Wadie Maharief Aku tak Mampu Bersaksi Wanto Tirta Tragedi Jum’at Dini Hari

• Antologi Puisi Saksi Korban 215 214 Jalan Remang Kesaksian • Kesaksian Batu Kalau saja aku bukan batu tentu mereka begitu mudah untuk mengetukkan palu dan tak membiarkan orang itu hilir­mudik di jalan raya dengan mobil mewahnya aku tahu siapa yang melempar tubuh perempuan ke sebuah selokan setelah peluru berhamburan dari pistol yang dipasang peredam aku juga tahu berapa gepok uang untuk membelokkan tuduhan agar Si Midun terkurung di kamar tahanan dengan pengakuan yang dipaksakan Tapi karena aku batu kata­kataku tak bisa terdengar di ruangan itu semua telinga hanya menuju ke arah mulut yang sangat gemetar untuk mengaku Karangjati-Bantul, 2015

34. Wadie Maharief Aku tak Mampu Bersaksi

Hutan itu pernah tumbuh di kepalamu, juga di hatimu dan akar­akarnya menjalar ke seluruh tubuh Hingga kau pun menjadi pulau impian Seperti gadis perawan yang menyembunyikan hasrat di palung hatinya? Hutan itu pernah teramat rimbun daun­daunnya menyelimuti rahasia di dadamu, menggelembungkan cinta penuh gelora Serupa aliran sungai mencari muara lepas gelisah Sampai kemudian engkau seperti diserang hama yang rakus, mengisap seluruh hidupmu Hingga kerontang dengan sisa­sisa ranting dan gersang Sungguh, aku tak mampu bersaksi Siapa yang telah memperkosa dirimu dan mengapa? Yogya, 30 Mei 2015 216 217 • Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian • Alibi Berjalan dalam gelap Kau ikut barisan semut hitam Lalu lalang di lantai bertabur gula Laba­laba menunggu dalam perangkap Sepasang cecak pesta di balik pintu Mana nyamuknya? Yogya 8 Juni 2015 Nafsu Angkara aku tahu apa yang kau sembunyikan di balik pekat dadamu, sesuatu yang diam­diam kau ambil dari bilik hatinya, serupa permata yang berkilau, dan aku melihat kau terjebak cela hitam birahimu, tak ada cinta dalam hasratmu Hanya hawa nafsu angkara bertahta Korban­korbanmu menyebut: Engkau penuh dusta….. Yogya 11 Juni 2015 219 • Antologi Puisi Saksi Korban Jalan Remang Kesaksian • 218

36. Wanto Tirta Tragedi Jum’at Dini Hari

Berselimut Kabut adzan subuh kumandang keagungan tuhan menggunggah umat ufuk timur berpendar perlahan menaiki kaki langit pecah kabar seorang lelaki meninggal tergeletak di atas meja dengan luka tembak di bagian kepala sebelah kanan bau amis darah berceceran di pinggir jalan raya dekat spbu lebih kurang seratus meter dari kantor polisi pagi sebening embun merah seketika keramaian pasar dan terminal riuh kabar ada seorang lelaki dibunuh orang tak di kenal polisi sibuk mengamankan warung tempat kejadian perkara police line melintang orang­orang berkerumun pertanyaan melintas kenapa lelaki itu dibunuh ? sunyi dengar kabar kematian suaminya sang istri sontak menangis pedih berangkulan dengan anak “gulangsaran” menangisi lelaki kesayangannya tulang punggung keluarga yang waktu pamit kerja dalam keadaan bugar sekian hari sekian bulan sekian sekian sekian waktu tabir itu belum terungkap di meja lapak tukang tambal ban tergeletak sesobek koran harian lokal “ Jumat dini hari, 21 maret 2015 Pentolan Ajibarang Tewas Ditembak Selongsong Peluru Ditemukan di Bawah Meja” tabir gelap abu­abu masih menyelimuti duka keluarga do’a dan air mata masih mengalir tuhan bicaralah atas nama keadilan 20062015 • Antologi Puisi Saksi Korban 221 220 Jalan Remang Kesaksian • Catatan Liar Korban Lumpur Lapindo lautan lumpur menjadi kubur ribuan nasib tak terukur hektaran sawah pekarangan perkampungan menguap banjir airmata kesengsaraan menyayat tangis anak­anak kehilangan kampung halamannya kubur nenek moyang porak poranda doa menjadi tumpuan memanggil tuhan hadir mengurai sengketa poster dan teriakan semakin parau suluh tak bermakna manakala bencana berkejaran menenggelamkan mimpi lapindo telah menyemburkan buih pahit kehidupan meski perjuangan terus dikobarkan semburan lumpur tak henti mengubur tumpah darah kelahiran 25062015

37. Wicahyati Rejeki Bunga Hitam