88
5.6 Ruang-Ruang Konflik
Kebanyakan konflik memiliki penyebab gBapakIbu sebagi kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang
terbuka Fuad dan Maskanah, 2000. Untuk itu Fuad dan Maskanah 2000 melakukan pemetaan konflik, yakni mengelompokkannya dalam ruang-ruang
konflik, yaitu : a Konflik data; b Konflik kepentingan; c Konflik hubungan antar manusia; d Konflik nilai; dan e Konflik struktural. Dalam kasus konflik
yang terjadi antara pihak Kasepuhan dan Taman Nasional Gunung Halimun- Salak, konflik terjadi pada ruang konflik kepentingan, konflik nilai dan konflik
struktural.
Konflik kepentingan terjadi karena adanya persaingan kepentingan, di
mana ketika suatu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban. Pemerintah atas dasar adanya desakan
dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Halimun dan salak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175Kpts-
II2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan
Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Salak seluas ± 113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan
hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai
keanekaragaman yang tinggi, sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan.
Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian.
Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan hutan Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat.
89 Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus
berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus
didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi
dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada
akhirnya.
Konflik struktural
terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang
formal untuk menetapkan kebijakan formal. Pemerintah menerapkan konsep konservasi pada kawasan Gunung Halimun dengan harapan dapat menjaga dan
melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber mata air yang ada di sana. Untuk melakukan hal itu, pemerintah harus mengurangi dan membatasi intensitas
masuknya manusia ke dalam hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh manusia. Karena kawasan konservasi terutama zona inti, zona rimba, zona penyangga dan
zona rehabilitasi adalah kawasan yang tidak boleh ada kegiatan pendayagunaan oleh manusia seperti mengambil kayu bakar, mengambil kayu untuk membangun
sarana dan prasarana, dan memanfaatkan tumbuhan untuk obat-obatan tradisional. Karean alasan inilah yang membuat pemerintah membatasi akses masyarakat ke
dalam hutan.
Konflik nilai terjadi ketika ada perbedaan dalam menilai peran dan fungsi
hutan. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah
menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan konsep konservasi. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kawasan leuwueng tutupan
merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah Gusti Nu Kuasa yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena
manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan kemit leuweung yang telah
90 diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di
dalam hutan titipan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air leuweung sirah cai, dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka
sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya.
Pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus,
dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi Gunung Halimun yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya.
Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru terjadi bentrokan antara pemerintah Balai Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak dengan masyarakat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau
zona-zona tertentu seperti zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi, sedangkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat
Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya.
5.7 Penyelesaian Konflik Kehutanan yang Telah Dilakukan dan Perkembangannya