•
Antologi Puisi Saksi Korban
175 174
Jalan Remang Kesaksian
•
Lawan
semua saling berkata, “lawan” sumbernya menggunakan kekuasaan
ah…mana tahan pada godaan
nafsu yang memuaskan lawan
namun kita dipisahkan masih ada jalan melawan
Semarang, 300615
22. Otto Sukatno CR Testimoni Hari-Hari
seperti segores mimpi yang menghardik pagi lalu peristiwa dan kematiankematian
kopi pahit dan sepiring nasib, duduk di balaibalai dalam kepul asap rokok
peluh meleleh, juga kardus bekas, membungkus wajah harihari lunas oleh politik dan matinya hati nurani
dan koran pagi. berita pembantaian, demonstrasi juga nafsu birahi canda tawa pesta dan keculasan, kelabang dan kelajengking
membiak di istana kursi empuk digoyanggoyang, panas seperti bara. heran ia
tetap bertahan duduk beralasan keluh ratap, bangkai dan sejuta mosi tak percaya
seperti segores mimpi matahari selalu saja terlambat hadir
ketika gerimis menangis dan darah menetes dari pelupuk mata seseorang tertembak mati, seperti tikus got
atau nyamuk penghisap darah. baginya ia bukan siapasiapa
tak tercatat sejarah dan tertulis dalam buku bukan orang penting, yang menduduki pospos pemerintahan
176 177
•
Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian
•
ia hanya sekeping jiwa yang mengenal arti hidup, dan hanya ingin mempertahankannya. serta ingin diakui
kependudukannya tetapi siasia dan sepi.
tega larane, ora tega patine. sedumuk bathuk senyari bumi tinggal jadi dongengan usang, tersimpan di bilikbilik nurani,
tertutup kabut transaksi dan kepentingan segores mimpi, koran pagi dan tatapan mata anakanak,
kosong dari makna tak ada yang peduli, kecuali gunjingan dan banjir bandang
katakata ketika hujan menderas dan darah menulis sejarah
demikian politik, hanya mencatat jumlah, mencari sebab menghimpun data, bahan laporan atasan dan evaluasi kerja,
selebihnya sepi yang mati biarkan membangkai, yang lapar biarkan sekarat,
hingga peristiwa berulang. politik transaksi, kambing hitam selebihnya setelah kuasa ditahbiskan
para pembesar negeri, jalanjalan di pasar biar dianggap peduli
sambil menghabiskan anggaran yang sudah diketukpalukan meski tak menyelesaikan masalah
hingga lambunglambung terbakar rintih pedih atau air mata, lumrah, sudah biasa
kurang kerjaan, untuk apa diributkan koran pagi dan segores mimpi
demikian pagi, rutinitas, matahari terlambat datang dan setiap kali muncul di layar kaca, selalu berkata
“kami prihatin dan turut berduka cita, atas derita dan bencana yang menimpa kalian”
selebihnya tertutup hiruk pikuk iklan, obral citra dan kemanusiaan
dan pagi pun berulang, seperti segores mimpi yang menghardik pagi
lalu peristiwa dan kematiankematian hingga ketika burung garuda, tertembak sayapnya
gontai dan berdarah semua baru gerah, tercengang dan gamang
Yogyakarta, 2011-2013.
178 179
•
Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian
•
Di Tubir Waktu
di tubir waktu, malam menyunting hujan air mata yang menetes di beranda
berdenting, menghitung jejak dan jarak, tandatanda dan alamat, kebenaran dan sejarah kian sekarat
di tubir mimpi, kegelapan beranjak tua malam kesepian, menyeru orangorang yang menunggu
wajahwajah pias dan berliku, sarat beban dan tanya tersesat di hutan takdir dan kecemasan yang membelukar
semaksemak meninggi, memutih di ubunubun sejarah yang meranggas di istana dan mimbar para pengkotbah moral
di tubir ranjang, pagi belum menyingsingkan tanda kecuali bulan pisang yang kedinginan
letih dan beku di tubir dzikir, matahari telah mencair, menetes jadi air
membasah di atas sajadah dan temboktembok semesta
merajah anakanak kurban syak waksangka dan pidana jadi santapan liar para pemangsa
mengatasnamakan tuhan dan kebenaran Yogyakarta, Juni 2015.
Apologia Dan Utopia
apalah makna perlindungan, lembaga bentukan kekuasaan ketika jerit tangis, ketakutan dan trauma
mereka yang tersingkir dan terpinggir para kurban dan saksisaksi kebenaran
sama merdu mendayunya dengan lagu Indonesia Raya saat dikumandangkan dalam upacara pentabisan
kerakusan, kekuasaan Yogyakarta, Juni 2015
•
Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian
•
180 181
23. Raedu Basha Tanda Seru