalan multidimensional yang tidak
saja melibatkan faktor ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik. Secara ha
rfiyah, kemiskinan berasal dari kata miskin yang berarti “tidak berharta benda.” Secara lebih luas kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu kondisi
ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok yang dengan kondisi tersebut akan menimbulkan permasalahan sosial yang lain. Konsep
tentang kemiskinan sangat beragam mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya
kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukan aspek sosial dan moral. Kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup dan lingkungan
dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh
suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi kemiskinan struktural Bapenas,2010.
Data yang didapat oleh Badan Pusat Statistik BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat.
Data terakhir memperlihatkan jumlah penduduk miskin pada bulan April 2011 mencapai angka 32.02 juta jiwa dan sebesar 12,49 persen di perkotaan. Jumlah
penduduk miskin yang terus bertambah ini merupakan akibat dari gagalnya program pembangunan yang berfokus pada pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketidakberhasilan program pembangunan dapat dilihat dari sifat program pembangunan yang masih top down dan
sentralistik sehingga program pembangunan tidak cocok diterapkan di berbagai daerah.
Program pengembangan masyarakat berciri bottom-up, termasuk program pengentasan kemiskinan, mensyaratkan pemahaman tentang karakteristik
rumahtangga miskin itu sendiri. Dua karakteristik utama yang menentukan, menurut BPS 2008 adalah karakteristik demografi dan lapangan pekerjaan.
Tabel 1.1 Tabel 1.1 Tabel Karakteristik Kepala Rumah Tangga Menurut Kategori Miskin di
Indonesia tahun 2008
Karateristik Rumahtangga Miskin
Tidak Miskin Rata-rata jumlah anggota rumahtangga
- Perkotaan
- Perdesaan
- Perkotaan + Perdesaan
4,70 4,61
4,64 3,86
3,74 3,79
Persentase wanita sebagai kepala rumahtangga -
Perkotaan -
Perdesaan -
Perkotaan + Perdesaan 14,18
12,30 12,91
14,15 13,03
13,52
Rata-rata usia kepala rumahtangga -
Perkotaan -
Perdesaan
-
Perkotaan + Perdesaan 48,57
47,86 48,09
45,47 47,44
46,51
Sumber : BPS 2008
Fenomena perempuan sebagai kepala rumahtangga miskin cukup besar di perkotaan 14,18 persen dan memiliki tantangan untuk bekerja nafkah sekaligus
mengurus rumahtangga. Sementara dari lapangan pekerjaan kepala rumah tangga, belum dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, maupun formal dan informal.
Data menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan utama yang mendominasi di perkotaan adalah lainnya 44,72 persen.
Tabel 1.2 Tabel Karakteristik Kepala Rumahtangga Menurut Lapangan Pekerjaan di Indonesia Tahun 2008
Karateristik Rumahtangga Tidak
Bekerja Pertanian
Industri Lainnya
Rumah tangga miskin -
Perkotaan -
Perdesaan -
Perkotaan+Perdesaan 14,71
8,67 10,62
30,02 68,99
56,35 10,55
5,09 6,86
44,72 17,26
26,16
Rumahtangga tidak miskin -
Perkotaan -
Perdesaan -
Perkotaan +Perdesaan 15,36
7,91 11,1
9,39 55,2
35,06 12,19
5,97 8,7
63,07 30,92
45,05
Sumber : BPS 2008 Catatan : Lainnya mencakup pertambangan, listik, gas dan air minum, konstruksi, perdagangan rumah
makan dan akomodasi, transportasi,keuangan dan jasa.
Salah satu program pembangunan pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan di perkotaan adalah Program Nasional Pemberdayaan
Mandiri Perkotaan. Salah satu daerah yang menerima program tersebut adalah Kota Bogor. Salah satu syarat agar program dapat berhasil dan berkelanjutan
adalah adanya partisipasi dari semua pemangku kepentingan, termasuk dari
komunitas miskin itu sendiri laki-laki maupun perempuan. Beberapa programkegiatan di kota Bogor ditujukan khusus untuk perempuan miskin. Oleh
karena itu partisipasi perempuan dalam program tersebut menjadi sangat penting. Dari data partisipasi perempuan yang didapat dari bagian program PNPM
Mandiri Perkotaan menunjukan tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM
Mandiri Perkotaan di kota Bogor beragam. Persentase partisipasi perempuan
terendah terdapat di Kelurahan Menteng, Kecamatan Kemang sebesar 18,73 persen, sedangkan untuk persentase partisipasi perempuan yang dilihat dari
jumlah peserta PNPM 2011 tertinggi terdapat di wilayah Kelurahan Semplak, Kecamatan Kemang sebesar 45,71 persen. Kelurahan Semplak, Kecamatan
Kemang terletak di wilayah bagian Barat Kota Bogor dahulunya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bogor yang kemudian pada tahun 1995 menjadi
bagian dari wilayah Kota Bogor. Kelurahan ini merupakan perbatasan dengan Kabupaten Bogor dimana warganya masih memiliki sosio-budaya pedesaan.
Partisipasi perempuan merupakan bagian integral dari partisipasi masyarakat. Perempuan juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai
subjek pembangunan. Dalam kedudukannya sebagai subjek pembangunan, perempuan tentunya memiliki posisi dan peran yang sama untuk berpartisipasi
dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, khususnya golongan miskin itu sendiri, sangat diperlukan dalam upaya
pengentasan kemiskinan, salah satunya melalui program PNPM Perkotaan. Oleh karena itulah, berdasarkan data partisipasi perempuan tersebut peneliti tertarik
untuk mengkaji lebih jauh mengenai faktor-faktor yang menentukan tingkat partisipasi perempuan di wilayah Kelurahan Semplak dan pengaruhnya terhadap
keberhasilan program PNPM Mandiri Perkotaan, khususnya di tingkat
keberdayaan ekonomi perempuan peserta program yang mencangkup akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat program.
1.2. Perumusan