Analisis Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi (Studi Kasus di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Hutan dan manusia mempunyai keterkaitan yang cukup erat dan saling mendukung satu sama lain. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan menggantungkan sebagian besar kebutuhan hidupnya pada hutan. Salah satu kawasan konservasi hutan yang sampai saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat, baik oleh masyarakat adat maupun non adat adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). TNGHS merupakan kawasan hutan pegunungan hujan tropis alam terbesar yang tersisa di Jawa Barat-Banten dengan tiga jenis ekosistem utama yaitu hutan hujan dataran rendah (lowland rain forest) pada ketinggian 500-1000 meter di atas permukaan laut (mdpl), hutan hujan dataran tinggi (sub-montane forest) pada ketinggian 1000-1500 mdpl, dan hutan hujan pegunungan (montane forest) pada ketinggian 1500-1929 mdpl (TNGHS, 2007).

TNGHS sebagai salah satu kawasan pelestarian alam, dituntut harus berpartisipasi dalam mengurangi deforestasi dan kerusakan hutan. Hal ini sangat terkait dengan peran penting TNGHS yang semakin terancam. Dalam kurun waktu 1989-2004, di TNGHS telah terjadi deforestasi dengan angka yang memprihatinkan yaitu sebesar 23 ribu hektar. Degradasi hutan tersebut diikuti dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang dan perumahan penduduk yang semakin hari semakin bertambah.1

Perluasan kawasan TNGHS dari 40.000 Ha menjadi 113.357 Ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10

1


(2)

2 Juni 2003 merupakan bentuk usaha pemerintah untuk penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak akibat adanya desakan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Perluasan kawasan TNGHS merubah status hutan produksi menjadi satu kesatuan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan luas kawasan menjadi 113.357 ha.

Salah satu masyarakat yang terkena dampak perluasan kawasan TNGHS adalah Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi selain Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan Masyarakat Kasepuhan Ciptamulya di Desa Sirna Resmi. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi merupakan masyarakat yang tinggal di kawasan Hutan Halimun. Saat ini kawasan Hutan Halimun telah rusak akibat illegal logging yang dilakukan oleh Masyarakat Kasepuhan. Kawasan tersebut oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi disebut Pondok Injuk. (TNGHS, 2007). Pondok Injuk rusak akibat kegiatan Masyarakat Kasepuhan yang bergantung terhadap hutan. Masyarakat Kasepuhan membuka lahan huma untuk sistem pertanian. Pembukaan lahan huma disertai dengan penebangan pohon di kawasan hutan. Pohon yang ditebang oleh Masyarakat Kasepuhan diijual ke tengkulak. Hal tersebut mengakibatkan Pihak TNGHS berupaya untuk melindungi kawasan Hutan Halimun dengan kegiatan perluasan kawasan Hutan Halimun dengan Hutan Salak sebagai zona konservasi untuk perlindungan kawasan hutan. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sangat bergantung pada sumberdaya hutan yang dimanfaatkan dalam berbagai cara, yaitu seperti huma, talun dan sawah. Pihak TNGHS telah berupaya untuk melakukan pengelolaan hutan bersama Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi melalui kegiatan Model Kampung Konservasi (MKK) tetapi kegiatan tersebut tidak berjalan dengan semestinya.


(3)

3 Uraian di atas menjadi latar belakang pentingnya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di daerah perluasan TNGHS Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Provinsi Jawa Barat.

1.2. Perumusan Masalah

Kasepuhan Sinar Resmi merupakan salah satu Kasepuhan Banten Kidul yang berada di Rimba Gunung Halimun, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasepuhan Sinar Resmi tercatat sebagai kasepuhan terbesar diantara kasepuhan Banten Kidul. Sebagian besar penduduknya (Incu Putu) bermatapencaharian petani. Panen di kasepuhan ini dilakukan satu kali dalam setahun. Kasepuhan Sinar Resmi merupakan tempat pertemuan akbar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam rangka melakukan konsultasi nasional masyarakat adat mengenai Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan. Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 5-8 Agustus 2009 untuk menyatakan solidaritas AMAN atas penangkapan warga Komunitas Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terkait dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dan mendesak Kapolri dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk segera membebaskan warga yang ditahan akibat perambahan hutan untuk ngehuma (ladang berpindah).2

Perluasan kawasan TNGHS di masyarakat adat hutan pegunungan berdampak terhadap sistem pertanian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi menerapkan sistem pertanian ladang

2


(4)

4 berpindah yang seringkali meresahkan Pihak TNGHS dan menimbulkan sengketa di antara kedua belah pihak. Mencuatnya sengketa antara Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dan TNGHS, berawal setelah turunnya SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tentang penunjukan kawasan TNGHS dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas pada kelompok hutan Gunung Halimun dan Salak seluas 113.357 Ha di Provinsi Jabar dan Banten. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi saat ini tidak dapat lagi mengolah lahan yang sudah dikelola sejak turun temurun. Hal ini dikarenakan lahan tersebut sudah dikuasai dan dilarang oleh TNGHS untuk digunakan masyarakat dalam kegiatan pembukaan huma (ladang berpindah).

Kelembagaan lokal yang mengatur masyarakat dalam pengelolaan hutan terdiri dari tiga aturan yakni pertama, “leweung titipan” atau hutan titipan yang artinya warga tidak boleh mengolah atau mengambil apapun di hutan tersebut. Peraturan yang kedua adalah “leweung tutupan” yang artinya warga tidak boleh mengubah bentuk hutan tersebut namun boleh digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Peraturan ketiga adalah “leweung garapan” yang artinya warga boleh menggunakannya untuk keperluan sehari-hari, seperti dijadikan sawah, huma, dan talun. Sengketa yang terjadi saat ini adalah daerah “leweung garapan”. Hal ini dikarenakan lahan tersebut sudah dikuasai oleh Pihak TNGHS. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi meminta kepada DPRD untuk mendorong Bupati Sukabumi mengesahkan peraturan daerah (PERDA) tentang keberadaan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Hal ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak dan kewajiban Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Oleh karena itu,


(5)

5 diperlukan kajian mengenai garis besar perluasan kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.

Terbatasnya informasi yang diperoleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengenai informasi perluasan kawasan TNGHS menyebabkan persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap perluasan kawasan TNGHS menjadi berbeda. Sehingga kajian mengenai persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap perluasan kawasan TNGHS penting dilakukan.

Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki adat terkait pengelolaan hutan. Mereka sangat menghormati kelembagaan lokal yang ada sebagai peraturan yang harus mereka laksanakan. Pembukaan lahan huma merupakan kegiatan wajib dalam sistem pertanian. Pembukaan lahan huma selalu diikuti dengan kegiatan penebangan pohon di kawasan hutan. Kegiatan tersebut yang seringkali meresahkan Pihak TNGHS terhadap kelestarian hutan. Oleh karena itu, pihak TNGHS harus bersikap tegas dalam menghadapi perilaku Masyarakat Kasepuhan terkait penebangan pohon untuk sistem pertanian. Perluasan kawasan TNGHS menimbulkan perbedaan dalam aturan adat pengelolaan hutan oleh masyarakat dan Pihak TNGHS. Sehingga kajian mengenai strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS juga perlu dilakukan. Penelitian ini juga memberikan informasi mengenai dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(6)

6 1. Bagaimana garis besar perluasan kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan

Sinar Resmi?

2. Bagaimana persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengenai perluasan kawasan TNGHS?

3. Bagaimana strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS?

4. Bagaimana dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Mengkaji garis besar perluasan kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

2. Mengkaji persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengenai perluasan kawasan TNGHS.

3. Mengkaji strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS.

4. Menganalisis dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.

1.4. Manfaat Penelitian


(7)

7 1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini memberikan tambahan khazanah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai dampak yang ditimbulkan baik itu positif maupun negatif akibat perluasan kawasan TNGHS terhadap Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Penelitian ini juga membuka pikiran mahasiswa dalam menanggapi permasalahan tersebut.

2. Bagi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Penelitian ini memberikan informasi kepada Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengenai dampak yang ditimbulkan dari perluasan kawasan TNGHS terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat.

3. Bagi Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengevaluasi kebijakan yang terkait perluasan kawasan TNGHS ke Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mengakomodir kepentingan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dan pemerintah.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat petani serta sistem pertanian di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Kawasan Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Responden yang diambil adalah Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang tidak memiliki mata pencaharian sampingan sebelum terjadi perluasan kawasan TNGHS.


(8)

8 Pengeluaran usahatani dalam penelitian ini hanya memperhitungkan biaya pupuk. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini hanya memperhitungkan pendapatan usahatani yang bersifat tunai. Adapun usahatani padi yang dilaksanakan oleh Masyarakat Kasepuhan hanya mengeluarkan biaya tunai berupa biaya pupuk, sedangkan biaya lainnya seperti tenaga kerja dan bibit merupakan biaya tidak tunai.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Hutan

Hutan dapat didefinisikan sebagai tempat berupa lahan yang luas yang terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang di dalamnya terdapat ekosistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini setara dengan yang tercantum dalam UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 sebagaimana dikutip Sabara (2006) yang mendefinisikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan juga dapat didefinisikan menurut kepentingan para aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Banyak aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Akan tetapi, dalam banyak kasus pengelolaan hutan, aktor-aktor yang berkepentingan hanya dirumuskan dalam tiga aktor, seperti yang dirumuskan oleh Tadjudin (2000), yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah mendefinisikan hutan sebagai sebuah karunia Tuhan yang dapat dimanfaatkan dan dilestarikan keberadaannya untuk kesejahteraan masyarakat. Berbeda dengan pemerintah, swasta dan pelaku bisnis mengartikan hutan sebagai komoditas yang dapat menghasilkan uang dan keuntungan yang besar. Masyarakat pun memiliki arti tersendiri mengenai hutan. Masyarakat mengartikan hutan sebagai tempat menggantungkan hidup, sistem perekonomian, dan tempat spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan alam, sehingga tercipta keharmonisan antara keduanya.

Hak kepemilikan (property right) adalah klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut. Hak


(10)

10 kepemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick dan Olewiler, 1998). Karakeristik tersebut menyangkut ketersediaan manfaat, kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat eksklusivitas dari hak, dan durasi penegakan hak (enforceability) (Perman et al., 1996). Perlu dicermati bahwa meski hak pemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat mutlak. Hak pemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain dan ketidaklengkapan (incompleteness). Bisa saja kita tidak berhak melakukan penambangan mineral di pekarangan rumah kita, namun pihak lain dapat melakukannya. Ketidaklengkapan hak pemilikan disebabkan oleh mahalnya biaya enforcement. Jika hutan ditebang oleh penebangan illegal, hak Negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya mengawasi hutan tersebut dan melakukan penegakan hukum atas tindakan illegal tersebut (Fauzi, 2006)

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa di dalam sumber daya alam, sebagaimana dijelaskan oleh Bromley (1989) antara sumber daya (resource) dan rezim pemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan dengan jelas. Satu sumberdaya bisa saja mempunyai berbagai hak pemilikan. Hak pemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari (Gibb and Bromley, 1989) : 1. State property dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah

2. Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi)

3. Common property atau Communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama.


(11)

11 Suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak pemilikan. Sumberdaya seperti ini dikatakan sebagai open acces (Grima dan Barkes, 1989). Dengan pemahaman di atas, perbedaan antara hak pemilikan dan akses terhadap sumberdaya semakin jelas.

Dengan mengambil dua contoh tipe akses yang berbeda, yakni akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access), maka secara umum ada empat kemungkinan kombinasi antara hak pemilikan dan akses yang digambarkan dengan garis penuh.

1. Tipe pertama adalah tipe dimana hak pemilikan berada pada komunal atau Negara dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari.

2. Tipe kedua adalah dimana sumberdaya dimiliki secara individu (privat) dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari. 3. Tipe ketiga adalah kombinasi anatara hak pemilikan komunal dan akses yang

terbuka. Tipe inilah yang dalam perspektif Hardin (1968) akan melahirkan “the tragedy of the common”. Tragedy terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumberdaya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna

4. Tipe keempat adalah kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka (garis putus). Pengelolaan sumberdaya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis.


(12)

12 Kepemilikan hutan oleh Negara atau pemerintah, menurut Tadjudin (2000) menggunakan rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia yang berdasarkan kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh Negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya merupakan barang publik, maka Negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik Negara, yang pengelolaannya diatur oleh Negara. Peran Negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumberdaya hutan juga diatur oleh pemerintah.

Kepemilikan hutan oleh swasta, hanya sebatas pada hak akses atas sumberdaya hutan. Hak akses ini terdistribusi baik dalam hak milik individual maupun kelompok. Dalam UU Pokok Kehutanan dan peraturan perundang-undangan yang membawahinya, hak akses atas swasta hanya terbatas pada hak penguasaan terhadap sumberdaya hutan, bukan hak memiliki. Terdapat kekuasaan yang besar bagi para pemiliknya dalam mengelola sumberdaya hutan dengan berorientasi pemanfaatan fungsi hutan secara intensif.

2.2. Konservasi Sumberdaya Hutan

Konservasi sumberdaya alam pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan serta pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan bijaksana agar dapat digunakan secara berkelanjutan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wiratno et al. (2004) yang mengemukakan bahwa konservasi adalah pengelolaan kehidupan alam oleh manusia, guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara


(13)

13 berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Konsep konservasi modern yaitu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini didasarkan adanya dua kebutuhan: 1) kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat, dan 2) kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Berdasarkan definisi International Union for Conservation of Nature and Nature Species (IUCN), kawasan konservasi merupakan kawasan daratan dan/atau perairan yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pelestarian kenanekaragaman hayati sumberdaya alam dan budaya (Safitri, 2006)

Sumberdaya alam yang sulit tergantikan karena keberadaannya terbatas membuat Pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dengan tujuan mewujudkan kelestarian sumberdaya alam serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat sekaligus menetapkan hukuman bagi pelanggarnya. Lee et al. (2001) mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan terpenting yang mempengaruhi munculnya konservasi di Indonesia, selain UU No. 5 Tahun 1990 terdapat pula Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan (menggantikan UU No. 5 Tahun 1967) yang memberikan beberapa perubahan dalam kerangka hukum bagi kehutanan salah satunya dengan memberi ketentuan bagi pengelolaan kawasan oleh masyarakat. Undang-undang No 41 Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa peraturan konservasi masih berwenang pemerintah pusat. Adapula Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), dan Keputusan Menteri (Kepmen) yang mengatur berbagai aspek pengelolaan


(14)

14 pelestarian. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut yaitu: PP No. 15 Tahun 1984, PP No. 28 Tahun 1985, PP No. 18 Tahun 1994, PP No. 68 Tahun 1998, Kepres No. 43 Tahun 1978, dan peraturan lainnya yang terkait dengan pengelolaan pelestarian alam.

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal konservasi dipengaruhi pula oleh konferensi-konferensi internasional. Wiratno et al. (2004) menyebutkan ada dua konferensi penting yang mempengaruhi kebijakan konservasi di Indonesia. Pertama, World Conservation Strategy tahun 1980, yang menghasilkan sebuah arahan konsep konservasi dunia dengan menghasilkan buku yang berjudul “World Conservation Strategy”. Kedua, Kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung Sedunia ke-III di Bali tahun 1982, yang menghasilkan pembangunan taman nasional di Indonesia sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi.

2.3. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 menerangkan tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) yang luasnya 40.000 hektar berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas kawasan 113.357 hektar. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS).

Wilayah kerja BTNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11


(15)

15 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari 108 desa yang ada di TNGHS terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survei kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.

Kawasan TNGHS dihuni oleh Masyarakat Kasepuhan yang secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sinar Resmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal. Masyarakat Kasepuhan memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas pemanfaatan dan tingkat perlindungannya, yaitu: leuweung titipan (hutan titipan), leuweung tutupan (hutan tutupan) dan leuweung sampalan (hutan bukaan). Mereka memiliki pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman dan tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik Padi (Oryza sativa) lokal. Pada saat ini sebagian anggota Masyarakat Kasepuhan mulai meninggalkan kearifan tradisional yang mereka miliki akibat dinamika proses sosial yang terjadi (TNGHS, 2007)

Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS cenderung rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga miskin.


(16)

16 Secara umum jumlah rumahtangga miskin masyarakat di dalam dan di sekitar TNGHS dalam wilayah Kabupaten Sukabumi berjumlah 15.699 rumahtangga atau 10% dari jumlah rumahtangga (data tahun 2006, tidak termasuk Desa Cianaga). Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah berlangsung sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting antara lain pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian dan pembangunan infrastruktur (TNGHS, 2007).

2.4. Masyarakat Sekitar Hutan

Masyarakat hutan adalah masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan, yang kehidupan ekonomi, sosial dan budayanya tergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Masyarakat disini tidak sekedar dipandang sebagai tujuan untuk rumahtangga yang dalam konsep ekonomi ditetapkan sebagai sosok yang memiliki fungsi tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya (Tadjudin, 2000)

Menurut Suharjito (2003), masyarakat lokal adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hutan dan bergantung kepada hutan untuk memenuhi kehidupannya (ekonomi, politik, religius dan lainnya). Kelompok masyarakat ini dapat berupa kumpulan beberapa keluarga atau rumahtangga yang membentuk unit kampung kecil, satu unit desa ataupun istilah lainnya sesuai dengan bahasanya (misalnya Gampong atau Mukim di Aceh; Silimo pada masyarakat Dani di Irian Jaya) sebagai satu kesatuan kehidupan. Masyarakat bukan hanya kumpulan keluarga atau rumah tangga, melainkan ia sebagai satu kesatuan unit


(17)

17 sosio kultural, yakni membangun sistem sosio kultural, tata nilai, norma, aturan, dan pola-pola hubungan sosialnya untuk mencapai tertib sosial (social code).

Masyarakat di sekitar taman nasional merupakan masyarakat tradisional kasepuhan. Masyarakat tersebut memiliki pola kehidupan yang sangat unik dan kearifan lokal untuk mengelola kawasan hutan di sekelilingnya selama puluhan tahun.

2.5. Masyarakat Adat

Keberadaan masyarakat adat hampir tersebar di semua daerah dan Negara termasuk Indonesia. Menurut Sangaji dalam Ningrat (2004) masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memilki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Pengertian ini juga serupa dengan apa yang dikemukakan Durning dalam Mitchell yang dikutip oleh Ansaka (2006) yang menyebutkan lima definisi masyarakat adat, antara lain 1) merupakan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat, 2) sekelompok orang yang memiliki bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang berbeda dengan kelompok yang lebih dominan, 3) selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, 4) merupakan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, dan 5) masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambil keputusan melalui kesepakatan serta pengelolaan sumberdaya secara kelompok.

Masyarakat adat kasepuhan juga termasuk masyarakat tradisional, seperti yang dikemukakan oleh Suhandi dalam Ningrat (2004) yang mencirikan masyarakat tradisional sebagai berikut:


(18)

18 1. Hubungan atau ikatan masyarakat desa dengan tanah sangat erat

2. Sikap hidup dan tingkah laku yang magis religius 3. Adanya kehidupan gotong royong

4. Memegang tradisi dengan kuat 5. Menghormati para sesepuh

6. Kepercayaan pada pimpinan lokal dan tradisional 7. Organisasi kemasyarakatan yang relatif statis 8. Tingginya nilai sosial

Menurut pengertian di atas, Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang mengidentifikasikan diri mereka menjadi masyarakat adat memang termasuk dalam kriteria yang sudah dijelaskan. Seperti yang dipaparkan oleh salah satu tokoh adat kasepuhan yang mendefinisikan Masyarakat Kasepuhan sebagai suatu kelompok masyarakat yang mempunyai asal-usul sejarah yang jelas, berdiam di suatu wilayah geografis tertentu, mempunyai sistem, budaya, politik, sosial, ekonomi, hukum adat, tata nilai, kelembagaan, warga adat, perangkat adat, dan peradilan adat.

2.6. Persepsi

Ma’rat (1981) dalam Zulfarina (2003) mendefinisikan persepsi sebagai proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya. Manusia mengamati suatu objek psikologik ini dapat berupa kejadian, ide atau situasi tertentu.

Adapun persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (1999) adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh


(19)

19 informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Adapun alat untuk memahaminya, yaitu kesadaran kognisi. Dalam persepsi sosial ada dua hal yang ingin diketahui, yaitu keadaan dan perasaan orang lain saat ini, di tempat ini komunikasi non lisan (kontak mata, busana, gerak tubuh dan lain sebagainya) atau lisan dan kondisi yang lebih permanen yang ada di balik segala yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab kondisi saat ini. Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa berbeda dari persepsi pada umumnya, persepsi sosial sangat menggantungkan diri pada komunikasi. Persepsi seseorang tentang sesuatu sangat tergantung pada komunikasi yang terjadi antara keduanya.

Adapun perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya disebabkan oleh lima faktor. Kelima faktor tersebut antara lain: (1) Perhatian (rangsangan yang ada di sekitar kita tidak ditangkap sekaligus, tetapi hanya difokuskan pada beberapa objek saja. Perbedaan fokus antara satu orang dengan orang lainnya akan menyebabkan perbedaan persepsi); (2) Set (harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul misalnya seorang pelari siap di garis start terdapat set bahwa akan terdengar pistol di saat ia harus berlari; (3) Kebutuhan (kebutuhan-kebutuhan sesaat atau yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut; (4) Sistem nilai seperti adat istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsi; dan (5) Ciri kepribadian misalnya: watak, karakter dan kebiasaan yang mempegaruhi pula persepsi.

Adapun menurut Gandadiputera (1983) dalam Illahi (2000), persepsi masyarakat terhadap lingkungan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, budaya


(20)

20 dan pendidikan. Pengetahuan hasil proses belajar sebelumnya, aktivitas dan pengalaman individu mempengaruhi persepsinya terhadap sesuatu atau stimulus yang diharapkan

Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau penyaringannya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi pengalaman masa silam yang memegang peranan penting (Asangari 1984 dalam Zulfarina 2003)

2.7. Pendapatan Usahatani

Menurut Soekartawi (2002), usahatani adalah setiap kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi di lapangan pertanian. Usahatani terdiri dari empat unsur pokok yaitu tanah, tenaga kerja, modal, serta pengelolaan. Usahatani memiliki dua tujuan yaitu memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin, untuk memperoleh keuntungan maksimum, sedangkan konsep meminimumkan biaya berarti bagaimana menekan biaya produksi pada tingkat sekecil-kecilnya dalam suatu proses produksi.

Secara umum pendapatan usahatani adalah penerimaan-penerimaan usahatani dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 1986). Pendapatan dapat pula diartikan sebagai balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi. Balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut dapat dipilih misalnya satu musim atau satu tahun.


(21)

21 Berkaitan dengan ukuran pendapatan dan keuntungan, Soekartawi et al (1986) mengemukakan beberapa definisi yaitu:

1. Penerimaan tunai usahatani (farm receipt) merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani.

2. Pengeluaran usahatani (farm payment) merupakan jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

3. Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow) merupakan selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani.

4. Penerimaan kotor usahatani (gross return) merupakan total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.

5. Pengeluaran total usahatani (total farm expenses) merupakan nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi termasuk biaya-biaya yang diperhitungkan.

6. Pendapatan bersih usahatani (net farm income) merupakan selisih antara penerimaan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani.

Analisa pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani maupun pemilik faktor produksi. Terdapat dua tujuan utama dalam analisis pendapatan yaitu dapat menggambarkan keadaan sekarang dan keadaan yang akan datang dari perencanaan usahatani. Analisis pendapatan berguna untuk mengukur apakah kegiatan usahatani pada saat ini berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan sukses apabila pendapatannya memenuhi syarat sebagai berikut (Soekartawi, 2002) :


(22)

22 1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkut dan biaya administrasi yang mungkin melekat pada pembelian tersebut.

2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi

3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang disewa

Pendapatan usahatani mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan memberikan kepuasan bagi petani untuk melanjutkan kegiatannya sehari-hari dan memberikan kepuasan bagi petani utnuk melanjutkan kegiatannya (Soekartawi, 2002). Dengan demikian, pendapatan usahatani yang didapat akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan cara penggunaannya menentukan taraf hidup petani.

2.8. Penelitian Terdahulu

Dari hasil penelitian Suharni (2010) yang berjudul “ Studi Sosial Ekonomi dan Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Hutan Tanaman Pola Kemitraan (HTPK) PT Arara Abadi Provinsi Riau” didapatkan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Lubuk Keranji Timur Riau sebelum adanya rencana pembangunan hutan tanaman pola kemitraan (HTPK) pada umumnya adalah baik. Rata-rata pendapatan per kapita masyarakat desa lebih tinggi dari nilai standar garis kemiskinan Sajogyo (Rp. 2.240.000). Hubungan sosial antara masyarakat desa sekitar Hutan Tanaman Pola Kemitraan (HTPK) dan perusahaan secara umum juga berjalan dengan baik. Persepsi Responden terhadap keberadaan Hutan Tanaman Pola Kemitraan (HTPK) menurut skala Likert adalah sedang. Artinya, masyarakat masih ragu untuk menjalankan kemitraan bersama


(23)

23 perusahaan karena belum ada sosialisasi lebih lanjut mengenai keberadaan HTPK maupun rencana pembangunan HTPK bersama masyarakat. Sedangkan persepsi terhadap keberadaan hutan secara umum dapat memberikan manfaat yang nyata bagi kehidupan masyarakat. Penelitian ini tidak mengkaji pendapatan masyarakat sebelum rencana pembangunan HTPK dan perkiraan pendapatan setelah adanya pembangunan HTPK.

Adapun Nurhaeni (2009) dalam penelitian yang berjudul “Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan. Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak Desa Cirompang, Kec.Sobang, Kab.Lebak, Jawa Barat” mengemukakan bahwa Aksesibilitas masyarakat terhadap hutan saat ini memang terbilang lemah. Masyarakat tidak lagi melakukan penebangan pohon untuk keperluan sehari-hari. Masyarakat hanya menanami lahan garapannya dengan buah-buahan serta tidak mengkonversikannya menjadi areal persawahan. Luas lahan garapan di Desa Cirompang mengalami penurunan akibat penunjukan areal konservasi di lahan garapan mereka. Hal ini berimplikasi terhadap penurunan pendapatan Masyarakat Desa Cirompang.

Amandha (2006) melakukan penelitian yang berjudul “Perubahan Pemanfaatan Hasil Hutan Akibat Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Studi Kasus di Desa Ciasihan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor”. Berdasarkan hasil penelitian tertutupnya akses masyarakat ke hutan menyebabkan menurunnya tingkat pendapatan masyarakat Desa Ciasihan dimana setelah penutupan akses sebesar 33,33% memiliki tingkat pendapatan antara Rp 500.000– Rp 800.000; 30% memiliki tingkat pendapatan antara Rp 250.000-Rp 500.000; dan 16,67% memiliki tingkat pendapatan > Rp 1.200.000.


(24)

24 Aprianto (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Komparasi Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dengan Aturan Formal Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak”. Berdasarkan hasil penelitian, kearifan tradisional masyarakat adat membagi pengelolaan hutan atas perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan hutan. Masyarakat Kasepuhan membagi hutan atas hutan tutupan, hutan titipan, dan hutan garapan. Pengelolaan hutan dengan memanfaatkan kearifan tradisional merupakan bentuk pengelolaan hutan yang bijak. Permasalahan adanya masyarakat adat dalam Taman Nasional adalah bagaimana memperlakukan masyarakat adat secara terintregasi dalam pengelolaan Taman Nasional. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pengelolaan hutan oleh Masyarakat Kasepuhan dengan pihak TNGHS. Perbedaan tersebut terjadi dalam pengelolaan hutan di lahan garapan. Masyarakat Kasepuhan membersihkan hutan untuk digunakan sebagai lahan garapan dengan membakar dan menebang kayu. Kayu yang ditebang digunakan untuk kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar. Kegiatan ini bagi Masyarakat Adat merupakan adat-istiadat. Tetapi Pihak TNGHS menganggap kegiatan tersebut melanggar hukum konservasi.

2.9. Kebaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki persamaan dan juga kebaruan dibandingkan penelitian Suharni (2010), Nurhaeni (2009) dan Amandha (2006). Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suharni (2010) yaitu dalam penggunaan metode analisis pendapatan dan analisis persepsi, sedangkan perbedaannya terletak pada rumusan masalah dan kajian pendapatan, dimana penelitian Suharni (2010) menganalisis dampak rencana pembangunan HTPK (Hutan Tanaman Pola


(25)

25 Kemitraan) terhadap kondisi sosial ekonomi. Adapun penelitian ini menganalisis dampak perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terhadap kondisi sosial ekonomi. Selain itu, Penelitian Suharni (2010) hanya mengkaji pendapatan sebelum rencana pembangunan HTPK. Adapun penelitian ini mengkaji pendapatan sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS.

Adapun penelitian Nurhaeni (2009) menganalisis implikasi penunjukan kawasan konservasi dengan metode analisis deskriptif terkait perubahan akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Nurhaeni (2009) yaitu dalam rumusan masalah yaitu mengkaji dampak perluasan kawasan TNGHS. Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian Nurhaeni (2009) adalah dalam metode analisis dan pemilihan lokasi.

Adapun penelitian ini dengan penelitian Amandha (2006) memiliki persamaan yaitu rumusan masalah yang mengkaji dampak perluasan kawasan TNGHS. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Amandha (2006) terletak pada analisis pendapatan dan pemilihan objek penelitian. Penelitian Amandha (2006) hanya mengkaji pendapatan masyarakat setelah terjadi perluasan kawasan TNGHS dan objek penelitian yang dipilih adalah masyarakat lokal. Adapun penelitian ini mengkaji pendapatan sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS serta objek penelitian yang dipilih adalah masyarakat adat.

Selanjutnya, penelitian Aprianto (2008) mengkaji komparasi kearifan lokal Masyarakat Kasepuhan dengan aturan formal Pihak TNGHS. Adapun penelitian ini mengkaji pendapatan sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS. Persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 1.


(26)

26 Tabel 1. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian “Analisis Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian Sebelumnya Persamaan Perbedaan

1. Suharni (2010) Metode analisis

pendapatan dan metode analisis persepsi

Rumusan masalah dan pemilihan lokasi 2. Nurhaeni (2009) Rumusan masalah Metode analisis dan

pemilihan lokasi 3. Amandha (2006) Rumusan masalah Metode analisis dan

pemilihan lokasi 4. Aprianto (2006) Objek penelitian Rumusan masalah

Sumber : Penulis (2011)


(27)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi landasan teori yang menjadi dasar dalam menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang diuraikan meliputi konsep dasar dari pendapatan rumah tangga, persepsi, strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian, dampak perluasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi. Selain itu, berisi penjelasan mengenai keterkaitan antara keempat tujuan penelitian.

3.1.1. Pendapatan Usahatani

Usahatani adalah sebagian dari kegiatan di permukaan bumi dimana seorang petani, sebuah keluarga atau manajer yang digaji bercocok tanam atau memelihara ternak. Petani yang berusaha tani sebagai suatu cara hidup, melakukan pertanian karena dia seorang petani. Apa yang dilakukan petani ini hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Dalam arti petani meluangkan waktu, uang serta dalam mengkombinasikan masukan untuk menciptakan keluaran adalah usahatani yang dipandang sebagai suatu jenis perusahaan (Maxwell, 1974 dalam Soekartawi, 2002). Pengelolaan usahatani yang efisien akan mendatangkan pendapatan yang positif atau suatu keuntungan, usahatani yang tidak efisien akan mendatangkan suatu kerugian. Usahatani yang efisien adalah usahatani yang produktivitasnya tinggi. Penerimaan petani pada dasarnya dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :

a. Penerimaan kotor yaitu penerimaan yang berasal dari penjualan hasil produksi usahatani. Perhitungan penerimaan kotor ini diperoleh dari perkalian


(28)

28 hasil produksi dengan harga jualnya. Dalam notasi dapat ditulis sebagai berikut :

TR = P.Q

Dimana :

TR = penerimaan kotor (Rp) Q = jumlah produksi (unit) P = harga produksi (Rp/unit)

b. Penerimaan bersih yaitu penerimaan yang berasal dari penjualan hasil produksi usahatani setelah dikurangi biaya total yang dikeluarkan. Dalam notasi dapat dituliskan sebagai berikut :

π = TR – TC Dimana :

Π = pendapatan (Rp) TR = penerimaan kotor (Rp)

TC = Biaya total yang dikeluarkan (Rp)

3.1.2. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Pengetahuan yang terbatas mengenai perluasan kawasan TNGHS menyebabkan persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap keduanya menjadi berbeda. Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Persepsi merupakan proses yang terjadi dalam diri individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya.


(29)

29 Menurut Calhoun dan Acocella (1990), persepsi memiliki tiga dimensi yang menandai konsep diri, yaitu:

1. Pengetahuan merupakan apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain-wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan, motif dan sebagainya.

2. Pengharapan merupakan gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau melakukan apa yang dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa.

3. Evaluasi merupakan kesimpulan kita tentang seseorang didasarkan pada bagaimana seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi pengharapan kita tentang dia.

3.1.3. Strategi Adaptasi Kelembagaan Lokal Sistem Pertanian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Akibat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Persepsi masyarakat adat yang berbeda mengenai perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan perubahan strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat adat terkait dengan kelembagaan lokal sistem pertanian. Studi yang dilakukan oleh Natawijaya et al. (2009) menunjukkan bahwa yang menghambat inisiatif strategi adaptasi adalah kurangnya pengetahuan informasi yang jelas tentang perluasan kawasan TNGHS. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat adat seringkali berbeda dengan inisiatif pemerintah. Hal ini yang menyebabkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat. Konflik terjadi karena kurangnya konsultasi strategi adaptasi pemerintah terhadap masyarakat. Selain itu, pemerintah kurang mengkomunikasikan perluasan kawasan TNGHS kepada masyarakat adat. Masyarakat adat menganggap pemerintah telah


(30)

30 melakukan tindakan sewenang-wenang tanpa memperdulikan hak masyarakat adat dalam mengelola lingkungan hidup mereka. Perluasan kawasan TNGHS telah merubah kelembagaan lokal yang turun-temurun dilakukan oleh mereka terutama dalam sistem pertanian.

3.1.4. Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat adat terkait perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan perubahan kelembagaan lokal sistem pertanian mereka. Hal tersebut mengakibatkan perubahan kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kondisi ekonomi ditandai dengan perubahan produksipertanian masyarakat adat. Penelitian kali ini untuk mengetahui seberapa besar perubahan produksi pertanian masyarakat adat dan pendapatan masyarakat adat sebagai akibat perluasan kawasan TNGHS.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kasepuhan Sinar Resmi merupakan salah satu masyarakat adat yang tinggal di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Masyarakat adat di Kasepuhan Sinar Resmi disebut sebagai Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Sistem pertanian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sebagai salah satu kelembagaan lokal telah mengalami perubahan. Informasi dan pengetahuan yang tidak sempurna mengenai perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan strategi adaptasi kelembagaan lokal terkait sistem pertanian yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengalami perubahan. Selain itu, perluasan kawasan TNGHS juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.


(31)

31 Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini merupakan keterkaitan antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian. Tujuan pertama, kedua, dan ketiga dari penelitian dilakukan melalui metode survei dengan unit analisis rumah tangga masyarakat adat. Kajian mengenai gambaran umum perluasan kawasan TNGHS bertujuan untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai perluasan kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kajian mengenai persepsi masyarakat adat bertujuan untuk mengetahui sejauh mana masyarakat adat memahami perluasan kawasan TNGHS. Kajian mengenai strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian bertujuan untuk mengidentifikasi strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat adat akibat perluasan kawasan TNGHS. Strategi tersebut dilihat dari sejauh mana masyarakat adat merespon perluasan TNGHS serta upaya apa saja yang telah dilakukan oleh masyarakat adat untuk mempertahankan kelangsungan sistem pertanian mereka yang sudah turun-temurun.

Tujuan keempat dari penelitian adalah mengetahui kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS. Kondisi ekonomi dikaji dengan mengestimasi perubahan produksi pertanian di Kasepuhan Sinar Resmi. Adapun kondisi sosial dikaji dengan menganalisis hubungan sosial Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan pihak TNGHS terkait dengan konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan TNGHS. Selanjutnya dari hasil penelitian dirumuskan rekomendasi bagi para stakeholder dalam mengatasi dampak perluasan kawasan TNGHS. Khususnya, terhadap kelembagaan lokal sistem pertanian. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka alur kerangka berpikir terkait dengan rencana penelitian tersaji pada Gambar 1.


(32)

32 Sumber : Penulis (2011)

Gambar 1. Diagram Alur Bepikir Isu Perubahan Iklim Perluasan kawasan

TNGHS

Dampak Perluasan Kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

1. Gambaran Umum Perluasan Kawasan TNGHS -Analisis deskriptif 2. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Mengenai Perluasan Kawasan TNGHS -Analisis persepsi dengan rataan skor

3. Strategi Adaptasi Kelembagaan Lokal Sistem Pertanian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi -Analisis deskriptif

4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Akibat Perluasan Kawasan TNGHS -Pendapatan Bersih Total -Analisis Tingkat Kesejahteraan Saran/Implikasi Kebijakan Penebangan liar di


(33)

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan data untuk keperluan penelitian dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kasepuhan Sinar Resmi merupakan salah satu Kawasan Masyarakat Adat yang terkena dampak perluasan kawasan TNGHS. Selain itu Kasepuhan Sinar Resmi adalah kasepuhan yang terbesar diantara kasepuhan lainnya di Desa Sirna Resmi. Penelitian dilakukan selama empat bulan. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan Agustus 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden melalui kuesioner. Data primer meliputi data mengenai persepsi, strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian, pendapatan serta data lainnya yang diperlukan dalam penelitian. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur dari instansi terkait (TNGHS dan Kantor Kepala Desa Sirna Resmi) dan literatur-literatur yang relevan dengan penelitian.

4.3. Metode Pengambilan Contoh

Terdapat dua subjek dalam penelitian ini yaitu informan dan responden. Informan adalah seseorang yang dapat menjelaskan dan memberikan keterangan atau gambaran mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkungannya.


(34)

34 Adapun informan yang diambil adalah instansi terkait dalam penelitian ini seperti Pihak TNGHS, Ketua Kasepuhan Sinar Resmi dan Sekretaris Kasepuhan Sinar Resmi. Banyaknya informan disini tidak dibatasi, akan tetapi informan tersebut sudah memberikan informasi yang relevan dan dapat membantu peneliti dalam menjawab perumusan masalah dalam penelitian ini. Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik bola salju (snowball sampling) secara sengaja (purposive).

Penelitian menganalisis responden dengan unit rumahtangga. Hal ini dikarenakan rumahtangga memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dan penentuan pengalokasian sumberdaya. Responden adalah pihak yang dapat memberikan keterangan atau informasi mengenai dirinya sendiri. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang berada disekitar kawasan perluasan TNGHS Desa Sirna Resmi yang mengelola lahan garapan di dalam kawasan TNGHS. Pengambilan sampel (responden) dilakukan dengan purposive sampling dengan metode (non-probability sampling). Pada teknik ini tidak semua individu dalam populasi diberi peluang yang sama untuk dijadikan anggota sampel. Pengambilan sampel dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Kampung Cimapag, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Responden diambil sebanyak 30 rumahtangga petani dari 80 rumahtangga petani Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag.

4.4. Metode dan Prosedur Analisis

Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan kuesioner. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft


(35)

35

Office Excel 2007. Data yang digunakan dalam kajian mengenai persepsi, strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian, pendapatan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi adalah data primer. Sedangkan data mengenai gambaran umum perluasan kawasan TNGHS adalah data sekunder. Berikut ini matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian (Tabel 2).

Tabel 2. Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data MetodeAnalisis

Data 1. Mengkaji garis besar perluasan

kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Data sekunder Analisis Deskriptif

2. Mengkaji persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengenai perluasan kawasan TNGHS

Data primer Analisis Deskriptif

3. Mengkaji strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS

Data primer Analisis Deskriptif

4. Menganalisis dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Data primer Analisis Pendapatan (Dampak Ekonomi) Analisis Deskriptif (Dampak Sosial)

4.4.1. Garis Besar Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Analisis deskriptif digunakan untuk mengkaji garis besar perluasan kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang meliputi beberapa parameter yang bersifat kualitatif. Analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan


(36)

36 secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta antar fenomena yang diselidiki.

Tabel 3 menjelaskan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam mengkaji garis besar perluasan kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.

Tabel 3. Matriks Analisis Garis Besar Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Parameter Analisis

1. Riwayat Perluasan Kawasan TNGHS 2. Aktor yang terlibat

dalam perluasan kawasan TNGHS 3. Alasan dilakukan perluasan kawasan TNGHS

4. Dampak perluasan kawasan TNGHS

5. Implementasi kebijakan perluasan kawasan TNGHS

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji riwayat umum dalam perluasan kawasan TNGHS

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengidentifiksi stakeholder yang terlibat dalam perluasan kawasan TNGHS

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji latar belakang munculnya peraturan perluasan kawasan TNGHS

Analisis dilakukan secara deskriptif mengenai dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Hal tersebut juga terkait konflik yang terjadi antara pihak TNGHS dan

masyarakat serta bagaimana penyelesainnya Analisis dilakukan secara deskriptif terkait apa saja implementasi dari kebijakan perluasan kawasan TNGHS terhadap Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Perluasan kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi pada dasarnya merupakan penjabaran dari indikator pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan secara umum. Hal tersebut diaplikasikan dalam bentuk perluasan kawasan TNGHS dari 40.000 Ha menjadi 113.357 Ha di Provinsi Jabar dan Banten. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi saat ini tidak dapat lagi mengolah lahan yang sudah dikelola sejak turun-temurun. Hal ini dikarenakan


(37)

37 lahan tersebut sudah dikuasai dan dilarang oleh TNGHS untuk digunakan masyarakat.

Pihak TNGHS mengarahkan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi untuk memperbaiki sistem pertanian ladang berpindah atau sering disebut huma dengan sistem pertanian sawah menetap. Hal ini disebabkan oleh tindakan masyarakat adat yang dinilai oleh pihak pemerintah telah merusak hutan dengan membuka hutan secara bebas untuk kegiatan pertanian mereka.

4.4.2. Persepsi Mengenai Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Perolehan data persepsi dilakukan dengan mewancarai 30 responden yang dipilih secara sengaja. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis persepsi dengan rataan skor. Metode ini mengenali indikator utama dalam perluasan kawasan TNGHS. Indikator mengenai perluasan kawasan TNGHS meliputi persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan persepsi mengenai perluasan kawasan TNGHS.

Bobot nilai jawaban responden pada kuesioner adalah dengan Skala Likert yang diberi secara kuantitatif dari 1 sampai 5. Cara penilaian terhadap hasil jawaban responden dengan Skala Likert dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4. Bobot Nilai Jawaban Responden Jawaban Responden Bobot nilai

Sangat setuju 5

Setuju 4

Cukup Setuju 3

Tidak Setuju 2

Sangat Tidak Setuju 1

Untuk mengambil kesimpulan pada setiap variabel digunakan rata-rata dari setiap indikator. Nilai rata-rata tersebut diperoleh dari penjumlahan hasil kali


(38)

38 total responden pada masing-masing skor dengan skornya, kemudian dibagi dengan jumlah total responden secara keseluruhan. Rumus yang digunakan untuk mencari rataan skor tersebut adalah:

Sumber: Nazir (2002)

Dimana:

Rs =Rata-rata

n =Responden yang memilih skor trertentu s1 =Bobot skor

N =Jumlah Total Responden

Interpretasi selanjutnya diperoleh dengan mencari nilai skor rataan dengan rumus:

Sumber : Nazir (2002)

Dimana:

m =jumlah alternatif jawaban tiap item

Penelitian ini menggunakan Skala Likert dari 1 sampai 5 sehingga nilai skor rataan yang diperoleh menjadi:

Sumber : Nazir (2002)

Berdasarkan nilai skor rataan tersebut, maka posisi keputusan penilaian memiliki rentang skala yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Skor Rataan

Skor Rataan Jawaban Responden Interpretasi Hasil 1,00 – 1,80 Sangat tidak setuju Sangat Buruk 1,81 – 2,60 Tidak Setuju Buruk

2,61 – 3,40 Cukup Setuju Cukup Baik

3,41 – 4,20 Setuju Baik


(39)

39 Berikut adalah matriks analisis persepsi dalam penelitian (Tabel 6).

Tabel 6. Matriks Analisis Persepsi

Parameter Analisis

1. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan

2. Persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak 3. Persepsi mengenai

perluasan kawasan TNGHS

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji indikator kepentingan dan hubungan masyarakat dengan keberadaan hutan

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji indikator hubungan antara

masyarakat dengan TNGHS

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji pengetahuan masyarakat akan

perluasan kawasan TNGHS, penerimaaan akan perluasan kawasan TNGHS, perubahan sistem pertanian ladang berpindah menjadi pertanian menetap, penerimaan masyarakat akan

distribusi benih

4.4.3. Strategi Adaptasi Kelembagaan Lokal Sistem Pertanian

Perluasan kawasan TNGHS terhadap Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi menyebabkan pergeseran kelembagaan lokal terutama bidang pertanian yang telah turun temurun disepakati dan dilaksanakan. Sehingga strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian juga perlu diperhatikan. Adaptasi pada dasarnya membantu masyarakat adat agar lebih tangguh dalam menghadapi perubahan. Adaptasi terhadap sistem pertanian memiliki hubungan yang sangat penting terhadap kondisi pertanian masyarakat adat.

Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian yang dilakukan oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS. Unsur-unsur yang dikaji meliputi aturan adat waktu tanam padi, menanam padi dan pascapanen padi. Berikut adalah matriks analisis strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian (Tabel 7)


(40)

40 Tabel 7. Matriks Analisis Strategi Adaptasi Kelembagaan Lokal Sistem

Pertanian

Parameter Analisis

1. Aturan adat waktu tanam padi

2. Aturan adat dalam menanam padi

3. Aturan adat dalam pascapanen padi

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji penggunaan benih

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji penggunaan huma dalam

menanam padi serta pelaksanaan ritual dalam penggarapan lahan

Analisis dilakukan secara deskriptif dalam perlakuan terhadap padi setelah panen

4.4.4. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Akibat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat adat akibat perluasan kawasan TNGHS berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi dicirikan dengan perubahan produktifitas dan analisis kesejahteraan. Kondisi sosial dicirikan dengan hubungan masyarakat adat dengan pihak TNGHS.

4.4.4.1. Kondisi Ekonomi

Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat adat akibat perluasan kawasan TNGHS berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi. Kondisi ekonomi masyarakat adat akibat perluasan kawasan TNGHS dicirikan dengan produktifitas pertanian dan analisis kesejahteraan. Unsur-unsur yang dianalisis meliputi karakteristik responden, informasi lahan, data pengeluaran dan data pendapatan.

Berikut adalah matriks analisis kondisi ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS (Tabel 8)


(41)

41 Tabel 8. Matriks Analisis Kondisi Ekonomi

Parameter Analisis

1. Karakteristik responden 2. Informasi lahan

3. Data pengeluaran

4. Data pendapatan

Analisis dilakukan secara deskriptif terhadap usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan.

Analisis dilakukan secara deskriptif terhadap luas kepemilikan lahan, status lahan, panen dalam setahun.

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji pengeluaran untuk pengelolaan lahan garapan terdiri dari upah tenaga kerja, biaya pupuk dan penyediaan bibit.

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji pendapatan

1. Pendapatan Rumah Tangga Responden

Pada penelitian ini, pendapatan rumah tangga responden dianalisis berdasarkan mata pencaharian. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa sampel yang diambil mewakili (representatif) sesuai dengan sebaran kondisi perekonomian masyarakat. Sebagian besar mata pencaharian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sirna Resmi adalah petani.

a. Pendapatan Usaha Tani (PUT) PUT =Y-(X1-...-Xn)

Sumber : Sajogyo (1996) Dimana :

Y =Pendapatan kotor (Rp)

X1-Xn =Pengeluaran-pengeluaran untuk kegiatan pengelolaan lahan (Rp)

b. Pendapatan Non Usaha Tani (PN), pendapatan yang diperoleh dari kegiatan luar usaha tani misalnya berdagang, gaji yang diperoleh dari wiraswasta dan pertukangan.

c. Pendapatan Bersih Total (PBT), yaitu : PBT =PUT+PN


(42)

42 Sumber : Sajogyo (1996)

Dimana:

PBT =Pendapatan Bersih Total (Rp)

2. Kontribusi Pendapatan Usahatani (PUT) terhadap Pendapatan Bersih Total (PBT) Sebelum dan Sesudah Perluasan TNGHS

Untuk mengetahui kontribusi pendapatan usahatani terhadap pendapatan bersih total petani dihitung menggunakan rumus :

Dimana :

%PUT = Persentase pendapatan dari kegiatan pengelolaan lahan garapan terhadap total pendapatan

PUT = Pendapatan dari pengelolaan lahan garapan (Rp)

PN = Pendapatan dari luar kegiatan pengelolaan lahan garapan (Rp) 3. Analisis Tingkat Kesejahteraan

Penelitian ini menggunakan kriteria garis kemiskinan Sajogyo untuk mengetahui taraf kesejahteraan. Berdasarkan kriteria garis kemiskinan Sajogyo, kemiskinan adalah keadaan dimana pendapatan per kapita kurang dari nilai uang setara 480 kg beras di perkotaan, dan 320 kg beras di pedesaan (Sajogyo, 1996). Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan antara pendapatan per kapita responden dengan hasil perhitungan dengan acuan standar kemiskinan Sajogyo serta menggunakan nilai 320kg beras ekuivalen per kapita/tahun.

Sumber: Sajogyo (1996)

Dimana :

PCI =Pendapatan per kapita (Rp/kapita/tahun) PBT =Pendapatan Bersih Total (Rp/tahun)


(43)

43 4.4.4.2. Kondisi Sosial

Kondisi sosial masyarakat adat akibat perluasan kawasan TNGHS dicirikan dengan hubungan sosial masyarakat adat dengan pihak TNGHS termasuk konflik yang menyangkut pengukuhan hak masyarakat adat (tenure) akan pengelolaan hutan. Unsur-unsur dalam analisis kondisi sosial meliputi unsur perubahan perilaku petani, perluasan kawasan TNGHS, dan penentuan sistem pertanian menetap.

Berikut adalah matriks analisis kondisi sosial Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS (Tabel 9).

Tabel 9. Matriks Analisis Kondisi Sosial

Parameter Analisis

Perubahan sikap Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan pihak TNGHS

Analisis dilakukan secara deskriptif tentang konflik yang terjadi antara pihak TNGHS dan masyarakat kasepuhan


(44)

9.1. Kondisi Ekonomi

Perluasan kawasan TNGHS telah mengakibatkan kondisi ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengalami perubahan. Hal ini diamati dari perubahan luas lahan pertanian terutama lahan huma, perubahan strategi nafkah Masyarakat Kasepuhan dan perubahan sumber pendapatan terutama dari lahan talun. Perubahan kondisi ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dapat dilihat dari perubahan Pendapatan Usahatani (PUT) dan Pendapatan Bersih Total (PBT) sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS, Kontribusi Usahatani terhadap PBT sebelum dan seduah perluasan TNGHS dan Analisis tingkat kesejahteraan.

9.1.1. Perubahan Pendapatan Usahatani (PUT) dan Pendapatan Bersih Total (PBT) Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Sebelum dan Sesudah Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kesejahteraan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi ditandai dengan pendapatan rumah tangga Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat Kasepuhan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan perolehan pendapatan yang layak. Pendapatan tersebut diperoleh dari hasil pengelolaan hutan yakni melalui lahan garapan pertanian. Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan lahan pertanian Masyarakat Kasepuhan berkurang terutama lahan huma. Lahan huma yang dimiliki oleh Masyarakat Kasepuhan sebelum terjadinya perluasan rata-rata sebesar 800 m2. Namun setelah terjadi perluasan kawasan TNGHS, lahan huma Masyarakat Kasepuhan berkurang sebesar 400m2. Hal ini disebabkan oleh besarnya lahan garapan Masyarakat Kasepuhan berupa huma dan talun yang


(45)

84 dikelola sekarang berada di kawasan perluasan. Oleh karena itu perolehan Masyarakat Kasepuhan dari lahan huma mengalami penurunan. Setiap 400m2 lahan huma menghasilkan sekitar 30-50 pocong. Satu pocong dikonversikan ke kilogram yaitu sebesar 3-4 kg beras.

Selain itu, perubahan pendapatan Masyarakat Kasepuhan juga berasal dari perubahan strategi nafkah. Sumber nafkah Masyarakat Kasepuhan pada awalnya berasal dari lahan garapan berupa huma, sawah dan talun. Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan akses masyarakat akan talun semakin terbatas. Panen talun diantaranya berupa kayu Jeunjing (Paraserianthes falcataria), Mani’i (Canarium mehenbethene), Manglid (Manglietia glauca), Tisuk (Hibiscus macrophyllus) dan Jabon (Anthocephalus chinensis) dengan harga sebesar Rp 600.000/m3. Selain kayu, panen talun juga berupa singkong, jagung, alpukat, pisang dan sayur dengan harga sebesar Rp 2.000/kg. Akses Masyarakat Kasepuhan terhadap talun sebelum terjadi perluasan kawasan sangat tinggi. Masyarakat memanfaatkan kayu talun untuk kebutuhan membuat rumah, kayu bakar, dijual kayu untuk keperluan kerajinan. Pendapatan Masyarakat Kasepuhan dari kayu sekitar Rp 187.000/bulan. Adapun pendapatan dari pisang, singkong, alpukat dan sayur sebesar 25kg/komoditas/bulan. Lampiran 6 menunjukan penghasilan dari komoditas talun sebelum terjadi perluasan kawasan TNGHS. Total pendapatan masyarakat dari talun rata-rata sebesar Rp 450.000/bulan.

Lampiran 4 menunjukan analisis pendapatan usaha tani (PUT) sebelum terjadi perluasan kawasan TNGHS. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi rata-rata memiliki PUT sebesar Rp 940.493/bulan. Pendapatan Usaha Tani diperoleh dari kegiatan usaha tani di sawah, di huma dan di talun. Pendapatan Bersih Total


(46)

85 Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi juga diperoleh sebesar Rp 940.493/bulan (Lampiran 7). Tabel 19 menjelaskan pendapatan usahatani dan pendapatan bersih total Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Sebelum dan Sesudah Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Tabel 19. Pendapatan Usahatani (PUT) dan Pendapatan Bersih Total (PBT) Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Sebelum dan Sesudah Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

No Keadaan PUT (Rp/bulan) PBT(Rp/bulan)

1 Sebelum 940.493 940.493

2 Sesudah 712.188 877.003

Sumber : Data Primer (2011)

Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan akses Masyarakat Kasepuhan terhadap lahan garapan berupa huma dan talun berkurang. Masyarakat Kasepuhan biasanya selalu memperoleh pendapatan dari talun. Sejak dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No 175 tentang perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan akses Masyarakat Kasepuhan terhadap talun terbatas. Pihak TNGHS melarang penebangan kayu sehingga Masyarakat Kasepuhan memanfaatkan talun dengan tanaman yang menghasilkan buah seperti Kapol (Amomum cardamomum) dan Kawung (Arenga pinnata). Pendapatan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dari kawung adalah sebesar Rp 177.777/bulan dengan perolehan kawung rata-rata sebesar 30kg seharga Rp 8000/kg. Pendapatan responden dari kapol adalah sebesar Rp 100.740/bulan dengan perolehan rata-rata 15kg seharga Rp 6000/kg. Pendapatan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang diperoleh dari luar pengelolaan hutan (PN) sebagai bentuk strategi nafkah terdiri dari usaha ternak, buruh, berdagang, ojeg dan kerajinan. Lampiran 5 menunjukan analisis pendapatan bersih usaha tani (PUT) setelah terjadi perluasan kawasan TNGHS. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi rata-rata memiliki PUT sebesar Rp


(47)

86 712.188/bulan. Pendapatan Usaha Tani diperoleh dari kegiatan usaha tani di sawah, di huma dan di talun. Pendapatan Bersih Total Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi diperoleh dari Pendapatan Usahatani ditambah Pendapatan Non Usahatani (PUT+PN) sebesar Rp 877.003/bulan (Lampiran 8).

9.1.2. Kontribusi Pendapatan Usahatani (PUT) terhadap Pendapatan Bersih Total (PBT) Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Sebelum dan Sesudah Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sebagian besar merupakan masyarakat yang menopang hidup dari hasil usahatani terutama lahan garapan di huma, sawah dan talun. Sistem pertanian dengan pengelolaan hutan merupakan tradisi bagi Masyarakat Kasepuhan secara turun temurun. Pendapatan Masyarakat Kasepuhan paling utama dari kegiatan pertanian. Sistem pertanian Masyarakat Kasepuhan adalah sistem pertanian yang dilakukan secara tumpang sari di lahan hutan. Mereka mengelola hutan dengan cara membagi hutan menjadi tiga kawasan yaitu hutan tutupan, hutan titipan dan lahan garapan. Lahan garapan tersebut berupa huma, sawah dan talun. Sebelum terjadi perluasan kawasan TNGHS, Masyarakat Kasepuhan sangat tergantung dengan hutan. Mereka memperoleh pendapatan penuh dari hutan. Lampiran 7 memperlihatkan kontribusi PUT terhadap PBT Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sebelum terjadi perluasan kawasan TNGHS. Kontribusi PUT terhadap PBT Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sangat besar yaitu 100%. Pendapatan dari hasil garapan dengan usahatani tersebut sebesar Rp 940.493/bulan.

Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan akses Masyarakat Kasepuhan terhadap lahan garapan dalam usahatani menjadi terbatas. Masyarakat kehilangan sebagian luasan huma. Hal ini akan menurunkan produksi padi dari lahan huma


(48)

87 sekitar 30 pocong per 400m2. Selain itu perluasan kawasan TNGHS juga memberikan keterbatasan akses Masyarakat Kasepuhan terhadap lahan talun. Mereka biasanya memperoleh pendapatan dari hasil kayu talun berupa kayu Jeunjing (Paraserianthes falcataria), Mani’i (Canarium mehenbethene), Manglid (Manglietia glauca), Tisuk (Hibiscus macrophyllus) dan Jabon (Anthocephalus chinensis). Selain itu, buah dan sayur seperti pisang, alpukat, singkong, ubi dan tomat merupakan komoditas talun yang bisa dijual untuk menambah pendapatan. Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan Masyarakat Kasepuhan tidak dapat menebang kayu yang ditanam oleh mereka sendiri. Hal ini disebabkan oleh pelarangan yang dilakukan Pihak TNGHS untuk menebang kayu. Masyarakat Kasepuhan juga tidak dapat lagi memanen pisang. Hal ini dikarenakan serangan babi hutan terhadap komoditas pisang masyarakat. Oleh karena itu Masyarakat Kasepuhan memiliki alternatif lain untuk mengelola talun yaitu dengan menanam tanaman yang menghasilkan buah seperti Kapol (Amomum cardamomum) dan Kawung (Arenga pinnata). Selain itu, Masyarakat Kasepuhan juga melakukan strategi nafkah untuk menambah pendapatan akibat perluasan kawasan TNGHS. Pendapatan Masyarakat Kasepuhan yang diperoleh dari luar pengelolaan hutan (PN) sebagai bentuk strategi nafkah terdiri dari usaha ternak, buruh, berdagang, ojeg dan kerajinan. Berdagang, usaha ternak dan kerajinan merupakan hasil dari program MKK yang dilakukan Pihak TNGHS dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan Masyarakat Kasepuhan yang terkena dampak perlusan kawasan TNGHS. Tabel 20 menjelaskan kontribusi PUT terhadap PBT Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Sebelum dan Sesudah perluasan kawasan TNGHS. Sebelum perluasan


(49)

88 kawasan TNGHS Masyarakat Kasepuhan menggantungkan hidup mereka dari hasil usahatani. Hal ini terlihat dari dari kontribusi PUT terhadap PBT sebesar 100%. Adapun setelah terjadi perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan penurunan kontribusi PUT terhadap PBT Masyarakat Kasepuhan dari hasil usahatani yaitu sebesar 81%. Pendapatan dari hasil usahatani tersebut sebesar Rp 712.188/bulan.

Tabel 20. Kontribusi Pendapatan Usahatani (PUT) terhadap Pendapatan Bersih Total (PBT) Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Sebelum dan Sesudah Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

No Keadaan PUT

(Rp/bulan)

PN (Rp/bulan)

Kontribusi (%)

PBT (Rp/bulan)

1 Sebelum 940.493 - 100% 940.493

2 Sesudah 712.188 164.815 81% 877.003

Sumber : Data Primer (2011)

9.1.3. Analisis Tingkat Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan garis kemiskinan Sajogyo. Dalam penelitian ini, seseorang digolongkan berada dibawah garis kemiskinan apabila memiliki pendapatan per kapita kurang dari nilai 320 kg beras ekuivalen per kapita/tahun (Sajogyo, 1996). Nilai tersebut digunakan untuk mengingat lokasi penelitian adalah di pedesaan.

Perhitungan pendapatan per kapita pada penelitian ini diperoleh dari hasil Pendapatan Bersih Total (PBT) responden per tahun dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Pada perhitungan garis kemiskinan Sajogyo, digunakan nilai beras dengan harga lokal Rp 7000,-/kilogram dan diperoleh nilai sebesar Rp 2.240.000,-/kapita/tahun. Bila rata-rata pendapatan per kapita lebih besar dari hasil perhitungan berdasarkan acuan (Rp 2.240.000/kapita/tahun), maka dikategorikan penduduk tidak miskin. Sebaliknya bila nilai pendapatan per kapita


(50)

89 (PCI/per capita income) lebih kecil dari nilai berdasarkan perhitungan standar Sajogyo, maka penduduk dikategorikan miskin Tabel 21.

Tabel 21. Pendapatan Per Kapita Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Sebelum dan Sesudah Perluasan Kawasan Taman Nasuonal Gunung Halimun Salak

No Keadaan PCI (Rp/tahun)

1 Sebelum 3.346.479

2 Sesudah 3.018.945

Sumber : Data Primer (2011)

Berdasarkan Tabel 21, nilai rata-rata pendapatan per kapita Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang bermukim di Dusun Cimapag lebih besar dari acuan. Hal ini menunjukan tingkat kecukupan ekonomi Masyarakat Kasepuhan relatif baik karena dapat terpenuhi kebutuhan primernya.

Lampiran 9 memperlihatkan bahwa rata-rata pendapatan per kapita (PCI/per capita income) Masyarakat Kasepuhan sebelum terjadi perluasan kawasan TNGHS sebesar Rp 3.346.479/kapita/tahun. Peran hutan sebagai lahan garapan dalam pertanian sangat nyata untuk menopang kehidupan Masyarakat Kasepuhan. Mereka menganggap hutan sebagai sumber kehidupan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Lampiran 10 memperlihatkan pula bahwa rata-rata pendapatan per kapita (PCI/per capita income) Masyarakat Kasepuhan setelah terjadi perluasan kawasan TNGHS sebesar Rp 3.018.945/kapita/tahun. Pendapatan per kapita tersebut memang tidak jauh berbeda dari pendapatan per kapita sebelum terjadi perluasan kawasan TNGHS. Hal ini dikarenakan Masyarakat Kasepuhan memiliki strategi nafkah melalui program MKK TNGHS. Selain itu Masyarakat Kasepuhan juga memanfaatkan talun dengan sebaik mungkin yaitu dengan menanam tanaman yang menghasilkan buah seperti Kapol (Amomum cardamomum) dan Kawung


(51)

90 (Arenga pinnata). Hal ini dilakukan oleh Masyarakat Kasepuhan mengingat adanya larangan menebang kayu oleh Pihak TNGHS.

9.2. Kondisi Sosial

Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan perubahan kondisi sosial Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kondisi sosial Masyarakat Kasepuhan diamati dari perubahan sikap Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan Pihak TNGHS. Hal tersebut meliputi konflik yang terjadi antara Pihak TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.

9.2.1. Perubahan Sikap Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Tabel 22 menjelaskan bahwa perluasan kawasan TNGHS telah menimbulkan konflik antara Pihak TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Konflik tersebut disebabkan perbedaan persepsi mengenai pengelolaan hutan.

Tabel 22. Konflik antara Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Konflik antara TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Jumlah Persentase (%)

Rendah 3 10

Sedang 4 13,33

Tinggi 23 76,67

Jumlah 30 100

Sumber : Data Primer (2011)

Berdasarkan Tabel 22 menggambarkan bahwa sebesar 76,67% konflik yang terjadi antara TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan sering terjadi. Pihak TNGHS menganggap bahwa hutan di kawasan perluasan merupakan hutan konservasi dan hutan negara yang harus dikelola oleh pihak yang berwenang yaitu Pihak


(52)

91 TNGHS. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi menilai hutan tersebut merupakan hutan adat yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang. Pengelolaan hutan harus berpedoman pada tradisi kasepuhan.


(1)

124

Lampiran 16. Peta Sebaran Masyarakat Kasepuhan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak


(2)

125

Lampiran 17. Peta Kondisi Sebelum Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak


(3)

126

Lampiran 18. Peta Kondisi Setelah Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak


(4)

127 Lampiran 19. Dokumentasi Penelitian

Sawah Tadah Hujan Leuit

Memasukan Pocong ke dalam Leuit Huma


(5)

RINGKASAN

MIA CLARISSA DEWI. Analisis Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi (Studi Kasus di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing Oleh ACENG HIDAYAT DAN NOVINDRA

Kegiatan illegal logging di Pondok Injuk yang dilakukan oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengakibatkan deforestasi yang tinggi.Oleh karena itu, atas dorongan pihak-pihak yang peduli akan lingkungan dan konservasi alam sehingga kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) diperluas dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, dialihfungsikan menjadi hutan konservasi. Hal ini dikarenakan perlu zona penyangga antara Gunung Halimun dengan Gunung Salak dan Gunung Endut. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGH diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Perluasan kawasan TNGHS telah mengakibatkan kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengalami perubahan. Hal ini diamati dari perubahan luas lahan pertanian terutama lahan huma, perubahan strategi nafkah Masyarakat Kasepuhan, perubahan sumber pendapatan terutama dari lahan talun dan perubahan sikap Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap perluasan kawasan TNGHS.

Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi mengenai dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) Mengkaji garis besar perluasan kawasan TNGHS di Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi, (2) Mengkaji persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengenai perluasan kawasan TNGHS, (3) Mengkaji strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi akibat perluasan kawasan TNGHS, (4) Menganalisis dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.

Penelitian ini dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kasepuhan Sinar Resmi merupakan kasepuhan terbesar diantara kasepuhan lainnya di Desa Sirna Resmi yang terkena dampak perluasan kawasan TNGHS. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan Agustus 2011. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan kuesioner. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur


(6)

iv dari instansi terkait (TNGHS dan Kantor Kepala Desa Sinar Resmi) dan literatur yang relevan dengan penelitian. Kajian mengenai garis besar perluasan kawasan TNGHS, strategi adaptasi kelembagaan lokal sistem pertanian akibat perluasan kawasan TNGHS dan dampak perluasan TNGHS terhadap kondisi sosial Masyarakat Kasepuhan menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis dampak perluasan kawasan TNGHS terhadap kondisi ekonomi menggunakan analisis pendapatan dan kesejahteraan. Pengolahan data menggunakan komputer program Microsoft Office Excel 2007.

Pendapatan Bersih Usaha Tani (PUT) sebelum terjadi perluasan kawasan TNGHS rata-rata sebesar Rp. 940.493/bulan. Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan akses Masyarakat Kasepuhan terhadap lahan garapan berupa

huma dan talun berkurang. Hal tersebut mengurangi PUT Masyarakat Kasepuhan

menjadi Rp. 712.188/bulan. Penurunan PUT tersebut ditingkatkan dengan pendapatan dari luar pengelolaan hutan (PN) sebagai bentuk strategi nafkah terdiri dari berternak, buruh, berdagang, ojeg dan kerajinan. Pendapatan per kapita Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sebelum dan sesudah perluasan kawasan TNGHS lebih besar dari acuan Sayogjo. Hal ini menunjukan tingkat kecukupan ekonomi Masyarakat Kasepuhan relatif baik karena dapat terpenuhi kebutuhan primernya.

Perluasan kawasan TNGHS belum sepenuhnya diketahui dan dimengerti oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Mereka menganggap bahwa perluasan kawasan TNGHS merupakan keputusan sepihak dari TNGHS. Konflik yang terjadi antara TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan terkait pengelolaan hutan sering terjadi. Hal ini ditunjukan dengan tingkat terjadinya konflik sebesar 76,67% antara Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dan pihak TNGHS. Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh kedua belah pihak belum mendapatkan titik terang.

Kata Kunci: Perluasan Kawasan TNGHS, persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi, kondisi sosial ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman kumbang sungut panjang (coleoptera: cerambycidae) di kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

2 35 80

Manfaat Ekonomi Hasil Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Bagi Masyarakat Desa Sirnarasa, Kecamatan Cisolok, Sukabumi

0 16 70

Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

1 13 176

Pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan: studi kasus pada masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi Jawa Barat

0 8 50

Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

0 20 196

Analisis konflik sumberdaya hutan di kawasan konservasi: studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

0 21 260

Strategi nafkah masyarakat adat kasepuhan sinar resmi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

2 18 119

Analisis Stakeholders dan Ekonomi Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (Studi Kasus: Desa Puraseda dan Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 28 109

Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

0 8 100

Keanekaragaman Jenis Paku Terestrial Di Kawasan Gunung Bunder Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Tnghs) Bogor, Jawa Barat

3 10 42