Perumusan Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian; Kerangka Pemikiran

1.2. Perumusan

Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, berikut adalah rumusan masalah dari penelitian ini : 1. Bagaimana tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM Mandiri Perkotaan? 2. Faktor pendorong manakah yang paling berpengaruh terhadap tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM Mandiri Perkotaan ? 3. Sejauhmana tingkat partisipasi perempuan berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan ekonomi perempuan dalam program PNPM Mandiri Perkotaan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Menganalisis tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM Mandiri Perkotaan. 2. Menganalisis faktor pendorong manakah yang paling berpengaruh terhadap tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM Mandiri Perkotaan. 3. Menganalisis sejauhmana tingkat partisipasi perempuan berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan ekonomi perempuan dalam program PNPM Mandiri Perkotaan.

1.4. Kegunaan Penelitian;

Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai lapisan dan pihak-pihak terkait, yaitu: 1. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan masyarakat dapat memberikan pengetahuan mengenai peranan mereka dalam pembangunan, sehingga bisa ikut berpartisipasi dalam setiap tahap pelaksanaan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pemanfaatan hasil. 2. Bagi perguruan tingggi, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai salah satu wujud Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu penelitian dan peningkatan pengetahuan. 3. Bagi pemerintah, Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk perencanaan program-program selanjutnya, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi pelaku pembangunan. II. PENDEKATAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan dapat dikelompokkan ke dalam kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan karena kondisi struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat tidak dapat memberikan kesempatan untuk menggunakan sumber- sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia. Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan karena faktor budaya yang ada pada masyarakat, seperti malas, pola hidup kosumtif, sulit dalam mengorganisasi diri, dan sebagainya. Sedangkan kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor alam,dimana kondisi sumber daya alam yang ada pada suatu daerah tidak mendukung untuk kegiatan ekonomi produktif, melainkan secara alamiah rusak karena faktor alam maupun faktor manusia. Pada wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses dalam pemanfaatan sarana dan prasarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan dan mata pencaharian yang tidak menentu. Pada kasus kemiskinan dalam PNPM Mandiri Perkotaan, kemiskinan termasuk dalam kemiskinan struktural yang bersifat multidimensional yaitu; 1. Dimensi politik dapat dilihat dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan serta berdampak pada tidak ada akses pada sumber daya dan informasi. 2. Dimensi sosial berkaitan dengan internalisasi budaya kemiskinan yang berpengaruh pada kualitas hidup manusia dan etos kerja serta masyarakat miskin tidak diintegrasikan ke dalam institusi sosial yang ada. 3. Dalam dimensi ekonomi, kemiskinan lebih tampak dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai pada batas hidup yang layak. 4. Dimensi aset ditandai oleh rendahnya kepemilikan masyarakat miskin terhadap modal serta kualitas sumber daya manusia, peralatan kerja dan perumahan. Sulistyowati,2002

2.1.2 Pengembangan Masyarakat dan Partisipasi

Menurut Ambadar 2008, pengembangan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang harus menjadi prinsip utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial. Bagi perusahaan, pengembangan masyarakat merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada sekedar aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas, dan keberlanjutan. Menurut Nasdian 2006 komunitas adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Aktivitas suatu komunitas dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan tersebut, dimana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk meningkatkan taraf hidup dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pembentukan pelayanan teknis, sifat berswadaya dan kegotongroyongan sehingga proses pembangunan berjalan efektif. Peran serta masyarakat selama ini hanya dilihat dalam konteks yang sempit, yaitu manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Pada kondisi ini, partisipasi masyarakat hanya sebatas biaya pembangunan. Melihat kondisi ini, partisipasi masyarakat hanya sebatas pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” Nasdian, 2006. Payne 1979 dalam Nasdian 2006 menjelaskan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya kuasa untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang harus ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

2.1.2.1 Definisi Partisipasi

Terdapat banyak definisi mengenai partisipasi diantaranya adalah sebagai berikut Masril,2011: 1. Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mentalpikiran dan emosiperasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan Davis dalam Sastropoetro, 1988:13. 2. Partisipasi masyarakat adalah berbagai kegiatan orang seorang, kelompok atau badan hukum yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak di penyelenggaraan penataan ruang UU 241992. 3. Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai subyek dan obyek pembangunan; keterlibatan dalam tahap pembangunan ini dimulai sejak tahap perencanaan sampai dengan pengawasan berikut segala hak dan tanggung jawabnya Kamus Tata Ruang,1998:79. Sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi masyarakat merupakan salah satu konsep yang penting karena berkaitan langsung dengan hakikat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Partisipasi masyarakat sangat erat kaitannya dengan kekuatan atau hak masyarakat, terutama dalam pengambilan keputusan dalam tahap identifikasi masalah, mencari pemecahan masalah sampai dengan pelaksanaan berbagai kegiatan. Ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga, timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Dapat dirasakan bahwa merekapun mempunyai hak untuk turut memberikan saran dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan konsep man-centreddevelopment suatu pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan manusia, yaitu jenis pembangunan yang lebih diarahkan demi perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri.

2.1.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kejadian nyata apabila terpenuhi faktor-faktor yang mendukungnya, yaitu: 1. Adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi. 2. Adanya kemauan, yaitu adanya sesuatu yang mendorong atau menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut. 3. Adanya kemampuan, yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya Slamet, 1994. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan mata pencaharian. Faktor internal berasal dari individu itu sendiri. Secara teoritis, tingkah laku individu berhubungan erat atau ditentukan oleh ciri-ciri sosiologis, yaitu: 1. Jenis Kelamin; partisipasi yang diberikan oleh seorang pria dan wanita dalam pembangunan adalah berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem pelapisan sosial yang terbentuk dalam masyarakat, yang membedakan kedudukan dan derajat antara pria dan wanita. Perbedaan kedudukan dan derajat ini, akan menimbulkan perbedaan-perbedaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita. Di dalam sistem pelapisan atas dasar seksualitas ini, golongan pria memiliki sejumlah hak istimewa dibandingkan golongan wanita. Dengan demikian maka kecenderungannya, kelompok pria akan lebih banyak ikut berpartisipasi. 2. Usia; perbedaan usia juga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Dalam masyarakat terdapat pembedaan kedudukan dan derajat atas dasar senioritas, sehingga akan memunculkan golongan tua dan golongan muda, yang berbeda-beda dalam hal-hal tertentu, misalnya menyalurkan pendapat dan mengambil keputusan. Usia berpengaruh pada keaktifan seseorang untuk berpartisipasi. Dalam hal ini golongan tua yang dianggap lebih berpengalaman atau senior, akan lebih banyak memberikan pendapat dan dalam hal menetapkan keputusan. 3. Tingkat Pendidikan; demikian pula halnya dengan tingkat pengetahuan. Salah satu karakteristik partisan dalam pembangunan partisipatif adalah tingkat pengetahuan masyarakat tentang usahausaha partisipasi yang diberikan masyarakat dalam pembangunan. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Semakin tinggi latar belakang pendidikannya, tentunya mempunyai pengetahuan yang luas tentang pembangunan dan bentuk serta tata cara partisipasi yang dapat diberikan. Faktor pendidikan dianggap penting karena dengan melalui pendidikan yang diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dengan orang luar, dan cepat tanggap terhadap inovasi. 4. Tingkat Penghasilan; tingkat penghasilan juga mempengaruhi partisipasi masyarakat. Penduduk yang lebih kaya kebanyakan membayar pengeluaran tunai dan jarang melakukan kerja fisik sendiri. Sementara penduduk yang berpenghasilan pas-pasan akan cenderung berpartisipasi dalam hal tenaga. Besarnya tingkat penghasilan akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Tingkat penghasilan ini mempengaruhi kemampuan finansial masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat hanya akan bersedia untuk mengerahkan semua kemampuannya apabila hasil yang dicapai akan sesuai dengan keinginan dan prioritas kebutuhan mereka 5. Mata Pencaharian; mata pencaharian ini akan berkaitan dengan tingkat penghasilan seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mata pencaharian dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal ini disebabkan karena pekerjaan akan berpengaruh terhadap waktu luang seseorang untuk terlibatdalam pembangunan, misalnya dalam hal menghadiri pertemuan, kerja bakti dan sebagainya.

2.1.2.3 Tingkat Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat adalah sebuah proses yang menyediakan individu suatu kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan publik dan merupakan komponen dalam proses keputusan yang demokratis. Partisipasi masyarakat merupakan arti sederhana dari kekuasaan masyarakat citizen power. Hal tersebut menyangkut redistribusi kekuasaan yang memperbolehkan masyarakat miskin dilibatkan secara sadar dalam proses-proses ekonomi dan politik. Partisipasi masyarakat juga merupakan strategi dimana masyarakat miskin ikut terlibat dan menentukan bagaimana pemberian informasi, tujuan dan kebijakan dibuat, jumlah pajak yang dialokasikan, pelaksanaan program-program, dan keuntungan-keuntungan seperti kontrak dan perlindungan-perlindungan diberikan. Arnstein 1995 menggambarkan partisipasi masyarakat adalah suatu pola bertingkat ladder patern. Suatu tingkatan yang terdiri dari delapan tingkat dimana tingkatan paling bawah merupakan tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah, kemudian tingkat yang paling atas merupakan tingkat dimana partisipasi masyarakat sudah sangat besar dan kuat. Tingkatan partisipasi masyarakat di atas bisa dijelaskan sebagai berikut. 1. Manipulasi Manipulation; pada tingkat ini partisipasi masyarakat berada di tingkat yang sangat rendah. Bukan hanya tidak berdaya, akan tetapi pemegang kekuasaan memanipulasi partisipasi masyarakat melalui sebuah program untuk mendapatkan “persetujuan” dari masyarakat. Masyarakat sering ditempatkan sebagai komite atau badan penasehat dengan maksud sebagai “pembelajaran” atau untuk merekayasa dukungan mereka. Partisipasi masyarakat dijadikan kendaraan public relation oleh pemegang kekuasaan. Praktek pada tingkatan ini biasanya adalah program-program pembaharuan desa. Masyarakat diundang untuk terlibat dalam komite atau badan penasehat dan sub-sub komitenya. Pemegang kekuasaan memanipulasi fungsi komite dengan “pengumpulan informasi”, “hubungan masyarakat” dan “dukungan.”Dengan melibatkan masyarakat di dalam komite, pemegang kekuasaan mengklain bahwa program sangat dibutuhkan dan didukung. Pada kenyataannya, hal ini merupakan alas an utama kegagalan dari program-program pembaharuan pedesaan di berbagai daerah. 2. Terapi Therapy ; untuk tingkatan ini, kata “terapi” digunakan untuk merawat penyakit. Ketidakberdayaan adalah penyakit mental. Terapi dilakukan untuk m enyembuhkan “penyakit” masyarakat. Pada kenyataannya, penyakit masyarakat terjadi sejak distribusi kekuasaan antara ras atau status ekonomi kaya dan miskin tidak pernah seimbang. 3. Pemberian Informasi Informing; tingkat partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan transisi antara tidak ada partisipasi dengan tokenism. Kita dapat melihat dua karakteristik yang bercampur. Pertama, pemberian informasi mengenai hak-hak, tanggung jawab, dan pilihan-pilihan masyarakat adalah langkah pertama menuju partisipasi masyarakat. Kedua, pemberian informasi ini terjadi hanya merupakan informasi satu arah tentunya dari aparat pemerintah kepada masyarakat. Akan tetapi tidak ada umpan balik feedback dari masyarakat. Alat yang sering digunakan dalam komunikasi satu arah adalah media massa, pamflet, poster, dan respon untuk bertanya. 4. Konsultasi Consultation; konsultasi dan mengundang pendapat-pendapat masyarakat merupakan langkah selanjutnya setelah pemberian informasi. Arnstein menyatakan bahwa langkah ini dapat menjadi langkah yang sah menuju tingkat partisipasi penuh. Namun, komunikasi dua arah ini sifatnya tetap buatan artificial karena tidak ada jaminan perhatian-perhatian masyarakat dan ide-ide akan dijadikan bahan pertimbangan. Metode yang biasanya digunakan pada konsultasi masyarakat adalah survai mengenai perilaku, pertemuan antar tetangga, dan dengar pendapat. Di sini partisipasi tetap menjadi sebuah ritual yang semu. Masyarakat pada umumnya hanya menerima gambaran statistik, dan partisipasi merupakan suatu penekanan pada berapa jumlah orang yang datang pada pertemuan, membawa pulang brosur- brosur, atau menjawab sebuah kuesioner. 5. Penentraman Placation; strategi penentraman menempatkan sangat sedikit masyarakat pada badan-badan urusan masyarakat atau pada badan-badan pemerintah. Pada umumnya mayoritas masih dipegang oleh elit kekuasaan. Dengan demikian, masyarakat dapat dengan mudah dikalahkan dalam pemilihan atau ditipu. Dengan kata lain, mereka membiarkan masyarakat untuk memberikan saran-saran atau rencana tambahan, tetapi pemegang kekuasaan tetap berhak untuk menentukan legitimasi atau fisibilitas dari saran-saran tersebut. Ada dua tingkatan dimana masyarakat ditentramkan: 1 kualitas pada bantuan teknis yang mereka miliki dalam membicarakan prioritas mereka; 2 tambahan dimana masyarakat diatur untuk menekan prioritas tersebut. 6. Kemitraan Partnership; pada tingkat kemitraan, partisipasi masyarakat memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Kekuatan tawar menawar pada tingkat ini adalah alat dari elit kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Kedua pemeran tersebut sepakat untuk membagi tanggung jawab perencanaan dan pengambilan keputusan melalui badan kerjasama, komite-komite perencanaan, dan mekanisme untuk memecahkan kebuntuan masalah. Beberapa kondisi untuk membuat kemitraan menjadi efektif adalah: 1 adanya sebuah dasar kekuatan yang terorganisir di dalam masyarakat di mana pemimpin pemimpinnya akuntabel; 2 pada saat kelompok memiliki sumber daya keuangan untuk membayar pemimpinnya, diberikan honor yang masuk akan atas usaha-usaha mereka; 3 ketika kelompok memiliki sumber daya untuk menyewa dan mempekerjakan teknisi, pengacara, dan manajer community organizer mereka sendiri. 7. Pendelegasian Kekuasaan Delegated Power; pada tingkat ini, masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan untuk menentukan program-progam pembangunan. Untuk memecahkan perbedaan-perbedaan, pemegang kekuasaan perlu untuk memulai proses tawar menawar dibandingkan dengan memberikan respon yang menekan. 8. Pengawasan Masyarakat Citizen Control; pada tingkat tertinggi ini, partisipasi masyarakat berada di tingkat yang maksimum. Pengawasan masyarakat di setiap sektor meningkat. Masyarakat meminta dengan mudah tingkat kekuasaan atau pengawasan yang menjamin partisipan dan penduduk dapat menjalankan sebuah program atau suatu lembaga akan berkuasa penuh baik dalam aspek kebijakan maupun dan dimungkinkan untuk menegosiasikan kondisi pada saat di mana pihak luar bisa menggantikan mereka. Tabel 2.1 Matriks Tangga Partisipasi Arnstein, 1969 TanggaTingkatan Partisipasi Hakikat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan 1.Manipulasi Manipulation Permainan oleh pemerintah Tidak ada partisipasi Non-Participant 2.Terapi Therapy Sekedar agar masyarakat tidak marahmengobati 3.Pemberitahuan Information Sekedar pemberitahuan searahsosialisasi Tokenismesekedar justifikasi agar masyarakat mengiyakan Degree of Tokenism 4.Konsultasi Consultation Masyarakat didengar, tapi tidak selalu dipakai sarannya 5.Penentraman Placation Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dilaksanakan 6.Kemitraan Partnership Timbal-balik dinegosiasikan Tingkatan kekuasaan ada di masyarakat Degree of Citizen Power 7. Pendelegasian Kekuasaan Delegated power Masyarakat diberi kekuasaan sebagianseluruh program 8. Kontrol Masyarakat Citizen control Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat Sumber: Suciati, 2006

2.1.3 Partisipasi dan Pemberdayaan Perempuan

Angka kemiskinan di dunia menunjukan bahwa 23 perempuan di dunia termasuk kategori miskin. Perempuan masih menjadi pihak yang dirugikan oleh kemiskinan dan dipinggirkan oleh proses pembangunan. Dalam bidang pendidikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal masih lebih banyak diberikan kepada laki-laki dibanding perempuan. Di Indonesia 65 persen anak tidak sekolah adalah perempuan. Dalam bidang kesehatan angka kematian ibu, merupakan angka terbesar di Asia yaitu 375 per 100.00 kelahiran. Masril,2011 Untuk pembangunan keterlibatan perempuan, masih banyak di sektor domestik dibandingkan dalam sektor publik. Perempuan, terutama di kalangan miskin seringkali menjadi penerima informasi kedua karena tidak pernah terlibat dalam rembug-rembug yang diselengarakan untuk memecahkan permasalahan masyarakat. Memang dibeberapa tempat kehadiran perempuan dalam penentuan keputusan terjadi walaupun jumlahnya relatif kecil, akan tetapi seringkali suaranya kalah dengan suara laki-laki yang jumlahnya cukup besar, bahkan kadang-kadang mereka hanya ikut hadir tetapi tidak bisa memberikan suaranya. Padahal rembug-rembug yang dilakukan warga merupakan asset yang besar sebagai modal sosial untuk melibatkan masyarakat dalam proses memecahkan persoalan kehidupan mereka. Menjadi strategis melibatkan perempuan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi, karena: 1. Penghargaan terhadap perempuan sebagai manusia yang merdeka yang berhak untuk menentukan pemecahan masalah yang dihadapinya. 2. Ada pemecahan masalah-masalah; termasuk masalah kemiskinan yang menyangkut perempuan akan lebih tepat apabila dibicarakan bersama dengan perempuan karena merekalah yang betul-betul merasakan masalah dan kebutuhannya. Keputusan yang diambil hanya oleh kaum laki-laki seringkali hanya berhubungan dengan „dunia laki-laki‟ dan tidak mempunyai sensitivitas kepada masalah perempuan. Bila memikirkan masalah perempuanpun seringkali dasarnya tidak kuat karena mereka tidak mengalami masalahnya. 3. Memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya sebagai manusia. 4. Potensi yang besar yang dipunyai oleh perempuan, akan sangat berarti apabila digunakan bukan hanya sektor domestik akan tetapi juga dalam sektor publik sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. 5. Keterlibatan dalam semua proses pembagunan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sama. Pendekatan pembangunan yang dipakai adalah pendekatan yang adil dan setara, sehingga ada jaminan terbukannya seluruh akses baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk ikut berperan aktif dalam seluruh kegiatan masyarakat, karena sebagai manusia laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pendekatan yang sejajar dan setara memberi peluang kemitraan bagi laki-laki dan perempuan sehinggga akan saling melengkapi sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing bukan untuk saling menguasai. Pada kenyataanya perempuan harus berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan. Makin banyak pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena mensubordinsaikan perempuan. Selama ini bukan pembangunan untuk perempuan akan tetapi perempuan untuk pembangunan. Upaya memberdayakan perempuan perlu terus dilakukan agar mereka tidak terlibat sebagai objek melainkan sebagai subjek dan memberikan seluruh potensinya untuk proses pembangunan. Proses pembangunan, seperti yang didefinisikan oleh sebagaian besar agen- agen pembanguanan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk sampai definisi ini, proses pembangunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan dimana perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan perempuan. Menurut Sudirja 2007, terdapat lima tingkat kesetaraan perempuan agar perempuan terlibat dalam proses pembangunan, yaitu : 1. Kesejahteraan; perempuan lebih dianggap sebagai penerima pasif kesejahteraan. Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui tingkat kesejahteraan yang berbeda diantara laki-laki dan perempuan dengan indikator keadaan gizi, angka kematian dan lain sebagainya. Pemberdayaan perempuasn tidak terjadi secara murni pada tingkat kesejahteraan ini karena tindakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat mensyaratkan akses perempuan atas sumber daya harus meningkat dan ini berarti perempuan maju ke tahap berikutnya. 2. Akses; tingkat produktivitas perempuan lebih rendah karena adanya pembatasan akses atas sumberdaya pembangunan dan produksi dalam masyarakat, seperti tanah, kredit, lapangan kerja dan pelayanan. Mengatasi kesenjangan gender berarti akan meningkatkan akses perempuan sehingga setara dengan laki-laki. Pemberdayaan berarti perempuan disadarkan akan situasi-situasi yang tidak adil ini dimana kesadaran baru tersebut akan mendorong untuk berjuang mendapatkan haknya , termasuk memperoleh akses yang setara dan adil atas berbagai macam sumber daya baik di dalam rumah tangga komunitas dan masyarakat. 3. Kesadaran Kritis; tingkat kesadaran ini akan meningkatkan kesadaran perempuan bahwa masalah-masalah mereka tidak bersal dari ketidakmampuan pribadi mereka, melainkan karena ditundukan oleh sistem sosial diskriminasi yang sudah terinstitusi di dalam diri perempuan. Kesadaran ini akan membangkitkan kemampuan perempuan untuk menganalisis masyarakat secara kritis dan mengenai semua hal yang dianggap perlu “normal” atau bagian dari “pemberian dunia” yang permanen dan tidak bisa diubah jika menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Keyakinan pada kesetaraan gender ni merupakan elemen ideologis yang sangat penting dalam proses pemberdayaan, yang menyediakan basis konseptual untuk penggalangan kekuatan menuju keadilan dan kesetaraan perempuan. 4. Partisipasi; konsep partisipasi disini diartikan bahwa perempuan setara terhadap laki-laki untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan. Kesetaraan dalam tingkat ini diartikan sebagai partisipasi setara perempuasn dalam proses pengambilan keputusan.Dalam sebuah proyek pembangunan, partisipasi dapat berarti bahwa perempuan perempuan diwakili oleh perempuan dalam proses penilaian kebutuhan, identifikasi masalah, perencanaan proyek, manajemen, penerapan dan evaluasi. “Kesetaraan dalam partisipasi” juga berarti melibatkan perempuan dari komunitas dampingan dalam proses pengambilan keputusan dikomunitasnya. Kesetaraan dalam partisipasi ini tidak mudah diperoleh. Mobilisasi perempuan yang meningkat akan menghasilkan meningkatnya jumlah perempuan yang duduk dalam institusi-institusi yang berhak mengambil keputusan. Meningkatnya jumlah perempuan dalam posisi- posisi penting dalam komuitasnya merupakan hasil pemberdayaan sekaligus menjadi sumbangan potensial bagi peningkatan upaya pemberdayaan perempuan. 5. Kontrol; partisipasi perempuan yang meningkat pada proses pengambilan keputusan akan berdampak pada akses dan distribusi keuntungan yang adil bagi perempuan jika partisipasi tersebut diikuti dengan kontrol yang meningkat pula atas faktor-faktor produksi. Kesetaraan dalam hal kontrol berarti sebuah keseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, dimana tidak ada satu pihak pun berada di bawah dominasi yang lainnya. Ini berarti perempuan mempunyai kekuasaan yang sama dengan laki-laki untuk mempengaruhi masa depan mereka dan masa depan masyarakat mereka. Hanya dengan memiliki kontrol inilah perempuan dapat meningkatkan aksesnya terhadap sumberdaya dan karenannya akan mensejahterakan diri dan anak-anaknya. Kesetaraan dalam partisipasi dan kontrol merupakan persyaratan yang diperlukan jika kita mau membuat kemajuan pada kesetaraan gender dalam hal kesejahteraan. Mengacu pada konsep tersebut, maka tingkat keberhasilan program dilihat dari sejauhmana tercapai tingkat keberdayaan perempuan yang diukur dari tingkat akses dan kontrol perempuan dalam program tersebut. Hal ini juga merujuk dari Soeharto 2005, tentang indikator pemberdayaan ekonomi Tabel 2.2 Matriks Keberdayaan Ekonomi Suharto, 2005 Jenis Hubungan Kekuasaan Kemampuan Ekonomi Kekuasaan di dalam: Meningkatknya kesadaran dan keinginan untuk berubah Evaluasi positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya Keinginan ekonomi yang setara Keinginan memiliki kesamaan hak terhadap sumber yang ada pada rumahtangga dan masyarakat Kekuasaan untuk: Meningkatnya kemampuan individu untuk berubah. Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses. Akses terhadap pelayanan keuangan mikro Akses terhadap pendapatan Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumahtangga Akses terhadap pasar Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak Kekuasaan atas: Perubahan pada hambatan- hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumahtangga, masyarakat dan makro. Kekuasaan atau tindakan individu untuk mengahadapi hambatan-hambatan tersebut. Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya Kontrol atas aset produktif dan kepemilikan keluarga Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga Tindakan individu menghadapi diskriminasi atas akses terhadap sumber dan pasar Kekuasaan dengan: Meningkatnya solidaritas atau tindakan bersama dengan orang lain untuk menghadapi hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumahtangga, masyarakat dan makro Bertindak sebagai model peranan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan publik dan modern Mampu memberi gaji terhadap orang lain Tindakan bersama menghadapi diskriminasi pada akses terhadap sumber termasuk hak atas tanah, pasar dan diskriminasi gender pada konteks ekonomi makro Sumber: Suharto, 2005

2.1.4 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan

PNPM –MP Pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun organisasi masyarakat warga yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman. Penguatan kelembagaan masyarakat yang dimaksud terutama juga dititikberatkan pada upaya penguatan perannya sebagai motor penggerak dalam „melembagakan dan „membudayakan kembali nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan nilai- nilai dan prinsip-prinsip di PNPM-MP, sebagai nilai-nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat setempat. Melalui kelembagaan masyarakat tersebut diharapkan tidak ada lagi kelompok masyarakat yang masih terjebak pada lingkaran kemiskinan, yang pada gilirannya antara lain diharapkan juga dapat tercipta lingkungan kota dengan perumahan yang lebih layak huni di dalam permukiman yang lebih responsif, dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kepada kelembagaan masyarakat tersebut yang dibangun oleh dan untuk masyarakat, selanjutnya dipercaya mengelola dana abadi PNPM-MP secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dana tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan, yang diputuskan oleh masyarakat sendiri melalui rembug warga, baik dalam bentuk pinjaman bergulir maupun dana waqaf bagi stimulan atas keswadayaan masyarakat untuk kegiatan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, misalnya perbaikan prasarana serta sarana dasar perumahan dan permukiman. Model tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk penyelesaian persoalan kemiskinan yang bersifat multi dimensional dan struktural, khususnya yang terkait dengan dimensi-dimensi politik, sosial, dan ekonomi, serta dalam jangka panjang mampu menyediakan aset yang lebih baik bagi masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatannya, meningkatkan kualitas perumahan dan permukiman meraka maupun menyuarakan aspirasinya dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut, maka dilakukan proses pemberdayaan masyarakat, yakni dengan kegiatan pendampingan intensif di tiap kelurahan sasaran. Melalui pendekatan kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana bantuan langsung ke masyarakat kelurahan sasaran, PNPM-MP cukup mampu mendorong dan memperkuat partisipasi serta kepedulian masyarakat setempat secara terorganisasi dalam penanggulangan kemiskinan. Artinya, Program penanggulangan kemiskinan berpotensial sebagai “gerakan masyarakat”, yakni; dari, oleh dan untuk masyarakat. Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri,2008

2.1.4.1 Tujuan PNPM-MP

1. Memperbaiki sarana dan prasarana dasar perumahan dan pemukiman masyarakat miskin di perkotaan. 2. Mengenalkan dan membangun upaya-upaya peningkatan pendapatan secara mandiri dan berkelanjutan untuk masyarakat miskin di perkotaan, baik masyarakat yang telah lama miskin, masyarakat yang pendapatannya menjadi tidak berarti karena inflasi, maupun masyarakat yang kehilangan sumber nafkah karena krisis ekonomi. 3. Tercipta organisasi masyarakat warga yang memiliki pola kepemimpinan kolektif yang representatif, akseptabel, inklusif, tanggap, dan akuntabel yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin perkotaan dan memperkuat suara masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik. 4. Memperkuat agen-agen lokal pemerintah, dunia usaha, dan kelompok peduli untuk membantu masyarakat miskin.

2.1.4.2 Sasaran PNPM-MP

Kelompok sasaran program PNPM Mandiri perkotaan adalah warga masyarakat miskin perkotaan, sesuai dengan rumusan kriteria kemiskinan setempat yang disepakati oleh warga, termasuk di dalamnya adalah masyarakat yang telah lama miskin, masyarakat yang penghasilannya merosot dan tidak berarti akibat inflasi serta masyarakat yang kehilangan sumber nafkah karena krisis ekonomi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan PNPM- MP merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun Gerakan Kemandirian Penanggulangan Kemiskinan d an Pembangunan Berkelanjutan”. Program ini memiliki tujuan yaitu: 1 memperbaiki sarana dan prasarana dasar perumahan dan pemukiman masyarakat miskin di perkotaan, 2 mengenalkan dan membangun upaya-upaya peningkatan pendapatan secara mandiri dan berkelanjutan untuk masyarakat miskin di perkotaan, 3 tercipta organisasi masyarakat warga yang memiliki pola kepemimpinan kolektif yang representatif, akseptabel, inklusif, tanggap, dan akuntabel yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin perkotaan dan memperkuat suara masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik dan 4 memperkuat agen-agen lokal pemerintah, dunia usaha, dan kelompok peduli untuk membantu masyarakat miskin. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam setiap kegiatan di dalam PNPM-MP tersebut. Salah satu program kegiatan PNPM-MP yang sasarannya ditujukan pada perempuan miskin adalah program dana bergulir. Partisipasi perempuan peserta program dana bergulir dipengaruhi oleh faktor tingkat kemauan, kemampuan, dan kesempatan peserta program. Tingkat kemauan peserta program meliputi persepsi dan sikap peserta terhadap program dan motivasi peserta untuk terlibat dalam program. Tingkat kemampuan peserta program meliputi tingkat pendidikan dan pendapatan peserta. Tingkat kesempatan peserta program meliputi tingkat keterdedahan informasi peserta dan tingkat pendampingan yang diterima peserta dari pihak perusahaan. Serta mencakup faktor demografi: usia dan status perkawinan. Partisipasi perempuan diukur dari tingkat partisipasi Arnstein, yaitu: manupulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, penentraman, kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan kontrol masyarakat. Selanjutnya digolongkan menjadi tiga tingkat partisipasi: rendah, sedang, dan tinggi. Partisipasi perempuan dalam program ini berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan ekonomi perempuan peserta program, mencakup: akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat program. Akses mencakup: Akses terhadap pelayanan keuangan mikro, Akses terhadap pendapatan, Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumahtangga, Akses terhadap pasar, Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak. Serta kontrol mencakup: Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya, kontrol atas aset produktif dan kepemilikan keluarga, kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga. Gambar 1 Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan: :mempengaruhi - - - - - - - - - - : variabel yang diteliti Tingkat Keberdayaan Ekonomi Perempuan Akses : Akses terhadap pelayanan keuangan mikro, Akses terhadap pendapatan, Akses terhadap pasar, Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak Kontrol : Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya, Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga. Keberhasilan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan PNPM-MP Faktor-faktor Pendorong Partisipasi Tingkat Kemauan Persepsi terhadap manfaat program Sikap terhadap program Motivasi untuk terlibat dalam program Tingkat Kemampuan Tingkat pendidikan Tingkat pendapatan Tingkat Kesempatan Tingkat keterdedahan informasi Tingkat pendampingan yang diterima Faktor Demografi Usia Status Perkawinan Tingkat Partisipasi Perempuan Manipulasi Terapi Pemberitahuan Konsultasi Penenangan Kemitraan Pendelegasian Kontrol masyarakat

2.3 Hipotesis Penelitian

Dokumen yang terkait

Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan (studi kasus : Pinjaman Bergulir di Kelurahan Bantan Kecamatan Tembung)

4 79 75

Pengaruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri Pedesaan terhadap Pembangunan Desa di desa Suka Damai.

12 108 132

Pengaruh Tingkat Pendidikan Formal Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat (Studi Kantor kelurahan Kendana Kabupaten Labuhan Batu)

15 92 101

Pengaruh Tingkat Partisipasi Perempuan Dalam Usaha Ekonomi Mikro Terhadap Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga Di Kelurahan Harjosari II Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

12 121 132

Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Nasional (PNPM) Mandiri Perdesaan (Studi Deskriftif di Kelurahan Aek Simotung, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara)

0 62 148

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP)Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

4 84 264

Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) (Studi Kasus di Desa Sitio II Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 46 125

Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Desa Dolok Hataran Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

0 55 76

Efektivitas Pelaksanaan Program Simpan Pinjam Perempuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Deli Serdang

5 58 146

Tingkat partisipasi perempuan terhadap simpan pinjam kelompok perempuan (SPP) program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM M) perdesaan

0 15 110