Faktor Penyebab Nikah di Bawah Tangan
72
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”.
8
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah sangat diatur sedemikian rupa untuk menekan angka poligami, karena
berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 3 ayat 1 yang telah disebutkan di atas bahwa Negara Indonesia menganut asas
monogami bukan asas poligami. Poligami boleh saja dilakukan asal para pihak yang bersangkutan dapat menyetujui dan hanya dapat dilakukan jika seorang istri
tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya, dengan kata lain poligami sebagai jalan akhir seperti yang terlihat dari prosedur pengajuan izin menikah lagi yang
sangat rumit dan sulit. Alasan yang terkhir Keempat, karena usia yang sudah lanjut sehingga
mereka tidak mendaftarkan pernikahannya; mereka hanya berfikir yang terpenting adalah pernikahannya sah berdasarkan agama dan sudah sah menjadi suami istri
daripada ia berbuat zina walaupun tidak mencatatkan, hal tersebut sebenarnya sah-sah saja namun ada yang perlu di garis bawahi bahwa pencatatan sebuah
pernikahan adalah hal yang sangat penting sekali pada zaman sekarang ini, bagaimana tidak jika tidak memiliki bukti otentik berupa akta nikah pernikahan
itu tidak memiliki kekuatan hukum dan akan menyulitkan diri orang tersebut ketika ia sedang berurusan untuk membuat surat-surat resmi seperti paspor
terlebih lagi terhadap anaknya. Selebihnya dari mereka sedikit sekali yang
8
Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983 Semarang: Beringin Jaya, h. 8.
73
beralasan tidak mengetahui prosedur pencatatan karena sangat buta terhadap pengetahuan seperti yang menikah dalam usia lanjut, karena mereka sebelumnya
tidak mengenyam bangku pendidikan sama sekali. Disini terdapat perbedaan pendapat dari pihak masyarakat yang tidak
menginginkan adanya pencatatan karena memakan waktu lama dan pemerintah yang mengharuskan pencatatan demi ketertiban masyarakat di mata hukum. Dari
berbagai alasan yang dikemukakan, alasan mereka lebih dominan kepada masalah kebutuhan personality, artinya mereka melakukan nikah di bawah tangan
berdasarkan masalah pribadi mereka jadi bukan berdasarkan masalah yang ada di dalam lembaga pencatatan nikah atau aparaturnya. Syarat administrasi yang
diberikan pemerintah kepada masyarakat dalam hal pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang memang sangat diperlukan demi ketertiban masyarakat dalam
hukum. Dari pernyataan yang mereka kemukakan menandakan mereka masih rendah kesadaran hukumnya, walaupun mereka menyadari bahwa pernikahan
yang mereka lakukan berdampak negatif bagi mereka, mereka hanya sebatas menyadari tetapi tidak bergerak untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan
khususnya pada pencatatan nikah ini. Pengetahuan mereka mengenai peraturan-peraturan yang di buat oleh
pemerintah masih sangat minim. Ini terbukti dengan pertanyaan penulis saat melakukan wawancara yaitu mengenai dampak dari nikah di bawah tangan dan
biaya pencatatan. Mereka memang lebih banyak yang mengetahui dampaknya namun ada juga yang masih tidak mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan
74
karena dari pernikahan yang mereka lakukan ada yang tidak berdampak sama sekali tapi ada juga yang sangat berdampak besar. Mengenai biaya rata-rata
mereka lebih memilih untuk nikah di bawah tangan karena terhambat dari biaya yang harus dikeluarkan untuk mendaftarkan nikah di KUA. Ketika penulis
menanyakan berapa biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk mencatatkan pernikahannya menurut peraturan yang di buat oleh pemerintah. Jawaban yang
penulis dapat sangat beragam, mulai dari jawaban tidak tahu, kemudian biaya sebesar Rp 300.000 sampai Rp 1.500.000. Namun, menurut para petugas KUA
bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pencatatan nikah yang dilakukan di luar KUA dan jam kerja sebesar Rp 600.000.
9
Jawaban dari pihak KUA tersebut adalah Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan
pajak yang berlaku pada Departemen Agama menyatakan bahwa besaran biaya pencatatan nikah sebesar Rp 30.000, kemudian pemerintah mengeluarkan
peraturan baru untuk menghindari agar tidak terjadi lagi gratifikasi oleh oknum- oknum tertentu yaitu berupa Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2014 tentang
perubahan atas Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan bukan pajak yang berlaku pada Departemen Agama menyatakan
biaya pencatatan nikah yang dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja adalah Rp 0 dan biaya-biaya pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di luar KUA
9
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Asnawi, Kepala KUA Kecamatan Limo Depok, di Kantor KUA Kecamatan Limo, 27 Oktober 2014.
75
adalah Rp 600.000.
10
Pernyataan yang mereka kemukakan menandakan ketidaktahuan mereka terhadap peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah,
rendahnya keingintahuan mereka terhadap hal tersebut, dan para aparatur lembaga pencatatan nikah yang kurang mensosialisasikannya dalam masyarakat sehingga
hanya sebagian masyarakat yang mengetahui hal tersebut. Jadi, sekarang setelah dikeluarkannya peraturan tersebut tidak ada lagi masyarakat yang beralasan nikah
di bawah tangan karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk pencatatan nikah.