Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan

56

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan

Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970- an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Saat itu terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Pada tahun 1974, kawasan Kasepuhan dengan dipimpin oleh Ki Ardjo berpindah ke daerah Ciganas, Desa Sirna Rasa. Akan tetapi kawasan ini sudah termasuk dalam kawasan Perhutani. Persoalan mulai terjadi saat aparat keamanan melihat incu putu masyarakat adat Kasepuhan mulai membuka huma dengan membabat bukit-bukit di daerah penyangga. Namun hal ini tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, mengingat saat itu, hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik. Keributan mengenai pemukiman dan perladangan yang berpindah-pindah dimulai sejak Kasepuhan dipimpin oleh Abah Anom pada tahun 1983 yang memindahkan Kasepuhan ke Cipta Rasa yang termasuk dalam blok Datar Putat. Abah Anom dianggap telah menyerobot lahan milik Perhutani tanpa izin dan membuka areal yang tadinya merupakan hutan utuh. Permasalahan diselesaikan dengan menyelenggarakan musyawarah yang mempertemukan pihak Kasepuhan dengan Perhutani. Hasilnya, masyarakat Kasepuhan masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di wilayah adatnya sesuai dengan wangsit dari karuhun yang belum ‘memerintahkan’ untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan tanahnya seluas hampir 16.000 m 2 di Ciarca untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta Rasa blok Datar Putat. Tapi pihak kehutanan mengizinkan incu putu untuk menggarap wilayah di Ciarca tersebut dengan sistem tumpang sari. Permasalahan yang terjadi dengan Perhutani tidak hanya mengenai persoalan lahan. Ada permasalahan lain yang terjadi. Menurut Wa UGS, permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi. Padahal menurut peraturan adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan leuweung titipan tidak boleh ada 57 kegiatan ekonomi termasuk untuk produksi massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan incu putu masyarakat adat Kasepuhan untuk menggarap hutan produksi dengan sistem tumpang sari. Seperti yang dituturkan oleh Wa UGS 64 tahun Tokoh Adat Kasepuhan. “Konflik terjadi dengan Perhutani, ketika Perhutani mengklaim kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi. Namun, konflik tidak terlalu keras, karena Perhutani melepas klaimnya atas hutan titipan, dan menggantinya dengan hutan diluar hutan titipan dan masyarakat masih diizinkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari.” Pemerintah mengeluarkan SK. Menteri Kehutanan No.282 tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok Kehutanan No.51967 dan UU Konservasi dan Sumberdaya Hayati No.51990 yang menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional BTN Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun, seperti yang dipaparkan dalam www.tnhalimun.go.id. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak balai taman nasional mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat- obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona-zona taman nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman nasional. Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dalam kawasan taman nasional, kawasan Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam kawasan taman nasional, zona rimba dan zona rehabilitasi, ’hanya’ kawasan lahan garapan warga saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan sawah. 58 Keadaan bertambah parah saat pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 175kpts-II 2003, tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 hektar. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56Menhut-Ii2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, dilarang adanya kegiatan penebangan oleh siapapun di wilayah inti taman nasional. Pembagian zonasi taman nasional bedasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56Menhut-Ii2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional adalah sebagai berikut: 1. Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. 2. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. 3. Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisijasa lingkungan lainnya. 4. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. 5. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. 6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan 59 atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 7. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindari telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Berdasarkan pembagian zonasi, masyarakat tidak diperbolehkan mengambil kayu maupun memanfaatkan lahan untuk pertanian. Ditambah dengan tidak adanya sosialisasi terhadap masyarakat sehingga tidak terdapat kejelasan mengenai batas-batas zonasi di lapangan, membuat masyarakat yang mengambil kayu yang biasanya dilakukan di hutan titipan sesuai dengan izin ketua adat untuk pembangunan pemukiman karena hutan tersebut masuk dalam kawasana inti maka kegiatan masyarakat dianggap sebagai illegal logging. Masyarakat adat sendiri menganggap bahwa sistem zonasi yang dibuat oleh taman nasional sama artinya dengan sistem pengelolaan hutan secara adat, terutama untuk zona inti dan hutan tutupan Kasepuhan. Namun, permasalahannya adalah ketika kebun, ladang, sawah dan pemukiman masyarakat dijadikan zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Masyarakat adat tidak boleh tinggal dan berada di kawasan zona rimba dan zona rehabilitasi karena zona rimba berfungsi sebagai kawasan yang mendukung zona inti dan zona rehabilitasi berfungsi untuk pemulihan ekosistem hutan. Pentingnya kawasan kebun, sawah, dan ladang masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan hidup, memaksa masyarakat tetap berada di lahan garapan dan mengolah lahan seperti biasanya walaupun harus dengan cara ”sembunyi-sembunyi” karena takut ditangkap. Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan yang diklaim sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan antara lain; pemanfaatan kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya seren taun, pakan ternak, tanaman hias, satwa burung dan babi hutan, kerajinan tangan, dan penambangan emas secara tradisional. Secara 60 tiba-tiba, pemerintah mengklaim hutan milik masyarakat sebagai bagian dari taman nasional, dan dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat Kasepuhan dan mengancam kehidupan masyarakat. Selain itu, konflik pemanfaatan lahan pun terjadi karena sempitnya lahan garapan masyarakat Kasepuhan akibat pengklaiman lahan sebagai taman nasional. Namun, terdesak oleh kebutuhan hidup yang harus tetap berlanjut, masyarakat tetap mengelola lahan tersebut, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Cimapag. Masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam hutan Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di hutan Halimun. Seperi yang diungkapkan oleh Bapak RDI 55 tahun yang bekerja sebagai petani. “Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga” Dalam perjalanannya, kemudian pihak taman nasional mulai memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke dalam kawasan konservasi di berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menakuti-nakuti masyarakat bahwa sewaktu-waktu masyarakat dapat diusir dari tempat hidupnya karena pemukimannya masuk dalam wilayah taman nasional. Pada tahun 2007 terjadi juga penangkapan terhadap warga Kasepuhan yang tinggal di Kampung Cibalandongan karena mengambil kayu dari kebun miliknya sendiri, karena dianggap telah merusak kawasan taman nasional. Warga tersebut ditahan selama 10 bulan penjara. Setelah itu, ada pula warga Kampung Lebak Nangka pada tahun 2008 juga ditangkap karena mengambil kayu di kebun 61 sendiri. Padahal sebelum adanya taman nasional, lahan kebun termasuk pohon yang di dalamnya adalah milik warga, karena sejak wilayah tersebut masih dimiliki oleh Perhutani, warga boleh menggarap lahan tersebut dan menanam pohon kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari. Seperti yang dinyatakan oleh Tokoh Adat, Wa UGS 64 tahun. “Kami seperti pencuri di tanah milik sendiri, seperti tamu di rumah sendiri. Padahal kami telah tinggal di sini sebelum ada taman nasional, bahkan sebelum Indonesia merdeka, kami sudah tinggal di sini. Tapi mengapa mengambil hasil yang kami tanam sendiri membuat kami ditangkap?” Sudah ada empat kasus penangkapan yang dikarenakan mengambil kayu di kebunnya sendiri, dan hingga saat ini tahun 2010 masih ada warga yang ditahan oleh kepolisian, yaitu satu orang warga Kasepuhan Cipta Gelar di Kampung Lebak Nangka. Seperti yang diutarakan oleh Bapak PPN 53 tahun Tokoh Masyarakat dari Kampung Lebak Nangka, dalam dialog interaktif kader lingkungan hidup di Kasepuhan Cipta Gelar pada tanggal 31 Agustus 2010. “Lahan garapan masyarakat dirampas oleh taman nasional. Jika itu merupakan hak taman nasional, maka akan kami beri, tetapi tidak untuk lahan garapan. Tolong diselesaikan dengan baik. Ditakutkan, jika hak masyarakat dirampas, maka akan terjadi keributan. Bapak Dirjen pernah berkata, silahkan mengambil pohon yang ditanam di kebun sendiri. Namun, kenyataannya sudah ada empat kasus penangkapan karena menebang pohon yang ditanam di kebun sendiri.” Menurut Bapak PPN 53 tahun Tokoh Masyarakat, penetapan kawasan taman nasional tersebut tidak dikompromikan dengan masyarakat dan tata batas wilayahnya juga tidak jelas. Hal ini dapat memicu keributan, karena tidak sedikit lahan garapan masyarakat yang masuk dalam kawasan taman nasional. Sebenarnya masyarakat tidak menolak dengan adanya kawasan konservasi di wilayah adat mereka. Bahkan mereka sangat mendukung dan merasa satu tujuan dengan balai taman nasional karena ingin melindungi kawasan Gunung Halimun. Namun, masyarakat menolak, jika lahan garapan mereka dan pemukiman mereka diklaim sebagai kawasan taman nasional dan mereka ditangkap ketika mengambil kayu yang mereka tanam sendiri. Masyarakat merasa bahwa lahan garapan dan pemukiman mereka adalah hak mereka karena mereka 62 telah mendiami kawasan tersebut sejak lama. Ketika ada kasus penangkapan orang yang dituduh melakukan illegal logging, masyarakat merasa takut untuk kembali mengambil kayu di lahan mereka, namun lama kelamaan mereka melawan karena mereka tidak merasa bersalah dan merasa dengan melawan atau tidak akan tetap ditangkap oleh polisi kehutanan. Setidaknya mereka puas telah mempertahankan hak mereka walaupun pada akhirnya mereka tetap ditangkap ketika melakukan pengambilan kayu. 63 Tabel-6 Peta Sejarah Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Waktu Kejadian Pihak yang Berkonflik Kronologis Keterangan Tahun 1970-an Perhutani dan Masyarakat Adat Kasepuhan Konflik terjadi ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik masyarakat adat. Tahun 1974 Kawasan Kasepuhan pindah ke daerah Ciganas, dan masyarakat Kasepuhan membuka areal perbukitan untuk huma, serta dianggap menyerobot lahan milik Perhutani. Hal ini tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, mengingat saat itu, hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik Tahun 1983 Permasalahan terjadi ketika wilayah Kasepuhan yang dipimpin oleh Abah Anom kembali berpindah ke Cipta Rasa. Masyarakat membuka areal hutan utuh milik Perhutani untuk pemukiman dan ladang baru. Permasalahan diselesaikan dengan menyelenggarakan musyawarah yang mempertemukan pihak Kasepuhan dengan Perhutani. Hasilnya, masyarakat an masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di wilayah adatnya sesuai dengan wangsit dari karuhun yang belum ‘memerintahkan’ untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan tanahnya seluas hampir 16.000 m 2 di Ciarca untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta Rasa blok Datar Putat. Tapi pihak kehutanan mengizinkan incu putu untuk menggarap wilayah di Ciarca tersebut dengan sistem tumpang sari. Tahun 1992 Taman Nasional Gunung Halimun dengan Masyarakat Adat Kasepuhan Pemerintah mengeluarkan SK.Menhut No. 282 Tahun 1992yang menetapkan kawasan Halimun seluas 40.000 ha sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional 64 BTN Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak BTN mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat-obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona rehabilitasi taman nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman nasional. Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dalam kawasan taman nasional, kawasan Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam kawasan taman nasional ’hanya’ kawasan lahan garapan warga saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan sawah. Tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 175 Tahun 2003 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 ha. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. kemudian pihak taman nasional mulai memasang plang pelarangan masuk kawasan konservasi di 65 berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menakuti- nakuti warga bahwa sewaktu-waktu warga dapat diusir dari tempat hidupnya karena pemukimannya masuk dalam wilayah taman nasional. Tahun 2007 Terjadi penangkapan warga Cibalandongan karena diduga melakukan illegal logging, warga tersebut ditahan selama 10 bulan. Tahun 2008 Terjadi kembali penangkapan warga Lebak Nangka, diduga pula melakukan illegal logging di kawasan taman nasional. Tahun 2010 Masih ada warga Kasepuhan di dusun Lebak Nangka yang ditahan oleh kepolisian, dan belum dibebaskan. Selain itu, masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag menduga taman nasional mengembang- biakan babi hutan di hutan untuk mengganggu tanaman masyarakat sehingga gagal panen. 66 Konflik kehutanan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah terjadi sejak pemerintah turut campur dalam pengelolaan hutan. Berbedanya sistem pengelolaan hutan yang diterapkan oleh pemerintah dalam hal ini Perhutani dan Balai Taman Nasional dengan Masyarakat Adat Kasepuhan, khususnya dalam zona rehabilitasi atau hutan bukaan Kasepuhan menjadi salah satu penyebab konflik. Selain itu, ada pula perbedaan penafsiran dan penggunaan istilah dalam peraturan yang tercantum dalam peraturan pemerintah dan peraturan adat.

2.4 Peta Konflik Sumberdaya Hutan

Dokumen yang terkait

Analisis finansial usaha pengolahan produk fish nugget di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

0 7 78

Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

1 13 176

Analisis Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi (Studi Kasus di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

2 18 275

Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

0 20 196

Alokasi Sumberdaya Kawasan Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat: Pendekatan Multi-Objective

0 16 100

LEKSIKON ETNOFARMAKOLOGI DI KAMPUNG ADAT CIPTAGELAR, DESA SIRNARESMI, KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI (KAJIAN ETNOLINGUISTIK).

4 12 25

PEWARISAN PENGETAHUAN LOKAL ETNOBOTANI KEPADA GENERASI SELANJUTNYA DI KAMPUNG ADAT SINAR RESMI KABUPATEN SUKABUMI.

2 8 27

TRADISI NGASEUK DI KAMPUNG ADAT SINAR RESMI DESA SIRNARESMI KECAMATAN CISOLOK KABUPATEN SUKABUMI SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MEMBACA ARTIKEL DI SMA.

3 19 36

SIKAP KONSERVASI SISWA KAMPUNG TRADISIONAL CIKUPA DAN KAMPUNG ADAT SINAR RESMI KECAMATAN CISOLOK KABUPATEN SUKABUMI.

0 4 32

TRADISI NGASEUK DI KAMPUNG ADAT SINAR RESMI DESA SIRNARESMI KECAMATAN CISOLOK KABUPATEN SUKABUMI SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MEMBACA ARTIKEL DI SMA - repository UPI S BD 1004549 Title

0 0 4