72 membuat pihak-pihak tersebut bentrok, karena tidak ada yang mau mengorbankan
kepentingannya.
5.3 Tahapan Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui untuk
membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik Fisher et al., 2001. Analisis dasar tahapan konflik
terdiri dari lima tahap, yaitu; prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pasca konflik. Analisis tahapan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak,
adalah sebagai berikut:
Prakonflik : merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian
sasaran di antara dua pihak atau lebih hingga timbul konflik. Dalam kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, muncul ketidaksesuain persepsi antar pihak
dalam memBapakIbung hutan. Pihak-pihak memiliki kepentingan yang berbeda atas hutan, muncul ketidaksesuaian pendapat mengenai kepemilikan Gunung
Halimun. Ketidak sesuaian persepsi antar pihak dalam memBapakIbung hutan
terjadi ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Pihak Perhutani menjadikan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi untuk memperoleh
keuntungan ekonomi dari penjualan kayu-kayu keras. Pihak Kasepuhan sendiri mempersepsikan hutan titipan sebagai hutan yang tidak diperkenankan kegiatan
perekonomian dengan tujuan memperoleh keuntungan, misalnya untuk menjual kayu-kayuan. Ketika pengelolaan Gunung Halimun beraliih kepada Balai Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak, perbedaan persepsi kembali tejadi antara pihak balai taman nasional dengan masyarakat adat Kasepuhan. Pihak balai taman
nasioal menganggap kawasan Pegunungan Halimun-Salak merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi
kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, sehingga perlu diadakan upaya konservasi dan mensterilkan kawasan
tersebut dari aktivitas pertanian oleh masyarakat. Kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak sendiri diklaim pemerintah sebagai milik Negara, karena
73 berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Masyarakat adat Kasepuhan
sendiri, karena menganggap telah lama ada sebelum balai taman nasional mengelola Gunung Halimun, masyarakat menganggap kawasan Gunung Halimun
adalah ruang hidup mereka untuk menjalankan kehidupan mereka, yang diwariskan dari leluhur untuk kesejahteraan anak-cucu mereka nantinya, sehingga
mereka tidak dapat dipisahkan hidupnya dari Gunung Halimun. Kawasan Gunung
Halimun, menurut masyarakat adat Kasepuhan adalah milik adat karena
merupakan warisan para leluhur mereka di masa lalu.
Konfrontasi
: Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai
melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, petugas balai taman nasional memasang
papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke kawasan konservasi di area perkebunan dan pemukiman warga. Pihak taman nasional pun mulai mengusir
warga secara halus, namun masyarakat tetap tidak mau pindah dari pemukimannya, karena belum mendapatkan perintah dari ketua adat.
Krisis : merupakan puncak konflik ketika ketegangan danatau kekerasan
terjadi paling hebat. Dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, tidak sampai terjadi pertumpahan darah antara pihak-pihak yang berkonflik.
Hanya terjadi penangkapan terhadap masyarakat adat yang dianggap telah melakukan illegal logging di kawasan taman nasional. Hingga bulan Oktober
2010 masih ada masyarakat yang ditahan di kepolisisan karena dituduh melakukan illegal logging. Padahal yang dilakukan masyarakat di dalam hutan
hanya memungut ranting dan kayu kering untuk kayu bakar, mengambil tanaman untuk obat-obatan dan menebang kayu untuk membangun sarana dan prasarana,
dan dilakukan di kebun masyarakat serta hutan titipan atas izin ketua adat. Namun, karena kebun dan kawasan hutan titipan masyarakat diklaim sebagai zona
rimba dan zona rehabilitasi taman nasional, maka masyarakat yang melakukan aktivitas sehari-hari di dalam hutan dianggap telah merambah hutan.
Akibat: Akibat adanya penangkapan serta penuduhan illegal logging
terhadap masyarakat, membuat pihak Kasepuhan, khususnya Kasepuhan Sinar
74 Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar dan Kasepuhan Cipta Mulya, mulai menyusun
agenda dan menuntut Pemerintah Daerah Sukabumi untuk membuat Peraturan Daerah Sukabumi mengenai pengakuan hak-hak adat masyarakat adat Kasepuhan.
Hingga bulan Oktober 2010, berkas Peraturan Daerah tersebut masih di proses di Badan Legislatif Daerah Kabupaten Sukabumi, karena belum adanya peta wilayah
adat Kasepuhan.
Pasca Konflik : Hingga bulan Desember 2010, konflik di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak masih belum selesai. Tata batas yang masih belum jelas membuat berkas Peraturan Daerah mengenai pengakuan hak adat masih tertunda
di Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Perlu diadakan pemetaan oleh pihak Kasepuhan untuk melengkapi berkas Peraturan Daerah agar bisa ditindaklanjuti
oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Jika permasalahan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum diselesaikan dan terus berlarut, maka ada
kemungkinan konflik kembali pada tahap prakonflik.
5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak