Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

(1)

MASYARAKAT KASEPUHAN (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

Oleh:

ANDRA DWIANA NOVIANTRI I34070042

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

ANDRA DWIANA NOVIANTRI . Local Institutional of Palm Sugar Utilization and The Role of Palm Sugar For Livelihood Income (Study in Sirna Resmi Village, Cisolok, Sukabumi). Supervised by SATYAWAN SUNITO.

Indonesia has a large forest with a lot of potential tangible products, timber products and non-timber products. For communities living around the forest, the forest and everything surround it, is not just a commodity for them but also part of their lives. Some communities are still hold the indigenous social institutional system as the directional guidance of their usage, processing and management of natural resources (agriculture and forest). Generally, the usage and processing of sugar palm by Kasepuhan community using traditional method by simple tools. The knowledge of local community and local institutional of Kasepuhan community regarding utilization and processing of sugar palm in generally is obtained by inheriting from generation to generation. The purposes of this research are (1) to know the history of sugar palm utilization, the ownership and accessibility of sugar palm trees, as well as the process of extraction and production of palm sugar and the people involved, (2) to analyze the institutional changes in the utilization of sugar palm products in line with the commercialization of palm sugar in Kasepuhan community, (3) to analyze the role of palm sugar for livelihood income. The research used qualitative approach supported by quantitative data with descriptive analysis. Respondents were purposely selected from three kampoong with total number of 34 respondents.

Keywords: sugar palm, palm sugar, local institutional, livelihood income, Kasepuhan community


(3)

RINGKASAN

ANDRA DWIANA NOVIANTRI. Kelembagaan Lokal dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO.

Masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan, baik kayu maupun non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Prikehidupan masyarakat adat hutan umumnya bersifat tradisional, dimana taat terhadap norma-norma dan nilai-nilai tradisional masih dianut secara turun temurun, seperti yang dilakukan masyarakat Kasepuhan.

Masyarakat Kasepuhan merupakan salah satu dari sekian banyak masyarakat adat lokal yang hidup di sekitar hutan. Masyarakat Kasepuhan yang berada di Desa Sirna Resmi ini merupakan masyarakat adat yang masih mempertahankan kebudayaan mereka dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, salah satunya aren. Aren biasanya tumbuh di kebun talun yang dikelola oleh masyarakat. Aren tumbuh dengan sendirinya karena persemaiannya dilakukan oleh musang. Masyarakat memanfaatkan tanaman aren, mulai dari air nira, buah, dan batangnya. Air nira yang dihasilkan biasanya dibuat gula semut oleh para penyadap aren. Pada awalnya masyarakat hanya membuat gula semut untuk dikonsumsi sendiri, namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat mengkomersialisasikan gula semutnya tersebut dengan menjualnya guna memberikan pendapatan rumahtangga mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui sejarah pemanfaatan aren, dilihat dari apa saja yang dapat dimanfaatkan dari pohon aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, pemilikan dan penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, (2) mengetahui perubahan kelembagaan dalam pemanfaatan aren seiring dengan perkembangan komersialisasi produk gula aren di masyarakat Kasepuhan, dimulai dari awal dari perkembangan komersialisasi produk gula aren, pengaruhnya terhadap bentuk dan kualitas gula aren, serta kendala yang dihadapi dalam mengkomersialisasikan produk gula aren tersebut, serta (3)


(4)

mengkaji peranan pemanfaatan aren terhadap ekonomi rumahtangga bagi penyadap aren di Kasepuhan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penyadap aren. Jumlah responden sebanyak 34 orang yang diambil secara purposive dari tiga dusun.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden, dengan panduan pertanyaan yang sebelumnya telah dibuat serta hasil observasi selama di lapangan. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner, yang kemudian diolah dengan menggunakan Microsoft Excel untuk memperoleh persentase pendapatan yang diperoleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal masih berperan di dalam pemanfaatan aren yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan. Pemanfaatan masih dilakukan penyadap aren sesuai aturan adat yang berlaku. Peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga penyadap aren ditunjukkan oleh hasil pendapatan responden yang diperoleh dari gula aren lebih berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga dibanding hasil pertanian lainnya. Berkaitan dengan kepemilikan pohon aren– paling tidak di salah satu dusun– komersialisasi gula aren membawa serta fenomena transfer kepemilikan pohon aren yang masih berproduksi melalui mekanisme jual-beli. Di lain pihak, komersialisasi aren berdampak terhadap perubahan kelembagaan lokal antara lain dalam kepemilikan pohon aren dan adanya perubahan peran perempuan. Selain itu, komersialisasi aren dapat memberi kesempatan pada penduduk untuk mengkhususkan diri pada produksi gula aren untuk pasar yang menunjukkan bahwa spesialisasi di bidang pemanfaatan aren mulai tumbuh di masyarakat Kasepuhan.


(5)

KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN DAN PERANAN HASIL GULA AREN BAGI PENDAPATAN RUMAHTANGGA

MASYARAKAT KASEPUHAN Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

Oleh:

ANDRA DWIANA NOVIANTRI I34070042

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh :

Nama : Andra Dwiana Noviantri

NRP : I34070042

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul Skripsi : Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199 103 1 001

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL “KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN

AREN DAN PERANAN HASIL GULA AREN BAGI PENDAPATAN

RUMAHTANGGA MASYARAKAT KASEPUHAN” BELUM PERNAH

DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Desember 2011

Andra Dwiana Noviantri I34070042


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Andra Dwiana Noviantri yang dilahirkan pada tanggal 9 November 1989 di Kota Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dengan ayah bernama Ucep Wihardja dan Ibu bernama Ai Rosmiati. Penulis memulai pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri Polisi 5 Bogor. Setelah tamat, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Bogor pada tahun 2001-2004 dan Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Bogor pada tahun 2004-2007.

Di bangku SMP, penulis mulai aktif berorganisasi dengan masuk menjadi anggota Paskibra Pancamanah selama 2 tahun. Selain itu, penulis yang juga tertarik dengan seni aktif menjadi anggota organisasi Seni Musik Angklung. Begitu pula dengan di bangku SMU, penulis pernah menjadi anggota organisasi Paduan Suara dan menjadi anggota dari Karya Ilmiah Remaja (KIR).

Penulis mengikuti pendaftaran masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI saat duduk di bangku pendidikan SMU, dan akhirnya lulus seleksi untuk masuk IPB pada tahun 2007. Di IPB penulis mengambil studi Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi anggota dalam organisasi kemahasiswaan IPB. Diantaranya sebagai anggota Gentra Kaheman pada tahun 2009-2010, yang merupakan organisasi di bawah BEM KM IPB yang bergerak dalam seni, dan menjadi anggota Badan Pengawas Himpro Himasiera.

Disamping itu, penulis juga pernah aktif dalam kepanitian kegiatan kemahasiswaan di IPB, diantaranya dalam Masa Perkenalan Departemen (MPD) Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada tahun 2009 dan kegiatan Job Fair IPB 2011. Di luar kampus, penulis terlibat menjadi pengurus di WASILAS (Wadah Silaturahmi Alumni Muslim) SMA Negeri 2 Bogor masa periode 2009-2010 di bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi berjudul ―Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa

Barat)‖. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kelembagaan lokal yang diterapkan oleh masyarakat adat Kasepuhan dalam pemanfaatan aren. Tujuan lainnya ialah menganalisis pengaruh yang terjadi akibat komersialisasi produk aren bagi kelembagaan dan peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga masyarakat Kasepuhan.

Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya bagi Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2011


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan pertolongan-Nya dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul

‖Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)‖ ini.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itulah penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak yang telah terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses penulisan dan penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Dr. Satyawan Sunito sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan bimbingan, arahan dan sarannya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini 2. Ir. Fredian Tonny, MS selaku dosen penguji utama ujian skripsi dan Dr. Ir.

Anna Fatchiya, MSi selaku dosen penguji akademik. Terima kasih atas saran dan kritiknya sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Mamah dan Apa, serta kakak dan adik-adik tercinta yang tak pernah henti mendoakan dan memberi semangat kepada penulis selama studi di IPB, termasuk selalu mengingatkan kepada saya untuk menyelesaikan tulisan ini 4. Ripna Tri Cahyani dan Diah Maulany, teman yang senantiasa mendengarkan,

mendukung, memberikan semangat dan menginspirasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini

5. Syifa, Konny, Puput, dan Arsyad, teman satu bimbingan yang selalu saling mengingatkan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan tulisan ini, (semangat!)

6. Ima, teman sepergalauan yang saling memberi semangat selama proses penyelesaian skripsi ini dari mulai uji petik, ujian skripsi (sidang), sampai revisi. Ira, Anggi, Ma‘rifat, Vivi, Wina, Annas, Arni, Hirma, dan teman-teman seperjuangan KPM 44 yang selalu memberikan tawa dan ceria yang menjadi penyemangat disaat semua berkutat dengan penelitiannya masing-masing. Sukses untuk kita semua ya!


(11)

7. Moko, Saleh, dan Mia. Terimakasih sharing-nya, perjalanan bersama ke tempat penelitian yang sangat menyenangkan

8. Masyarakat Kasepuhan Desa Sirna Resmi, Abah Asep dan keluarga, terimakasih atas izin yang diiberikan untuk melakukan penelitian di desa ini 9. Keluarga Bapak Amil Buchori, Pak Omid, Ustadz Zaenal, dan Pak Asep

Sofian yang membantu penulis dan mengantarkan ke sana kemari di lokasi penelitian dan informasi yang diberikan yang tentunya sangat membantu dalam penulisan skripsi ini

10.Teman baru dari Korea, Sojin eonni atas perjalanan bersama untuk penelitian di Desa Sirna Resma ini dan waktu yang menyenangkan di lokasi penelitian 11.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian

skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Desember 2011


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian... 5

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 6

2.1 Definisi Kelembagaan ... 6

2.2 Hasil Hutan ... 8

2.2.1 Hasil Hutan Bukan kayu ... 9

2.2.2 Komersialisasi Hasil Hutan Bukan Kayu ... 10

2.3 Penguasaan dan Akses Sumberdaya Hutan ... 11

2.4 Masyarakat Adat ... 12

2.4.1 Interaksi Masyarakat Adat dengan Hutan ... 14

2.4.2 Aspek Tanah pada Masyarakat Lokal Sekitar Hutan ... 15

2.5 Rumahtangga Masyarakat di Sekitar Hutan ... 17

2.6 Kerangka Pemikiran ... 18

2.7 Hipotesis Penelitian ... 20

2.8 Definisi Operasional... 20

BAB III METODE PENELITIAN... 22

3.1 Lokasi dan Waktu ... 22

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 22

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 24

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ... 25

4.1 Geografis Desa ... 25

4.2 Demografi Desa ... 26

4.3 Masyarakat Kasepuhan ... 29

4.4 Bentuk-bentuk Sumberdaya Hutan dan Pertanian Masyarakat Kasepuhan ... 32

4.4.1 Huma ... 34

4.4.2 Hutan ... 35

4.4.3 Kebun atau Talun ... 36

4.4.4 Sawah ... 37

4.5 Karakteristik Rumahtangga Pemanfaat Aren di Masyarakat Kasepuhan ... 38


(13)

BAB V KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN .. 45

5.1 Sejarah Pemanfaatan Aren ... 45

5.2 Pola Penguasaan Aren dan Akses Terhadap Pohon Aren ... 46

5.3 Aturan-Aturan dalam Pemanfaatan Sumberdaya ... 50

5.4 Aturan Adat dalam Pemanfaatan Aren ... 51

5.5 Ekstraksi dan Produksi Aren ... 52

5.6 Ikhtisar... 58

BAB VI KOMERSIALISASI AREN DAN PERANAN AREN BAGI MASYARAKAT KASEPUHAN ... 60

6.1 Komersialisasi Aren ... 60

6.2 Pengaruh Komersialisasi bagi Kelembagaan Lokal ... 61

6.2.1 Perubahan pada Kepemilikan Pohon ... 61

6.2.2 Perubahan Peran Perempuan dalam Produksi aren ... 62

6.3 Peranan Aren bagi Pendapatan Rumahtangga ... 64

6.4 Ikhtisar... 73

BAB VII KESIMPULAN ... 75

7.1 Kesimpulan ... 75

7.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1. Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data24 Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sirna Resmi Menurut Penggunaan Lahan ... 26 Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi Berdasarkan Kategori Usia ... 27 Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di

Desa Sirna Resmi... 28 Tabel 5. Jumlah Sarana Pembangunan Menurut Jenis Sarana di Desa Sinar

Resmi ... 29 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Pemilik Pohon Aren Menurut Proses

Penyadapan dan Kategori Jumlah Pohon Aren ... 67 Tabel 7. Pendapatan Terbesar (%) dari Beragam Sumber Pertanian dan Non

Pertanian yang Diperoleh Petani Gula Aren ... 70 Tabel 8. Kontribusi pendapatan Komoditi Pertanian dan Non Pertanian

Berdasarkan Penguasaan Aren ... 71 Tabel 9. Jumlah Petani Gula Aren Berdasarkan Pendapatan yang Diperoleh dari


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1. Pola Ekstraksi yang Relatif Tidak Merusak Antara Hutan dan

Masyarakat ... 16

Gambar 2. Kerangka Pemikiran ... 19

Gambar 3. Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa,dan Hiji Eta Keneh... 30

Gambar 4. Penjelasan dari Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa,dan Hiji Eta Keneh ... 31

Gambar 5. Tata Guna Lahan Versi Masyarakat Kasepuhan ... 33

Gambar 6. Rangkaian Bentuk Pemanfaatan Lahan dalam Siklus Ngahuma... 34

Gambar 7. Sebaran Usia Responden ... 39

Gambar 8. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden ... 40

Gambar 9. Sebaran Mata Pencaharian Sampingan Responden ... 41

Gambar 10. Sebaran Jumlah Anggota RT ... 42

Gambar 11. Sebaran Luas Lahan Garapan ... 43


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian ... 82 Lampiran 2. Daftar Responden ... 83 Lampiran 3. Luas Lahan Garapan, Jumlah Pohon Aren dan Pendapatan yang

Diperoleh Responden ... 84 Lampiran 4. Persentase Pendapatan yang Diperoleh Masyarakat dari

Masing-Masing Komoditi... 85 Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian ... 86


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan terluas di dunia. Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Manfaat dan fungsi hutan dapat berupa produk hasil hutan yang nyata (tangible), baik kayu maupun bukan kayu seperti rotan, madu, buah-buahan, kulit, daging satwa, dan sebagainya, serta produk hasil hutan yang tidak nyata (intangible) seperti pengaturan tata air, kesuburan tanah, lingkungan hidup, rekreasi (wisata alam) serta manfaat lainnya baik langsung maupun tidak langsung (Suharjito 2000). Keberadaan hutan memiliki arti penting sebagai sumberdaya hayati yang dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung guna memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga hutan dijadikan sebagai modal dasar dalam mendukung perekonomian nasional (LAKIP Dephut 2007). Oleh sebab itu hutan mendapat perhatian khusus terutama dalam pengelolaan dan pemanfaatannya sehingga diharapkan dapat dinikmati seoptimal mungkin dengan tetap mengacu pada pemanfaatan yang lestari (Nurapriyanto et al 2005).

Fungsi dari keberadaan hutan dapat memberikan manfaat, baik berupa barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi ini. Menurut Nielson (1996), sebagaimana yang dikutip oleh Gardner dan Engelman (1999) dalam Suhendang (2002), fungsi hutan dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu untuk: (1) menghasilkan kayu industri seperti untuk papan, kertas, kemasan, dan lain-lain, (2) menghasilkan kayu bakar dan arang, (3) menghasilkan hasil hutan bukan kayu, (4) menyediakan lahan untuk pemukiman manusia, (5) menyediakan lahan untuk pertanian, (6) memberikan perlindungan terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendali erosi, (7) tempat penyimpanan karbon, (8) pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat, dan (9) obyek ekoturisme dan rekreasi alam.

Bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, nilai hutan dan segala isinya bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan mereka


(18)

sehingga pemanfaatannya tidak didasari pada kegiatan eksploitatif. Masyarakat memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan sehari dan dalam skala yang kecil sehingga pola pemanfaatan ini mampu memelihara keseimbangan dan keberlanjutan sumberdaya hutan. Keberadaan masyarakat adat hutan umumnya bersifat tradisional, dimana taat terhadap norma-norma dan nilai-nilai tradisional masih dianut secara turun temurun. Sebagai masyarakat yang erat interaksinya dengan hutan, masyarakat lokal mempunyai dan mengembangkan pranata budaya yang juga terkait dengan hutan (Gunawan 1998). Kebudayaan masyarakat yang berkaitan erat dengan hutan ini, membuat hutan dipandang tidak semata-mata memenuhi fungsi ekonomi tetapi juga mempunyai fungsi sosial budaya dan religius.

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) banyak diusahakan oleh penduduk asli dan masyarakat adat di dalam dan sekitar hutan karena beberapa hal, antara lain: (1) HHBK mudah diperoleh dan tidak membutuhkan teknologi rumit untuk mendapatkannya, (2) HHBK dapat diperoleh dengan gratis—asalkan ada kemauan, (3) HHBK mempunyai nilai ekonomi yang penting, baik sebagai alat barter maupun sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan (Gunawan et al 1998). Pemanfaatan HHBK oleh masyarakat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya memanen dari hutan tanaman, memungut dari hutan alam, serta membuat dan menjual barang-barang kerajinan atau mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi suatu bahan makanan. Banyak orang di sekitar hutan menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sumberdaya hutan, termasuk diantaranya merupakan masyarakat adat lokal atau indigenous groups (Gardner dan Engelman 1999)1.

Desa Sirna Resmi merupakan salah satu desa adat yang berada di selatan Kawasan Ekosistem Halimun. Secara administrasi, Desa Sirna Resmi berada di Kecamatan Cisolok, Kab. Sukabumi. Desa Sirna Resmi memiliki kebudayaan yang masih dipertahankan sampai saat ini, tidak hanya dalam seni budaya, aturan adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan juga masih

1

Endang Suhendang (2002), Pengantar Ilmu Kehutanan halaman 92. Diperkirakan dari 500 juta orang yang tinggal di sekitar hutan tropika di seluruh dunia, 150 juta diantaranya merupakan anggota masyarakat lokal yang menggantungkan kelangsungan hidupnya kepada sumberdaya hutan.


(19)

dipertahankan sampai saat ini. Salah satu sumber daya alam yang relatif mudah didapatkan, baik di dalam hutan maupun di kebun-kebun yang dikelola oleh masyarakat Kasepuhan adalah aren.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rimbawan Muda Indonesia atau RMI pada tahun 2003, menyebutkan bahwa sejarah pengolahan pohon aren menjadi gula aren tidak bisa dilepaskan dari peradaban sejarah masyarakat Sunda. Sekepal gula aren yang dibawa bersama dengan bekal nasi dan lauk pauk lainnya oleh petani di tanah Sunda merupakan tambahan energi yang menyegarkan setelah seharian lelah bekerja di sawah atau di ladang. Gula aren selalu menjadi sumber pemanis yang lebih disukai oleh masyarakat lokal meskipun terdapat kesulitan-kesulitan dalam penyadapan getah dan pengolahan gula. Getah disadap dari bunga aren melalui pemangkasan pucuk dan pemerasan bunga. Sejumput gula aren yang menemani hangatnya teh dan kopi di malam hari, menjadi ritual masyarakat dalam mengisi waktu senggang sambil bercengkerama antarwarga, membicarakan perkembangan yang terjadi di lingkungan mereka. Begitu pula yang masih dilakukan oleh masyarakat adat di Desa Sirna Resmi. Pohon aren yang tumbuh di Desa Sirna Resmi, dengan segala manfaatnya menjadikan pohon aren sangat

―dihormati‘ di masyarakat Kasepuhan. Hal ini dapat dilihat dari doa-doa mantra yang harus dikuasai dalam memanfaatkan pohon aren.

Pengelolaan yang terkait dengan nilai-nilai dan norma tradisional masih dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan. Di sisi lain, adanya komersialisasi gula aren menjadi hal yang tidak dapat dibendung. Perkembangan komersialisasi aren dan semakin berkembangnya usaha pengolahan sagu aren berdampak pada semakin berkurangnya pohon aren di Desa Sirna Resmi (RMI 2003). Untuk mengetahui fakta yang terjadi di lapangan mengenai komersialisasi produk aren, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji kelembagaan dalam pengelolaan aren serta komersialisasi produk aren—khususnya gula aren, dan peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga masyarakat adat Kasepuhan.


(20)

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan aspek kelembagaan serta proses ekstraksi dan produksi gula aren di masyarakat Kasepuhan, maka fokus dari penelitian ini akan adalah:

(1) Bagaimana kelembagaan dalam pemanfaatan aren di masyarakat Kasepuhan dilhat dari sejarah pemanfaatan aren, apa saja yang dapat dimanfaatkan dari pohon aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, kepemilikan dan penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya?

(2) Bagaimana kelembagaan dalam pemanfaatan aren berubah dengan perkembangan komersialisasi dari gula aren pada masyarakat Kasepuhan? (3) Bagaimana peranan pemanfaatan aren, terutama hasil gula aren terhadap

pendapatan rumahtangga bagi petani aren di masyarakat Kasepuhan? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

(1) Mengetahui sejarah pemanfaatan aren, dilihat dari apa saja yang dapat dimanfaatkan dari pohon aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, pemilikan dan penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

(2) Mengetahui perubahan kelembagaan dalam pemanfaatan aren seiring dengan perkembangan komersialisasi produk gula aren di masyarakat Kasepuhan, dimulai dari awal dari perkembangan komersialisasi produk gula aren, pengaruhnya terhadap bentuk dan kualitas gula aren, serta kendala yang dihadapi dalam mengkomersialisasikan produk gula aren tersebut.

(3) Mengetahui peranan pemanfaatan aren, terutama hasil gula aren terhadap pendapatan rumahtangga bagi petani aren di masyarakat Kasepuhan.


(21)

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada berbagai pihak, antara lain civitas akademik dan masyarakat mengenai kelembagaan masyarakat Kasepuhan dalam mengelola aren, dari pemanfaatkan aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Selain itu penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai ada tidaknya perubahan yang terjadi pada kelembagaan dalam pemanfaatan aren seiring dengan perkembangan komersialisasi produk gula aren di masyarakat Kasepuhan, serta peranan hasil aren terhadap pendapatan rumahtangga bagi masyarakat Kasepuhan.


(22)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Definisi Kelembagaan

Kartodihardjo (1999) mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya, dan adat istiadat. Menurut Schmid (1987) dalam Kartodihardjo et al (2004), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana mereka telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan / atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu.

Kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama: (1) hak-hak kepemilikan yang berupa hak atas benda materi maupun non materi. (2) batas yuridiksi, dan (3) aturan representasi. Hak-hak kepemilikan mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat atau tradisi yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Batas yuridiksi menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep ini dapat berarti suatu batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga atau kelompok masyarakat sehingga batas ini berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan. Perangkat aturan ini biasanya diatur oleh hukum adat yang berlaku di masyarakat adat setempat.

Menurut Koentjaraningrat (1997), kata ―kelembagaan‖ atau social institution menunjuk kepada sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang; merupakan


(23)

sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Kelembagaan mengandung dua aspek, yaitu aspek kultural dan aspek struktural. Dalam aspek kultural terdapat nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural berisi struktur, peran, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan stuktur tekstual dengan struktur riil, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, keanggotaan, pola kekuasaan, dan lain-lain. Kedua aspek ini bersama-sama membentuk dan menentukan perilaku seluruh orang dalam kelembagaan tersebut dan merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial (Syahyuti 2006).

Masih dalam Syahyuti (2006), secara sederhana sesuatu hubungan sosial dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu adanya:

1. Komponen person, yaitu orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas.

2. Komponen kepentingan, yaitu orang-orang tersebut diikat oleh satu kepentingan atau tujuan sehingga di antara mereka terpaksa harus saling berinteraksi dan membentuk jaringan sosial.

3. Komponen aturan. Setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut.

4. Komponen struktur. Setiap orang memiliki posisi dan peran, yang harus dijalankannya secara benar. Orang tidak bisa mengubah posisinya dengan kemauan sendiri.

Terkait dengan komponen kepentingan, individu-individu terikat dalam suatu jaringan sosial. Granoveter (1992) dalam Damsar (1997) menyebutkan bahwa kelembagaan atau institusi yang berhubungan dengan ekonomi dikonstruksi dengan mobilisasi sumber-sumber melalui jaringan sosial yang dibangun dengan pertimbangan latar belakang masyarakat, politik, pasar, dan


(24)

teknologi. Dalam perilaku ekonomi tersebut melekat konsep kepercayaan. Kepercayaan tersebut muncul bukan secara tiba-tiba, melainkan terbentuk dari proses hubungan antar pribadi yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Kuat lemahnya suatu ikatan jaringan sosial tersebut mempengaruhi akses dan kesempatan individu tersebut untuk mengetahui ketersediaan pekerjaan atau akses terhadap sumberdaya.

2.2 Hasil Hutan

Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999, hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Hasil hutan dimaksud terdiri dari:

a. Hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, rotan, bambu, rerumputan, tanaman obat, jamur, getah-getahan, bagian atau yang dihasilkan tetumbuhan; b. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya,

satwa buru, satwa elok, serta bagian atau yang dihasilkan hewan hutan;

c. Benda non hayati yang secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan organ hayati penyusun hutan seperti air, udara bersih dan sehat serta barang lain tetapi tidak termasuk barang tambang;

d. Jasa yang diperoleh dari hutan seperti jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan dan jasa lainnya;

e. Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis dan pulp.

Hasil hutan yang sering dimanfaatkan masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan berupa kayu memberikan nilai ekonomis yang tinggi. Nilai ekonomis ini membuat pengelolaan hutan lebih menitikberatkan pada produk kayu. Bahkan eksploitasi hutan pun terjadi karena keuntungan yang dapat diraih dari hasil hutan kayu memberikan devisa bagi Negara. Sedangkan hasil hutan bukan kayu dapat berupa hasil nabati (flora) dan hasil hewani (fauna). Direktorat Jenderal Kehutanan (1976) membagi HHBK nabati ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok rotan, kelompok bambu, dan kelompok bahan ekstraktif seperti resin, minyak atsiri,


(25)

minyak lemak, bahan pewarna, bahan penyamak, bahan karet, getah-getahan dst. Sedangkan HHBK hewani dapat berasal dari jenis-jenis hewan dan berbagai macam serangga seperti madu, sutra, dst.

2.2.1 Hasil Hutan Bukan kayu

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani dan turunannya yang berasal dari hutan kecuali kayu (Permenhut No. 35 Tahun 2007). HHBK yang sudah biasa dikomersilkan diantaranya cendana, gaharu, sagu, rotan, aren, sukun, bambu, sutera alam, madu, jernang, kemenyan, kayu putih, kayu manis, kilemo, pinang, ylang-ylang, gemor, masohi, aneka tanaman hias, dan tanaman obat, serta minyak atsiri. Hasil hutan tersebut dapat dikatakan sebagai HHBK unggulan. HHBK unggulan adalah jenis hasil hutan bukan kayu yang memiliki potensi ekonomi yang dapat dikembangkan budidaya maupun pemanfaatannya di wilayah tertentu sesuai kondisi biofisik setempat guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai manfaat dapat diperoleh dari HHBK ini antara lain; sandang, papan, pewangi, pewarna, pemanis, penyamak, pengawet, bumbu dapur, perekat, kerajinan, bahan obat-obatan, kosmetik dan bahan aneka industri lainnya.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No 35 tahun 2007, jenis komoditi HHBK digolongkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu kelompok hasil hutan dan tanaman dan kelompok hasil hewan. Kelompok Hasil Hutan dan Tanaman terdiri dari (a) Kelompok Resin, (b) Kelompok minyak atsiri, (c) Kelompok minyak lemak, (d) Kelompok karbohidrat, (e) Kelompok buah-buahan, (f) Kelompok tannin, (g) Bahan pewarna, (h) Kelompok getah, (i) Kelompok tumbuhan obat, (j) Kelompok tanaman hias, (k) Kelompok palma dan bambu, dan (l) Kelompok alkaloid. Sedangkan untuk Kelompok Hasil Hewan terdiri dari Kelompok Hewan buru, Kelompok Hasil Penangkaran (arwana irian, buaya, kupu-kupu, rusa), dan Kelompok Hasil Hewan (burung walet, kutu lak, lebah, ulat sutera)

Berbagai jenis tanaman penghasil HHBK merupakan tanaman serbaguna yang dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat setempat dan manfaat lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Sedangkan


(26)

pemanfaatan jenis HHBK hewani selama ini masih terbatas pada beberapa jenis hewan dan fokus pengelolaannya masih berorientasi untuk keperluan konservasi (Surat Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tentang Arahan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu).

Hasil hutan baik berupa kayu dapat memberikan nilai ekonomis yang tinggi. Nilai ekonomis ini membuat pengelolaan hutan lebih menitikberatkan pada produk kayu. Bahkan eksploitasi hutan pun dapat terjadi karena keuntungan yang dapat diraih dari hasil hutan kayu memberikan devisa bagi Negara. Hasil hutan bukan kayu pun memiliki nilai ekonomis. Namun jika dibandingkan, tentu saja hasil hutan berupa kayu dinilai lebih menguntungkan daripada hasil hutan bukan kayu. Walau demikian, hasil hutan bukan kayu terbukti lebih bernilai dibandingkan hasil kayu dalam jangka panjang (Balick dan Mendelsohn 1992 dalam Oka dan Achmad 2005)

2.2.2 Komersialisasi Hasil Hutan Bukan Kayu

Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu merupakan salah satu alternatif pemanfaatan hutan dari yang memiliki keunggulan komparatif. Pengembangan HHBK diharapkan dapat menekan penurunan fungsi hutan akibat pemanfaatan hasil hutan berupa kayu yang kurang mempertimbangkan aspek-aspek pemanfaatan lestari (Nurapriyanto et al 2005). Menurut Wollenberg dan Ingles, 1999), HHBK lebih banyak dimanfaatkan untuk mensuplai pendapatan rumahtangga masyarakat lokal hutan serta sebagai cadangan pangan. Bersamaan dengan konsumsi yang semakin meningkat terhadap produk hutan, aktivitas untuk masyarakat lokal dalam memanfaatkan hasil hutan untuk mendapatkan pendapatan dari pemasaran hasil hutan pun banyak dilakukan.

Kelompok HHBK mencakup berbagai jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan untuk kepentingan rumahtangga maupun perdagangan. Nilai hasil hutan bukan kayu juga berpotensi membuka pasar baru bagi produk hasil hutan dan cukup memiliki nilai untuk dikomersialisasikan (Neumann dan Hirsch 2000). Salah satunya produk dari aren, seperti gula aren dan produk turunannya. Aren merupakan salah satu hasil hutan non kayu dari kelompok karbohidrat dan buah-buahan (Peraturan Menteri Kehutanan No 35 Tahun 2007). Produk dari aren ini


(27)

dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai salah satu sumberdaya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Beberapa masyarakat lokal hutan yang ada di Indonesia masih mengelola hasil hutan secara tradisional, salah satunya masyarakat Kasepuhan di Jawa Barat.

Dalam laporan CIFOR (Kusters dan Belcher 2004). disimpulkan bahwa semakin banyak HHBK yang dieksploitasi untuk mata pencaharian, maka akan semakin sedikit kontribusinya bagi konservasi hutan. Pemungutan yang dilakukan secara komersial cenderung akan mengakibatkan kepunahan. Sebaliknya, produksi HHBK menimbulkan dampak konservasi yang positif pada skala tata ruang dengan menyediakan alternatif kegiatan pertanian dan penggunaan lahan lainnya yang lebih ramah lingkungan.

2.3 Penguasaan dan Akses Sumberdaya Hutan

Penguasaan sumberdaya dapat menentukan kinerja pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Kartodihardjo (1999) dalam Sudarmalik, et al (2006), penguasaan sumberdaya menentukan bentuk kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya. Kelembagaan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan. Sistem pengelolaan sumberdaya hutan tersebut dibagi menjadi tiga bentuk kepemilikan, yaitu:

1. Private Property Right (hak kepemilikan pribadi) 2. State Property Right (hak kepemilikan negara) 3. Common Property Right (hak kepemilikan bersama)

Ribot dan Peluso (2003) dalam Kartodihardjo (2006) menawarkan konsep akses sebagai suatu kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu, yang dibedakan dengan mendapatkan manfaat yang diperoleh dari adanya hak (property rights). Hak merupakan klaim terhadap sumberdaya, yang mana klaim tersebut dapat ditegakkan dan didukung oleh masyarakat dan negara melalui hukum atau konvensi. Mempunyai akses berarti mempunyai kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya tertentu yang dapat dilakukan karena adanya kekuasaan untuk itu. Kekuasaan yang dimaksud dapat terwujud melalui berbagai mekanisme, proses, maupun hubungan-hubungan sosial sehingga akan terdapat kumpulan atau jaringan kekuasaan yang memungkinkan seseorang atau


(28)

lembaga mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi praktek-praktek implementasi di lapangan.

Dalam dinamika akses atas sumberdaya hutan memiliki jejak sejarah yang panjang dan harus dilihat sebagai sebuah rangkaian panjang dan berkesinambungan. Peluso (2006) menyatakan bahwa akses hutan yang dimiliki masyarakat dalam rangka membuka lahan akses hasil hutan, dan cara-cara yang ditempuh perseorangan atau rumahtangga untuk memperoleh dan melestarikan penguasaan atas petak tanah yang telah dibuka. Kano (1982) dalam Peluso (2006) mengemukakan bahwa dalam suatu desa umumnya terdapat lahan tidur yang bersifat komunal. Lahan tidur tersebut dapat dikuasai dengan beberapa cara. Pertama, orang luar yang bukan penduduk tidak dapat mengubah lahan tidur menjadi lahan pertanian tanpa seizin kepala desa. Orang luar boleh mengakses lahan hanya selama mereka giat mengolahnya, bila pindah atau menelantarkan lahan tersebut dan mati maka mereka kehilangan hak atas tanah tersebut. Orang luar juga tidak punya hak transfer dan lahan akan kembali menjadi milik desa bila orang tersebut pergi.

Kedua, akses orang luar terhadap hasil hutan yang terdapat di lahan tidur sangat terbatas. Beberapa desa melarang orang luar mengakses hasil hutan. Namun dalam prakternya, penduduk desa dari luar sering diperbolehkan masuk dan dibebaskan mengakses dengan gratis produk yang mereka kumpulkan. Sementara itu, penduduk desa boleh mengumpulkan dan menggunakan hasil hutan dari lahan tidur sesukanya. Akan tetapi, terdapat pengecualian, misalnya pada pohon aren. Pohon aren yang berada di lahan tidur biasanya dibagi untuk semua penghuni desa yang melakukan kewajiban kerja (Kano 1982 dalam Peluso 2006). Sifat hak atas aren yang demikian dikarenakan pohon aren yang tumbuh secara liar. Selain itu, hak atas pohon buah yang ditanam di lahan yang sudah dikonversikan menjadi lahan pertanian tapi lalu menjadi hutan kembali atau menjadi lahan tidur, dapat diturunkan kepada ahli waris si penanam.

2.4 Masyarakat Adat

Istilah "masyarakat lokal" menunjuk pada warga masyarakat yang berada dan bertempat tinggal di dalam dan di sekitar lingkungan hutan, meliputi: (1) kelompok masyarakat yang tidak mempunyai hubungan historis dan hukum


(29)

dengan lingkungan hutan tetapi datang dan menempatinya; (2) kelompok masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dan historis dengan lingkungan hutan yang bersangkutan seperti masyarakat hukum adat (Mutakin dan Gurniwan, 2003). Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, pasal 5 menyatakan bahwa berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak, dimana hutan negara dapat berupa hutan adat. Hutan adat tersebut ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya, masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (Santosa 2007). Maksud dari diakui keberadaan masyarakat adat ini berarti harus memenuhi unsur:

a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban;

b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Bila lima unsur tersebut terpenuhi, ada tahapan lain yang wajib ditempuh, yaitu pengukuhan keberadaan masyarakat adat melalui Peraturan Daerah (Perda). Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.

Masyarakat adat dalam mengatur kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan hutan untuk pemenuhan berbagai keperluan hidup sesungguhnya telah berlangsung sejak mereka hadir dan hidup di suatu wilayah. Pemanfaatan hutan masyarakat hukum adat umumnya dalam bentuk pemanfaatan lahan hutan untuk usaha pertanian, sumber kayu bangunan, kayu bakar, obat-obatan tradisional serta tempat kegiatan binatang liar (Yeny 2007). Sistem pemanfaatan tradisional tersebut diperkuat dengan aturan-aturan adat yang dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat hukum adat bersangkutan yang dikenal dengan kearifan lokal.


(30)

2.4.1 Interaksi Masyarakat Adat dengan Hutan

Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Menurut Colfer et al (1999), terdapat empat faktor yang berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan hutan, yaitu: kedekatan dengan hutan, ketergantungan, pengetahuan lokal, dan dan integrasi hutan dan budaya. Faktor-faktor tersebut dipandang sangat penting dan terkait dengan kesejahteraan manusia serta terhadap potensi kontribusi positif dan negatif masyarakat terhadap pengelolaan hutan. 1) Kedekatan dengan hutan

Kedekatan yang dimaksud adalah kedekatan jarak dengan hutan. Masyarakat yang tinggal di dekat hutan memiliki potensi dampak cukup penting terhadap hutan, termasuk masyarakat adat. Masyarakat yang memiliki akses ke dalam hutan akan menguntungkan jika dilibatkan dalam pengelolaan hutan sehingga ketika mereka tidak merasa diikutsertakan dan juga memiliki kemampuan, secara langsung atau tidak langsung akan menyebabkan kerusakan hutan. 2) Ketergantungan

Di kawasan hutan terdapat masyarakat yang hidupnya bergantung pada barang dan jasa yang didapat dari hutan. Masyarakat dapat berburu, mengumpulkan makanan, obat dan serat, atau melakukan agroforestry. Kebutuhan masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan harus dipadukan ke dalam pengelolaan hutan secara lestari. Hasil hutan berperan penting dalam kehidupan masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang kebanyakan masih menganut sistem ekonomi subsisten.

3) Pengetahuan Lokal

Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, memiliki pengetahuan unik dan berguna berdasarkan pengalaman lokal jangka panjang mereka. Pengetahuan ini dapat mengenai binatang dan perilakunya, tumbuhan dan pengelolaannya, penggunaan bermacam hasil hutan, teknik pemrosesan hasil hutan, dan sebagainya, pengetahuan lokal ini sangat bernilai dan mendukung fungsi penting dalam integrasi yang menguntungkan antara masyarakat setempat dengan pengelolaan hutan. Selain itu, pengetahuan yang mereka miliki juga


(31)

dapat merupakan salah satu aturan adat yang memang berlaku di daerah setempat sehingga ketentuan adat tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat. 4) Integrasi Hutan dan Budaya

Budaya atau cara hidup erat kaitannya dengan lingkungan, dan ini berlaku juga pada masyarakat hutan2. Mungkin ada tempat-tempat keramat di dalam hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan erat dengan perasaan masyarakat tentang diri mereka, fungsi keamanan dari tumbuhan hutan selama musim paceklik, dan hubungan-hubungan lainnya.

Terkait dengan ketergantungan masyarakat dengan hutan, Sardjono et al (1998) mengindentifikasi bentuk interdependensi hutan dan masyarakat, yang salah satunya merupakan pola ekstraksi. Pola ekstraksi ini dijumpai pada kelompok masyarakat tradisional yang lokasinya tidak langsung berdekatan dengan industri. Pemanfaatan sumberdaya sebatas kebutuhan dan dikendalikan etika dan norma yang berlaku. Pandangan bahwa lingkungan sosial merupakan bagian dari ekosistem yang lebih luas mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan hati-hati. Untuk lebih melihat bagaimana hubungan hutan dengan masyarakat dalam pola ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1.

2.4.2 Aspek Tanah pada Masyarakat Lokal Sekitar Hutan

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat lokal, baik ditinjau dari aspek kepercayaan dan kesejarahan (pada masyarakat tradisional) ataupun secara umum bagi kepentingan sosial ekonomi dalam kehidupan sehari-hari (Sardjono 1998). Berkaitan dengan hal tersebut, Soekanto (1981) dalam Sardjono (1998) mengemukakan bahwa dimana ada suatu masyarakat (persekutuan hidup) yang menduduki suatu tempat untuk menjalankan hidupnya. Di dalam masyarakat tersebut juga terdapat hukum atau aturan, dimana mereka berhak untuk menguasai tanah, air, beserta pohon-pohon yang ada sebagai ‘hak

untuk menguasai sepenuhnya‘. Menurut Abdurrachman (1978), dalam Sardjono (1998), hak persekutuan atas tanah tersebut biasanya memiliki istilah lokal sesuai wilayah adatnya. Hak atas tanah yang menyangkut keseluruhan adat inilah yang dinamakan dengan hak ulayat.

2Terdapat suatu teori yang disebut ‗penentuan oleh lingkungan‘ yang menyatakan bahwa budaya


(32)

(Keterangan: F=Fungsi, M=Manfaat) Sumber: Sardjono et al (1998)

Gambar 1. Pola Ekstraksi yang Relatif Tidak Merusak Antara Hutan dan Masyarakat

Masih dalam dalam Sardjono (1998), Abdurrachman (1978) dan Soekanto (1981) juga menyatakan meskipun hak ulayat mendasarkan pada pengelolaan tanah untuk kepentingan bersama, akan tetapi memungkinan setiap warga yang ingin mendapatkan manfaat atas sebidang tanah sepanjang diketahui dan memperoleh izin dari kepala masyarakat hukum adat setempat. Hak perorangan tersebut merupakan hak milik, dan akan menjadi hak ulayat kembali jika tanah-tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus selama beberapa tahun. Pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat disamping dapat memenuhi kebutuhan masyarakat juga untuk menopang kelangsungan kelembagaan adat itu sendiri.

EKOSISTEM

Mineral Tanaman

Hewan

Mikro organisme

Air

Tanah

Topografi Iklim

HUTAN

Keluarga

Kelompok

Prasarana/ Pemukiman Individu

Budaya

Pendidikan

Kesehatan

Ekonomi

MASYARAKAT

F+M


(33)

2.5 Rumahtangga Masyarakat di Sekitar Hutan

Rumahtangga merupakan lembaga dasar yang melakukan pengaturan konsumsi dan produksi, alokasi tenaga kerja dan sumberdaya sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup anggota rumahtangga (Purnomo 2006). Manig (2001) dalam Dharmawan (2001) menyatakan bahwa sebagai suatu unit sosial ekonomi rumahtangga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) alokasi sumberdaya yang memungkinkan untuk memuaskan kebutuhan rumahtangga, (b) jaminan terhadap berbagai tujuan rumahtangga, (c) produksi barang dan jasa, (d) membuat keputusan atas penggunaan pendapatan dan konsumsi, (e) fungsi hubungan sosial dan hubungan dengan masyarakat luar, dan (f) reproduksi sosial dan material dan keamanan sosial terhadap anggota rumahtangga.

Bagi masyarakat sekitar hutan, hasil hutan merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Purwanto (1988) dalam Andajani (1997) juga menyatakan bahwa masyarakat sekitar hutan secara umum hidupnya banyak bergantung pada hasil usaha tani, dan sebagian diantaranya memanfaatkan hasil hutan. Faktor pembatas usaha tani yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk umumnya mendorong manusia ke arah ketergantungan yang lebih besar terhadap hutan dan hasil hutan. Kebanyakan masyarakat sekitas hutan menyadari bahwa mereka akan merasa diuntungkan apabila mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan daripada mengeksploitasinya. Sistem-sistem tradisional dari pengelolaan sumberdaya yang digunakan masyarakat lokal seringkali lebih efektif dan berkelanjutan.

Masyarakat tidak akan memanfaatkan hasil hutan kecuali secara ekonomi akan memberikan tambahan pendapatan bagi rumahtangga (McNeely 1992 dalam Andajani 1997). Pendapatan tersebut terutama didapat dari hasil hutan bukan kayu. Pendapatan rumahtangga diartikan sebagai keuntungan yang akan diterima dari hasil aktivitas nafkah atau cara hidup yang dilakukan oleh rumahtangga. Untuk mencapai tujuan rumahtangga, diperlukan sumberdaya, aset atau modal yang dimiliki rumahtangga atau disebut dengan sumber nafkah. Sumberdaya mengacu pada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumahtangga, aset merupakan semua hal yang dapat dimanfaatkan rumahtangga, dan modal merupakan semua hal yang dimiliki dan dapat diakses oleh rumahtangga.


(34)

2.6 Kerangka Pemikiran

Aren sebagai produk hasil hutan bukan kayu menjadi salah satu produk hutan yang masih dimanfaatkan sampai sekarang oleh masyarakat Kasepuhan. Pemanfaatan dan pengelolaan aren ini dipedomani oleh aturan-aturan adat yang masih melekat dalam masyarakat Kasepuhan sebagai masyarakat adat. Kelembagaan ini ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya, dan adat istiadat (Kartodihardjo 1999). Dalam kaitannya dengan pemanfaatan aren ini, Schmid (1987) dalam Kartodihardjo et al (2004) menyatakan tentang aturan hubungan antar individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya, hak-hak yang diberikan termasuk hak kepemilikan dan hak untuk mengakses sumberdaya, serta dan kewajiban yang harus dilakukan. Kelembagaan ini mengandung aspek kultural dan struktural yang pada akhirnya membentuk dan menentukan perilaku masyarakat (Syahuti 2006) dalam hal pemanfaatan aren ini seperti nilai, aturan, norma, kepercayaan, struktur, peran, hubungan antar peran, pola kekuasaan, dan lain-lain.

Pada awalnya, masyarakat hanya mengolah gula aren untuk digunakan sebagai bahan makanan dan tambahan sehari-hari. Namun, bersamaan dengan konsumsi yang meningkat terhadap produk gula aren membuat masyarakat memanfatkan aren tersebut untuk mendapatkan pendapatan dari pemasaran gula aren. Tak dapat dipungkiri bahwa komersialisasi gula aren tersebut berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga para petani aren di Kasepuhan. Adanya usaha hasil hutan non-kayu berupa gula aren ini yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan ini diduga berpengaruh terhadap kelembagaan yang telah ada, misalnya dalam perubahan proses produksi, penguasan dan pemilikian pohon aren, serta hubungan kerja diantara pihak-pihak, dan bahkan bisa saja komersialisasi dapat berdampak pada struktur pendapatan petani.

Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dipaparkan di atas maka dapat ditarik garis merah yang membentuk kerangka pemikiran yang terdiri dari tiga konsep bagi penelitian ini. Ketiga konsep tersebut adalah kelembagaan, komersialisasi gula aren, dan pendapatan rumahtangga petani. Masing-masing konsep tersebut diturunkan menjadi variabel-variabel, dan kemudian hubungan


(35)

dari konsep-konsep dan variabel-variabel tersebut dapat digambarkan menjadi sebuah bagan kerangka pemikiran sebagai berikut.

Keterangan gambar:

: saling mempengaruhi : berpengaruh

: kuantitatif

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

KELEMBAGAAN  status penguasaan

pohon aren  akses pada pohon

aren

 aturan-aturan adat dalam pengelolaan aren

 jaringan sosial dalam pemanfaatan aren

 aspek produksi dan ekstraksi nira aren

PENDAPATAN RUMAHTANGGA  Jumlah pohon aren  Pendapatan dari aren  Posisi komoditas aren

dibanding komoditas lain yang dikelola oleh masyarakat

KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA PETANI DI

SEKITAR HUTAN  Usia

 Tingkat pendidikan  Mata pencaharian  Jumlah anggota RT  Luas lahan

 Tingkat pendapatan

KOMERSIALISASI GULA AREN - Spesialisasi

- Perbesaran skala usaha - Perubahan akses pada pohon aren

A

R

E

N


(36)

2.7 Hipotesis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan merumuskan beberapa hipotesis berikut: (1) Komersialisasi akan menumbuhkan spesialisasi dan akumulasi pohon aren ke

dalam penguasaan dan pemilikan pihak-pihak tertentu

(2) Status penguasaan aren dan akses terhadap pohon aren mempengaruhi pendapatan hasil gula aren yang diperoleh

2.8 Definisi Operasional

a. Aren adalah salah satu hasil hutan bukan kayu dari kelompok karbohidrat dan buah-buahan (Permenhut No. 35 Tahun 2007)

b. Kelembagaan adalah suatu sistem perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang; merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial (Koentjaraningrat 1997)

c. Rumahtangga adalah lembaga dasar yang melakukan pengaturan konsumsi dan produksi, alokasi tenaga kerja dan sumberdaya sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup anggota rumahtangga (Purnomo 2006). Untuk mengukur nilai pemanfaatan dari hasil hutan dapat dilihat dari karakteristik rumahtangga petani di sekitar hutan yang terdiri dari:

1. Usia, yaitu jumlah tahun yang dihitung sejak lahir sampai sekarang. 2. Tingkat pendidikan, yaitu jenjang pendidikan menurut sekolah yang

pernah ditamatkan.

3. Mata pencaharian kepala keluarga, yaitu pekerjaan tetap yang dilakukan oleh kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

4. Jumlah anggota keluarga, yaitu jumlah seluruh orang yang berada di dalam satu rumahtangga dan menjadi tanggungan kepala keluarga. 5. Luas lahan yang digarap, yaitu jumlah keseluruhan lahan yang


(37)

6. Pendapatan adalah jumlah rata-rata rupiah yang didapat dari hasil pertanian, baik dari hasil sawah, huma, dan kebun talun (kapulaga dan aren), serta dari hasil yang didapat dari non pertanian.

d. Komersialisasi adalah perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008). Komersialisasi gula aren adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadikan aren sebagai suatu barang dagangan melalui proses ekstraksi dan produksi. Komersialisasi gula aren dikatakan mempengaruhi ekonomi rumahtangga diukur dari jumlah persentase pendapatan yang diperoleh petani aren dari hasil gula aren dari satu rumahtangga.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Lampiran 1). Lokasi tersebut dipilih dengan alasan masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi memanfaatkan hasil hutan, yaitu aren dan mengkomersialisasikan hasil gula aren tersebut dalam bentuk gula semut. Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan, mulai bulan April sampai September.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden, dengan panduan pertanyaan yang sebelumnya telah dibuat serta hasil observasi selama di lapangan. Pendekatan kualitatif ini dilakukan untuk mengkaji kelembagaan yang ada dalam pengelolaan aren di Desa Sirna Resmi. Data kuantitatif didapat dari hasil survei yang dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara yang dilakukan kepada informan dan responden serta informasi-informasi yang dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder didapat dari pihak lain yang terkait dengan lokasi penelitian berupa dokumentasi dan hasil studi literatur lain seperti hasil penelitian tesis dan jurnal-jurnal penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap yaitu :

a. Tahap Pertama

Pada tahap ini dilakukan observasi lapangan dan identifikasi kelompok masyarakat adat serta pengumpulan informasi keadaan umum dari masyarakat adat Kasepuhan. Disamping pengambilan data-data pendukung lainnya dari instansi terkait berupa sejarah masyarakat adat, data monografi, serta literatur relevan lainnya. Penentuan lokasi penelitian dan jumlah responden juga


(39)

dilakukan pada tahap ini sehingga dari hasil turun lapang ini diharapkan telah mencukupi untuk membuat daftar pertanyaan yang terarah untuk pengumpulan data primer sesuai dengan tujuan penelitian. Dari tahap ini, maka lokasi penelitian yang telah dipilih yaitu tiga dusun, yaitu Dusun Cimapag, Dusun Cicemet, dan Dusun Cikaret.

b. Tahap Kedua

Pada tahap kedua, dilakukan survei melalui wawancara dengan responden yang dipilih dari ketiga dusun dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Disamping itu survei lapang kedua ini dilakukan untuk melengkapi data-data lainnya yang diperlukan dalam analisis data.

Unit analisis rumahtangga digunakan dalam penelitian ini. Karena dalam pengelolaan aren di masyarakat Kasepuhan biasanya dikelola oleh keluarga, sehingga pendapatan yang diperoleh dari penjualan hasil produk aren masih berskala rumahtangga. Responden dipilih secara sengaja (purposive) yaitu dengan mengambil responden yang melakukan kegiatan pengelolaan aren dengan unit analisis rumahtangga dari tiga dusun yang ada di desa lokasi penelitian, yaitu Dusun Cikaret, Dusun Cimapag, dan Dusun Cicemet. Responden yang diambil sebanyak 34 orang dari tiga dusun, yaitu 9 responden dari Dusun Cikaret, 10 responden dari Dusun Cimapag, dan 15 responden dari Dusun Cicemet. Ketiga dusun tersebut dipilih karena di lokasi tersebut pemilik pohon dan penyadap aren mudah ditemukan dan jumlahnya cukup banyak dibandingkan dusun yang lain. Selain itu, berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan yang juga bertindak sebagai pengumpul gula semut, ketiga dusun tersebut memang dusun yang paling banyak jumlah penyadap arennya. Metode ini dilakukan berdasarkan pertimbangan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mencari responden yang memiliki pohon aren, baik yang menyadapnya sendiri maupun yang memarokan pohon arennya kepada orang lain untuk disadap. Responden yang dipilih adalah responden yang memiliki pohon aren agar dapat mengetahui status kepemilikannya dan akses penyadap aren terhadap pohon aren.

Peranan aren bagi ekonomi rumahtangga masyarakat Kasepuhan dianalisis dengan data kuantitatif berupa perolehan pendapatan yang diterima oleh setiap rumahtangga. Setelah itu, data kuantitatif dilihat dari masing-masing pendapatan


(40)

yang diperoleh dari hasil pertanian, yatu hasil sawah, huma, dan kebun talon serta pendapatan dari non pertanian. dan kemudian dipersentasekan untuk melihat perbandingan pendapatan yang diperoleh. Keseluruhan dari masing-masing pendapatan tersebut kemudian dihitung sejauh mana pendapatan yang diperoleh dari gula aren berperan dalam ekonomi rumahtangga masyarakat Kasepuhan dibanding pendapatan lainnya yang diperoleh dari sawah, huma, kapol dan non pertanian.

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kualitatif dianalisis secara deskriptif dengan penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan tabel silang, kemudian data diterjemahkan dalam bentuk uraian, penjelasan, dan kesimpulan. Berikut ini matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 1. Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1. Mengidentifikasi kelembagaan

lokal dan sejarah pemanfaatan aren di masyarakat Kasepuhan

Data primer dan sekunder.

Analisis deskriptif

2. Menganalisis perkembangan komersialisasi dari gula aren pada masyarakat Kasepuhan dan pengaruhnya bagi kelembagaan

Data primer dan sekunder

Tabel frekuensi, tabel silang, dan analisis deskriptif 3. Menganalisis peranan

pemanfaatan aren terhadap pendapatan rumahtangga bagi petani aren


(41)

BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

4.1 Geografis Desa

Desa Sirna Resmi merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Desa ini berada di sekitar hutan dan merupakan desa yang terisolasi bila ditinjau dari jarak desa dengan pusat pemerintahan atau ibukota kabupaten dan kecamatan. Jarak Desa Sina Resmi dengan ibukota Kabupaten sekitar 23 km dalam satu jam, sedangkan jarak Desa Sina Resmi dengan Kecamatan sekitar 33 km yang dapat ditempuh selama satu setengah jam dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Perjalanan menuju Desa Sirna Resmi tidak begitu sulit, dan rute transportasinya pun mudah. Dari Bogor dapat ditempuh selama kurang lebih tujuh jam dengan menggunakan bis Bogor-Pelabuhan Ratu. Dari Pelabuhan Ratu terdapat kendaraan mobil bis kecil (Elf) sampai Desa Cicadas. Namun jumlah kendaraan tersebut masih terbatas, sehingga mobil tersebut bisa ditemukan pada jam-jam tertentu. Dari Cicadas perjalanan selanjutnya ditempuh dengan menggunakan ojek sampai berhenti tepat di depan Imah Gede Kasepuhan Sinar Resmi.

Adapun batas-batas wilayah desa ini adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : Desa Sirnagalih, Gn.Malang, Kecamatan Cibeber Sebelah selatan : Desa Cicadas, Sirnarasa, Kecamatan Cisolok, Cikakak Sebelah timur : Desa Cihamerang, Kecamatan Kalapanunggal

Sebelah barat : Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok

Luas wilayah Desa Sirna Resmi adalah 4.917 Ha yang sebagian besar merupakan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yaitu sekitar 81 persen dari wilayah desa atau 4.000 Ha. Curah hujan di wilayah ini cukup tinggi dan bervariasi antara 2.120 – 3.250 mm/tahun. Suhu rata-rata pun cukup sejuk dengan kisaran 20 sampai 30 derajat Celcius. Hal ini juga


(42)

dipengaruhi oleh lokasi desa yang berada di dataran tinggi dengan ketinggian tanah 600-1.200 m dari permukaan laut, dengan tingkat kemiringan lereng berkisar antara 25-45 persen.

Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sirna Resmi Menurut Penggunaan Lahan

Jenis Lahan Luas Penggunaan (Ha)

Pemukiman 36,00

Persawahan 300,00

Perkebunan 0

Kuburan 3,00

Pekarangan 15,00

Taman 0

Perkantoran 0,10

Prasarana Umum lainnya 2,10

Talun 560,80

Taman Nasional 4.000,00

Total 4.917,00

Sumber: Data Desa Sirna Resmi 2010

4.2 Demografi Desa

Jumlah penduduk di Desa Sirna Resmi adalah 5.313 jiwa, yang terdiri dari 2.619 jiwa penduduk laki-laki dan dan 2.694 jiwa penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.537 KK dan kepadatan penduduk 925 jiwa/km (Data Desa Sirna Resmi 2010). Desa Sirna Resmi sendiri terdiri dari tujuh dusun yaitu Sinar Resmi, Cibongbong, Cikaret, Cimapag, Situmurni, Cicemet, dan Sukamulya.

Desa Sirna Resmi memiliki tiga kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar, dan Kasepuhan Cipta Mulya. Setiap warga bebas untuk menentukan Kasepuhan yang akan mereka ikuti. Namun, pada dasarnya ketiga Kasepuhan tersebut berasal dari satu keturunan yang sama dengan Kasepuhan Sinar Resmi sebagai wilayah pusat. Para pengikut Kasepuhan memiliki sebutan incu putu yang tersebar di seluruh Desa Sirna Resmi dan di luar desa.

Adapun jumlah penduduk berdasarkan usia yang ada di Desa Sirna Resmi dapat dilihat pada Tabel 3.


(43)

Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi Berdasarkan Kategori Usia

Usia (Th)

Laki-laki (orang)

Perempuan (orang)

Jumlah (orang)

0-4 181 146 327

5-9 324 316 640

10-14 254 252 506

15-19 230 225 455

20-24 206 226 432

25-29 201 237 438

30-34 178 233 411

35-39 214 208 422

40-44 180 224 404

45-49 199 206 405

50-54 120 131 251

55-59 63 64 127

60-64 80 78 158

≥ 65 189 148 337

Jumlah 2.619 2.694 5.313

Sumber: Data Desa Sirna Resmi 2010

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa penduduk Kasepuhan memiliki jumlah usia produktif yang cukup tinggi, yaitu 3.503 jiwa atau sebesar 65.93 %. Sedangkan sisanya merupakan penduduk usia belum produktif dan non produktif masing-masing 1.473 jiwa (27,72 %) dan 337 jiwa (6.34 %) dengan Rasio Beban Tanggungan (RBT) sebesar 517 jiwa.

Untuk tingkat pendidikan, rata-rata penduduk hanya bersekolah sampai tingkat SD (41 %), lainnya ada yang sampai SMP (8.7 %), SMA (3.5 %) bahkan perguruan tinggi meskipun jumlahnya tidak banyak (1.2 %). Sampai saat ini jumlah penduduk Desa Sirna Resmi yang mengenyam pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.


(44)

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Desa Sirna Resmi

Tingkat Pendidikan Laki-laki (orang)

Perempuan (orang)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Belum sekolah 105 110 215 11.5

TK / Play Group 116 109 225 12.1

Tidak Pernah Sekolah 38 37 75 4.0

Tidak Pernah Sekolah 129 121 250 13.4

Tidak Tamat SD 45 40 85 4.6

Tamat SD / Sederajat 382 381 763 41.0

Tamat SMP / Sederajat 82 80 162 8.7

Tamat SMA / Sederajat 37 28 65 3.5

Tamat D-1 / Sederajat 3 1 2 0.1

Tamat D-2 / Sederajat 3 1 3 0.2

Tamat D-3 / Sederajat 9 8 17 0.9

Total 949 916 1.862 100.0

Sumber: Data Desa Sirna Resmi 2010

Sebagian besar penduduk di Sirna Resmi beragama Islam dan mayoritas berasal dari etnis Sunda. Mata pencaharian pokoknya penduduk Sirna Resmi adalah bekerja sebagai petani. Hal ini dikarenakan sumber penghidupan utama penduduk dominan berasal dari sektor pertanian dan juga menjadi tradisi bagi masyarakat adat Sinar Resmi. Kegiatan masyarakat sehari-hari ditunjang berbagai fasilitas yang cukup memadai. Program pembangunan desa dari pemerintah telah memberikan pembangunan bagi sektor publik. Apabila dana dari pemerintah tidak mencukupi maka secara swadaya bergotong-royong membangun sarana desa. Selain itu, penduduk desa sudah menggunakan listrik untuk penerangan dan keperluan lain seperti televisi, radio, bahkan DVD Player. Fasilitas keagamaan berupa mesjid dan mushola serta fasilitas pendidikan yaitu gedung sekolah dasar semua sudah menggunakan listrik. Berikut adalah tabel mengenai sarana dan prasarana pembangunan di Desa Sinar Resmi.


(45)

Tabel 5. Jumlah Sarana Pembangunan Menurut Jenis Sarana di Desa Sinar Resmi No Jenis Sarana Pembangunan Jumlah

1. Agama a. Masjid b. Mushola c. Sarana Lainnya

7 buah 8 buah - 2. Pendidikan

a. Pendidikan Umum 1. Pendidikan Dasar 2. SLTP

3. SLTA

6 gedung, 42 guru, 682 murid 1 gedung, 8 guru, 65 murid

b. Pendidikan Khusus 1. Pondok Pesantren 2. Madrasah

3. Sarana Pendidikan Non Formal

1 gedung, 8 guru, 21 murid 2 gedung, 13 guru, 212 murid SL-AEP : 14 kelompok PAUD : 7 kelompok 3. Sarana Perhubungan

a. Jalan b. Jembatan

12 ruas 20 buah 4. Komunikasi

Jumlah Komunikasi 1 jenis, 1 buah

Sumber : Data Desa Sirna Resmi 2010

Komunikasi dengan handphone sudah dapat dilakukan dari desa ini. Di Sirna Resmi sudah ada tower milik operator telepon seluler XL sejak tahun 2006 lalu. Dalam bidang informasi, media utama adalah televisi. Media cetak, seperti koran, hanya dapat diperoleh di Pelabuhan Ratu. Siaran televisi dapat dinikmati sepanjang hari, tergantung pada ketersediaan listrik.

4.3 Masyarakat Kasepuhan

Masyarakat yang tinggal di Desa Sirna Resmi merupakan bagian dari komunitas masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Masyarakat ini masih menjalankan pola perilaku sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya pada abad ke-18 (Asep 2000 dalam Hanafi et al 2004). Desa Sirna Resmi juga merupakan wilayah pusat pemerintahan dari masyarakat Kasepuhan.

Desa Sirna Resmi ini merupakan pusat dari tiga Kasepuhan, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta Mulya, dan Kasepuhan Cipta Gelar. Masing-masing Kasepuhan memiliki pemimpin yang disebut Abah, yang tinggal


(46)

bersama keluarganya di Imah Gede. Para pengikut atau incu putu dari masing-masing Kasepuhan tersebar di Desa Sirna Resmi dan luar desa, bahkan tersebar juga di Kabupaten Bogor, Lebak, dan Sukabumi .

Masyarakat Kasepuhan masih menjalankan kehidupan sehari-hari dengan pola hidup yang terkerangka dalam serangkaian upacara adat dengan tata caranya masing-masing. Mereka masih menganut filosofi tatali paranti karuhun yang memiliki makna bahwa mereka mengikuti dan menaati serta mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang dilakukan karuhun atau nenek moyang mereka. Filosofi tersebut menjadi landasan moral dan etik serta pelaksanaannya bukan hanya terbatas pada tataran religius, namun tercermin juga dalam institusi sosial, sistem kepemimpinan, dan tata cara berinteraksi dengan alam (Hanafi et al 2004). Dalam tatali paranti karuhun dijabarkan juga tentang keyakinan masyarakat Kasepuhan yang telah dipengaruhi oleh Islam. Terdapat tiga aspek yang harus selalu diperhatikan dalam kehidupan masyarakat yaitu tilu sapamulu, dua sakarupa,dan hiji eta keneh.

Sumber: Hanafi et al 2004

Gambar 3. Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa,dan Hiji Eta Keneh

Konsep tilu sapamulu terdiri dari tekad, ucap dan lampah, buhun, nagara, dan syara, serta nyawa, raga, dan papakean. Tekad, ucap dan lampah merupakan cerminan ucapan dan tingkah laku yang harus berlandaskan niat yang dapat dipertanggungjawabkan, yang secara kemanusiaan keadaan trsebut merupakan

Raga Nagara

Ucap

Nyawa Buhun Tekad

Papakean Syara Lampah


(47)

gambaran yang terdiri atas unsur jiwa (nyawa), raga, dan perilaku yang harus selaras (papakean). Maksud dari papakean atau pakaian mengandung makna bahwa masyarakat Kasepuhan memiliki kebudayaan tersendiri yang mereka jaga dan lindungi sehingga makna pakaian disini berarti merupakan cerminan akhlak dan sikap mental. Simbol tersebut akan memperlihatkan jati diri masyarakat yang berupa aturan, adat, dan agama. Sedangkan aspek buhun (kepercayaan adat), nagara (negara) dan syara (agama) merupakan peleburan yang menunjukkan bahwa sikap terbuka dan pengakuan masyarakat Kasepuhan terhadap perubahan bernegara (dari kerajaan menjadi negara Indonesia) dan hadirnya keyakinan yang lain yaitu Islam (Hanafi 2004). Lebih jelasnya, aspek-aspek dalam tatali paranti karuhun tersebut digambarkan sebagai berikut.

1. Tilu Sapamulu

Tekad Ucap Lampah

Buhun Nagara Syara

Nyawa Raga Papakean

2. Dua Sakarupa

Nyawa dan Raga = Makhluk Hidup Telanjang

Nyawa dan Papakean = Makhluk Goib

Raga dan Papakean = Mayat Telanjang

3. Nu Hiji Eta-Eta Keneh

Nyawa + Raga + Papakean = Makhluk Hidup Berpakaian

Sumber: Hanafi et al 2004

Gambar 4. Penjelasan dari Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa,dan Hiji Eta Keneh

Dalam masyarakat Kasepuhan terdapat dua struktur kepemimpinan, yaitu kepemimpinan adat dan kepemimpinan formal. Pemimpin masyarakat adat, yang disebut abah, memegang peranan sentral dalam merumuskan, mengajarkan, dan menegakkan aturan-aturan (khususnya aturan tidak tertulis) yang berlaku


(48)

sehari-hari dalam masyarakat (Suharjito dan Saputro 2008). Selain itu, untuk tingkat kampung peranan pemimpin adat tersebut diwakili oleh kokolot lembur. Berbagai kegiatan sehari-hari, musiman, ataupun tahunan mengacu pada tataran adat misalnya dalam bidang pertanian (mulai dari persiapan lahan sampai seren taun), siklus hidup manusia (kelahiran, khitanan, pernikahan, kematian), dan acara keagamaan.

Pemimpin yang kedua yaitu Kepala Desa dan Kepala Dusun yang berperan dalam urusan pemerintah desa. Adanya kepala desa dan kepala dusun berperan sebagai jembatan bagi masyarakat desa/kampung dengan pemerintah kabupaten, provinsi, dan nasional. Program-program pembangunan seperti program pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lainnya, yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dapat dilaksanakan oleh masyarakat melalui peran pemerintah desa. Selan itu, kerjasama dengan pemimpin adat dan perangkatnya pun merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan program-program pembangunan tersebut.

4.4 Bentuk-bentuk Sumberdaya Hutan dan Pertanian Masyarakat Kasepuhan

Lahan yang ada di masyarakat Kasepuhan merupakan bagian dari hutan lindung, karena seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sebagian besar wilayahnya merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dalam penentuan luas lahan di desa ini tidak ada ukuran yang universal, karena masyarakat setempat memiliki ukuran tersendiri untuk mengukur luasan lahan, baik untuk sawah, huma, kebun, maupun pekarangan. Luasan lahan diukur dengan ukuran patok yang setara dengan 400 meter persegi. Pola kepemilikan lahan biasanya bersifat warisan dan karena adanya hubungan pernikahan. Ketika anaknya menikah, setiap orangtua sudah menyiapkan lahan untuk anaknya untuk dimanfaatkan. Pola penggunaan lahan umumnya digunakan untuk sawah, pekarangan dan kebun. Untuk lahan pertanian biasanya digarap sendiri oleh pemiliknya, namun tidak menutup kemungkinan juga lahan tersebut digarap oleh orang lain yang tidak memiliki lahan sendiri (buruh tani atau penggarap). Sistem pengelolaan dalam penggarapan lahan tersebut antara lain maro, ngepak, dan gade (gadai).


(49)

Maro adalah sistem pembagian hasil dengan membagi dua hasil panen bagi pemilik dan penggarap lahan setelah dipotong modal. Ngepak menggunakan sistem pembagian 4:1, yang artinya dari hasil lima ikat padi dibagi empat ikat untuk pemilik lahan dan satu ikat untuk penggarap. Untuk sistem ngepak ini, pemilik lahan menjadi penyedia input produksi pertanian mulai dari lahan itu sendiri, benih, pupuk, alat, dan lainnya. Sedangkan penggarap hanya menyediakan tenaga saja untuk bekerja. Sistem pengelolaan lainnya yaitu gade atau gadai, yaitu penggarap membayar jaminan (sewa) sesuai dengan kesepakatan antara penggarap dengan pemilik lahan. Lahan yang digadai dapat diambil kembali oleh pemilik lahan setelah jaminan tersebut telah dikembalikan. Jadi, dapat dikatakan

bahwa dalam sistem ini penggarap ‗meminjam‘ lahan dari pemilik lahan untuk

digarap.

Penggunaan lahan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan dapat dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 5. Tata Guna Lahan Versi Masyarakat Kasepuhan

Dari gambar tersebut dapat dijabarkan bahwa tataguna lahan yang ada di Kasepuhan terbagi menjadi dua, yaitu lahan basah yang digunakan untuk lahan sawah, dan lahan kering. Keduanya merupakan lahan yang sengaja dibuka oleh

Lahan

Lahan basah Lahan kering

Sawah Hutan Huma

Hutan tutupan Hutan

garapan/talun

Hutan titipan


(1)

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Penyadap Aren Pohon Aren


(2)

Peralatan Untuk Menyadap Aren

Lodong Sigai


(3)

Proses Pembuatan Gula Semut

1. Memasak nira 2. Kandungan air dalam mulai

menyusut

3. Nira yang sudah mengental 4. Gula yang mulai mengering

5. Gula menjadi kering dan berbentuk 6. Gula dihaluskan dan siap dikemas bubuk gula


(4)

Proses Pembuatan Gula Cetak

1. Nira yang sudah mengental 2. Menyiapkan cetakan gula yang terbuat dari cetak kelapa

3. Gula dimasukkan ke dalam cetakan 4. Gula yang sudah dicetak mulai mengering

5. Gula yang sudah mengering dikeluarkan 6. Gula dikemas dengan dibungkus


(5)

RINGKASAN

ANDRA DWIANA NOVIANTRI. Kelembagaan Lokal dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO.

Masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan, baik kayu maupun non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Prikehidupan masyarakat adat hutan umumnya bersifat tradisional, dimana taat terhadap norma-norma dan nilai-nilai tradisional masih dianut secara turun temurun, seperti yang dilakukan masyarakat Kasepuhan.

Masyarakat Kasepuhan merupakan salah satu dari sekian banyak masyarakat adat lokal yang hidup di sekitar hutan. Masyarakat Kasepuhan yang berada di Desa Sirna Resmi ini merupakan masyarakat adat yang masih mempertahankan kebudayaan mereka dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, salah satunya aren. Aren biasanya tumbuh di kebun talun yang dikelola oleh masyarakat. Aren tumbuh dengan sendirinya karena persemaiannya dilakukan oleh musang. Masyarakat memanfaatkan tanaman aren, mulai dari air nira, buah, dan batangnya. Air nira yang dihasilkan biasanya dibuat gula semut oleh para penyadap aren. Pada awalnya masyarakat hanya membuat gula semut untuk dikonsumsi sendiri, namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat mengkomersialisasikan gula semutnya tersebut dengan menjualnya guna memberikan pendapatan rumahtangga mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui sejarah pemanfaatan aren, dilihat dari apa saja yang dapat dimanfaatkan dari pohon aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, pemilikan dan penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, (2) mengetahui perubahan kelembagaan dalam pemanfaatan aren seiring dengan perkembangan komersialisasi produk gula aren di masyarakat Kasepuhan, dimulai dari awal dari perkembangan komersialisasi produk gula aren, pengaruhnya terhadap bentuk dan kualitas gula aren, serta kendala yang dihadapi dalam mengkomersialisasikan produk gula aren tersebut, serta (3)


(6)

mengkaji peranan pemanfaatan aren terhadap ekonomi rumahtangga bagi penyadap aren di Kasepuhan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penyadap aren. Jumlah responden sebanyak 34 orang yang diambil secara purposive dari tiga dusun.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden, dengan panduan pertanyaan yang sebelumnya telah dibuat serta hasil observasi selama di lapangan. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner, yang kemudian diolah dengan menggunakan Microsoft Excel untuk memperoleh persentase pendapatan yang diperoleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal masih berperan di dalam pemanfaatan aren yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan. Pemanfaatan masih dilakukan penyadap aren sesuai aturan adat yang berlaku. Peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga penyadap aren ditunjukkan oleh hasil pendapatan responden yang diperoleh dari gula aren lebih berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga dibanding hasil pertanian lainnya. Berkaitan dengan kepemilikan pohon aren– paling tidak di salah satu dusun– komersialisasi gula aren membawa serta fenomena transfer kepemilikan pohon aren yang masih berproduksi melalui mekanisme jual-beli. Di lain pihak, komersialisasi aren berdampak terhadap perubahan kelembagaan lokal antara lain dalam kepemilikan pohon aren dan adanya perubahan peran perempuan. Selain itu, komersialisasi aren dapat memberi kesempatan pada penduduk untuk mengkhususkan diri pada produksi gula aren untuk pasar yang menunjukkan bahwa spesialisasi di bidang pemanfaatan aren mulai tumbuh di masyarakat Kasepuhan.


Dokumen yang terkait

Analisis Kelayakan Usaha Gula Aren (StudiKasus :Desa Mancang, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat)

42 190 67

Adaptasi lingkungan masyarakat kasepuhan dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan (Studi kasus Kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)

0 8 180

Analisis ekonomi alokasi waktu, pendapatan dan kemiskinan rumahtangga nelayan di Desa Cikahuripan, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi

0 6 203

Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

1 13 176

Analisis Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi (Studi Kasus di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

2 18 275

Analisis konflik sumberdaya hutan di kawasan konservasi: studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

0 21 260

Kepemimpinan Adat Dalam Kepatuhan Masyarakat Pada Norma Adat (Studi Kasus Di Kasepuhan SRI Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat).

8 67 147

Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

4 20 50

View of Proses Pembuatan dan Pendapatan Petani Gula Aren di Desa Elusan Kecamatan Amurang Barat

0 0 9

Total Pendapatan Hasil Aren (RpTahun) Gula Merah Tuak

0 0 12