Difabilitas Sebagai Medan Pelayanan Kongregasi SFD

87 orang-orang terpanggil itu adalah perpanjangan tangan dan hati-Nya untuk menyalurkan berkat bagi mereka yang miskin dan menderita. Dasarnya adalah yang Yesus mencintai orang-orang cacat difabel. Yesus yang mencintai orang-orang cacat atau kaum difabel adalah salah satu tindakan bahwa Dia mau mengangkat orang-orang yang hilang dari masyarakat. Bagi Yesus mereka itu sungguh berharga. Dan inilah yang menjadi misi Yesus ke dunia yakni menyampaikan kabar gembira bagi orang miskin. Memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan tertindas, penglihatan bagi orang buta, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang Luk 4:18-19. Seluruh isi teks ini mau mengatakan inti pelayan Yesus, yakni mau membawa kabar gembira, seperti Fransiskus Assisi sebagai pembawa suka cita Injil kepada seluruh dunia tanpa ada sekat perbedaan. Ketika di penjara Yohanes meragukan tentang keberadaan Yesus. Maka Yohanes mengirimkan utusannya untuk menanyakan siapakah Yesus itu. Namun Yesus mengirim mereka kembali kepada Yohanes, “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik Luk 7:22. Di sini Yesus hadir bagi semua orang, termasuk orang-orang cacat difabel. Salib adalah simbol “penderitaan”, karena penderiaan di salib itu maka Ia mengetahui apa arti menderia bagi manusia. Karena ia sungguh menyatu dengan orang miskin, cacat dan menderita. Maka Ia sungguh-sungguh tahu dan merasakan apa yang diderita manusia yang menderita. Demikian juga dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88 Santo Fransiskus Assisi juga merasakan salib. Salib menjadi berkat baginya karena lewat itu ia diberi rahmat untuk melihat Allah lewat orang-orang miskin, cacat dan menderita. Dengan masuknya penderitaan salib, para suster SFD harus mengikuti pendirinya terutama Yesus, yang dalam artian ini setiap suster SFD, harus sanggup membantu dan membangun iman orang-orang cacat difabel kepada Yesus. Yesus adalah juru selamat bagi orang-orang cacat dan terpinggirkan itu. Mengikuti Inijil Lukas yang ditempatkan di atas, keterlibatan SFD untuk mengangkat martabat orang-orang cacat dan menderita. Mereka ini secara kolektif di Kitab Suci adalah orang berdosa. Mereka dianggap adalah orang-orang yang mendapat kutuk dari Allah karena telah berbuat salah dan dosa. Sebagaimana Yesus dalam perjalan-Nya bertemu dengan orang buta sepanjang hidupnya: Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta? Yoh 9:2. Yesus menjawab, bukan dia dan bukan juga orang tuanya. Pernyataan Yesus memiliki sebuah makna yang harus dijawab oleh kongregasi SFD. Yesus menyembuhkan orang buta, tetapi bukan penyembuhan itu yang paling utama, melainkan pengangkatan mertabat dan harga diri orang- orang cacat itu di hadapan masyarakat. Hal di atas merupakan tindakan Yesus yang mau mengangkat harkat dan martabat orang difabel. Di tengah-tengah penderitaan yang seperti itu, sekalipun tidak jelas fungsi dari penderitaan itu, tapi sebagai seorang SFD, harus sampai pada titik utama tugas pelayanan itu. Sebab Santo Fransiskus sendiri pun 89 mencium si kusta yang dikucilkan dan dibuang oleh masyarakat. Fransiskus melihat wajah Allah dalam diri orang kusta itu. Kongregasi SFD pun dipanggil untuk melihat titik-titik kehilangan itu bagi orang cacat untuk memperhatikan orang-orang difabel sebagai bentuk semangat salib dalam penderitaan orang lain. Yesus mengundang orang-orang cacat untuk sebuah perjamuan kerajaan-Nya. Cerita tentang perjamuan ini sangat baik dituliskan oleh penginjil Lukas, di mana sang Tuan pesta mengundang banyak orang. Tetapi banyak yang tidak mau datang dengan dalihnya masing-masing. Maka undangan pun dialihkan kepada orang orang miskin, cacat, buta dan lumpuh Luk 14:21-23. Dari peristiwa teks ini, mengajarkan bahwa mengundang orang-orang yang tidak punya kemampuan untuk membalas, atau mengundang orang-orang miskin, cacat, buta dan lumpuh, maka akan diberi rahmat berlimpah oleh Allah sendiri, sekalipun mereka tidak mampu membayar. Bayaran yang kita terima adalah kebangkitan pada akhir zaman Luk 14:12. Pendirian sekolah difabel yang dibangun oleh kongregasi SFD, harus dilihat dalam konteks mengundang orang-orang cacat dalam perjamuan seperti di atas tadi. Artinya bahwa kongregasi yang menghayati semangat hidup kedinaan akan semakin konkrit dalam hidup sehari-hari. Kedinaan bersumber dari Yesus sendiri karena Santo Fransiskus Assisi sendiri melaksanakan semangat kedinaan yang juga dilakukan oleh Yesus sebelumnya. Fransiskus Assisi melihat semangat kedinaan Yesus sehingga tidak ada alasan baginya untuk tidak menjadi hina sama seperti Yesus menjadi dina 90 untuk menolong orang. Dengan demikian jelas bahwa Yesus sang guru kedinaan menjadi sumber inspirasi bagi siapapun yang berkarya dengan semangat kedinaan. Sejak lahir, Yesus yang adalah anak Allah lahir di kandang domba. Ia lahir dari kesederhanaan dan kesalehan keluarga Nazaret. Ia adalah anak yang tumbuh dalam kesederhanaan cinta ibu Maria dan Yosef yang bekerja sebagai tukang kayu. Banyak hal yang dapat menjadi inspirasi dari cara pelayanan Yesus. Dalam hal kedinaan, Yesus tidak pernah menjauhkan diri dari mereka yang dipandang rendah dan berdosa. Justru Yesus duduk dan makan bersama mereka yang dianggap orang berdosa oleh orang banyak. Sejak awal pewartaan-Nya Yesus mendekati orang-orang berdosa karena untuk orang berdosalah Yesus diutus ke dunia. Untuk menyelamatkan mereka yang berdosa. Dalam perjamuan makan terakhir, Yesus melayani para murid-Nya. Ia bahkan membasuh kaki para murid-murid-Nya sebagai lambang kasih yang harus dilakukan para murid di antara mereka. Kedinaan ini berlanjut ketika Yesus ditangkap, disiksa dan disalibkan. Dalam kesempatan lainnya Yesus selalu berjalan bersama-sama dengan murid-Nya. Yesus tidak mendapatkan pelayanan kelas eksekutif dalam melaksanakan pekerjaan-Nya. Dan yang paling membekas dan penting adalah bagaimana Yesus sama sekali tidak melawan ketika ia disiksa, diolok, bahkan sampai mati di palang penghinaan salib. Yesus mengakhiri hidup-Nya di atas kayu salib tempat para penjahat digantung. 91 Kehadiran Yesus pada level terbawah atau terhina mengajarkan bahwa Yesus selalu ada di tengah-tengah umat manusia tidak peduli asal-usul dan latar belakangnya. Ia tetap menjadi Bapa bagi setiap orang yang hidup dan percaya pada-Nya. Penjahat ataupun orang baik tetap menjadi anak-anak-Nya. Hal inilah yang menjadi inspirasi bagi SFD untuk berkarya bagi semua orang terutama mereka yang difabel. Dengan kasih dan cinta tulus dari para SFD Allah dihadirkan kembali bagi mereka yang kurang merasakan kasih itu. Kasih itu sendiri diarahkan pada siapapun tanpa ada pengecualian.

2. Semangat Kedinaan sebagai Dasar Pelayanan bagi Kaum Difabel

Seperti yang telah direfleksikan di atas semangat kedinaan yang pernah menjadi semangat Santo Fransiskus Assisi dalam berkarya juga menjadi semangat SFD untuk berkarya guna mewujudkan cinta secara nyata dalam karya bagi kaum difabel. Semangat itulah yang menjadi dasar dalam berkarya. Santo Fransiskus Assisi adalah lambang kedinaan. Ia adalah simbol kesederhanaan. Kesederhanaan dan kedinaan ada di balik hidup Santo Fransiskus Assisi. Melalui Fransiskus Assisi kesederhanaan itu hadir sebagai bentuk kehadiran Allah sendiri di dunia. Santo Fransiskus mencontoh kesederhanaan Yesus dengan penuh dan total. Kesungguhan Santo Fransiskus Assisi membuat orang melihat Yesus di balik diri dan karya Santo Fransiskus Assisi. Ia menjadi Alter Christus. Sebuah harapan kehadiran Yesus yang menjadi kenyataan bagi mereka yang merasakan karya-karya-Nya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI