22 itu keliru, tetapi belum muncul koersi verbal agar pihak lain itu bersikap
seperti yang diinginkannya; 4 mengajukan ancaman dan ultimatum. Koersi verbal mulai muncul. Ada upaya agar pihak lain itu bersikap seperti
dirinya yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya; 5 melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam
bentuk paksaan fisik; dan 6 melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain. Pihak-pihak tertentu akan melakukan segala
cara untuk memaksakan keinginannya walaupun hal tersebut akan merugikan pihak lain.
2.1.4 Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik
Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian Condliffe, 1991 sebagaimana dikutip Sardjono, 2004, yaitu: 1 langsung antar pihak yang
bersengketa one-to-one, dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; 2 mewakilkan kepada pihak lain
representational, dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seo\perti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan 3 menggunakan
pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas pemintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe 1991
sebagaimana dikutip Sardjono 2004, juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu: Lumping it, Avoidance or exit,
Coersion, Negotiation, Conciliation, Mediaton, Arbitration, dan Adjudication. 1. Lumping it. Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa
untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan simply ignored dan hubungan dengan pihak lawan terus
berjalan. 2. Avoidance or exit. Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar
pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki powerlessness salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial,
ekonomi atau psikologis. 3. Coersion. Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau
kepentingannya pada pihak yang lain.
23 4. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-
sama mutual settlement tanpa melibatkan pihak ketiga. 5. Concilliation. Mengajak menyatukan kedua belah pihak yang
bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.
6. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.
7. Arbitration. Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui
sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8. Adjudication. Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki
otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil baik yang diharapkan maupun tidak
oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir
negoisasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengandung
unsur win-win solution yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung oleh Sardjono 2004, bahwa penyelesaian konflik melalui jalur
formal legal yang akan diperoleh adalah ’menang-kalah’ atau ’gembira-kecewa’. Oleh karena itu, cara ini hanya akan ditempuh bila: 1 upaya penyelesaian
melalui perundingan menemui jalan buntu; 2 tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas toleransi; dan 3 merupakan kebiasaan dan kepentingan
publik. Fuad dan Maskanah 2000 menyebutkan bahwa khusus mengenai konflik
yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa Pasal 74, ayat 1. Penyelesaian sengketa kehutanan
di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai
24 pengambilan suatu hak, besarnya ganti rugi, danatau mengenai bentuk tindakan
tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan Pasal 75.
2.1.5 Masyarakat Adat