Tablet Pyrexin
®
memiliki nilai f
2
46,14 sedangkan tablet Progesic
®
memiliki nilai f
2
58,56. Hal ini berarti tablet Progesic
®
memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik sedangkan tablet Pyrexin
®
tidak memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik. Hal tersebut juga dapat dilihat pada kurva profil
disolusi, di mana kurva profil disolusi tablet generik lebih dekat dengan tablet Progesic
®
daripada tablet Pyrexin
®
.
B. Cara Perolehan Plasma Darah
Dalam penelitian ini digunakan darah kelinci sebab kelinci memiliki volume darah yang lebih banyak dan darahnya lebih mudah diambil dibandingkan dengan
tikus dan mencit. Darah kelinci diambil melalui bagian vena marginalis salah satu telinganya. Pengambilan darah dilakukan melalui vena sebab darah yang keluar dari
vena berupa tetesan sehingga mudah ditampung. Penelitian ini menggunakan plasma sebab parasetamol bersifat asam lemah
dan dapat berikatan dengan protein plasma secara reversibel. Sebagian besar parasetamol dalam darah akan terikat pada protein plasma, bukan pada darah utuh.
Dalam peneliian ini juga tidak menggunakan serum sebab pada serum, sebagian besar protein sudah mengendap. Plasma darah yang dibutuhkan dalam penelitian
adalah bentuk cairnya. Plasma darah bila dibiarkan akan membeku sehingga diperlukan suatu antikoagulan yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pembekuan
darah. Antikoagulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah heparin. Plasma diperoleh dengan cara melakukan sentrifugasi pada darah yang telah
ditampung dan telah diberi heparin. Proses sentrifugasi berfungsi untuk memisahkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
komponen-komponen sel darah dengan plasma sehingga dapat diperoleh plasma dengan mudah, yaitu bagian yang berwarna bening.
C. Optimasi Metode
Metode Chafetz et al. 1971 pada awalnya digunakan untuk penetapan kadar parasetamol dalam bentuk sediaan. Setelah itu, metode tersebut dimodifikasi
oleh Glynn Kendal 1975 untuk menetapkan kadar parasetamol dalam plasma. Dalam penelitian ini, dilakukan optimasi dan modifikasi metode sehingga diperoleh
metode yang sesuai dengan kondisi percobaan. Selain itu, metode yang digunakan menjadi sama untuk setiap langkah dalam penetapan kadar parasetamol dalam
plasma yang dilakukan dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan larutan parasetamol bebas perlu dilakukan denaturasi
protein plasma dengan penambahan asam trikloroasetat TCA 20. Penambahan TCA akan merusak struktur tersier dan kuartener protein plasma sehingga protein
plasma tidak dapat berikatan lagi dengan parasetamol. Pada saat dilakukan sentrifugasi selama 10 menit dengan laju 3000 rpm terhadap larutan plasma yang
telah diberi larutan TCA, protein plasma akan terendapkan dan semua parasetamol akan terlepas ke dalam fase air. Fase air yang diperoleh diperlakukan dengan metode
Chafetz et al. 1971 untuk memperoleh larutan berwarna. Prosedur ini diawali dengan penambahan larutan asam klorida HCl 6N dan
larutan natrium nitrit NaNO
2
10. Campuran antara HCl dan NaNO
2
akan menghasilkan asam nitrit HNO
2
yang dengan kelebihan asam akan menyebabkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
asam nitrit menjadi ion nitrosonium. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada gambar 11.
HCl HNO
2
H
+
NaNO
2
NO
+
HNO
2
H
2
O NaCl
+ +
+ +
ion nitrosonium
Gambar 11. Reaksi antara asam klorida dengan natrium nitrit membentuk ion nitrosonium
Ion nitrosonium tersebut akan menyebabkan substitusi aromatik elektrofilik pada posisi ortho dari gugus hidroksil parasetamol. Reaksi tersebut dapat terjadi
karena gugus hidroksil parasetamol lebih kuat sebagai pengarah ortho yang memiliki lebih banyak elektron bebas daripada gugus asetamida.
OH
HN C
O
CH
3
NO
+
OH
HN C
O
CH
3
N O
O H
+
+ +
parasetamol ion
nitrosonium 2-nitro-4-asetamidofenol
berwarna kuning muda = kromofor
= auksokrom
[O]
Gambar 12. Reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium membentuk 2-nitro-4- asetamidofenol beserta gugus kromofor dan auksokromnya
Reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium akan membentuk senyawa 2-nitroso-4-asetamidofenol yang kemudian teroksidasi oleh udara membentuk
senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol yang berwarna kuning muda. Perubahan sruktur PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
parasetamol menjadi 2-nitro-4-asetamidofenol tersebut menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk melakukan transisi elektron ke tingkat eksitasi menjadi lebih kecil.
Oleh karena itu, panjang gelombang menjadi lebih panjang dan intensitas warna meningkat. Mekanisme reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium dapat
dilihat pada gambar 13.
H OH
HN C
O CH
3
OH
HN C
O CH
3
N O
NO
H
[O]
OH
HN C
O CH
3
N O
OH
HN C
O CH
3
N O
O
+
Gambar 13. Mekanisme reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium
Kelebihan asam nitrit perlu dihilangkan sebab asam nitrit yang berlebih dapat mengganggu kestabilan serapan senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol. Hal ini
dilakukan dengan penambahan asam sulfamat H
2
NSO
3
H 15 yang harus ditambahkan secara hati-hati melalui dinding tabung dan pelan-pelan karena
reaksinya bersifat eksotermis melepas panas. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain itu, penambahan asam sulfamat yang terlalu cepat dapat menyebabkan larutan tumpah akibat dorongan gas nitrogen yang dihasilkan. Reaksinya dapat dilihat pada
gambar 14.
HNO
2
HSO
3
NH
2
N
2
H
2
SO
4
H
2
O +
+ +
asam nitrit asam sulfamat
Gambar 14. Reaksi antara asam nitrit dengan asam sulfamat
Tahap selanjutnya dari metode Chafetz et al. 1971 adalah pembentukan suasana basa dengan penambahan natrium hidroksida NaOH 10. Suasana basa ini
diperlukan untuk menetralkan sisa asam yang ada dari pereaksi sebelumnya dan untuk membentuk ion fenolat. Reaksi dapat dilihat pada gambar 15.
OH
HN C
O CH
3
N O
O
+
2-nitro-4-asetamidofenol berwarna kuning muda
= kromofor = auksokrom
OH
-
+ H
+
H
2
O
OH
-
O
HN C
O CH
3
N O
O
ion 2-nitro-4-asetamidofenolat berwarna orange
H
2
O
+
O
HN C
O CH
3
N O
O
Gambar 15. Reaksi penetralan asam dan pembentukan ion fenolat dalam suasana basa
Ion 2-nitro-4-asetamidofenolat yang terbentuk akan mengakibatkan penambahan panjang gugus kromofor. Oleh karena itu, serapan maksimum ion 2-
nitro-4-asetamidofenolat berada pada panjang gelombang yang lebih panjang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
daripada senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol sehingga intensitas warna juga meningkat dari kuning muda menjadi orange.
Mekanisme reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dengan natrium hidroksida dapat dilihat pada gambar 16.
OH
O
HN C
O CH
3
N O
O O
HN C
O CH
3
N O
O O
HN C
O CH
3
N O
O H
+ + H
2
O
Gambar 16. Mekanisme reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dengan natrium hidroksida
Untuk menghilangkan gelembung yang terdapat dalam larutan berwarna orange tersebut maka dilakukan degassing. Gelembung harus dihilangkan sebab
gelembung dapat membiaskan dan memantulkan sinar sehingga serapan yang terbaca pada detektor menjadi lebih besar dari yang seharusnya.
1. Penentuan operating time OT
Penentuan operating time adalah tahap pertama yang harus dilakukan dalam optimasi metode kolorimetri. Penentuan operating time dilakukan untuk mengetahui
rentang waktu di mana senyawa memberikan serapan yang stabil, yang berarti semua parasetamol di dalam larutan telah bereaksi dengan semua pereaksi pada metode
Chafetz et al. 1971 secara optimal membentuk ion 2-nitro-4-asetamidofenolat. Dalam penelitian ini, penentuan OT dilakukan setelah larutan di-degassing,
sehingga total waktu yang diperlukan setelah penambahan larutan natrium hidroksida PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sampai larutan akan diukur adalah
+
25 menit. Penentuan OT ini menggunakan larutan parasetamol dalam plasma dengan kadar 100
μgml mewakili larutan kadar rendah dan 400
μgml mewakili larutan kadar tinggi.
Gambar 17. Pengukuran operating time OT larutan parasetamol dalam plasma kadar 100
μgml
Gambar 18. Pengukuran operating time OT larutan parasetamol dalam plasma kadar 400
μgml
Pada gambar 17 dan 18 ditunjukkan bahwa serapan yang stabil dimulai dari menit ke-0 sampai menit ke-60. Namun adanya pemakaian waktu selama
+
25 menit untuk proses setelah penambahan larutan natrium hidroksida 10 menyebabkan OT
pada penelitian ini dimulai dari menit ke-25 sampai menit ke-85. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Penentuan panjang gelombang maksimum
Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang saat senyawa memberikan serapan yang maksimum. Pada penelitian ini, penentuan panjang
gelombang maksimum dilakukan dengan mengukur serapan ion 2-nitro-4- asetamidofenolat pada daerah panjang gelombang sinar tampak, yaitu pada panjang
gelombang 380-580 nm. Penentuan panjang gelombang maksimum ini dilakukan pada dua kadar yang berbeda, yaitu larutan parasetamol dalam plasma dengan kadar
100 μgml dan 400 μgml. Hal ini dilakukan supaya hasil yang didapat lebih
meyakinkan bahwa panjang gelombang tersebut memang memberikan serapan yang maksimum.
Menurut Chafetz et al. 1971, panjang gelombang maksimum berada pada 430 nm. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh dalam penelitian ini, baik
untuk kadar 100 μgml maupun 400 μgml adalah 433 nm.
Gambar 19. Pengukuran panjang gelombang maksimum larutan parasetamol dalam plasma kadar 100
μgml
Gambar 20. Pengukuran panjang gelombang maksimum larutan parasetamol dalam plasma kadar 400
μgml
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, panjang gelombang maksimum yang diperoleh dalam optimasi dapat digunakan jika selisihnya dengan panjang
gelombang teori tidak lebih dari 3 nm. Oleh sebab itu, pengukuran serapan larutan baku dan sampel dilakukan pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh
yaitu 433 nm.
3. Pembuatan kurva baku
Pembuatan kurva baku dilakukan untuk memperoleh persamaan kurva baku yang dapat berguna dalam perhitungan kadar sampel parasetamol. Persamaan kurva
baku ini diperoleh melalui pengukuran serapan seri kadar larutan baku parasetamol pada panjang gelombang 433 nm, kemudian dibuat persamaan garis regresi antara
kadar sebagai variabel bebas dan serapan sebagai variabel tergantung. Hasil pengukuran serapan larutan parasetamol dan persamaan garis regresi
dapat dilihat pada tabel X sedangkan kurva baku disajikan pada gambar 21. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel X. Data Persamaan Kurva Baku
Seri Baku Kadar
μgml Serapan 1 50,1 0,101
2 100,2 0,202 3 150,3 0,344
4 200,4 0,486 5 250,5 0,560
6 300,6 0,669 7 350,7 0,794
8 400,8 0,919
Slope B 0,00231
Intercept A - 0,01214
Standar Deviasi 0,018
Corr.coeff r 0,9983
Persamaan garis regresi
Y = 0,00231 X – 0,01214
Hasil persamaan kurva baku yaitu Y = 0,00231 X – 0,01214 selanjutnya digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol dalam plasma.
KURVA BAKU PARASETAMOL
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
50 100
150 200
250 300
350 400
450 500
Kadar Larutan Parasetamol μgml
Se ra
p a
n
Y = 0,00231X - 0,01214 r = 0,9983
Gambar 21. Kurva hubungan antara kadar parasetamol dengan serapan
4. Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak
Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak dilakukan dengan mengukur serapan larutan parasetamol di dalam plasma pada
panjang gelombang 433 nm menggunakan spektrofotometer sinar tampak. Pada pengukuran ini digunakan 2 larutan parasetamol di dalam plasma, yaitu kadar 101,2
μgml dan 404,8 μgml. Serapan yang diperoleh kemudian diolah menjadi kadar parasetamol di dalam plasma menggunakan persamaan kurva baku.
Pengukuran masing-masing larutan dilakukan replikasi 3 kali. Nilai perolehan kembali untuk kadar 101,2
μgml adalah 97,31
+
1,78, sedangkan untuk kadar 404,8
μgml adalah 99,97
+
0,91. Nilai perolehan kembali merupakan tolok ukur akurasi metode analisis. Karena nilai perolehan kembali berada pada rentang
80-120, maka metode ini dinyatakan memiliki nilai akurasi yang baik.
Tabel XI. Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak
Kadar Sesungguhnya
μgml Kadar Terukur
Perolehan Kembali
Kesalahan Sistematik
Kesalahan Acak
101,2 97,03 95,88 4,12 101,2 97,90 96,74 3,26
101,2 100,49 99,30 0,70 1,83
SD X
± 98,47 + 1,80
97,31 + 1,78 2,69 + 1,78
404,8 407,42 100,65 0,65 404,8 400,49 98,94 1,06
404,8 406,12 100,33 0,33 0,91
SD X
± 404,68 +
3,68 99,97 +
0,91 0,68 + 0,37
Kesalahan sistematik merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar. Nilai kesalahan sistematik untuk kadar 101,2
μgml adalah 2,69
+
1,78, sedangkan untuk kadar 404,8
μgml adalah 0,68
+
0,37. Kesalahan acak merupakan tolok ukur impresisi suatu metode analisis. Nilai kesalahan acak untuk kadar 101,2
μgml adalah 1,83, sedangkan untuk kadar 404,8
μgml adalah 0,91. Ditinjau dari nilai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesalahan sistematik dan nilai kesalahan acak yang diperoleh, maka metode penetapan kadar parasetamol di dalam plasma menurut Chafetz et al. 1971
memiliki ketepatan dan ketelitian yang baik.
D. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah
Orientasi dosis dilakukan dengan tujuan agar diperoleh dosis yang tepat sehingga kadar parasetamol di dalam plasma dapat berada di atas KEM Kadar
Efektif Minimum dan di bawah KTM Kadar Toksik Minimum. Pada rentang kadar tersebut, obat dapat memberikan efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Selain
itu, orientasi dosis juga berguna untuk menentukan dosis yang digunakan agar nilai serapannya memenuhi Hukum Lambert-Beer yaitu berada di antara 0,2-0,8 Mulja
dan Suharman, 1995. Orientasi dosis ini diawali dengan dosis sebesar 10 dari LD
50
yaitu 625 mgkgBB. Dosis selanjutnya diperoleh dari dosis awal yang dikalikan dengan faktor
tertentu. Hasil orientasi dosis yang diperoleh adalah 1200 mgkgBB. Dosis tersebut kemudian digunakan untuk penetapan kadar selanjutnya, yaitu untuk
membandingkan bioavailabilitas tablet parasetamol generik, tablet Pyrexin
®
, dan tablet Progesic
®
. Selain itu, tahap orientasi dosis ini juga sekaligus sebagai tahap orientasi
waktu pengambilan sampel darah. Orientasi waktu pengambilan sampel darah ini bertujuan untuk dapat memperkirakan saat pengambilan sampel yang tepat, yaitu
minimal 3 titik pada fase absorpsi, 3 titik pada fase distribusi, 3 titik pada sekitar kadar puncak, dan 3 titik pada fase eliminasi. Menurut Pedoman Uji Bioekivalensi
Badan POM, waktu pengambilan sampel darah minimal 3 kali waktu paruh eliminasi obat dalam plasma.
Pada saat orientasi waktu pengambilan sampel darah, beberapa titik waktu dicoba dan hasil pengukuran kadar dalam darah dianalisis menggunakan program
STRIPE Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung. Dari program tersebut, dapat diketahui nilai-nilai parameter farmakokinetika. Dalam
menentukan waktu pengambilan sampel darah yang tepat, nilai-nilai yang menjadi acuan adalah AIC dan waktu paruh eliminasi. Nilai AIC yang kecil menunjukkan
tingkat kesalahan yang kecil sehingga dalam tahap ini dicari nilai AIC yang terkecil. Dari waktu paruh eliminasi dapat ditentukan seberapa lama waktu pengambilan
sampel darah, apakah sudah cukup atau masih harus mengambil sampel lagi. Selain itu, persen AUC bagian ekstrapolasi AUC
t- ∞
juga sebaiknya tidak lebih dari 20. Hasil dari orientasi waktu pengambilan sampel darah ini adalah darah
diambil pada menit ke-5, 10, 15, 20, 25, 35, 45, 60, 90, 120, 150, 180, dan 210 dengan menit ke-0 sebagai blangko.
E. Perbandingan Bioavailabilitas 1. Kadar parasetamol dalam plasma