Hasil penelitian tentang status pendidikan keluarga mayoritas keluarga penderita skizofrenia paranoid yang kambuh dengan pendidikan SLTA sebanyak 35
orang 43,8, sedangkan keluarga penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh dengan pendidikan SD sebanyak 32 orang 40 . Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Andriza 2007 di RS. Jiwa Tampan Riau, bahwa pasien skizofrenia 79 berasal dari golongan pendidikan rendah. Hal ini secara tidak
langsung dapat mempengaruhi kognitif, afektif, dan psikomotor klien dalam meningkatkan kemandiriannya, Stuart 2009, menyatakan bahwa klien dengan
pendidikan rendah memiliki motivasi yang rendah untuk menjalani pengobatan klien yang berpendidikan rendah kurang peka terhadap informasi-informasi terkait
pengobatannya. Hasil penelitian tentang alamat keluarga penderita mayoritas keluarga
penderita skizofrenia paranoid yang kambuh dengan alamat sebanyak di Medan sebanyak 38 orang 47,5, sedangkan keluarga penderita skizofrenia paranoid yang
tidak kambuh dengan alamat di Medan sebanyak 43 orang 53,8 . Gambaran ini sesuai dengan epidemiologi penyakit skizofrenia yaitu lebih tinggi pada wilayah rural
yang padat dan ramai serta pada status perekonomian yang rendah Sadock, 2003.
5.2. Karakteristi Penderita
Hasil penelitian data gambaran demografi pasien skizofrenia dengan jenis kelamin penderita skizofrenia paranoid yang kambuh dan tidak kambuh berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan sama yaitu sebanyak 40 orang matching.
Universitas Sumatera Utara
Mayoritas umur penderita skizofrenia paranoid yang kambuh dan tidak kambuh sebanyak 51 orang 63,8 21-40 tahun. matching, Mayoritas penderita skizofrenia
paranoid yang kambuh berpendidikan SLTP sebanyak 32 orang 40,0, sedangkan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh berpendidikan SLTP sebanyak 31
orang 38,8.Menurut agama penderita mayoritas penderita skizofrenia paranoid yang kambuh dengan agama islam sebanyak 43 orang 53,8, sedangkan penderita
skizofrenia paranoid yang tidak kambuh dengan agama islam sebanyak 48 orang 60 . Mayoritas penderita skizofrenia paranoid yang kambuh bersuku batak sebanyak 43
orang 53,8, sedangkan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh bersuku batak sebanyak 41 orang 51,3. Mayoritas penderita skizofrenia paranoid yang
kambuh berstatus tidak kawin sebanyak 55 orang 68,8, sedangkan penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh sebanyak 53 orang 66,3. Gambaran ini
sesuai dengan epidemiologi penyakit skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan usia dewasa muda, berpendidikan rendah, tidak bekerja, mempunyai
anggota keluarga besar serta status sosial ekonomi rendah Sadock, 2003, Kondisi penderita skizofrenia paranoid selama perawatan adalah penderita
skizofrenia paranoid yang kambuh dengan lama menderita skizofrenia paranoid 2 tahun s.d 5 tahun sebanyak 37 orang 46,3, sedangkan penderita skizofrenia
paranoid yang tidak kambuh mayoritas lama menderita lebih dari 10 tahun sebanyak 47 orang 58,8. Dan usia pertama kali menderita adalah mayoritas penderita
skizofrenia paranoid yang kambuh menderita penyakit pada usia 16-20 tahun sebanyak 17 orang 21,3, sedangkan penderita skizofrenia paranoid yang tidak
Universitas Sumatera Utara
kambuh pada usia 25-29 tahun sebanyak 24 orang 30,0. Menurut penelitian Durand 2007 pada 5 -10 tahun pertama perjalanan penyakit skizofrenia akan sering
mengalami eksaserbasi yaitu gejala psikotik yang berulang. Eksaserbasi gejala psikotik ini menyebabkan pasien menjalani rawat inap. Dan berdasarkan teori bahwa
secara statistik usia terbanyak penderita Skizofrenia adalah 15-30 tahun Linden, 2005.
Pada pemakaian obat psikotik mayoritas penderita skizofrenia paranoid yang kambuh mengkonsumsi jenis obat atipikal sebanyak 46 orang 57,5, sedangkan
penderita skizofrenia paranoid yang tidak kambuh mengkonsumsi jeni obat tipikal sebanyak 56 orang 70,0 . Hal ini sejalan dengan teori bahwa obat psikotik tipikal
untuk skizofrenia yang kronis, depresi berat dan skizofrenia akut dan psikosis akaut lainya Psikosis akibat amfetamin, psikosis organik Tomb, 2003. Obat tipikal
berguna terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat, obat atipikal bermanfaat baik untuk gejala positif
maupun negatif. Amir, 2010. Mekanisme kerja semua obat anti-psikosis merupakan obat-obat potensial
dalam memblokade reseptor dopamin dan juga dapat memblokade reseptor kolinergik, adrenergik dan histamin. Pada obat generasi pertama fenotiazin dan
butirofenon, umumnya tidak terlalu selektif, sedangkan benzamid sangat selektif dalam memblokade reseptor dopamine D2. Anti-psikosis “atypical” memblokade
reseptor dopamine dan juga serotonin 5HT2 dan beberapa diantaranya juga dapat memblokade dopamin sistem limbic, terutama pada striatum. DSM-IV TR, 2000
Universitas Sumatera Utara
5.3. Analisis Bivariat 5.3.1. Pengaruh Kepatuhan Pengobatan terhadap Pencegahan Kekambuhan