35
Artinya: “Dari Aisyah ra, Nabi Saw bersabda : Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” HR. Ibnu Majah dari Aisyah.
ِﻦَﻤْﺣﱠﺮﻟا ِﺪْﺒَﻌِﻟ م.ص ُﻲِﺒﱠﻨﻟا َلﺎَﻗ َﺶِﺑ ْﻮَﻟَو ْﻢِﻟْوَأ
ىرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور
۳٤
Artinya: “Nabi Saw bersabda: Laksanakanlah walimah atas pernikahan sekalipun hanya dengan meyembelih kambing” HR. al-Bukhari
dari Abdurrahman bin Auf.
Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa awal Islam belum terjadi antar wilayah negara berbeda. Biasanya perkawinan pada
masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam satu wilayah yang sama, sehingga alat bukti kawin selain saksi belum
dibutuhkan.
35
Dengan alasan-alasan yang telah disebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting
sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang
terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan oral kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat
modern. Menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autenti, saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan. Tidak saja karena bisa hilang dengan sebab
kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kehilapan. Atas dasar
34
Nailul Authar, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dkk, h. 2242.
35
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 121.
36
ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.
36
Atas pertimbangan demi kemaslahatan, ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk
melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan untuk itulah pencatatan menjadi sesuatu yang sangat diperlukan, selain itu akan banyak mudharat
yang ditimbulkan apabila tidak dilakukan pencatatan perkawinan. Sedangkan dalam Islam sebisa mungkin untuk menghilangkan kemudharatan,
sebagaimana dalam sebuah kaidah fiqih :
َا ّﻀﻟ
َﺮ ُر ُـﻳ َﺰ
ُلا
۳۷
Artinya: “kemudharatan harus dihilangkan”. Maksud kaidah tersebut adalah, menghilangkan kemudharatan atau
bahaya lebih diutamakan dari yang lainnya. Untuk itulah kepentingan pencatatan harus didahulukan daripada membawa mudharat dampak negatif
yang ditimbulkan nantinya,
38
sebagaimana dalam firman Allah Swt dalam QS. Al Baqarah [02]: 282;
ةﺮﻘﺒﻟا :
٢ ۲۸۲
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu
menuliskannya...”.
Ayat tersebut memerintahkan kepada kita untuk menuliskan atau mencatatkan segala bentuk urusan mu’amalah seperti jual beli, hutang
36
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 122.
37
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Jakarta: Kencana, 2010, h. 138.
38
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, h. 138.
37
piutang, sewa menyewa, dan sebagainya. Bagaimana dengan hal perkawinan yang dinilai sangat sakral, sebuah perjanjian yang sangat kuat mitsaqan
ghalidza, dan banyak menimbulkan akibat hukum, tentunya sangat memerlukan pencatatan perkawinan.
Dengan demikian salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan
perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Di katakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan
di dalam kitab-kitab fiqih ataupun fatwa-fatwa ulama.
39
3. Pencatatan Perkawinan Menurut Perundang-Undangan
Di Indonesia, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan telah diatur dalam Perundang-undangan, baik Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Meskipun pencatatan perkawinan telah terisolasikan dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan selama 23 tahun lebih, tetapi sampai saat ini masih didasarkan adanya kendala dalam pelaksanaannya, hal ini mungkin
sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh pada perspektif fikih tradisional. Menurut pemahaman sebagian masyarakat tersebut bahwa
perkawinan sudah sah apabila ketentuan yang tersebut dalam hukum Islam sudah terpenuhi tidak perlu ada pencatatan di Kantor Urusan Agama.
40
Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
39
Ahmad Jauhari, Problematika dan Implikasi Perkawinan di Bawah Tangan, artikel ini
diakses dari http:www.lbh-apik.or.idfact51-bwh20tangan.htm, pada tanggal 2 Februari 2014.
40
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 47.
38
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
41
Jadi, orang-orang yang beragama Islam perkawinannya baru sah apabila dilakukan menurut
hukum Islam, tetapi di samping itu ada keharusan pencatatan menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Ayat 2 menyebutkan “bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
42
Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, di dalam penjelasannya tidak
ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan “bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
perkawinan akan dilangsungkan”.
43
Undang-Undang Perkawinan kita meletakkan perkawinan sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan pengamalan ajaran agama dan
kepercayaan masyarakat dan bukan hanya sebagai suatu peristiwa perdata biasa sebagaimana yang dianut oleh KUHPerdata Burgerlijke wetboek
sehingga yang dipentingkan adalah pencatatannya oleh negara.
44
Dengan
41
Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983, Semarang: Beringin Jaya, h. 7.
42
Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983, h. 8.
43
Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983, h. 36.
44
H. M. Atho Mudzhar, Sajida. S. Alvi, dan Saparinah Sadli, ed., Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, h.133.
39
demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-Undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah
pencatatan ini sangat dominan. Ini tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan,
maka tidaklah berlebihan jika ada pakar hukum yang menempatkan pencatatan sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah atau
tidaknya sebuah perkawinan.
45
Dipertegas dalam pasal 5 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam KHI “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat”. Ayat 2 “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan
berlakunya Undang-Undang RI No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura”. Pasal 6 ayat
1 “Untuk memenuhi ketentuan pada pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah”. Ayat 2 “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum”.
46
Dalam kenyataannya, praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat berbeda karena
tidak sepenuhnya mengacu kepada undang-undang.
45
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 123.
46
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h. 2-3.