Isuur Loeweng Jerit Lirih Krishna Miharja Kesaksian Puntadewa

55 • Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian • 54 Aku Bukan Mantra sungguh aku bukan mantra untuk menghapus rasa perih dan luka deretan kata bertumpuk­tumpuk akan menjelma merah cahaya ribuan huruf tersusun jumpalitan itu adalah bangunan benteng bagi kalian pengelana terdampar di hutan­hutan pidana harapku kalian datang lalu mencumbuiku kata demi kata lantas jika suatu ketika terdampar datanglah, kita akan bercinta biar kita bisa pulang tanpa memar dan luka rssl, 2015

19. Isuur Loeweng Jerit Lirih

: tangis di ruang interograsi kenapa harus kami menanggung bertubi­tubi satu jiwa milik kami melayang masih saja harus menangis sebagi tertuduh ruang sempit serasa mengeruk batinku pertanyaan­pertanyaan menyergap liar aku sesak napas lelah jiwa terbelah menjerit tak memberi rupa sebab siapa mendengar lirihnya walau lantang pita suara kami tetap saja, terperkosa di mana cahaya benama lpsk culik kami rengkuh kami lalu beri kami arti rssl, 2015 • Antologi Puisi Saksi Korban 57 56 Jalan Remang Kesaksian •

20. Krishna Miharja Kesaksian Puntadewa

gempita sorak mengiring Sang Guru Durna menapak langkah berdarah Padang Kurusetra berkibar bendera senapatining aprang termangu hati langkah terhenti di tengah padang menyeruak sorak kematian “gajah tama mati… “ “jah tama mati… “ “tama mati… “ “wa tama mati… “ “aswa tama mati… “ “Siapakah yang mati? aswatama anakku?” Sang Guru Durna melipat bendera senapati terseok langkah tua memburu warta anaknya menyelinap tanya di antara musuh dan anak muridnya “Werkudara Janaka Nakula Sadewa, siapakah yang mati?” kebenaran kadang mengalahkan kepentingan terlipat hingga tak terlihat “aswatama.. “ sepenggal jawab seribu panah merajah sepenggal kata seribu pedang menerjang Kau Bukan Orang Asing di Jiwamu : kepada para saksi jangan kau melarikan diri apalagi mengunci rapat­rapat memori berikan sampaikan hingga meluber tersebab itu maunya sekali lagi jangan takut pada acaman jangan takut pada pasal­pasal tanganku akan menggenggamu hingga kau usai menyandang predikat saksi janganlah menjadi jiwa lain tersebab itu akan menjerembab akalmu bertubi­tubi, ingat, kau bukan orang asing dijiwamu lantanglah sebagaimana kau berteriak hempas badai menghimpitmu tikam ruang yang menhantuimu setelahnya, larilah dengan kemenangan rssl, 2015 58 59 • Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian • Pengadilan Puntadewa keadilan itu sepenggal kata menyelip di dalam hati berlembar wacana beribu ayat hanyalah sampah kata­kata yang tak bisa diterjemahkan lagi berhambur kepentingan bermuka putih keadilan itu bukan di bibir meja dan palu mengetukkan irama keputusan tak jelas sumbang bimbang sebatas cara melagukannya “Hai Puntadewa Raja adil Paramarta lepaskanlah aku ular hampir menelanku.” “Haa… “ keadilan menggetarkan bibir ketaktahuan di balik tabir cahaya tuhan pun terkesima melompat katak terengah dari pagutan taring kematian “Hai Puntadewa Raja Nir Kaluputan kelaparan hampir membunuhku tapi kau menyuruh aku melepas mangsaku?” sempurnalah tabir hati menggetar bibir membisik di telinga kekecewaan “Puntadewa, anak muridku yang tak pernah bohong berdarah putih tak pernah pamrih siapakah yang mati?” kebenaran tak pernah berubah, dengan nama kepentingan terlilit­lilit bagai tali kereta sebentar terlihat lalu tiada “…. Tama, mati” “aswatama? Siapakah yang mati?” “…. Tama, mati” Sang Guru Durna terkalahkan ketika kebenaran terlilit kepentingan yogyakarta, 2015 60 61 • Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian • Kesaksian Matematika 2 kau bisa memojokkanku pada titik tersudut dengan ancaman busur juring menyempit keluasannya menuju titik akhir aku tetap bergeming pada titik kebenaran keberadaanku karena titik adalah sesuatu yang tak memiliki matra apapun dan di manapun kau bisa saja menggiringku dalam lengkung busur yang memendek jarak dan aku tetap mencoba mencari luasan tersempit sekalipun berbagi tepat pada perpotongan dua kepentingan garis lalu aku akan memilih satu garis kebenaranku tak harus sama kebenaranmu meski kita sama titik sama bidang sama ruang tapi kita mengulurnya menjadi garis kepentingan yang tak searah yogyakarta, 2015 “Ular, aku berkata haa… hayolah hayolah segera kautelan mangsamu” “Hai Puntadewa Raja Nir Kadoran sejengkal aku dari ujung kematianku tapi kau membiarkanku dalam pagut pemangsaku?” ucap kata pun bagai angin meraja dunia kesalahan bukan lagi bongkah yang terasa “Katak, aku berkata haa… hayolah hayolah segera lepaskan mangsamu” keadilan bukan lagi di bibir meja dan kitab ayat­ayat pun telah lama dibengkokkan yogyakarta, 2015 63 • Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian • 62 Sekuat Suara Kami tidak; aku tidak ragu mengatakan lantang bahwa seseorang di hadapmu gadungan sebagaimana caramu melindungi kami adakah secuil waktu tuk melabuhkan beban kami tanyakan pada diri anda gelar apakah layak kami sandang atau; anda ingin kami menyebut namamu tiga kali lalu anda keluar member tiga pemberian apakah anda melihat, apakah anda mendengar dan apakah anda mengalaminya kami hanya bisa tertawa atas perlakuan dan hak kami telah anda sembunyikan atas nama penyiksaan penganiyaan kami pengeroyokan yang anda lakukan masih tersisa sedikit layanan masih ada perlindungan masif …? Semarang, 240715

21. Lukni Maulana Kisah Sepi Si Sri