16 pelaksanaannya di lapangan berbeda dengan aturan formal dalam tingkat
kebijakan. Demikian pula yang terjadi antara pengusaha dan pemerintah, ketika prosedur pengurusan berbagai izin pengelolaan sumberdaya hutan harus melewati
serangkaian birokrasi. Ketimpangan-ketimpangan tersebut akan saling terkait dan berpotensi menimbulkan konflik di lingkungan mikro atau di tingkat nasional di
suatu negara. Pada saat yang sama, proyek-proyek pembangunan di negara-negara berkembang tidak terlepas dari kepentingan global terutama faktor investasi
negara maju bagi tetap berlangsungnya produksi, distribusi dan pemasaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa investasi sektor kehutanan termasuk industrinya,
melibatkan aliran modal asing dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam melihat konflik di tingkat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan tidak
berarti harus menutup mata terhadap adanya kepentingan yang lebih besar Fuad dan Maskanah, 2000.
2.1.3.3 Wujud, Level dan Ruang Konflik
Kebanyakan konflik memiliki penyebab ganda sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang
terbuka Fuad dan Maskanah, 2000. Untuk itu Fuad dan Maskanah 2000 melakukan pemetaan konflik, yakni mengelompokkannya dalam ruang-ruang
konflik dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Konflik Data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang
dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, atau mendapat informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang
relevan, atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.
2. Konflik Kepentingan, terjadi karena persaingan kepentingan, dimana
ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban.
3. Konflik Hubungan antar Manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi
negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang.
17
4. Konflik Nilai, dikarenakan oleh sistem kepercayaan yang tidak
bersesuaian, baik yang dirasakan maupun memang ada nyata.
5. Konflik Struktural, terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan
akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum.
Konflik dapat berwujud konflik tertutup latent, mencuat emerging, dan terbuka manifest seperti yang diungkapkan oleh Fuad dan Maskanah
2000. Selain itu, Fuad dan Maskanah 2000 juga membagi konflik menjadi dua
jenis menurut level permasalahannya, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal
. Dalam konflik sumberdaya alam, konflik yang terjadi dapat berwujud tertutup, mencuat, maupun terbuka, tergantung karakteristik aktor-aktor yang
berselisih. Menurut level permasalahannya, konflik sumberdaya alam cenderung berwujud konflik vertikal, yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Konflik
juga dapat dibedakan menjadi konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang mampu mendukung proses pencapaian
tujuan kelompok serta mampu meningkatkan kinerja kelompok. Konflik disfungsional adalah konflik yang dapat menghambat kinerja kelompok Robbins,
1993 dalam Tadjudin, 2000. Terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan
Hendricks 1996 sebagaimana dikutip oleh Ilham 2006, yaitu: 1 dengan meningkatnya konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; 2 keinginan
untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; 3 orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi orang lain, seiring
dengan meningkatnya konflik; 4 strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi;
5 onflik dapat melampaui tahapan yang lazim; 6 seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik.
Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik Hae et al., 2000 sebagaimana dikutip Ilham 2006 antara lain:
1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah
18 yang sebelumnya tidak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas
warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung selama 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis yang kebanyakan Protestan dan
kelompok pro-kemerdekaan yang kebanyakan Katolik sudah sampai pada pembuatan tembok setinggi 5 meter. Begitu pula di Ambon,
walaupun belum ada tembok pemisah, segresi wilayah kelompok muslim dan kristen sudah terjadi.
2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya bersifat negatif, untuk
merendahkan pihak lawan. 3. Demonisasi penjelek-jelekan. Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi
demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematis ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul
misalnya: ”Si A dari suku X, hati-hati....., orang yang bersuku X itu pembunuh darah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum
darah manusia”. 4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan pada
kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran,
radio, dan televisi. 5. Pemaksaan koersi. Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok
sendiri atau kelompok lain.
2.1.3.4 Tahap-tahap Konflik
Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui untuk
membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik Fisher et al., 2001. Analisis dasar tahapan konflik
terdiri dari lima tahap, yaitu:
1. Prakonflik. Ini merupakan periode di mana terdapat ketidaksesuaian