74 Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar dan Kasepuhan Cipta Mulya, mulai menyusun
agenda dan menuntut Pemerintah Daerah Sukabumi untuk membuat Peraturan Daerah Sukabumi mengenai pengakuan hak-hak adat masyarakat adat Kasepuhan.
Hingga bulan Oktober 2010, berkas Peraturan Daerah tersebut masih di proses di Badan Legislatif Daerah Kabupaten Sukabumi, karena belum adanya peta wilayah
adat Kasepuhan.
Pasca Konflik : Hingga bulan Desember 2010, konflik di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak masih belum selesai. Tata batas yang masih belum jelas membuat berkas Peraturan Daerah mengenai pengakuan hak adat masih tertunda
di Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Perlu diadakan pemetaan oleh pihak Kasepuhan untuk melengkapi berkas Peraturan Daerah agar bisa ditindaklanjuti
oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Jika permasalahan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum diselesaikan dan terus berlarut, maka ada
kemungkinan konflik kembali pada tahap prakonflik.
5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan bersifat multak. Namun, menurut Tadjudin 2000 perbedaan tersebut hanya berada pada tingkat persepsi.
Pihak lain dapat mempersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda dan pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara obyektif sama sekali tidak terdapat
perbedaan. Seperti yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dan taman nasional. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu
bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah
kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi
oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang
tindih. Seperti kawasan adat Kasepuhan Sinar Resmi, di mana huma, sawah,
75 kebun, hutan tutupan dan hutan titipan, diklaim telah masuk dalam kawasan taman
nasional. Pada tataran perundang-undangan, terjadi pula perbedaan dalam
menginterpretasikan maknanya. Misalnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 pasal 1 tertulis bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat
hukum adat. Berdasarkan pernyataan tersebut tersirat jelas bahwa hutan adat adalah hutan negara, yang pengaturan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara
karena berada dalam penguasaan negara. Berdasarkan pernyataan itu pula, tersirat juga bahwa tidak ada pengakuan hak ulayat untuk masyarakat adat, sehingga
dianggap tidak memiliki hak atas hutan. Seperti yang diungkapkan Tokoh Adat Kasepuhan, Wa UGS 64 tahun.
“Pemerintah menggunakan UU No. 41 Tahun 1990 sebagai acuan, yang menganggap hutan adat sebagai hutan negara, maka
hutan adat yang kami miliki tidak diakui sebagai milik adat.”
Tidak adanya pengakuan hak atas hutan adat di kawasan Gunung Halimun juga menjadi penyebab munculnya konflik di sana.
Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi 2008
2
di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menunjukkan ada empat penyebab konflik yang
terjadi di kawasan taman nasional ini, mulai dari perbedaan sistem nilai yang berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas hingga
konflik ketidakpastian akses. Menurut penelitian ini, konflik di taman nasional itu adalah persoalan hak dan akses. Berbagai konflik di kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun membuktikan, institusi yang ada tidak berhasil menyelesaikan konflik. Ini disebabkan kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan
menyepakati rezim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundangan, keterbatasan
sumber daya, serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi juga menjadi persoalan pelik yang tak mudah diatasi.
2
Rusdayanto, Pauk. Villa di Taman Nasional. 2010. http:bataviase.co.id diakses 26 Oktober 2010 pukul 12.59 WIB
76
5.4.1 Perbedaan Persepsi sebagai Sumber Konflik
Perbedaan persepsi tentang makna sumberdaya hutan terjadi ketika ada pihak-pihak yang memiliki hak atas hutan memiliki persepsi yang berbeda dalam
mempersepsikan hutan. Dalam kasus di Kasepuhan Sinar Resmi, perbedaan persepsi terjadi ketika hak pengelolaan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani.
Menurut Wa UGS 64 tahun tokoh Adat Kasepuhan, permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan
produksi. Padahal menurut adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan leuweung titipan tidak boleh ada kegiatan ekonomi termasuk untuk produksi
massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini tidak
sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan
titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan incu putu untuk menggarap hutan produksi dengan sistem tumpang sari. Berikut pernyataan Wa
UGS 64 tahun tokoh Adat Kasepuhan. “Konflik pernah terjadi dengan Perhutani, ketika Perhutani
mengklaim kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi. Namun, konflik tidak terlalu keras, karena Perhutani melepas
klaimnya atas hutan titipan, dan menggantinya dengan hutan diluar hutan titipan dan masyarakat masih diizinkan untuk menggarap lahan
dengan sistem tumpang sari.”
Ada perbedaan dalam mempersepsikan hutan terhadap hutan yang sama oleh dua pihak. Pihak Perhutani menganggap kawasan hutan yang disebut hutan
titipan oleh pihak Kasepuhan adalah kawasan hutan produksi, sehingga wajar apabila di dalam hutan tersebut dilakukan kegiatan ekonomi dan difungsikan
sebagai hutan untuk memproduksi hasil hutan, khususnya kayu, dalam jumlah besar. Namun, bagi adat Kasepuhan hutan yang dianggap hutan produksi oleh
pihak Perhutani adalah hutan titipan yang dialokasikan untuk pemukiman di masa mendatang dan tidak boleh dilakukan kegiatan ekonomi termasuk memproduksi
hasil hutan secara besar-besaran. Tidak adanya kesamaan dalam mempersepsikan hutan, kerap menimbulkan konflik antara keduanya. Namun, konflik yang terjadi
77
hanya berupa ketegangan antara kedua pihak yang berkonflik dan bersifat tertutup
, serta berada pada tahap prakonflik. Selain itu, perbedaan persepsi atas hutan terjadi pula antara masyarakat
dan pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat menebang dan memungut ranting dan kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu
bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohon di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah
konservasi adalah hal yang dilarang dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Taman nasional pun menganggap kegiatan
masyarakat tersebut sebagai kegiatan illegal logging dan masyarakat pun disebut sebagai pelaku perambah hutan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak KHR 47
tahun Polisi Kehutanan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. “Masyarakat adat telah dilarang untuk menggarap lahan bekas
Perhutani secara tumpang sari, tetapi masih tetap digarap oleh masyarakat. Masyarakat juga melakukan illegal logging dan
merambah hutan. Jadi pelaku illegal logging adalah masyarakat adat. Lahan garapan masyarakat adat Sinar Resmi berada pada
zona rehabilitasi taman nasional.”
Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menhut No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh
taman nasional.. Seperti yang dituturkan oleh Bapak KHR 47 tahun, Polisi Kehutanan.
“Saya meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan, karena mereka terlihat seperti masyarakat pada umumnya. Perbedaan
hanya terletak pada ritual-ritual yang mereka lakukan, dan saya tidak mengerti ritual tersebut memiliki arti apa. Lagipula, mereka
pasti akan menebang hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi, walau peraturan adat melarangnya.”
Selain itu, pihak taman nasional pun meragukan ke-adat-an masyarakat adat Kasepuhan. Karena mereka melihat masyarakat adat Kasepuhan tidak berbeda
dengan masyarakat di sekitar hutan pada umumnya, yang akan melakukan apa saja, termasuk menebang pohon di dalam hutan ketika terdesak oleh kebutuhan
ekonomi. Maka, sudah selayaknya masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai perambah hutan dan pelaku illegal logging.
78 Tabel-8 Peta Persepsi Pihak-pihak yang Berkonflik
Perhutani Masyarakat Adat
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Perhutani
- Perhutani menganggap masyarakat
menyerobot lahan milik perhutani tanpa izin dan membuka areal yang sebelumnya
merupakan areal hutan utuh untuk dijadikan huma.
-
Masyarakat Adat Masyarakat menganggap bahwa
Perhutani telah menyerobot hutan adat dan menjadikannya
sebagai hutan produksi. -
Masyarakat menganggap taman nasional telah mengklaim kawasan hutan adat sebagai
kawasan konservasi dan melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas di
dalam hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, pihak taman
nasional pun telah mengancam akan mengusir masyarakat karena wilayahnya
masuk dalam kawasan taman nasional
Taman Nasional Gunung
Halimun- Salak
- Masyarakat dianggap sebagai perambah
hutan dan kegiatan mereka dianggap sebagai illegal logging, karena menebang
dan mengambil kayu di wilayah zona rehabilitasi.
-
Sumber: WawancaraData Primer diolah, 2010
79 Pihak-pihak yang berkonflik memiliki persepsi yang berbeda terhadap
hutan. Perbedaan inilah yang kerap menjadi penyebab konflik. Persepsi setiap pihak terhadap pihak lainnnya yang berkegiatan di dalam hutan cenderung pada
persepsi negatif. Misalnya ketika pihak taman nasional mempersepsikan masyarakat adat sebagai perambah hutan dan kegiatan mereka di anggap sebagai
illegal logging karena menebang dan mengambil kayu di wilayah yang menurut taman nasional adalah wilayah zona rehabilitasi.
5.4.2 Perbedaan Tatanilai sebagai Sumber Konflik
Perbedaan tatanilai tentang peran dan fungsi hutan dalam kehidupan masyarakat terjadi ketika ada perbedaan dalam menilainya. Kasepuhan
menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai
sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan konsep konservasi. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kasepuhan
adalah hutan titipan. Hasil yang dimanfaatkan berupa kayu-kayuan dan bambu untuk membuat rumah, leuit, sarana ibadah, dan lainnya, nipah dan kirai untuk
membuat atap rumah, buah-buahan, madu hutan, rotan untuk membuat kerajinan- kerajinan dan peralatan rumah tangga, dan tanaman obat-obatan.
Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka
terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan
atau titipan para leluhur adat dan Allah Gusti Nu Kuasa yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak
termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan kemit leuweung yang telah
diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan tutupan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan
air leuweung sirah cai, dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka
80 sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam
kehidupannya. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Adat Abah ASN 44 tahun. “Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan
lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun
nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah,
karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan
kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat.”
Namun, pemerintah sendiri pun memiliki penilaian berbeda dalam memaknai hutan. Undang-undang No.41 tahun 1999 sendiri dirumuskan dengan
mempertimbangkan hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, yang merupakan kekayaan yang
dikuasai oleh Negara, yang dapat memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal,
serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Jelas terlihat bahwa pemerintah sendiri
memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga
kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi kawasan Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya. Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru
terjadi bentrokan antara pemerintah balai taman nasional dengan masyarakat adat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala
bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau zona-zona tertentu seperi zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi. Sedangkan
dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat adat Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya.
81
5.4.3 Perbedaaan Kepentingan sebagai Sumber Konflik
Pemerintah atas dasar adanya desakan dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Gunung Halimun-
Salak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175Kpts-II2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas ±
113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok
kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi,
sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Adanya kepentingan akan konservasi inilah yang
menjadi kepentingan pemerintah atas Gunung Halimun. Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun
sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar untuk memasak,
kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan
kawasan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat. Seperti yang dituturkan oleh Bapak RDI 55 tahun Petani warga Kasepuhan Sinar Resmi
di Kampung Cimapag. “Kami hidup dari pertanian, karena sudah diatur oleh adat. Kami
menanam padi di ladang dan sawah, menanam buah-buahan untuk dijual, dan menanam kayu-kayuan keras untuk mendirikan rumah
dan lumbung padi. Kami juga harus masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu-kayu kering untuk memasak di tungku sebagai kayu
bakar. Semua berada di hutan. Tetapi, saat ini hutan menjadi milik taman nasional. Kami dilarang masuk secara sembarangan, harus
sembunyi-sembunyi, takut ditangkap. Ladang, sawah dan kebun kami, menjadi milik taman nasional. Kami hidup darimana jika
lahan garapan kami dirampas?.”
Terdapat perbedaan kepentingan antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pemerintah terhadap nilai ekonomi yang terkandung di dalam Taman
82 Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki
kepentingan atas hutan di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai ruang hidup. Sementara pemerintah balai taman nasional memiliki kepentingan
untuk menegakkan wibawa atas pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Perbedaan ini memicu
konflik yang tidak pernah selesai hingga saat ini tahun 2010. Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus
berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus
didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak merupakan kawasan dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal
inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya.
83 Tabel-9 Peta Kepentingan Tiap Pihak atas Hutan
Hutan TutupanZona IntiHutan Lindung
Hutan TitipanZona RimbaHutan Produksi
Hutan BukaanZona RehabilitasiHutan Produksi
Perhutani Merupakan kawasan penyimpan
cadangan air dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Sebagai kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan keuntungan bagi
Negara Sebagai kawasan hutan yang dikelola untuk
menghasilkan keuntungan bagi Negara Masyarakat Adat
Merupakan hutan titipan para leluhur yang tidak boleh dimasuki
oleh sembarang orang. Sebagai leuweung sirah cai penyimpan
cadangan air. Dan sebagai tempat spiritual masyarakat.
Merupakan hutan yang dialokasikan untuk pemukiman di masa mendatang awisan
dan untuk lahan garapan nantinya. Hutan tutupan hanya boleh dimasuki atas izin
abah dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu.
Hutan yang telah dibuka untuk lahan garapan, guna memenuhi kebutuhan pangan
dan papan kayu masyarakat.
Taman Nasional Gunung
Halimun- Salak
Merupakan bagian dalam taman nasional yang mempunyai kondisi
alam baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum
diganggu oleh manusia, yang mutlak dilindungi, berfungsi
untuk perlidungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli
dan khas. Bagian dalam taman nasional yang karena
letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada
zona inti dan zona pemanfaatan. Bagian dari taman nasional yang karena
mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas
hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
Sumber: Hasil WawancaraData Primer diolah, 2010
84 Konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak terjadi karena ada pihak-pihak yang memiliki banyak kepentingan atas hutan. Pihak-pihak yang terlibat merasa bahwa kepentingan mereka harus
didahulukan dibanding yang lain. Misalnya kepentingan masyarakat adat atas hutan bukaan yang dalam zonasi taman nasional disebut zona rehabilitasi.
Kepentingan masyarakat adat terhadap hutan bukaan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan karena fungsinya sebagai lahan garapan. Namun,
taman nasional yang menganggap hutan bukaan sebagai zona rehabilitasi, berkepentingan untuk melakukan upaya pemulihan ekosistem hutan yang rusak,
yang sebelumnya merupakan hutan produksi Perhutani.
5.4.4 Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan terhadap Sumberdaya Hutan sebagai Sumber Konflik
Kepemilikan hutan oleh negara atau pemerintah, menurut Tadjudin 2000 muncul ketika negara memakai rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya
hutan di Indonesia yang berlBapakIbus kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara
bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya publiklah, maka negara
mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya
diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumber daya hutan juga diatur oleh pemerintah.
Fuad et al. 2002 merepresentasikan rejim kepemilikian hutan oleh negara melalui badan usaha negara. Kawasan konservasi taman nasional berdasarkan UU
No. 41 tahun 1999 pasal 4 1 dan 2 disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, 1
mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; 2 menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan
hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan 3 mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta
mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu, pengaturan
85 pengelolaan hutan Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan pada SK. Menhut No. 175 tahun 2003. Hutan adalah milik Taman Nasional diperkuat dengan SK Menhut
No.175 tahun 2003. Sumberdaya hutan yang berada di kawasan Halimun, oleh masyarakat adat
Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan
mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh
sumberdaya hutan diklaim sebagai milik adat dan bersifat komunal. Sumberdaya
hutan hanya boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh untuk dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan
pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat. Seperti yang dungkapkan oleh Bapak BHR 62 tahun, Sekretaris
Desa Sirna Resmi dan Tokoh Adat Kasepuhan. “Tanah kami adalah tanah milik adat. Semuanya adalah warisan
dari leluhur kami. Cara pengelolaan dan pemanfaatannya juga diatur oleh adat.”
Abah ASN 44 tahun, Ketua Adat pun menambahkan. “Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara
terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan
titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona
rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan tutupan tidak boleh dirusak, hutan titipan hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan,
lahan garapan untuk pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi, tanah dan hutan ini adalah
milik adat.”
Adanya perbedaan klaim pengakuan kepemilikan atas hutan yang sama, menimbulkan ketegangan antar keduanya. Pihak taman nasional menganggap
kawasan Gunung Halimun sebagai milik negara karena berada pada tanah yang
tidak dibebani hak atas tanah. Namun, masyarakat adat Kasepuhan menganggap
bahwa seluruh kawasan hutan Halimun adalah milik adat yang diwariskan secara
turun temurun oleh leluhur.
86
5.5 Basis Konflik dan Kedalaman Konflik